Senin, 06 Agustus 2012

You're Lie







YOU’RE LIE

Author : Ifa Raneza

Cast : Kang Shin Hee, Lee Sungmin

Genre : Sad, Romance, Angst

****


Lebih baik kehilangan satu menit dalam hidup,
daripada harus kehilangan hidup dalam satu menit.

(Dhea Septyana Putri)


****


Aku adalah gadis yang paling menyedihkan di dunia ini.


____
(Kang Shin Hee POV)

Break up. Hanya itu yang kupikirkan. Aku ingin mengakhiri semua ini. Ya, semuanya. Semua yang terjadi di antara kami, antara aku dan Lee Sungmin. Tapi masalahnya sekarang adalah… apa aku bisa melakukan itu? Apa aku bisa hidup tanpa namja itu? Apa aku bisa tetap menjadi diriku sendiri tanpa namja-ku itu? Namja-ku? Bahkan aku tidak yakin dengan sebutan itu. Aku tidak yakin apa dia masih menganggapku sebagai yeoja-nya.

Setengah tahun. Selama itu ia terus bersikap seolah-olah aku tidak pernah ada. Itulah yang membuat keraguanku semakin besar. Tapi dia juga terkadang datang menghampiriku dan bersikap seperti Lee Sungmin yang kukenal, bersikap seakan-akan tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Dan itu yang membuat aku berpikir ulang untuk pergi dari hidupnya. Dia… memang aktor yang baik. Dia bisa menjadi dua orang yang berbeda di depanku, orang yang paling mengenalnya.

“Apa aku pernah berkata bahwa aku sudah tidak mencintaimu lagi? Tidak pernah, kan? Kalau begitu apa yang kau ragukan, Shin Hee?”

Itu yang sering dikatakannya setiap kali aku tidak membalas senyumannya atau tidak bicara padanya. Itu yang membuatku merasa yakin bahwa dia masih mencintaiku. Tapi sekarang? Bohong jika kukatakan keyakinanku masih tetap sama. Aku sadar dia sudah bukan Sungmin yang dulu, Sungmin yang kukenal. Aku sadar aku bukan yeoja yang pantas untuknya. Tapi bisakah dia tidak menggantungkan aku seperti ini?

Tanpa kabar darinya aku melewati waktu setengah tahun terakhir dengan harapan dia akan kembali dan memanggilku dengan senyum aegyeo-nya yang tampak menggemaskan. Ya, dia memang pergi ke luar kota untuk bekerja. Entah sudah berapa ratus kali aku menghubunginya, tapi dia enggan menjawab teleponku. Jika dia menjawabnya pun, dia tidak pernah berbicara lebih dari dua menit. Sibuk, itu alasan yang selalu ia katakan padaku. Suaranya pun tak lagi sehangat dulu, tak lagi selembut dulu. Suaranya dingin. Bahkan ia hanya menjawab pertanyaanku seadanya dan tidak pernah menanyakan kabarku.

Bodoh. Kalau gadis lain menjadi aku, pasti gadis itu sudah mengakhiri semua ini. Sudah jelas bahwa dia sudah tidak mencintaiku seperti dulu. Tidak ada keraguan akan hal itu. Tapi aku masih menunggumu, Lee Sungmin. Aku masih memegang kata-katamu. Karena kau belum pernah berkata bahwa kau sudah tidak mencintaiku, kan?


****


“Hei, Shin Hee. Kau kenapa?”

“Aku tidak apa-apa.”

“Jangan berbohong. Kau kenapa? Ceritakan saja padaku.”

“Sungmin-ah, kau tahu? Jaehyun baru saja dicampakkan pacarnya. Kasihan sekali dia.”

“Wae, Shin Hee? Apa kau takut nasibmu akan sama seperti Jaehyun?”

“Eh, bukan begitu. Maksudku…”

“Jangan bodoh, Shin Hee. Aku tidak mungkin membuangmu seperti apa yang mantan pacar Jaehyun lakukan padanya. Aku mencintaimu. Kau tahu, kan?”

“Ne.”

“Kau percaya padaku, kan?”

“Ne, Sungmin. Aku percaya padamu.”


****


Jantungku berdegup kencang saat ini. Bagaimana tidak? Aku berhadapan langsung dengan orang yang paling ingin kutemui. Ya, dia ada di sini, di depanku. Setelah setengah tahun akhirnya aku bisa bertemu dengannya saat aku menghadiri salah satu pameran di kota tempat tinggalnya. Tidak, aku tidak merencanakan semua ini. Aku tidak sengaja bertemu dengannya.

“Apa kabarmu?” tanyaku dengan menyembunyikan rasa senang yang membuncah dalam dadaku.

“Cepat katakan apa maumu,” ujarnya dingin, tanpa tersenyum sedikitpun padaku. Dia menatapku tajam tepat pada kedua manik mataku.

Aku hanya menelan ludahku yang terasa seperti batu. Menelan pil pahit yang tidak pernah kuduga.

“Kenapa kau tidak pernah menghubungiku, Oppa?” tanyaku dengan suara yang sedikit serak, menyembunyikan rasa kecewa yang sudah menyelinap masuk ke dalam dadaku dan menghapus rasa senang yang ada di sana.

“Harus berapa kali kukatakan? Aku sibuk. Tidak bisakah kau mengerti itu?” jawabnya dengan nada yang masih sama, dingin.

“Benar…” gumamku dengan pandangan yang menunduk dan menarik sudut bibirku miris. Aku tidak sanggup menatap sorot matanya yang begitu menusukku. Aku tidak sanggup untuk itu.

“Jadi apa lagi yang ingin kau katakan padaku?” tanyanya sambil menatapku jengah, membuat rasa perih mulai terasa di beberapa persendian dan dalam dadaku.

Sakit, rasanya sakit sekali melihat namjachingu-mu tidak menginginkan kehadiranmu seperti ini. Dan aku adalah salah satu contoh nyatanya.

“Kau ingat tanggal 4 April 2010?” ucapku pelan, bahkan aku ragu dia masih bisa mendengar suaraku.

Tampak namja itu menaikkan sebelah alisnya, bingung akan pertanyaanku atau … apa dia memang sudah melupakan tanggal itu?

“Kau ingat… apa yang terjadi pada tanggal 4 April 2010?” tanyaku dengan kedua mataku yang mulai memanas. Tuhan, tolong aku. Aku tidak mau menunjukkan kelemahanku padanya. Kumohon, kuatkan aku.

“Apa maksudmu?” tanyanya datar, seolah tanggal yang kusebutkan bukanlah tanggal yang penting.

“Jadi kau lupa?” ucapku lirih, dengan rasa kecewa yang semakin menjadi-jadi.

“Dengar, Shin Hee. Aku sibuk, jadi…”

“Aku bukanlah gadis yang kuat, Sungmin,” potongku, membuatnya sedikit tertegun mendengarku tidak memanggilnya dengan sebutan Oppa seperti biasa.

Untuk apa? Dia bukan Sungmin-ku yang dulu. Dia bukan Sungmin yang kukenal. Jadi untuk apa aku memanggilnya Oppa? Untuk apa aku berkata manis padanya lagi?

“Aku juga bisa hancur saat kau mencoba untuk menghancurkanku.”

“Huh…” Dia terkekeh. Ya, dia terkekeh mendengar ucapanku. Bukankah dia namja yang jahat untuk saat ini? “Omong kosong.”

“Salah,” kataku cepat, hampir memotong ucapannya. “Ucapanmu. Semua ucapanmu tentang cinta adalah omong kosong, bukan ucapanku.”

“Hentikan,” desisnya tajam, menambah rasa muakku padanya.

“Kau pergi dan tidak mengabariku sama sekali. Berkata kau sibuk hingga tidak pernah menanyakan kabarku. Dan sekarang…” Ucapanku terputus saat kurasakan sebulir cairan hangat menuruni pipiku, air mata. Pertahananku runtuh. Aku menghembuskan nafas pelan, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan kalimatku. “Sekarang kau seperti membuangku. Kau pikir… Kau pikir aku ini apa?” ucapku dengan suara yang semakin pelan pada akhir kalimat.

“Menurutmu?” tanyanya datar, membuatku menatapnya tak habis pikir. “Menurutmu kau itu apa? Kenapa masih bertanya padaku?”

Aku menundukkan kepalaku sebelum air mata yang jatuh dari pelupuk mataku semakin deras. Aku tidak mau namja kejam ini melihat kelemahanku lebih banyak lagi. Aku tidak mau terlihat menyedihkan di depannya. Aku tidak mau… Aku tidak mau dia melihatku hancur. Aku ingin dia tahu bahwa aku juga bisa hidup tanpanya.

Untuk beberapa detik, kami hanyut dalam diam, sampai akhirnya aku memberanikan diriku untuk mengeluarkan suara. Meskipun terdengar sedikit serak dan berat karena dadaku sudah terasa terlalu sesak, aku tetap mengeluarkan suaraku, mengatakan sesuatu padanya.

“Sungmin-ah,” ucapku pelan dengan menyembunyikan wajahku yang sudah penuh dengan air mata. “Kapan kau… akan melepaskanku?” tanyaku, berharap akan mendapatkan sanggahan dari namja di depanku ini.

Dia hanya diam, tidak menjawab pertanyaanku, sementara rasa sakit terus menusuk jantungku. Dengan keberanian yang ada, aku menguatkan hatiku untuk mengangkat wajahku dan menatapnya. Dan apa yang kudapat? Kecewa. Ya, sesederhana itu, namun dengan rasa sakit yang bertubi-tubi. Kulihat seorang Lee Sungmin dengan santainya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil melipat tangannya di depan dada.

“Sungmin-ah…”

“Aku tidak pernah mengikatmu dengan ikatan apapun. Tidak pernah,” ucapnya dengan sorot mata yang masih sama, terlalu menusuk. “Aku bukan suamimu, jadi untuk apa aku mengekangmu?” tanyanya yang membuat tangisanku hampir semakin menjadi-jadi.

Aku hanya mengangguk pelan, mengiyakan ucapannya yang memang benar adanya. Jadi begitu, Sungmin? Hanya sebatas itu aku bagimu? Aku hanya yeoja yang kaucintai di saat kau ingin mencintai, dan yeoja yang kautinggalkan saat kau sudah enggan untuk mencintai. Sederhana. Ternyata sesederhana itu aku di matamu. Sungmin, apa aku bisa menyebutmu sebagai namja paling kejam sedunia?

Tanpa mengatakan sepatah kata pun, aku bangkit dari dudukku dan pergi dari hadapannya. Sudah cukup semua yang kutahu. Sudah cukup. Keraguanku yang selama ini terus menghantui hatiku berubah menjadi keyakinan yang sudah namja itu pertegas. Dia sudah tidak mencintaiku lagi. Ya, benar. Dia sudah menjadi Lee Sungmin yang baru. Dia bukan Sungmin yang hangat, dia bukan Sungmin yang penyayang. Dia yang sekarang adalah Sungmin yang dingin dan kejam. Cinta… Apa ada orang yang membuang orang yang dicintainya seperti ini?

“Aku bukan suamimu, jadi untuk apa aku mengekangmu?”
Apa kau lupa, Sungmin? Aku yeojachingu­-mu. Aku yeoja yang selalu memimpikan bayangmu, aku yeoja yang selalu tersenyum saat kau merasa bahagia. Apa kau lupa semuanya? Begitu cepatnya kah kau melupakanku?

Pergi. Ya, hanya itu jalan terbaik untukku dan juga untuknya. Lee Sungmin, selamat tinggal. Aku tidak hanya akan pergi dari hadapanmu sekarang, tapi juga dari hidupmu, dari bayang-bayangmu.

Dengan pandangan yang semakin kabur karena terhalang air mata, aku terus melangkahkan kakiku. Aku menangis dalam diam. Hatiku tersayat, sakit… sakit sekali. Sampai-sampai aku lupa bagaimana caranya untuk mengatur nafasku yang mulai terengah karena terus-terusan menangis. Lama kelamaan langkahku semakin pelan. Hatiku semakin ragu saat kedua telingaku menangkap suara yang kukenal memanggil namaku. Tidak. Aku tidak boleh berbalik atau menoleh ke belakang. Itu hanya perasaanku saja. Ya, pasti hanya perasaanku saja. Jelas-jelas dia sudah membuangmu, Shin Hee. Apa lagi yang kauharapkan?

Tanpa memedulikan suara yang terus memanggilku, aku kembali melangkah pergi. Pergi dari hidupnya. Pergi dari bayang-bayangnya. Sungmin, ternyata aku salah. Kau bukan pria paling kejam sedunia, tapi aku adalah yeoja terbodoh sedunia yang mau percaya dengan kata-katamu dulu. Terima kasih kau sudah menyadarkanku. Terima kasih… untuk semuanya. Lee Sungmin, saranghae…


****


(Author POV)

Seorang namja masuk ke dalam sebuah ruangan kantor tanpa permisi atau sekedar mengetuk pintu terlebih dahulu. Tanpa mengontrol emosinya yang sudah meledak-ledak, namja itu menghampiri seorang namja yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Ia menarik kerah baju namja itu dan mendaratkan kepalan tangannya tepat pada wajah namja itu.

“Apa yang kaulakukan, Sungjin-ah?!” seru namja itu sambil memegangi pipi kirinya yang terasa nyeri karena pukulan adiknya itu.

“Apa yang kulakukan katamu?” desis namja bernama Sungjin itu sambil menatap mata kakaknya dengan penuh amarah. “Seharusnya aku yang bertanya padamu, Hyung! Apa yang sudah kaulakukan pada Shin Hee-noona?!” teriak Sungjin dengan dadanya yang naik turun karena menahan emosi.

Mwo?” gumam Sungmin tak mengerti dengan tatapan menuntut penjelasan.

“Jangan pura-pura bodoh, Hyung. Kau sudah menyakitinya. Kau sudah membuangnya!”

Sungmin tertegun mendengar ucapan Sungjin. Ia tahu pasti ke mana ucapan adiknya itu akan mengarah. Perlahan pikirannya kembali melayang pada ucapan Shin Hee sebulan yang lalu sebelum pada akhirnya gadis itu tak lagi bisa dihubungi atau ditemui. Ya, bodoh memang. Selama ini ia tidak pernah menghubungi yeojachingu-nya itu, bahkan ia enggan mengangkat telepon dari Shin Hee. Tapi sekarang dia malah menghubungi gadis itu, dan hasilnya? Gadis itu tidak bisa dihubungi. Ironis.

“Aku tidak membuangnya,” ucap Sungmin pelan, membuat senyum sinis terukir dengan sempurna di sudut bibir Sungjin.

“Menurutmu tidak menghiraukan gadismu sendiri selama setengah tahun dan tidak memedulikannya apa lagi kalau bukan membuangnya?” tanya Sungjin yang lebih terdengar seperti pernyataan, bukan pertanyaan.

“Aku tidak membuangnya, Lee Sungjin!” teriak Sungmin, tidak terima dengan pernyataan Sungjin yang membuat hatinya terasa seperti teriris-iris.

“LALU APA?! APA YANG KAULAKUKAN PADANYA HINGGA DIA MEMILIH UNTUK PERGI?!!” balas Sungjin sambil mengguncang bahu Sungmin dengan kasar, membuat Sungmin sedikit terperangah mendengarnya.

Mwo?” ucapnya dengan tatapan tak percaya. Kini tangannya berbalik memegang bahu Sungjin dan mengguncangnya pelan. “Apa maksudmu? Pergi? Shin Hee pergi? Ke mana?” tanya Sungmin dengan kedua tangannya yang semakin kasar mengguncang bahu Sungjin. “KE MANA?!!” teriaknya, menuntut jawaban yang ia harapkan.

Sungjin menatap mata kakaknya datar, menunjukkan kekecewaannya pada Sungmin.

“Dia tidak akan kembali, Hyung,” ucapnya pelan, bukan jawaban yang Sungmin inginkan.

“Ke mana dia pergi?!” tanya Sungmin dengan nada yang semakin meninggi.

Wae? Kau ingin menyusulnya? Kau ingin datang ke hadapannya dan memohon padanya agar kembali?” tanya Sungjin dengan senyum sinis yang kembali terukir di bibirnya. “Terlambat, Hyung. Dia sudah pergi, jauh sekali.” Sungjin menundukkan kepalanya, mencoba menekan rasa sesak yang mulai terasa di dalam dadanya. “Dia… pergi meninggalkan dunia,” lanjutnya yang langsung membuat kedua tangan Sungmin melemas.

Tatapan Sungmin tak lagi terfokus pada wajah adiknya, melainkan pada lantai yang sedang ia pijak. Perlahan pandangannya mulai kabur karena cairan bening yang mulai menggenangi pelupuk matanya. Jika saja tangannya tak bertumpu pada meja kerjanya, Sungmin pasti sudah jatuh terduduk di lantai.

“Kanker darah.”

Sungmin mengangkat wajahnya saat mendengar dua kata itu keluar dari mulut Sungjin.

“Sebenarnya itu masih bisa diobati, tapi dia lebih memilih pergi,” lanjut Sungjin dengan nada yang penuh dengan penyesalan. Ia menatap wajah kakaknya yang sudah penuh dengan air mata. Air mata? Percuma. Gadis itu sudah pergi. Air matanya tidak akan berguna untuk saat ini. “Dan matamu yang sekarang adalah matanya, Hyung.”

Sungmin kembali menatap Sungjin dengan tatapan bingung. Matanya?

“Mataku?” ucapnya pelan.

Ne,” jawab Sungjin singkat. “Kau ingat kecelakaan yang kau alami sebulan yang lalu?” tanya Sungjin.

Sungmin mengangguk pelan. Ia memejamkan kedua matanya dengan air mata yang semakin deras menuruni pipi putihnya. Sakit. Ternyata sesakit ini yang Shin Hee rasakan selama ini. Ah, tidak. Mungkin rasa sakit yang gadis itu rasakan melebihi apa yang sekarang Sungmin rasakan.

“Dia mendonorkan matanya untukmu sebelum ia pergi meninggalkan kita semua. Aku juga baru tahu hal itu saat menemukan di mana makamnya,” kata Sungjin yang membuat rasa sakit yang Sungmin rasakan semakin menjadi-jadi. “Dia… sangat mencintaimu, Hyung.”


****


[Flashback]

(Lee Sungmin POV)

Aku duduk di kursi café tepat di hadapan yeoja yang selama enam bulan terakhir tidak pernah kutemui. Baik aku maupun dia tidak bersuara sedikitpun selama beberapa menit, sampai akhirnya ia membuka suara.

“Apa kabarmu?” tanyanya dengan senyum tipis yang masih sama seperti dulu, yang masih sehangat dulu.

“Cepat katakan apa maumu,” ujarku cepat tanpa mengatur nada bicaraku yang terdengar begitu dingin.

Kulihat lengkungan di bibirnya perlahan-lahan memudar. Kecewa, pasti itu yang ia rasakan sekarang.

“Kenapa kau tidak pernah menghubungiku, Oppa?” tanyanya dengan suara yang sedikit serak.

“Harus berapa kali kukatakan, Shin Hee? Aku sibuk. Tidak bisakah kau mengerti itu?” jawabku dengan nada yang sama, dingin, membuatnya kembali menundukkan pandangannya. Ia tak lagi berani menatap mataku.

“Benar…” gumamnya.

“Jadi apa lagi yang ingin kaukatakan padaku?” tanyaku yang seolah tidak rela kehilangan waktu satu menit pun hanya untuk meladeninya.

Selama beberapa detik dia hanya terdiam sambil menyembunyikan wajahnya dibalik rambut hitamnya yang tergerai indah. Aku terus menatapnya, menunggunya untuk segera mengeluarkan suaranya.

“Kau ingat tanggal 4 April 2010?” tanyanya yang sontak membuat sebelah alisku terangkat.

Aku tidak menjawab pertanyaannya dan membuatnya kembali mengulangi pertanyaannya. “Kau… ingat apa yang terjadi pada tanggal 4 April 2010?”

“Apa maksudmu?” tanyaku datar tanpa memutuskan kontak mataku pada matanya.

“Jadi kau lupa?” ucapnya lirih.

Bisa kulihat rahangnya yang mengeras, seperti menahan amarah atau… tangis? Entahlah, aku tidak tahu pasti. Yang pasti suara gadis itu tak lagi selembut tadi. Suaranya serak dan terdengar bergetar, seakan tangisnya akan pecah begitu saja saat satu kata keluar dari mulutku. Aku harus bagaimana sekarang? Haruskah aku lanjutkan ini? Melanjutkan obrolan yang hanya akan membuatnya semakin tersakiti? Shin Hee… Apa yang harus kulakukan?

“Dengar, Shin Hee. Aku sibuk, jadi…”

“Aku bukanlah gadis yang kuat, Sungmin,” potongnya sebelum kalimatku selesai. Aku sedikit tertegun mendengar ucapannya. Sungmin? Dia memanggilku Sungmin? Dia tidak lagi memanggilku dengan sebutan Oppa?

“Aku juga bisa hancur saat kau mencoba untuk menghancurkanku,” ucapnya lagi dengan suara yang semakin bergetar.

Menghancurkanmu? Apa yang kau katakan, Shin Hee? Aku benar-benar tidak mengerti.

“Huh…” Aku terkekeh. Kulihat raut wajahnya berubah saat mendengar kekehanku. Dia menatapku tak percaya, seakan semua ucapannya hanya kuanggap sebagai angin lalu. Apa lagi ini? Bagaimana mungkin aku bisa melihatmu hancur, Shin Hee? Jangan mengatakan omong kosong. “Omong kosong,” ucapku.

“Salah,” katanya cepat, hampir memotong ucapanku. “Ucapanmu. Semua ucapanmu tentang cinta adalah omong kosong, bukan ucapanku,” lanjutnya yang langsung membuat kedua mataku terbuka lebar.

“Hentikan,” desisku tajam, membuat sudut bibirnya tertarik ke atas dan membentuk sebuah seringai. Apa kau muak padaku sekarang, Shin Hee?

“Kau pergi dan tidak mengabariku sama sekali. Berkata kau sibuk hingga tidak pernah menanyakan kabarku. Dan sekarang…” Ucapannya terputus saat sebulir cairan bening menuruni pipi putihnya.

Sekarang bisa kurasakan hatiku seperti diiris saat melihat air matanya jatuh. Ya, dia menangis. Gadisku itu menangis karenaku. Tuhan, apa yang harus kulakukan sekarang?

“Sekarang kau seperti membuangku. Kau pikir… Kau pikir aku ini apa?” ucapnya dengan suara yang semakin pelan pada akhir kalimat.

“Menurutmu?” tanyaku datar, tak habis pikir dengan pertanyaannya. Apa lagi? Kau itu gadisku, Shin Hee! Gadisku! Apa kau lupa akan hal itu? “Menurutmu kau itu apa? Kenapa masih bertanya padaku?”

Dia menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya yang tidak pernah bosan untuk kupandang. Untuk beberapa detik, kami hanyut dalam diam, sampai akhirnya dia memberanikan dirinya untuk mengeluarkan suara.

“Sungmin-ah,” ucapnya pelan dengan suara serak tanpa mau menatapku. “Kapan kau… akan melepaskanku?” tanyanya yang lagi-lagi membuatku terperangah. Tidak rela. Ya, aku tidak rela dengan semua ucapannya. Bagaimana mungkin dia berkata seolah-olah aku tidak mencintainya?

Aku hanya diam, tidak menjawab pertanyaannya yang juga tidak bisa kujawab. Shin Hee, mianhae. Aku tidak mau mengekangmu, tapi aku juga tidak akan pernah mau melepaskanmu. Ya, aku memang egois. Tapi inilah aku, seorang Lee Sungmin yang sedang berusaha untuk menjadi namja yang pantas untukmu. Seorang Lee Sungmin yang sedang kebingungan dengan keadaan.

Perlahan tubuhku mundur hingga punggungku menyentuh sandaran kursi dan melipat kedua tanganku di depan dada. Andai aku bisa, aku akan membawa gadis di depanku ini pergi ke tempat yang hanya ada kami berdua tanpa ada seorang pun yang bisa memisahkan atau menentang hubungan kami. Tapi pada kenyataannya aku hanya seorang Lee Sungmin. Dan keadaan telah mendesakku yang lemah ini untuk mengikuti alur cerita yang telah takdir buat.

Dengan menyembunyikan detak jantung yang berpacu cepat dan nafas yang tidak berhembus normal karena emosiku yang terguncang, aku mencoba tetap terlihat tenang di depannya. Meskipun beberapa kali tampak aku menelan ludahku sendiri, tidak tahan dengan situasi yang sedang kami hadapi.

“Sungmin-ah…”

“Aku tidak pernah mengikatmu dengan ikatan apapun. Tidak pernah,” ucapku datar sambil menatapnya tajam, seakan tidak rela dengan semua ucapannya padaku. “Aku bukan suamimu, jadi untuk apa aku mengekangmu?” tanyaku lagi.

Dia mengangguk pelan dan mencoba menarik sudut bibirnya membentuk lengkungan, meskipun hal itu terlihat begitu berat baginya. Kemudian ia meraih tasnya yang diletakkan di kursi yang ada di sebelahnya dan bangkit dari duduknya. Dan aku? Aku hanya bisa diam sambil memandanginya yang hendak pergi itu. Ya, semenit pun tidak akan kusia-siakan hanya untuk melihat wajahnya, wajah yang sangat kurindukan selama setengah tahun terakhir. Tapi kini wajah itu sudah basah dengan air mata dan tak seputih dulu, karena kini wajahnya sudah memerah. Dan semua itu karena aku.

Dia berjalan melewatiku yang masih duduk mematung, bingung dengan apa yang harus kulakukan. Detik-detik berlalu begitu saja dengan aku yang masih tidak bergerak sedikit pun. Perlahan aku memejamkan mataku, mencoba menguatkan hatiku untuk kembali berhadapan dengan gadisku itu. Aku menoleh ke belakang dan mendapati dia yang sudah keluar dari café.

Menahannya. Itu yang paling ingin kulakukan sekarang. Tidak ada waktu lagi. Aku harus mengejarnya. Aku tidak mau kehilangan dia. Sedikit pun aku tidak akan melepaskannya.

Aku bangkit dari tempat dudukku dan setengah berlari keluar café, hendak mengejarnya. Tapi terlambat, dia sudah menyeberang jalanan yang ramai dengan kendaraan dan para pejalan kaki, membuatku kesulitan untuk mengejarnya.

“Shin Hee!” teriakku, berharap langkahnya akan terhenti dan dia akan berbalik untuk menatapku.

Langkahnya berhenti, tapi dia masih belum berbalik. Di saat aku berharap dia akan berbalik, harapan itu langsung pupus begitu kulihat gadis itu kembali melangkahkan kakinya dengan langkah yang lebih cepat dan lebar.

“Shin Hee-ya! Shin Hee-ya!!” teriakku tak tertahankan. Aku tidak peduli berapa banyak orang yang mengataiku gila karena berteriak memanggil-manggil orang yang tidak akan pernah menoleh padaku itu.

Tidak kehabisan akal, aku segera berlari ke arah mobilku yang terparkir di depan café. Dengan cepat dan tanpa mengenakan sabuk pengaman terlebih dahulu, segera kunyalakan mesin mobil dan menginjak gas dalam-dalam. Sedikitpun aku tidak akan pernah melepaskannya. Dia gadisku, gadisku seorang. Aku tidak mau kehilangan waktu walau hanya semenit pun untuk bisa bersamanya, bersama yeoja yang selama dua tahun terakhir selalu mengisi ruang hatiku.

Langit mendung mulai menurunkan titik-titik hujan, membuatku menggerutu karena hujan akan membuatku kesulitan untuk mencari sosoknya di tengah pejalan-pejalan kaki yang sudah berlarian. Akhirnya hujan deras turun, membuat jalanan menjadi licin dan membuatku semakin kesulitan mencari sosok gadis itu.

Hujan yang semakin deras dan jalanan yang licin menjadi aspek pendukung untuk membuat mobilku tergelincir. Ban mobilku tak lagi mampu menahan licinnya jalanan, ditambah lagi kecepatan mobilku yang seperti orang kesetanan langsung membuatku kelimpungan untuk mengontrol mobil. Alhasil ketika kulihat ada sebuah mobil lain di depanku, aku langsung membanting setir dan mobilku pun menabrak sebuah pohon yang cukup besar. Hal itu membuat kaca depan mobilku pecah. Sontak aku memejamkan kedua mataku saat kurasakan sesuatu yang masuk ke dalam mataku. Sakit. Itu yang kurasakan pada tubuh dan hatiku. Hatiku sakit sekali.

Dengan orang-orang yang semakin ramai mengerumuni mobilku yang sudah menabrak sebuah pohon, kesadaranku mulai menurun dan aku tidak tahu lagi apa yang terjadi padaku selanjutnya.


Lebih baik kehilangan satu menit dalam hidup,
daripada harus kehilangan hidup dalam satu menit.

(Dhea Septyana Putri)


****


Hampir dua minggu ini, duniaku menggelap. Pandanganku tak lagi seperti dulu. Ya, aku buta akibat beberapa serpihan kaca yang masuk ke dalam mataku. Terlebih lagi Shin Hee yang sama sekali tak bisa kuhubungi. Gadis itu sudah memilih untuk pergi dari kehidupanku. Dia… sudah membenciku. Sekarang aku tidak lagi bisa berharap apapun. Gadisku sudah pergi dan duniaku sudah gelap. Aku memang bukan namja yang pantas untuknya, terlebih lagi dengan kondisiku yang sekarang.

__
“Ahjussi, aku mencintai putrimu.”

“Kau mencintai anakku?”

“Ne, Ahjussi. Aku mencintai Kang Shin Hee seperti aku melebihi nyawaku sendiri, dan aku berjanji akan membuatnya bahagia.”

“Kalau begitu buktikan. Buktikan padaku bahwa kau adalah namja yang pantas menjadi pendamping hidup anakku. Buktikan bahwa kau bukan seorang namja rendah yang hanya bisa menjanjikan cinta pada anakku. Buktikan itu.”

“Baik. Aku akan membuktikan padamu bahwa aku adalah namja yang pantas dan bisa membahagiakan putrimu.”

“Jangan kembali sampai kau bisa membuktikan semua itu padaku.”

“Arraseo.”

__
“Mwo? Kau akan pindah ke luar kota?”

“Ne, aku akan pindah ke luar kota. Aku ingin mengejar cita-citaku di sana.”

“Sungmin-oppa… Apa kau serius? Kau serius ingin meninggalkanku di sini?”

“Shin Hee-ah…Bukan begitu. Aku akan kembali saat aku rasa aku sudah bisa menjadi namja yang baik untukmu. Ingat, Shin Hee. Aku tidak akan pernah berpaling darimu. Aku janji.”

“Jeongmal? Kau janji?”

“Ne, aku janji. Ah, tidak… Aku bersumpah tidak akan pernah berpaling darimu. Kau percaya padaku, kan?”

“Ne, Oppa. Aku percaya padamu.”

__

4 April 2010… Mana mungkin aku bisa melupakan tanggal itu. Itu tanggal saat Shin Hee menjadi milikku, saat dia menjadi gadisku, gadisku seorang. Itu adalah hari di mana aku merasa menjadi namja paling beruntung  di dunia, namja paling bahagia di dunia karena aku bisa menjadi kekasih seorang Kang Shin Hee yang menurutku begitu sempurna. Senyumnya, tatapannya, sentuhannya… semuanya. Semuanya tampak begitu sempurna di mataku. Tuhan telah menciptakan seorang yeoja yang mampu membuat semua namja berdecak kagum akan kesempurnaan ciptaannya, termasuk aku.

Tapi sekarang aku bukanlah namja yang pantas untuknya dengan kondisiku seperti ini. Tidak peduli sekeras apa usahaku selama setengah tahun ini untuk membuktikan janjiku pada ayah Shin Hee, Kang ahjussi. Pada akhirnya aku adalah seorang namja buta yang bahkan tidak bisa menahan kepergian yeoja-ku sendiri. Shin Hee… Bahkan sekarang aku tidak tahu di mana dia sekarang. Dia sudah pulang ke kota tempat tinggalnya, tapi aku sama sekali tidak bisa menghubunginya. Sebenarnya dia ada di mana sekarang?

Hyung…”

Kuubah posisiku yang tadinya berbaring menjadi duduk di atas tempat tidur. Aku yakin itu pasti Sungjin, dongsaeng-ku. Aku sangat hapal suaranya.

Ne? Ada apa? Kau menemukan tempat tinggal Shin Hee yang sekarang?” tanyaku antusias, berharap dongsaeng-ku itu akan menjawabnya dengan jawaban yang aku inginkan. “Sungjin-ah?” ucapku memanggil namanya saat ia hanya diam. Kugoyang-goyangkan lengannya agar dia segera menjawab pertanyaanku.

Mianhae, Hyung…” ucapnya penuh penyesalan.

Aku hanya diam dan mencoba menarik sudut bibirku yang terasa begitu beku untuk digerakkan. Aku sudah tahu maksud ucapannya. Ya, Shin Hee… Sulit sekali menemukan gadis itu.

“Aku belum bisa menemukan di mana Shin Hee-noona berada sekarang,” ucapnya lagi yang hanya kurespon dengan anggukan pelan.

Gwaenchana.”

“Tapi aku punya kabar baik yang lain, Hyung,” ucap Sungjin dengan nada bicara yang sangat berbeda dengan sebelumnya.

Mwo?”

“Kau akan segera bisa melihat lagi, Hyung. Ada orang yang mau mendonorkan matanya untukmu,” ujarnya bersemangat.

Jinjjayo?”

Ne!”

Kau dengar, Shin Hee? Aku akan segera bisa melihat dunia lagi! Jadi, kumohon… Tunggu sampai aku bisa menemukanmu dan membuktikan pada appa-mu bahwa aku adalah namja yang pantas untukmu.


****


“Kau tidak senang, Hyung?” tanya Sungjin saat melihatku yang hanya tertunduk lesu sambil mengaduk-aduk makanan yang sudah tersedia di depanku.

“Aku senang sudah bisa melihat lagi. Aku sangat senang,” jawabku sekenanya dengan tanganku yang masih mengaduk makanan.


“Lalu? Kenapa dengan wajahmu itu? Kau seperti tidak bersemangat,” tanyanya sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. “Shin Hee-noona, ne?” tebaknya.

Aku hanya mengangguk setelah beberapa detik sebelumnya sedikit tertegun mendengar tebakannya yang memang benar itu.

“Aku janji akan mencarinya untukmu, Hyung.”

Kuangkat wajahku agar bisa menatap dongsaeng yang selama ini selalu membantuku untuk mencari Shin Hee. Kulihat sudut bibirnya tertarik ke atas sehingga membentuk seulas senyuman. Senyuman yang selalu bisa menularkan semangatnya padaku.

Gomawo,” ucapku dengan sudut bibirku yang entah sejak kapan sudah membentuk sebuah lengkungan. “Jeongmal gomawo, Sungjin-ah.”

[Flashback end]

****


(Lee Sungmin POV)


“Terlambat, Hyung. Dia sudah pergi, jauh sekali.”

“Kanker darah.”

“Dan matamu yang sekarang adalah matanya, Hyung.”

“Dia… sangat mencintaimu, Hyung.”

Kata-kata itu terus berulang-ulang di dalam pikiranku sementara kedua kakiku terus melangkah di bukit hijau yang sepi dengan angin yang berhembus pelan, seolah-olah mendorongku untuk segera menemukan tempat yeoja yang kucintai berada. Pikiranku masih mencoba mencerna keadaan yang kualami saat ini. Ini… mimpi, kan?

Pertanyaan itu langsung terjawab saat mataku menangkap sebuah gundukan tanah dengan namanya yang tertulis rapi di batu nisannya. Di sana juga ada fotonya yang sedang tersenyum lebar. Senyuman yang kurindukan, dan senyuman itulah yang tidak kudapatkan di saat pertemuan terakhir kami.

Bodoh. Hanya kata itulah yang pantas kutujukan untuk diriku sendiri saat ini. Bagaimana bisa aku membiarkan yeoja-ku mengira aku sudah tidak mencintainya?

Kuamati tulisan namanya yang tertulis rapi.

Kang Shin Hee.
12 Januari 1986 – 4 April 2012.


4 April …
Shin Hee, kau ingat tanggal itu? Itu tanggal di mana kita seharusnya merayakan hari jadi kita yang ketiga tahun ini. Itu tanggal di mana kau dan aku resmi menjalin hubungan. Dan sekarang, itu adalah tanggal di saat kau meninggalkanku.

Shin Hee, kenapa aku bisa menjadi namja yang begitu bodoh? Kenapa bisa aku membiarkanmu berpikir bahwa aku sudah membuangmu? Kenapa kau lebih memilih untuk meninggalkanku?

Tanpa kusadari wajahku sudah penuh dengan air mata dan kedua tanganku yang meremas gundukan tanah yang ada di depanku. Aku begitu merindukannya. Dan kenapa di saat aku sudah menemukannya, dia malah sudah pergi meninggalkanku?

Shin Hee… Walaupun aku tidak bisa mencegahmu untuk pergi, tapi aku akan mencegah rasa ini pergi dari hatiku. Sampai kapanpun aku tidak akan melupakanmu, walaupun akan ada yeoja lain yang mengisi hidupku nanti. Tapi bagiku kau adalah yeoja-ku. Sampai kapanpun kau adalah yeoja-ku, sampai aku mati. Dan mata ini. Aku akan menjaga mata yang sudah kauberikan padaku. Walaupun aku tidak bisa menggunakan sisa-sisa hidupku untuk membahagiakanmu, tapi aku janji, aku akan menggunakan sisa-sisa hidupku untuk mengenang dan terus mencintaimu. Sampai kapanpun… sampai aku mati.


-END-


Thanks to:
-       Emi Yulianingrum to be my inspiration
-       Hendiana to be first reader for this story
-       Dhea Septyana Putri for the quotes ^^
-       And… FOR ELF AND SUPER JUNIOR, AND ALSO FOR READERS ^^

Gomawooooo~!!! \( ^,^ )/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar