YOU’RE
LIE
Author : Ifa
Raneza
Cast : Kang Shin
Hee, Lee Sungmin
Genre : Sad,
Romance, Angst
****
Lebih baik
kehilangan satu menit dalam hidup,
daripada harus
kehilangan hidup dalam satu menit.
(Dhea Septyana Putri)
****
Aku adalah gadis
yang paling menyedihkan di dunia ini.
____
(Kang Shin Hee
POV)
Break up. Hanya itu yang kupikirkan. Aku
ingin mengakhiri semua ini. Ya, semuanya. Semua yang terjadi di antara kami,
antara aku dan Lee Sungmin. Tapi masalahnya sekarang adalah… apa aku bisa
melakukan itu? Apa aku bisa hidup tanpa namja
itu? Apa aku bisa tetap menjadi diriku sendiri tanpa namja-ku itu? Namja-ku?
Bahkan aku tidak yakin dengan sebutan itu. Aku tidak yakin apa dia masih
menganggapku sebagai yeoja-nya.
Setengah
tahun. Selama itu ia terus bersikap seolah-olah aku tidak pernah ada. Itulah
yang membuat keraguanku semakin besar. Tapi dia juga terkadang datang
menghampiriku dan bersikap seperti Lee Sungmin yang kukenal, bersikap
seakan-akan tidak terjadi apa-apa sebelumnya. Dan itu yang membuat aku berpikir
ulang untuk pergi dari hidupnya. Dia… memang aktor yang baik. Dia bisa menjadi
dua orang yang berbeda di depanku, orang yang paling mengenalnya.
“Apa
aku pernah berkata bahwa aku sudah tidak mencintaimu lagi? Tidak pernah, kan?
Kalau begitu apa yang kau ragukan, Shin Hee?”
Itu
yang sering dikatakannya setiap kali aku tidak membalas senyumannya atau tidak
bicara padanya. Itu yang membuatku merasa yakin bahwa dia masih mencintaiku.
Tapi sekarang? Bohong jika kukatakan keyakinanku masih tetap sama. Aku sadar
dia sudah bukan Sungmin yang dulu, Sungmin yang kukenal. Aku sadar aku bukan yeoja yang pantas untuknya. Tapi bisakah
dia tidak menggantungkan aku seperti ini?
Tanpa
kabar darinya aku melewati waktu setengah tahun terakhir dengan harapan dia
akan kembali dan memanggilku dengan senyum aegyeo-nya
yang tampak menggemaskan. Ya, dia memang pergi ke luar kota untuk bekerja. Entah
sudah berapa ratus kali aku menghubunginya, tapi dia enggan menjawab teleponku.
Jika dia menjawabnya pun, dia tidak pernah berbicara lebih dari dua menit.
Sibuk, itu alasan yang selalu ia katakan padaku. Suaranya pun tak lagi sehangat
dulu, tak lagi selembut dulu. Suaranya dingin. Bahkan ia hanya menjawab
pertanyaanku seadanya dan tidak pernah menanyakan kabarku.
Bodoh.
Kalau gadis lain menjadi aku, pasti gadis itu sudah mengakhiri semua ini. Sudah
jelas bahwa dia sudah tidak mencintaiku seperti dulu. Tidak ada keraguan akan
hal itu. Tapi aku masih menunggumu, Lee Sungmin. Aku masih memegang
kata-katamu. Karena kau belum pernah berkata bahwa kau sudah tidak mencintaiku,
kan?
****
“Hei, Shin Hee.
Kau kenapa?”
“Aku tidak
apa-apa.”
“Jangan berbohong.
Kau kenapa? Ceritakan saja padaku.”
“Sungmin-ah, kau
tahu? Jaehyun baru saja dicampakkan pacarnya. Kasihan sekali dia.”
“Wae, Shin Hee?
Apa kau takut nasibmu akan sama seperti Jaehyun?”
“Eh, bukan begitu.
Maksudku…”
“Jangan bodoh,
Shin Hee. Aku tidak mungkin membuangmu seperti apa yang mantan pacar Jaehyun
lakukan padanya. Aku mencintaimu. Kau tahu, kan?”
“Ne.”
“Kau percaya
padaku, kan?”
“Ne, Sungmin. Aku
percaya padamu.”
****
Jantungku
berdegup kencang saat ini. Bagaimana tidak? Aku berhadapan langsung dengan
orang yang paling ingin kutemui. Ya, dia ada di sini, di depanku. Setelah
setengah tahun akhirnya aku bisa bertemu dengannya saat aku menghadiri salah
satu pameran di kota tempat tinggalnya. Tidak, aku tidak merencanakan semua
ini. Aku tidak sengaja bertemu dengannya.
“Apa
kabarmu?” tanyaku dengan menyembunyikan rasa senang yang membuncah dalam
dadaku.
“Cepat
katakan apa maumu,” ujarnya dingin, tanpa tersenyum sedikitpun padaku. Dia
menatapku tajam tepat pada kedua manik mataku.
Aku
hanya menelan ludahku yang terasa seperti batu. Menelan pil pahit yang tidak
pernah kuduga.
“Kenapa
kau tidak pernah menghubungiku, Oppa?”
tanyaku dengan suara yang sedikit serak, menyembunyikan rasa kecewa yang sudah
menyelinap masuk ke dalam dadaku dan menghapus rasa senang yang ada di sana.
“Harus
berapa kali kukatakan? Aku sibuk. Tidak bisakah kau mengerti itu?” jawabnya
dengan nada yang masih sama, dingin.
“Benar…”
gumamku dengan pandangan yang menunduk dan menarik sudut bibirku miris. Aku
tidak sanggup menatap sorot matanya yang begitu menusukku. Aku tidak sanggup
untuk itu.
“Jadi
apa lagi yang ingin kau katakan padaku?” tanyanya sambil menatapku jengah,
membuat rasa perih mulai terasa di beberapa persendian dan dalam dadaku.
Sakit,
rasanya sakit sekali melihat namjachingu-mu
tidak menginginkan kehadiranmu seperti ini. Dan aku adalah salah satu contoh
nyatanya.
“Kau
ingat tanggal 4 April 2010?” ucapku pelan, bahkan aku ragu dia masih bisa
mendengar suaraku.
Tampak
namja itu menaikkan sebelah alisnya,
bingung akan pertanyaanku atau … apa dia memang sudah melupakan tanggal itu?
“Kau
ingat… apa yang terjadi pada tanggal 4 April 2010?” tanyaku dengan kedua mataku
yang mulai memanas. Tuhan, tolong aku. Aku tidak mau menunjukkan kelemahanku
padanya. Kumohon, kuatkan aku.
“Apa
maksudmu?” tanyanya datar, seolah tanggal yang kusebutkan bukanlah tanggal yang
penting.
“Jadi
kau lupa?” ucapku lirih, dengan rasa kecewa yang semakin menjadi-jadi.
“Dengar,
Shin Hee. Aku sibuk, jadi…”
“Aku
bukanlah gadis yang kuat, Sungmin,” potongku, membuatnya sedikit tertegun
mendengarku tidak memanggilnya dengan sebutan Oppa seperti biasa.
Untuk
apa? Dia bukan Sungmin-ku yang dulu. Dia bukan Sungmin yang kukenal. Jadi untuk
apa aku memanggilnya Oppa? Untuk apa
aku berkata manis padanya lagi?
“Aku
juga bisa hancur saat kau mencoba untuk menghancurkanku.”
“Huh…”
Dia terkekeh. Ya, dia terkekeh mendengar ucapanku. Bukankah dia namja yang jahat untuk saat ini? “Omong
kosong.”
“Salah,”
kataku cepat, hampir memotong ucapannya. “Ucapanmu. Semua ucapanmu tentang
cinta adalah omong kosong, bukan ucapanku.”
“Hentikan,”
desisnya tajam, menambah rasa muakku padanya.
“Kau
pergi dan tidak mengabariku sama sekali. Berkata kau sibuk hingga tidak pernah
menanyakan kabarku. Dan sekarang…” Ucapanku terputus saat kurasakan sebulir
cairan hangat menuruni pipiku, air mata. Pertahananku runtuh. Aku menghembuskan
nafas pelan, mencoba mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan kalimatku.
“Sekarang kau seperti membuangku. Kau pikir… Kau pikir aku ini apa?” ucapku
dengan suara yang semakin pelan pada akhir kalimat.
“Menurutmu?”
tanyanya datar, membuatku menatapnya tak habis pikir. “Menurutmu kau itu apa?
Kenapa masih bertanya padaku?”
Aku
menundukkan kepalaku sebelum air mata yang jatuh dari pelupuk mataku semakin
deras. Aku tidak mau namja kejam ini
melihat kelemahanku lebih banyak lagi. Aku tidak mau terlihat menyedihkan di
depannya. Aku tidak mau… Aku tidak mau dia melihatku hancur. Aku ingin dia tahu
bahwa aku juga bisa hidup tanpanya.
Untuk
beberapa detik, kami hanyut dalam diam, sampai akhirnya aku memberanikan diriku
untuk mengeluarkan suara. Meskipun terdengar sedikit serak dan berat karena
dadaku sudah terasa terlalu sesak, aku tetap mengeluarkan suaraku, mengatakan
sesuatu padanya.
“Sungmin-ah,”
ucapku pelan dengan menyembunyikan wajahku yang sudah penuh dengan air mata. “Kapan
kau… akan melepaskanku?” tanyaku, berharap akan mendapatkan sanggahan dari namja di depanku ini.
Dia
hanya diam, tidak menjawab pertanyaanku, sementara rasa sakit terus menusuk
jantungku. Dengan keberanian yang ada, aku menguatkan hatiku untuk mengangkat
wajahku dan menatapnya. Dan apa yang kudapat? Kecewa. Ya, sesederhana itu,
namun dengan rasa sakit yang bertubi-tubi. Kulihat seorang Lee Sungmin dengan
santainya menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi sambil melipat tangannya
di depan dada.
“Sungmin-ah…”
“Aku
tidak pernah mengikatmu dengan ikatan apapun. Tidak pernah,” ucapnya dengan
sorot mata yang masih sama, terlalu menusuk. “Aku bukan suamimu, jadi untuk apa
aku mengekangmu?” tanyanya yang membuat tangisanku hampir semakin menjadi-jadi.
Aku
hanya mengangguk pelan, mengiyakan ucapannya yang memang benar adanya. Jadi
begitu, Sungmin? Hanya sebatas itu aku bagimu? Aku hanya yeoja yang kaucintai di saat kau ingin mencintai, dan yeoja yang kautinggalkan saat kau sudah
enggan untuk mencintai. Sederhana. Ternyata sesederhana itu aku di matamu. Sungmin,
apa aku bisa menyebutmu sebagai namja
paling kejam sedunia?
Tanpa
mengatakan sepatah kata pun, aku bangkit dari dudukku dan pergi dari
hadapannya. Sudah cukup semua yang kutahu. Sudah cukup. Keraguanku yang selama
ini terus menghantui hatiku berubah menjadi keyakinan yang sudah namja itu pertegas. Dia sudah tidak mencintaiku
lagi. Ya, benar. Dia sudah menjadi Lee Sungmin yang baru. Dia bukan Sungmin
yang hangat, dia bukan Sungmin yang penyayang. Dia yang sekarang adalah Sungmin
yang dingin dan kejam. Cinta… Apa ada orang yang membuang orang yang
dicintainya seperti ini?
“Aku bukan
suamimu, jadi untuk apa aku mengekangmu?”
Apa
kau lupa, Sungmin? Aku yeojachingu-mu.
Aku yeoja yang selalu memimpikan
bayangmu, aku yeoja yang selalu
tersenyum saat kau merasa bahagia. Apa kau lupa semuanya? Begitu cepatnya kah
kau melupakanku?
Pergi.
Ya, hanya itu jalan terbaik untukku dan juga untuknya. Lee Sungmin, selamat
tinggal. Aku tidak hanya akan pergi dari hadapanmu sekarang, tapi juga dari
hidupmu, dari bayang-bayangmu.
Dengan
pandangan yang semakin kabur karena terhalang air mata, aku terus melangkahkan
kakiku. Aku menangis dalam diam. Hatiku tersayat, sakit… sakit sekali.
Sampai-sampai aku lupa bagaimana caranya untuk mengatur nafasku yang mulai
terengah karena terus-terusan menangis. Lama kelamaan langkahku semakin pelan.
Hatiku semakin ragu saat kedua telingaku menangkap suara yang kukenal memanggil
namaku. Tidak. Aku tidak boleh berbalik atau menoleh ke belakang. Itu hanya
perasaanku saja. Ya, pasti hanya perasaanku saja. Jelas-jelas dia sudah
membuangmu, Shin Hee. Apa lagi yang kauharapkan?
Tanpa
memedulikan suara yang terus memanggilku, aku kembali melangkah pergi. Pergi
dari hidupnya. Pergi dari bayang-bayangnya. Sungmin, ternyata aku salah. Kau
bukan pria paling kejam sedunia, tapi aku adalah yeoja terbodoh sedunia yang mau percaya dengan kata-katamu dulu.
Terima kasih kau sudah menyadarkanku. Terima kasih… untuk semuanya. Lee
Sungmin, saranghae…
****
(Author POV)
Seorang
namja masuk ke dalam sebuah ruangan
kantor tanpa permisi atau sekedar mengetuk pintu terlebih dahulu. Tanpa
mengontrol emosinya yang sudah meledak-ledak, namja itu menghampiri seorang namja
yang sedang sibuk dengan pekerjaannya. Ia menarik kerah baju namja itu dan mendaratkan kepalan
tangannya tepat pada wajah namja itu.
“Apa
yang kaulakukan, Sungjin-ah?!” seru namja
itu sambil memegangi pipi kirinya yang terasa nyeri karena pukulan adiknya itu.
“Apa
yang kulakukan katamu?” desis namja
bernama Sungjin itu sambil menatap mata kakaknya dengan penuh amarah.
“Seharusnya aku yang bertanya padamu, Hyung!
Apa yang sudah kaulakukan pada Shin Hee-noona?!”
teriak Sungjin dengan dadanya yang naik turun karena menahan emosi.
“Mwo?” gumam Sungmin tak mengerti dengan
tatapan menuntut penjelasan.
“Jangan
pura-pura bodoh, Hyung. Kau sudah
menyakitinya. Kau sudah membuangnya!”
Sungmin
tertegun mendengar ucapan Sungjin. Ia tahu pasti ke mana ucapan adiknya itu
akan mengarah. Perlahan pikirannya kembali melayang pada ucapan Shin Hee sebulan
yang lalu sebelum pada akhirnya gadis itu tak lagi bisa dihubungi atau ditemui.
Ya, bodoh memang. Selama ini ia tidak pernah menghubungi yeojachingu-nya itu, bahkan ia enggan mengangkat telepon dari Shin
Hee. Tapi sekarang dia malah menghubungi gadis itu, dan hasilnya? Gadis itu
tidak bisa dihubungi. Ironis.
“Aku
tidak membuangnya,” ucap Sungmin pelan, membuat senyum sinis terukir dengan
sempurna di sudut bibir Sungjin.
“Menurutmu
tidak menghiraukan gadismu sendiri selama setengah tahun dan tidak
memedulikannya apa lagi kalau bukan membuangnya?” tanya Sungjin yang lebih
terdengar seperti pernyataan, bukan pertanyaan.
“Aku
tidak membuangnya, Lee Sungjin!” teriak Sungmin, tidak terima dengan pernyataan
Sungjin yang membuat hatinya terasa seperti teriris-iris.
“LALU
APA?! APA YANG KAULAKUKAN PADANYA HINGGA DIA MEMILIH UNTUK PERGI?!!” balas
Sungjin sambil mengguncang bahu Sungmin dengan kasar, membuat Sungmin sedikit terperangah
mendengarnya.
“Mwo?” ucapnya dengan tatapan tak
percaya. Kini tangannya berbalik memegang bahu Sungjin dan mengguncangnya
pelan. “Apa maksudmu? Pergi? Shin Hee pergi? Ke mana?” tanya Sungmin dengan
kedua tangannya yang semakin kasar mengguncang bahu Sungjin. “KE MANA?!!”
teriaknya, menuntut jawaban yang ia harapkan.
Sungjin
menatap mata kakaknya datar, menunjukkan kekecewaannya pada Sungmin.
“Dia
tidak akan kembali, Hyung,” ucapnya
pelan, bukan jawaban yang Sungmin inginkan.
“Ke
mana dia pergi?!” tanya Sungmin dengan nada yang semakin meninggi.
“Wae? Kau ingin menyusulnya? Kau ingin
datang ke hadapannya dan memohon padanya agar kembali?” tanya Sungjin dengan
senyum sinis yang kembali terukir di bibirnya. “Terlambat, Hyung. Dia sudah pergi, jauh sekali.” Sungjin menundukkan
kepalanya, mencoba menekan rasa sesak yang mulai terasa di dalam dadanya. “Dia…
pergi meninggalkan dunia,” lanjutnya yang langsung membuat kedua tangan Sungmin
melemas.
Tatapan
Sungmin tak lagi terfokus pada wajah adiknya, melainkan pada lantai yang sedang
ia pijak. Perlahan pandangannya mulai kabur karena cairan bening yang mulai
menggenangi pelupuk matanya. Jika saja tangannya tak bertumpu pada meja
kerjanya, Sungmin pasti sudah jatuh terduduk di lantai.
“Kanker
darah.”
Sungmin
mengangkat wajahnya saat mendengar dua kata itu keluar dari mulut Sungjin.
“Sebenarnya
itu masih bisa diobati, tapi dia lebih memilih pergi,” lanjut Sungjin dengan
nada yang penuh dengan penyesalan. Ia menatap wajah kakaknya yang sudah penuh
dengan air mata. Air mata? Percuma. Gadis itu sudah pergi. Air matanya tidak
akan berguna untuk saat ini. “Dan matamu yang sekarang adalah matanya, Hyung.”
Sungmin
kembali menatap Sungjin dengan tatapan bingung. Matanya?
“Mataku?”
ucapnya pelan.
“Ne,” jawab Sungjin singkat. “Kau ingat
kecelakaan yang kau alami sebulan yang lalu?” tanya Sungjin.
Sungmin
mengangguk pelan. Ia memejamkan kedua matanya dengan air mata yang semakin
deras menuruni pipi putihnya. Sakit. Ternyata sesakit ini yang Shin Hee rasakan
selama ini. Ah, tidak. Mungkin rasa sakit yang gadis itu rasakan melebihi apa
yang sekarang Sungmin rasakan.
“Dia
mendonorkan matanya untukmu sebelum ia pergi meninggalkan kita semua. Aku juga
baru tahu hal itu saat menemukan di mana makamnya,” kata Sungjin yang membuat
rasa sakit yang Sungmin rasakan semakin menjadi-jadi. “Dia… sangat mencintaimu,
Hyung.”
****
[Flashback]
(Lee Sungmin POV)
Aku
duduk di kursi café tepat di hadapan yeoja
yang selama enam bulan terakhir tidak pernah kutemui. Baik aku maupun dia tidak
bersuara sedikitpun selama beberapa menit, sampai akhirnya ia membuka suara.
“Apa
kabarmu?” tanyanya dengan senyum tipis yang masih sama seperti dulu, yang masih
sehangat dulu.
“Cepat
katakan apa maumu,” ujarku cepat tanpa mengatur nada bicaraku yang terdengar
begitu dingin.
Kulihat
lengkungan di bibirnya perlahan-lahan memudar. Kecewa, pasti itu yang ia
rasakan sekarang.
“Kenapa
kau tidak pernah menghubungiku, Oppa?”
tanyanya dengan suara yang sedikit serak.
“Harus
berapa kali kukatakan, Shin Hee? Aku sibuk. Tidak bisakah kau mengerti itu?”
jawabku dengan nada yang sama, dingin, membuatnya kembali menundukkan
pandangannya. Ia tak lagi berani menatap mataku.
“Benar…”
gumamnya.
“Jadi
apa lagi yang ingin kaukatakan padaku?” tanyaku yang seolah tidak rela
kehilangan waktu satu menit pun hanya untuk meladeninya.
Selama
beberapa detik dia hanya terdiam sambil menyembunyikan wajahnya dibalik rambut
hitamnya yang tergerai indah. Aku terus menatapnya, menunggunya untuk segera
mengeluarkan suaranya.
“Kau
ingat tanggal 4 April 2010?” tanyanya yang sontak membuat sebelah alisku
terangkat.
Aku
tidak menjawab pertanyaannya dan membuatnya kembali mengulangi pertanyaannya.
“Kau… ingat apa yang terjadi pada tanggal 4 April 2010?”
“Apa
maksudmu?” tanyaku datar tanpa memutuskan kontak mataku pada matanya.
“Jadi
kau lupa?” ucapnya lirih.
Bisa
kulihat rahangnya yang mengeras, seperti menahan amarah atau… tangis? Entahlah,
aku tidak tahu pasti. Yang pasti suara gadis itu tak lagi selembut tadi.
Suaranya serak dan terdengar bergetar, seakan tangisnya akan pecah begitu saja
saat satu kata keluar dari mulutku. Aku harus bagaimana sekarang? Haruskah aku
lanjutkan ini? Melanjutkan obrolan yang hanya akan membuatnya semakin
tersakiti? Shin Hee… Apa yang harus kulakukan?
“Dengar,
Shin Hee. Aku sibuk, jadi…”
“Aku
bukanlah gadis yang kuat, Sungmin,” potongnya sebelum kalimatku selesai. Aku
sedikit tertegun mendengar ucapannya. Sungmin? Dia memanggilku Sungmin? Dia
tidak lagi memanggilku dengan sebutan Oppa?
“Aku
juga bisa hancur saat kau mencoba untuk menghancurkanku,” ucapnya lagi dengan
suara yang semakin bergetar.
Menghancurkanmu?
Apa yang kau katakan, Shin Hee? Aku benar-benar tidak mengerti.
“Huh…”
Aku terkekeh. Kulihat raut wajahnya berubah saat mendengar kekehanku. Dia
menatapku tak percaya, seakan semua ucapannya hanya kuanggap sebagai angin
lalu. Apa lagi ini? Bagaimana mungkin aku bisa melihatmu hancur, Shin Hee?
Jangan mengatakan omong kosong. “Omong kosong,” ucapku.
“Salah,”
katanya cepat, hampir memotong ucapanku. “Ucapanmu. Semua ucapanmu tentang
cinta adalah omong kosong, bukan ucapanku,” lanjutnya yang langsung membuat
kedua mataku terbuka lebar.
“Hentikan,”
desisku tajam, membuat sudut bibirnya tertarik ke atas dan membentuk sebuah
seringai. Apa kau muak padaku sekarang, Shin Hee?
“Kau
pergi dan tidak mengabariku sama sekali. Berkata kau sibuk hingga tidak pernah
menanyakan kabarku. Dan sekarang…” Ucapannya terputus saat sebulir cairan
bening menuruni pipi putihnya.
Sekarang
bisa kurasakan hatiku seperti diiris saat melihat air matanya jatuh. Ya, dia
menangis. Gadisku itu menangis karenaku. Tuhan, apa yang harus kulakukan
sekarang?
“Sekarang
kau seperti membuangku. Kau pikir… Kau pikir aku ini apa?” ucapnya dengan suara
yang semakin pelan pada akhir kalimat.
“Menurutmu?”
tanyaku datar, tak habis pikir dengan pertanyaannya. Apa lagi? Kau itu gadisku,
Shin Hee! Gadisku! Apa kau lupa akan hal itu? “Menurutmu kau itu apa? Kenapa masih
bertanya padaku?”
Dia
menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya yang tidak pernah bosan untuk
kupandang. Untuk beberapa detik, kami hanyut dalam diam, sampai akhirnya dia
memberanikan dirinya untuk mengeluarkan suara.
“Sungmin-ah,”
ucapnya pelan dengan suara serak tanpa mau menatapku. “Kapan kau… akan
melepaskanku?” tanyanya yang lagi-lagi membuatku terperangah. Tidak rela. Ya,
aku tidak rela dengan semua ucapannya. Bagaimana mungkin dia berkata
seolah-olah aku tidak mencintainya?
Aku
hanya diam, tidak menjawab pertanyaannya yang juga tidak bisa kujawab. Shin
Hee, mianhae. Aku tidak mau
mengekangmu, tapi aku juga tidak akan pernah mau melepaskanmu. Ya, aku memang
egois. Tapi inilah aku, seorang Lee Sungmin yang sedang berusaha untuk menjadi namja yang pantas untukmu. Seorang Lee
Sungmin yang sedang kebingungan dengan keadaan.
Perlahan
tubuhku mundur hingga punggungku menyentuh sandaran kursi dan melipat kedua
tanganku di depan dada. Andai aku bisa, aku akan membawa gadis di depanku ini
pergi ke tempat yang hanya ada kami berdua tanpa ada seorang pun yang bisa
memisahkan atau menentang hubungan kami. Tapi pada kenyataannya aku hanya
seorang Lee Sungmin. Dan keadaan telah mendesakku yang lemah ini untuk
mengikuti alur cerita yang telah takdir buat.
Dengan
menyembunyikan detak jantung yang berpacu cepat dan nafas yang tidak berhembus
normal karena emosiku yang terguncang, aku mencoba tetap terlihat tenang di
depannya. Meskipun beberapa kali tampak aku menelan ludahku sendiri, tidak
tahan dengan situasi yang sedang kami hadapi.
“Sungmin-ah…”
“Aku
tidak pernah mengikatmu dengan ikatan apapun. Tidak pernah,” ucapku datar
sambil menatapnya tajam, seakan tidak rela dengan semua ucapannya padaku. “Aku
bukan suamimu, jadi untuk apa aku mengekangmu?” tanyaku lagi.
Dia
mengangguk pelan dan mencoba menarik sudut bibirnya membentuk lengkungan,
meskipun hal itu terlihat begitu berat baginya. Kemudian ia meraih tasnya yang
diletakkan di kursi yang ada di sebelahnya dan bangkit dari duduknya. Dan aku?
Aku hanya bisa diam sambil memandanginya yang hendak pergi itu. Ya, semenit pun
tidak akan kusia-siakan hanya untuk melihat wajahnya, wajah yang sangat
kurindukan selama setengah tahun terakhir. Tapi kini wajah itu sudah basah
dengan air mata dan tak seputih dulu, karena kini wajahnya sudah memerah. Dan
semua itu karena aku.
Dia
berjalan melewatiku yang masih duduk mematung, bingung dengan apa yang harus
kulakukan. Detik-detik berlalu begitu saja dengan aku yang masih tidak bergerak
sedikit pun. Perlahan aku memejamkan mataku, mencoba menguatkan hatiku untuk
kembali berhadapan dengan gadisku itu. Aku menoleh ke belakang dan mendapati
dia yang sudah keluar dari café.
Menahannya.
Itu yang paling ingin kulakukan sekarang. Tidak ada waktu lagi. Aku harus
mengejarnya. Aku tidak mau kehilangan dia. Sedikit pun aku tidak akan
melepaskannya.
Aku
bangkit dari tempat dudukku dan setengah berlari keluar café, hendak
mengejarnya. Tapi terlambat, dia sudah menyeberang jalanan yang ramai dengan
kendaraan dan para pejalan kaki, membuatku kesulitan untuk mengejarnya.
“Shin
Hee!” teriakku, berharap langkahnya akan terhenti dan dia akan berbalik untuk
menatapku.
Langkahnya
berhenti, tapi dia masih belum berbalik. Di saat aku berharap dia akan
berbalik, harapan itu langsung pupus begitu kulihat gadis itu kembali
melangkahkan kakinya dengan langkah yang lebih cepat dan lebar.
“Shin
Hee-ya! Shin Hee-ya!!” teriakku tak tertahankan. Aku tidak peduli berapa banyak
orang yang mengataiku gila karena berteriak memanggil-manggil orang yang tidak
akan pernah menoleh padaku itu.
Tidak
kehabisan akal, aku segera berlari ke arah mobilku yang terparkir di depan
café. Dengan cepat dan tanpa mengenakan sabuk pengaman terlebih dahulu, segera
kunyalakan mesin mobil dan menginjak gas dalam-dalam. Sedikitpun aku tidak akan
pernah melepaskannya. Dia gadisku, gadisku seorang. Aku tidak mau kehilangan
waktu walau hanya semenit pun untuk bisa bersamanya, bersama yeoja yang selama dua tahun terakhir
selalu mengisi ruang hatiku.
Langit
mendung mulai menurunkan titik-titik hujan, membuatku menggerutu karena hujan
akan membuatku kesulitan untuk mencari sosoknya di tengah pejalan-pejalan kaki
yang sudah berlarian. Akhirnya hujan deras turun, membuat jalanan menjadi licin
dan membuatku semakin kesulitan mencari sosok gadis itu.
Hujan
yang semakin deras dan jalanan yang licin menjadi aspek pendukung untuk membuat
mobilku tergelincir. Ban mobilku tak lagi mampu menahan licinnya jalanan,
ditambah lagi kecepatan mobilku yang seperti orang kesetanan langsung membuatku
kelimpungan untuk mengontrol mobil. Alhasil ketika kulihat ada sebuah mobil
lain di depanku, aku langsung membanting setir dan mobilku pun menabrak sebuah
pohon yang cukup besar. Hal itu membuat kaca depan mobilku pecah. Sontak aku
memejamkan kedua mataku saat kurasakan sesuatu yang masuk ke dalam mataku.
Sakit. Itu yang kurasakan pada tubuh dan hatiku. Hatiku sakit sekali.
Dengan
orang-orang yang semakin ramai mengerumuni mobilku yang sudah menabrak sebuah
pohon, kesadaranku mulai menurun dan aku tidak tahu lagi apa yang terjadi
padaku selanjutnya.
Lebih baik
kehilangan satu menit dalam hidup,
daripada harus
kehilangan hidup dalam satu menit.
(Dhea Septyana Putri)
****
Hampir
dua minggu ini, duniaku menggelap. Pandanganku tak lagi seperti dulu. Ya, aku
buta akibat beberapa serpihan kaca yang masuk ke dalam mataku. Terlebih lagi
Shin Hee yang sama sekali tak bisa kuhubungi. Gadis itu sudah memilih untuk
pergi dari kehidupanku. Dia… sudah membenciku. Sekarang aku tidak lagi bisa
berharap apapun. Gadisku sudah pergi dan duniaku sudah gelap. Aku memang bukan namja yang pantas untuknya, terlebih
lagi dengan kondisiku yang sekarang.
__
“Ahjussi, aku
mencintai putrimu.”
“Kau mencintai
anakku?”
“Ne, Ahjussi. Aku
mencintai Kang Shin Hee seperti aku melebihi nyawaku sendiri, dan aku berjanji
akan membuatnya bahagia.”
“Kalau begitu
buktikan. Buktikan padaku bahwa kau adalah namja yang pantas menjadi pendamping
hidup anakku. Buktikan bahwa kau bukan seorang namja rendah yang hanya bisa
menjanjikan cinta pada anakku. Buktikan itu.”
“Baik. Aku akan
membuktikan padamu bahwa aku adalah namja yang pantas dan bisa membahagiakan
putrimu.”
“Jangan kembali
sampai kau bisa membuktikan semua itu padaku.”
“Arraseo.”
__
“Mwo? Kau akan
pindah ke luar kota?”
“Ne, aku akan
pindah ke luar kota. Aku ingin mengejar cita-citaku di sana.”
“Sungmin-oppa… Apa
kau serius? Kau serius ingin meninggalkanku di sini?”
“Shin Hee-ah…Bukan
begitu. Aku akan kembali saat aku rasa aku sudah bisa menjadi namja yang baik
untukmu. Ingat, Shin Hee. Aku tidak akan pernah berpaling darimu. Aku janji.”
“Jeongmal? Kau
janji?”
“Ne, aku janji.
Ah, tidak… Aku bersumpah tidak akan pernah berpaling darimu. Kau percaya
padaku, kan?”
“Ne, Oppa. Aku
percaya padamu.”
__
4
April 2010… Mana mungkin aku bisa melupakan tanggal itu. Itu tanggal saat Shin
Hee menjadi milikku, saat dia menjadi gadisku, gadisku seorang. Itu adalah hari
di mana aku merasa menjadi namja
paling beruntung di dunia, namja paling bahagia di dunia karena aku
bisa menjadi kekasih seorang Kang Shin Hee yang menurutku begitu sempurna.
Senyumnya, tatapannya, sentuhannya… semuanya. Semuanya tampak begitu sempurna
di mataku. Tuhan telah menciptakan seorang yeoja
yang mampu membuat semua namja
berdecak kagum akan kesempurnaan ciptaannya, termasuk aku.
Tapi
sekarang aku bukanlah namja yang
pantas untuknya dengan kondisiku seperti ini. Tidak peduli sekeras apa usahaku
selama setengah tahun ini untuk membuktikan janjiku pada ayah Shin Hee, Kang ahjussi. Pada akhirnya aku adalah
seorang namja buta yang bahkan tidak
bisa menahan kepergian yeoja-ku
sendiri. Shin Hee… Bahkan sekarang aku tidak tahu di mana dia sekarang. Dia
sudah pulang ke kota tempat tinggalnya, tapi aku sama sekali tidak bisa
menghubunginya. Sebenarnya dia ada di mana sekarang?
“Hyung…”
Kuubah
posisiku yang tadinya berbaring menjadi duduk di atas tempat tidur. Aku yakin
itu pasti Sungjin, dongsaeng-ku. Aku
sangat hapal suaranya.
“Ne? Ada apa? Kau menemukan tempat
tinggal Shin Hee yang sekarang?” tanyaku antusias, berharap dongsaeng-ku itu akan menjawabnya dengan
jawaban yang aku inginkan. “Sungjin-ah?” ucapku memanggil namanya saat ia hanya
diam. Kugoyang-goyangkan lengannya agar dia segera menjawab pertanyaanku.
“Mianhae, Hyung…” ucapnya penuh penyesalan.
Aku
hanya diam dan mencoba menarik sudut bibirku yang terasa begitu beku untuk
digerakkan. Aku sudah tahu maksud ucapannya. Ya, Shin Hee… Sulit sekali
menemukan gadis itu.
“Aku
belum bisa menemukan di mana Shin Hee-noona
berada sekarang,” ucapnya lagi yang hanya kurespon dengan anggukan pelan.
“Gwaenchana.”
“Tapi
aku punya kabar baik yang lain, Hyung,”
ucap Sungjin dengan nada bicara yang sangat berbeda dengan sebelumnya.
“Mwo?”
“Kau
akan segera bisa melihat lagi, Hyung.
Ada orang yang mau mendonorkan matanya untukmu,” ujarnya bersemangat.
“Jinjjayo?”
“Ne!”
Kau
dengar, Shin Hee? Aku akan segera bisa melihat dunia lagi! Jadi, kumohon…
Tunggu sampai aku bisa menemukanmu dan membuktikan pada appa-mu bahwa aku adalah namja
yang pantas untukmu.
****
“Kau
tidak senang, Hyung?” tanya Sungjin
saat melihatku yang hanya tertunduk lesu sambil mengaduk-aduk makanan yang
sudah tersedia di depanku.
“Aku
senang sudah bisa melihat lagi. Aku sangat senang,” jawabku sekenanya dengan
tanganku yang masih mengaduk makanan.
“Lalu? Kenapa dengan wajahmu itu? Kau seperti tidak bersemangat,” tanyanya sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. “Shin Hee-noona, ne?” tebaknya.
Aku
hanya mengangguk setelah beberapa detik sebelumnya sedikit tertegun mendengar tebakannya
yang memang benar itu.
“Aku
janji akan mencarinya untukmu, Hyung.”
Kuangkat
wajahku agar bisa menatap dongsaeng
yang selama ini selalu membantuku untuk mencari Shin Hee. Kulihat sudut
bibirnya tertarik ke atas sehingga membentuk seulas senyuman. Senyuman yang
selalu bisa menularkan semangatnya padaku.
“Gomawo,” ucapku dengan sudut bibirku
yang entah sejak kapan sudah membentuk sebuah lengkungan. “Jeongmal gomawo, Sungjin-ah.”
[Flashback end]
****
(Lee Sungmin POV)
“Terlambat, Hyung.
Dia sudah pergi, jauh sekali.”
“Kanker darah.”
“Dan matamu yang
sekarang adalah matanya, Hyung.”
“Dia… sangat
mencintaimu, Hyung.”
Kata-kata
itu terus berulang-ulang di dalam pikiranku sementara kedua kakiku terus
melangkah di bukit hijau yang sepi dengan angin yang berhembus pelan,
seolah-olah mendorongku untuk segera menemukan tempat yeoja yang kucintai berada. Pikiranku masih mencoba mencerna
keadaan yang kualami saat ini. Ini… mimpi, kan?
Pertanyaan
itu langsung terjawab saat mataku menangkap sebuah gundukan tanah dengan
namanya yang tertulis rapi di batu nisannya. Di sana juga ada fotonya yang
sedang tersenyum lebar. Senyuman yang kurindukan, dan senyuman itulah yang
tidak kudapatkan di saat pertemuan terakhir kami.
Bodoh.
Hanya kata itulah yang pantas kutujukan untuk diriku sendiri saat ini.
Bagaimana bisa aku membiarkan yeoja-ku
mengira aku sudah tidak mencintainya?
Kuamati
tulisan namanya yang tertulis rapi.
Kang Shin Hee.
12 Januari 1986 –
4 April 2012.
4
April …
Shin
Hee, kau ingat tanggal itu? Itu tanggal di mana kita seharusnya merayakan hari
jadi kita yang ketiga tahun ini. Itu tanggal di mana kau dan aku resmi menjalin
hubungan. Dan sekarang, itu adalah tanggal di saat kau meninggalkanku.
Shin
Hee, kenapa aku bisa menjadi namja
yang begitu bodoh? Kenapa bisa aku membiarkanmu berpikir bahwa aku sudah
membuangmu? Kenapa kau lebih memilih untuk meninggalkanku?
Tanpa
kusadari wajahku sudah penuh dengan air mata dan kedua tanganku yang meremas
gundukan tanah yang ada di depanku. Aku begitu merindukannya. Dan kenapa di
saat aku sudah menemukannya, dia malah sudah pergi meninggalkanku?
Shin
Hee… Walaupun aku tidak bisa mencegahmu untuk pergi, tapi aku akan mencegah
rasa ini pergi dari hatiku. Sampai kapanpun aku tidak akan melupakanmu, walaupun
akan ada yeoja lain yang mengisi
hidupku nanti. Tapi bagiku kau adalah yeoja-ku.
Sampai kapanpun kau adalah yeoja-ku,
sampai aku mati. Dan mata ini. Aku akan menjaga mata yang sudah kauberikan
padaku. Walaupun aku tidak bisa menggunakan sisa-sisa hidupku untuk
membahagiakanmu, tapi aku janji, aku akan menggunakan sisa-sisa hidupku untuk
mengenang dan terus mencintaimu. Sampai kapanpun… sampai aku mati.
-END-
Thanks
to:
-
Emi
Yulianingrum to be my inspiration
-
Hendiana
to be first reader for this story
-
Dhea
Septyana Putri for the quotes ^^
-
And…
FOR ELF AND SUPER JUNIOR, AND ALSO FOR READERS ^^
Gomawooooo~!!!
\( ^,^ )/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar