Rabu, 23 Mei 2012

I'm Sorry Oppa (Part 6)

Annyeooong! Baru bikin foto buat FF ini hehe xD *plaaak* yaudah deh, silakan dibaca yaa :D









Author      : Ifa

Cast          : Yesung a.k.a Kim Jong Woon , Park Hye Mi

Genre       : Romance
***************
Sudah hampir setengah tahun Hye Mi dan Sungmin bertunangan, dan dua bulan lagi mereka akan segera menikah. Tapi selama itu pula, Hye Mi merasa ada yang hilang dari hatinya. Seperti puzzle, ia merasa ada satu kepingan yang hilang.
Sekarang yeoja itu sudah menjadi mahasiswi di fakultas kedokteran, sedangkan Sungmin memilih bisnis dengan dorongan dari ayahnya. Meski mereka kuliah di kampus yang sama, tapi Hye Mi jarang bertemu dengan orang itu. Malah hampir tidak pernah. Ya, orang itu. Siapa lagi kalau bukan Kim Jong Woon.

Sejak setengah tahun yang lalu, Jong Woon menghindari Hye Mi, gadis yang sudah meracuni pikirannya. Gadis yang sudah  berhasil membuatnya kehilangan separuh jiwanya, gadis yang menjadi kunci keselarasan hidupnya. Dan selama itu pula, kehidupan Jong Woon seperti tidak beraturan.
Jika bukan karena Jung Soo, mungkin sekarang Kim Jong Woon hanya tinggal nama. Ya, semenjak tahu Jong Woon sudah berubah menjadi namja setengah gila, Jung Soo selalu mengunjunginya di apartemennya. Ia yang menyemangati Jong Woon untuk terus melanjutkan hidupnya, dan perlahan membantu Jong Woon untuk melupakan adik sepupunya itu walaupun ia tahu bahwa itu hal yang mustahil.

Kembali lagi pada Hye Mi. Pertunangannya dengan Sungmin telah menyelamatkan bisnis ayahnya. Ayah dan ibunya kembali ke luar negeri untuk melanjutkan pekerjaan ayahnya. Sebagai tunangan yang baik, Sungmin berinisiatif untuk menginap di rumah Hye Mi. Ah tidak… mungkin lebih tepat disebut tinggal. Karena dalam seminggu Sungmin menginap di rumah Hye Mi lebih dari tiga kali. Alasannya? Ia mengaku takut terjadi apa-apa pada Hye Mi. Tapi Hye Mi tahu bahwa namja ini hanya ingin dekat dengannya.

****

Hye Mi masuk ke dalam kamar Sungminyang… sangat berantakan. Bagaimana bisa namja ini membuat salah satu kamar di rumah Hye Mi menjadi seperti kapal pecah? Padahal rasanya baru kemarin Hye Mi membersihkannya saat Sungmin pulang untuk mengambil baju ganti. Ia melangkahkan kakinya dengan hati-hati melewati buku-buku yang berserakan di lantai menuju tempat tidur, takut-takut langkahnya dapat membuat Sungmin terbangun.

Setelah berhasil sampai di samping tempat tidur, perlahan diguncangnya pundak Sungmin yang membelakanginya. Tidak berhasil. Sekali lagi diguncangnya pundak namja itu hingga posisi tubuhnya berubah menjadi terlentang. Masih belum berhasil. Oh tidak, apakah begini cara Sungmin tidur? Bagaimana caranya membangunkan orang ini?
Hye Mi masih mengguncang pundak Sungmin. “Ya, Lee Sung Min! Ayo bangun!”
Sungmin menggeliat dan mengerang pelan, namun kedua matanya itu masih tertutup. “Omma-ya, bangunkan aku setengah jam lagi!” ujarnya seraya membetulkan posisi tidurnya dan kembali memeluk guling.
Hye Mi terkekeh pelan. “Sungmin-oppa, apa aku terlihat seperti ibumu?” tanya Hye Mi.
Sungmin membuka matanya perlahan. Setelah kedua matanya terbuka dengan sempurna, ia menggosok-gosok kedua matanya. “Hye Mi?”
“Ya, aku. Memangnya siapa lagi yang ada di rumah ini selain aku?” sahut Hye Mi seraya mengambil buku-buku yang berserakan di lantai satu persatu. “Aigoo! Bagaimana bisa kau membuat kamar ini menjadi berantakan begini selama semalam?” omel Hye Mi sambil terus memunguti buku-buku itu. “Seperti kapal pecah!”
“Hey, jangan memarahiku seperti itu. Aku jadi ingat ibuku,” ujar Sungmin membuat Hye Mi menoleh ke arahnya dan memasang tatapan evil. Lalu yeoja itu kembali membereskan buku-buku yang berserakan di lantai. “Lagipula… jam berapa ini? Aigoo, ini baru jam enam!”
“Memangnya kau mau bangun jam berapa, hah? Astaga, aku baru sadar kau ini pemalas.”

Hye Mi menyusun buku-buku tersebut di meja sehingga kamar itu sudah terlihat lebih rapi sekarang. Baru saja hendak meraih engsel pintu, tangannya sudah ditarik Sungmin.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Hye Mi gugup saat sadar tubuhnya dan tubuh Sungmin hanya berjarak beberapa centi.
“Apa tidak boleh? Bukankah ini yang biasa kita lakukan?” kata Sungmin balik bertanya. Perlahan kedua tangannya melingkar di tubuh Hye Mi.
“Hmm… ya.” Sebelah tangan Hye Mi menyentuh punggung Sungmin pelan.
“Kau kira aku mau apa?” tanya Sungmin sambil terus memeluk Hye Mi.
“Ah… ani.”
“Atau kau kira aku akan melakukan sesuatu padamu?”
“Wajahmu sedikit yadong tadi.”
Sungmin terkekeh. Ia melepas pelukannya dan keluar dari kamar itu. Sebelum menutup pintu, dia menoleh pada Hye Mi dan berkata, “Kurasa kalau kau berpikiran begitu, kaulah yang lebih pantas disebut yadong.” Ia menutup pintu dan berjalan menuju kamar mandi sambil memperdengarkan suara tawanya.

Hye Mi duduk di tepi tempat tidur sambil memijit kepalanya. Ternyata begini rasanya begadang semalaman. Ini adalah pertama kalinya Hye Mi begadang selama hidupnya. Kalau bukan karena tugas yang hampir segunung itu, ia tidak akan menahan sakit kepala yang luar biasa ini. Ahh… Dosen itu benar-benar ingin membunuh mahasiswanya. Setelah kepalanya sudah sedikit membaik, gadis itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar. Di sini. Di sini tempat di mana ia biasa membangunkan Sungmin selama beberapa bulan terakhir.
Ia ingat pertama kali ia membangunkan Sungmin, dan pertama kali namja itu memeluknya di kamar ini. Dan sejak saat itu, setiap pagi Hye Mi selalu membangunkan Sungmin dan menyambut pelukannya–––walaupun tidak dengan sepenuh hati. Perlahan hatinya mulai bisa menerima Sungmin, tapi tetap saja hatinya sudah terkunci oleh Jong Woon. Sungmin berada di ruang hatinya yang lain. Ruang untuk menempatkan cintanya yang baru. Cinta? Bahkan ia sendiri tidak yakin ini adalah cinta. Ini hanya perasaan sayang. Ya… Hanya sayang.

Lamunan Hye Mi buyar ketika mendengar suara pintu terbuka. Ia menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Sungmin yang sedang berdiri sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk dan menatapnya heran.
“Kau masih di sini?” tanya Sungmin. “Kupikir kau ada di kamarmu.”
“Ah, ani. Aku masih membereskan kamarmu tadi,” elak Hye Mi.
Arraseo… Kalau begitu biarkan aku mengganti bajuku.”
Hye Mi beranjak dan keluar dari kamar itu. Masa lalu… masa lalunya terlalu panjang untuk ia ingat kembali. Ia menggeleng. Tidak… tidak… sekarang bukan waktunya untuk mengingat masa lalu.  Sekarang waktunya untuk melanjutkan kehidupannya.
****

Jong Woon terbangun oleh suara bel pintu yang sedari tadi terus berbunyi. Ia mengerang dan menggeliat di sofa. Lagi-lagi ia tertidur di sofa dengan beberapa buku yang masih terbuka di atas meja di dekatnya. Ia memicingkan matanya mencoba untuk melihat jam berapa sekarang. “Siapa yang datang pagi-pagi begini?” gumamnya pada dirinya sendiri. Kini suara bel itu berubah menjadi suara ketukan pintu. “Ya! Tunggu sebentar!” teriak Jong Woon sambil berjalan ke arah pintu dan menggosok matanya. “Tidak bisakah kau sabar sebentar?!” teriaknya lagi ketika mendengar suara ketukan pintu makin keras, hingga ia merasa pintu itu hampir roboh.

“Ya!” teriak Jong Woon ketika membuka pintu. Ia mendapati Jung Soo sedang berdiri di depan pintunya dengan tampang tak berdosa. “Kurang pagi,” sindir Jong Woon mengingat ini baru jam enam pagi.
“Kenapa lama sekali membuka pintu?” tanya Jung Soo sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen Jong Woon tanpa dipersilahkan. “Kau begadang lagi?” tanya Jung Soo setelah melihat buku-buku yang tergeletak sembarang di atas meja.
“Menurutmu?” Jong Woon menghempaskan tubuhnya di sofa dengan kedua tangannya yang direntangkan.
“Mau sampai kapan kau begini terus? Kau mau jatuh sakit, hah?” omel Jung Soo seraya membuka kulkas dan mengambil sebotol minuman.
“Lama-lama kau semakin mirip dengan ibuku,” sindir Jong Woon acuh tak acuh.

Namja bernama Park Jung Soo itu duduk di sofa yang berada tepat di depan Jong Woon sambil meneguk minuman yang ada di tangannya.
“Aku bingung bagaimana kau menghabiskan waktumu selama setengah tahun terakhir seperti ini,” ujar Jung Soo sambil menatap temannya itu dalam.
“Tapi buktinya sampai sekarang pun aku masih seperti ini, kan?”
“Sampai kapan kau mau seperti ini? Sampai kapan kau tahan?”
“Berhenti menceramahiku!” seru Jong Woon membuat Jung Soo tersentak. “Sebenarnya aku sudah tidak tahan dengan semua ini! Aku benci ini! Kenapa… kenapa….”
“Jong Woon-ah, kau tidak bisa seperti ini terus. Kau harus melupa…”
“Kenapa kau terus mendorongku untuk melupakan dia?” tanya Jong Woon memotong ucapan Jung Soo. Nada bicaranya mulai turun, namun masih ada sedikit nada dingin di dalam suaranya. “Sementara kau sendiri tahu bahwa hal itu tidak mungkin terjadi.”
Jung Soo menelan ludah. Tenggorokannya seperti tercekat mendengar nada bicara namja di depannya itu. Ia menghela napas beratnya, mencoba untuk mencairkan suasana panas yang dirasakannya. “Apa yang akan kau lakukan hari ini?” tanyanya mengingat hari ini adalah hari libur.
“Entahlah,” jawab Jong Woon sambil mengangkat kedua bahunya.
“Temani aku jalan-jalan.”
“Yaks!” Jong Woon menatap Jung Soo dengan pandangan menolak. “Kau pikir aku yeojachingu-mu?!”
“Kau mau membusuk di apartemen ini?” ujar Jung Soo dengan nada datar namun berhasil membuat Jong Woon menyetujui ajakannya itu.
Arra arra. Aku mandi dulu.”
****

Jong Woon melangkahkan kakinya dengan malas mengikuti langkah Jung Soo yang sedari tadi bolak-balik di hadapannya. Dari rak sepatu, lalu ke meja kasir. Setelah itu, pandangannya kembali tertuju pada pakaian-pakaian yang sedang menggantung, dan tak lama kemudian kembali lagi ke kasir. Begitu seterusnya sampai ia tidak lagi tertarik untuk membeli barang di toko itu. Jong Woon sudah benar-benar merasa seperti ‘kekasih’ Jung Soo sekarang. Bagaimana tidak? Sejak tadi ia hanya mengikuti Jung Soo ke toko buku dan sekarang… ke toko baju?! Apa dia sudah tidak waras atau… jangan-jangan Park Jung Soo menderita depresi karena tidak pernah pacaran? Jong Woon terus mengumpulkan pertanyaan aneh di dalam pikirannya tentang Jung Soo.
“Hey, Jong Woon-ah! Ayo kita keluar, aku sudah selesai,” ujar Jung Soo tiba-tiba.
“Aiissh, kau ini! Kau benar-benar membuatku merasa seperti pacarmu, kau tahu?” ujar Jong Woon kesal.
Jung Soo tidak mempedulikan ucapan Jong Woon. Ia terus melangkah diikuti Jong Woon dari belakangnya. Hingga akhirnya langkahnya terhenti di sebuah taman.

“Taman?” tanya Jong Woon.
“Mm… wae?” Jung Soo balik bertanya.
“Ah, aniya.” Jong Woon mengikuti Jung Soo yang duduk di kursi panjang.
Ia memutar kembali memorinya. Di sini, tempat di mana ia biasa menghabiskan waktunya bersama yeoja itu. Tempat pertama kali ia mengajaknya pergi hanya untuk menghabiskan waktunya. Pertama kali ia mengambil gambar yeoja itu yang hingga kini masih di simpannya. Ia mengambil ponselnya yang ada di dalam sakunya dan membuka flapnya. Kemudian dia membuka sebuah folder dan menemukan satu file gambar. Gerakan jarinya terhenti. Ia ragu untuk membuka file itu. Ia ragu, jika ia melihatnya lagi, apa dia bisa menghentikan sesak di dadanya? Menghentikan rasa sakit yang tak kunjung sembuh itu? Apa dia akan tahan jika rasa sakit itu makin menjadi-jadi? Apa dia bisa? Tidak… ia ragu ia bisa melakukannya. Ia menutup flap ponselnya dan memasukkannya kembali ke dalam saku celananya. Ia menoleh ke arah kanannya. Ia bahkan tidak menyadari Jung Soo sudah pergi meninggalkannya sedari tadi. Ia terlalu asyik memutar memorinya. Memori yang manis dan pedih.

BRUK!
Jong Woon menoleh dan mendapati seorang anak kecil yang terjatuh tak jauh dari tempatnya duduk. Ia menghampiri anak kecil yang sedang menangis itu.
Gwenchanayo?” tanya Jong Woon seraya berjongkok untuk menyamai tinggi badan mereka.
“Mm… gwenchana. Tapi… balonku….” jawab anak kecil itu di sela tangisnya. Ia menengadahkan kepalanya menatap balon yang sudah terbang tinggi dan kemudian hilang dari pandangannya. “Terlepas saat aku terjatuh tadi.” Ia kembali menangis.
“Sudah... Yeoja yang manis tidak boleh menangis,” ujar Jong Woon seraya mengelus puncak kepala anak itu pelan dan tersenyum.
Gwenchanayo?”
Jong Woon menoleh pada sumber suara. Dan sedetik kemudian ia ingin dunia menelannya saat itu juga.
****

Hye Mi mungkin akan mati kebosanan di rumahnya jika Song Eun tidak mengajaknya pergi selagi temannya itu mengasuh keponakannya yang masih berusia empat tahun.
“Taman?” tanya Hye Mi saat mereka bertiga sampai di sebuah taman. Taman yang dipenuhi dengan kenangan yang manis… dan juga menyakitkan.
“Memangnya kita harus membawa Ri Ah ke mana?” Song Eun balik bertanya sembari memerhatikan anak yang sedang digendongnya itu. Ya, itu Jung Ri Ah, anak dari kakak Song Eun. “Memangnya kenapa?” tanya Song Eun lagi membuat Hye Mi yang sedari tadi melamunkan kenangannya tersentak.
“Ah, aniya….”
Immo, aku ingin main ke sana,” ujar Ri Ah seraya menggoyangkan kedua kakinya pelan meminta untuk diturunkan dari gendongan.
“Baiklah, tapi jangan terlalu jauh. Dan jaga balonmu jangan sampai terlepas,” sahut Song Eun sembari menurunkan anak di gendongannya itu.
“Kau sudah cocok menjadi omma-nya, Song Eun,” ledek Hye Mi.
“Ahh, bukankah kau yang akan menikah sebentar lagi, Hye Mi?”
“Ahh, Song Eun.” Hye Mi menunduk. Ia malu.

Setelah beberapa menit, Ri Ah belum kembali. Song Eun menjadi khawatir dibuatnya.
“Ke mana anak itu? Kalau terjadi apa-apa padanya, aku bisa dibunuh eonni-ku!” ujar Song Eun panik.
“Biar aku yang mencarinya. Kau tunggu di sini saja,” kata Hye Mi.
“Maaf merepotkanmu, Hye Mi-ah,” ujar Song Eun yang hanya direspon dengan anggukan dari Hye Mi.

Hye Mi melangkahkan kakinya sambil mengedarkan pandangannya untuk mencari Ri Ah. Sesekali yeoja itu memanggil nama anak itu. Tak lama kemudian, pandangannya tertuju pada anak kecil yang sedang menangis dan pria yang mengelus kepala anak itu lembut. Ia menghampiri anak itu dan mulai membuka suaranya.
Gwenchanayo?” tanyanya. Namun napasnya seperti tercekat ketika melihat siapa namja yang bersama anak itu.
Dilihatnya namja itu juga membelalakkan mata.  Ingin sekali kakinya berlari menghindari namja ini, tapi kakinya seperti mati rasa. Ia hanya bisa berdiri mematung dengan mata yang terbelalak dan mulut yang sedikit terbuka.
“Park Hye Mi?” ucap namja itu.
Sudah lama sekali ia tidak mendengar suara itu, dan sekarang pemilik suara itu berdiri di hadapannya dan menyebut namanya.
“Ri Ah, ke mana saja kau? Imo-mu sedang mengkhawatirkanmu. Kajja,” ujar Hye Mi pada Ri Ah yang sudah bisa berdiri.

Anak itu pergi dengan setengah berlari sehingga Hye Mi hampir tertinggal jauh. Hye Mi melangkahkan kakinya dengan cepat seperti hendak berlari. Tapi langkahnya terhenti ketika namja itu meraih pergelangan tangannya. Hye Mi meronta untuk melepaskan tangan namja itu yang mencengkeram kuat tangannya.
“Lepaskan!” seru Hye Mi walau suaranya hampir seperti memohon.
Andwae,” jawab namja itu dingin.

Jong Woon tidak mengalihkan pandangannya dari Hye Mi. Tatapannya tajam. Kerinduannya telah mengalahkan akal sehat dan perasaannya. Jika kemarin ia menghindari gadis ini dengan alasan tidak ingin hatinya makin terluka, kini ia sangat merindukan sosoknya. Ia sangat merindukan setiap detail dari sosok gadis itu hingga ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk tetap menangkap sosok itu.
Setelah cengkeraman tangan Jong Woon mulai mengendur, Hye Mi kembali menarik tangannya hingga genggaman namja itu terlepas. Dengan cepat ia mengambil langkah untuk lari. Tapi Jong Woon mengejarnya. Kenapa di saat seperti ini dia harus muncul di hadapanku? Hye Mi terus menanyakan pertanyaan yang sama dalam hatinya sambil terus berlari. Kenapa di saat hatinya mulai bisa menerima Sungmin, ia harus bertemu kembali dengan Kim Jong Woon? Dan di saat hari pernikahannya sudah semakin dekat, namja itu muncul di hadapannya. Tidak, Hye Mi belum siap. Ia tidak siap bertemu dengan namja ini.
“Hye Mi-ah! Tunggu aku!” teriak Jong Woon berharap gadis itu menghentikan langkahnya.

Jong Woon terus mengejar gadis itu hingga posisi mereka sudah tidak terlalu jauh. Kesempatan ini Jong Woon gunakan sebaik-baiknya untuk kembali meraih tangan gadis itu. Ia meraih lengan Hye Mi dan menggenggamnya kuat sehingga langkah gadis itu terhenti dan meringis kesakitan.
“Lepaskan aku!”
Andwae!” Jong Woon memegang kedua lengan Hye Mi kasar agar gadis itu menatapnya. “Kenapa kau lari?” tanyanya masih dengan suara yang terdengar kasar dan penuh tanya.
“Kumohon, lepaskan aku…” pinta Hye Mi memelas. Ia menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Jong Woon.
“Jawab aku, Park Hye Mi! Kenapa kau lari?” tanyanya lagi dengan sedikit mengguncang tubuh kecil gadis itu. “Jawab aku!” teriaknya lagi, dan dengan nada yang lebih tinggi membuat gadis itu tak berkutik.
“Karena aku tidak mau bertemu denganmu!!” teriak Hye Mi membalas teriakan Jong Woon. Tidak terasa air matanya sudah mengalir.

Hati Jong Woon seperti dicabik-cabik mendengar gadis yang sangat ia cintai mengatakan hal yang sangat menyakitkan. Tubuhnya melemas, tapi kedua tangannya masih memegang bahu Hye Mi. “Sebegitu bencinya kau padaku?” tanya Jong Woon pelan sambil mencari-cari wajah Hye Mi dibalik rambutnya yang tergerai dan menutupi sebagian wajahnya.
“Aku… aku…”
“Begitu cepatnya kau melupakanku?” tanya Jong Woon dengan suara yang lebih lirih. “Apa hanya aku yang begitu mencintaimu, hingga hanya aku yang sampai detik ini masih belum bisa melupakanmu?”
Astaga, namja ini benar-benar ingin membunuh Hye Mi dengan pertanyaannya yang sangat menyakitkan. Hye Mi terus menundukkan kepalanya, sampai akhirnya namja itu merengkuh kedua belah pipinya agar Hye Mi mengangkat kepalanya.
“Tatap aku.”
Hye Mi menggeleng. Kedua bola matanya itu sudah digenangi air mata. Ia membuang pandangannya. Tapi lagi-lagi kedua tangan Jong Woon kembali membuat Hye Mi menatapnya.
“Sudah, hentikan…”
“Apa tempatku di hatimu sudah digantikan oleh… Sungmin?”
“CUKUP, OPPA! KUBILANG HENTIKAN!!!”
Teriakan Hye Mi terngiang di telinga Jong Woon. Tapi hal itu tidak membuatnya melepaskan tangannya dari wajah gadis itu.
“Hentikan….” Hye Mi memegang dadanya, mencoba meredam perih yang sekarang merambat masuk ke dalam hatinya.
“Aku… aku tidak bisa berhenti untuk mencintaimu…” ucap Jong Woon lirih, mencoba untuk memberi pengertian kenapa ia masih tidak mau melepaskan gadis itu. “Maaf, aku tidak bisa menuruti keadaan untuk berhenti mencintaimu….”

Perlahan bibirnya mendarat di bibir Hye Mi. Ciumannya begitu kaku, ia begitu hati-hati, karena ia takut gadis itu akan kembali menghilang. Mereka hanya bisa membeku dan mematung di posisi mereka masing-masing.
Saranghae…” bisik Jong Woon di sela-sela ciumannya.
Nado…”
Jong Woon tersentak. Matanya membuka dan menatap gadis di depannya itu dengan tatapan kaget. Tapi bibirnya masih menyentuh bibir gadis itu. Seakan ia bisa mati jika ia melepaskan ciumannya. Hanya satu kata yang keluar dari mulut Hye Mi, tapi kata itu bisa meyakinkan Jong Woon bahwa seorang Park Hye Mi masih sangat mencintainya seperti dulu.
Perlahan ia melepaskan ciumannya dan menarik Hye Mi ke dalam pelukannya. Hye Mi membalas pelukan Jong Woon, ia melingkarkan tangannya di tubuh namja itu dan membenamkan wajahnya di dada Jong Woon.
Seperti déjà vu, mereka bisa merasakan kehangatan yang sudah lama mereka tidak rasakan. Mereka mulai merasa kepingan hati mereka kembali utuh seperti semula. Tapi ada satu rasa aneh yang menyelinap ke dalam hati mereka masing-masing. Keraguan. Keraguan apakah mereka masih bisa saling memiliki seperti dulu.
“Tuhan, ijinkan aku memiliki seorang Park Hye Mi,” ujar Jong Woon lantang seakan memohon agar ucapannya dapat dikabulkan.

Dari kejauhan, Sungmin bisa melihat gadis yang sangat ia cintai sedang membenamkan tubuhnya di pelukan namja lain. Ya, namja itu. Namja yang dulu pernah memiliki hati gadis itu. Dan bahkan ia rasa namja itu masih memiliki hati Hye Mi sekarang. Ia tahu, di hati gadis itu pasti masih tersimpan sebuah nama. Kim Jong Woon.
****

“Sungmin-oppa, kau ada di sini?” tanya Hye Mi saat melihat Sungmin yang sedang duduk dan mengobrol dengan Song Eun di bangku taman.
Ne, urusanku sudah selesai,” jawab Sungmin sambil mengeluarkan senyumnya, seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
“Hye Mi, kenapa kau lama sekali kembali? Padahal Ri Ah sudah kembali sejak tadi,” tanya Song Eun membuat Hye Mi tersentak.
Ia tergagap, bingung harus menjawab apa. “Aku… aku tadi….”
“Hey, Park Hye Mi!”
Sontak Hye Mi menoleh pada sumber suara. Ia mendapati Park Jung Soo sedang berlari ke arahnya sambil membawa sebuah kantong berisi botol minuman.
Oppa?”
“Hah… kebetulan sekali aku bertemu kalian di sini,” ujar Jung Soo. Ia mengelap keringat dengan sebelah tangannya, lalu mencoba berbicara dengan napas yang mulai teratur.
Oppa sedang apa di sini?” tanya Hye Mi lagi.
“Apa kalian melihat Jong Woon?” tanya Jung Soo.
Mata Hye Mi terbelalak. “Jong Woon?”
“Tadi aku mengajaknya ke sini, tapi dia menghilang entah ke mana. Hah, dasar anak itu!” kata Jung Soo kesal.
Sungmin hanya tersenyum samar. Perlahan Hye Mi melirik tunangannya itu. Ekspresi wajahnya biasa saja, sama seperti ekspresi yang biasa Sungmin tunjukkan padanya. Tapi entah kenapa justru raut wajah seperti itulah yang Hye Mi takutkan saat ini. Bagaimana kalau Sungmin melihatnya bersama Jong Woon tadi?
“Aku melihatnya.”
Hye Mi langsung menoleh pada Sungmin. Jadi… jadi dia melihat kejadian tadi?
“Aku melihatnya di sana. Sedang duduk sendirian,” lanjut Sungmin lagi. Jari telunjuknya menunjuk ke arah sebuah tempat yang agak jauh.
“Di sana? Sedang apa anak itu di sana?” tanya Jung Soo seraya mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Sungmin.
“Entahlah,” ujar Sungmin sambil mengangkat kedua bahunya. “Aku lihat dia sedang duduk sendirian di sana.”
“Oh, arraseo. Gomawo, Sungmin-ssi. Aku ke sana dulu, annyeong!”
Jung Soo setengah berlari menuju tempat yang tadi ditunjuk Sungmin. Sungmin masih terdiam dengan senyum kecil di bibirnya. Sementara Hye Mi masih terpaku di tempatnya. Sungmin bilang Jong Woon sendirian tadi. Apa masih ada harapan untuk Hye Mi bahwa Sungmin tidak melihat kejadian tadi? Ketika  Jong Woon memeluknya?
“Hye Mi, kenapa berdiri saja? Ayo duduk,” ujar Sungmin membuyarkan lamunan Hye Mi.
“Ah? Ne,” jawab Hye Mi seraya duduk di sebelah Sungmin.
Perlahan sebelah tangan namja itu merangkul Hye Mi. Ya… bukankah ini yang biasa dilakukan setiap pasangan? Apalagi mereka sudah bertunangan dan akan segera menikah.
Hah, mengingat fakta bahwa seorang Lee Sung Min adalah tunangannya dan sebentar lagi mereka akan menikah, membuat dada Hye Mi sesak. Ada sesuatu yang aneh di sana. Seperti… perasaan tidak rela. Tidak rela? Hye Mi mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri dalam benaknya, kenapa perasaan tidak rela itu muncul kembali setelah hampir setengah tahun menghilang? Kenapa perasaan tidak rela itu muncul setelah Hye Mi mulai bisa menerima kenyataan ini? Kenyataan bahwa Sungmin adalah tunangannya… Kenapa? Ternyata benar. Melihat wajah namja itu––Jong Woon––hanya akan membuat Hye Mi semakin menginginkannya. Menginginkannya kembali seperti dulu. Dada Hye Mi semakin sesak. Sangat sesak mengingat kenyataan yang menentang keinginan nuraninya itu. Hal itu… hal itu tidak mungkin bisa terjadi. Kim Jong Woon dan dirinya tidak mungkin bisa kembali seperti dulu.
****

“Aku… aku bertemu dengannya,” ujar Jong Woon tiba-tiba membuat Jung Soo tak mengerti.
Mwo? Kau ini bicara apa? Aku bertanya kenapa kau ada di sini sendirian, tapi kenapa kau menjawab hal lain?” Jung Soo balik bertanya sambil membuka botol minuman dan meneguk isinya.
“Tadi aku bertemu dengannya lagi... Park Hye Mi,” ujar Jong Woon lagi sambil terus menatap lurus rumput yang ada di bawah kakinya dengan pandangan kosong.
Jung Soo hampir saja menyemburkan air yang sudah ada di dalam mulutnya, jika ia tidak cepat-cepat menahan bibirnya mengeluarkan air itu kembali. Dengan susah payah ditelannya air itu. Masih dengan raut wajah terkejut, ia mulai bersuara. “M-mwo? Hye Mi?” tanyanya.
“Dialah penyebab aku pergi dari tempat kita tadi. Dia berlari saat melihatku, dia bilang dia tidak mau bertemu lagi denganku.” Jong Woon berbicara dengan nada merenung. Pandangannya masih kosong menatap rumput hijau di bawah kakinya. Pikirannya kembali menerawang kejadian tadi. Sakit. Sakit sekali mendengar gadis itu bilang tidak ingin bertemu dengan dirinya lagi.
“Lalu?”
“Aku mengejarnya.”
“Dan?”
“Aku berhasil menahannya dan mulai berbicara dengannya. Dan seperti yang kubilang tadi, dia bilang tidak ingin bertemu denganku.” Jong Woon mulai menampakkan raut wajah sedih bercampur putus asa dan pasrah.
“Hye Mi bilang begitu?” tanya Jung Soo yang hanya dijawab dengan sebuah anggukan pelan oleh Jong Woon.
“Tapi aku tahu dia masih mencintaiku.”
Mwo? Dari mana kau tahu? Bukankah kau bilang dia tidak mau bertemu denganmu lagi?”
“Itu karena… aku tadi… men…”
Jung Soo sedikit mendekatkan wajahnya pada wajah Jong Woon. Ia menunggu jawaban Jong Woon yang kelihatannya sangat susah untuk dijawab.
“Aku tadi…”
“Kau tadi kenapa?” tanya Jung Soo penasaran, menuntut sebuah jawaban.
“Aku… men… men….” Wajah Jong Woon langsung berubah. Kesadarannya kembali. “Ah! Sudahlah! Ini tidak penting!” ujarnya sambil mengalihkan pandangannya dari Jung Soo yang ada di sebelahnya.
“Aiishh! Kau ini! Beri tahu aku kenapa kau bisa tahu dia masih mencintaimu!”
“Karena aku bilang aku mencintainya, dan dia menjawabnya! Puas?” jawab Jong Woon meskipun dengan nada bicara yang tidak dengan sepenuh hati.
“Lalu, kau tadi mau bilang apa? Kau bilang kau tadi ‘men’? ‘Men’ apa? Kau mau melakukan apa pada adikku tadi?” tanya Jung Soo lagi membuat Jong Woon tak berkutik.
Jong Woon makin tergagap. Ia mencoba mencari-cari kalimat yang bisa menyangkal fakta bahwa ia mencium gadis itu tadi. Tapi hasilnya? Jalan buntu. “Bukan urusanmu, Park Jung Soo! Ayo pulang! Aku sudah tidak tahan berada di sini denganmu,” seru Jong Woon dengan tampang kesal agar dapat menutupi rasa gugupnya.
Mwo? Kenapa?” tanya Jung Soo tak terima.
“Karena aku merasa kau memperlakukanku seperti ‘pacar’mu dari tadi pagi,” jawab Jong Woon dengan nada sedatar-datarnya dan tatapan sinis.
“Aiiish! Jinjja! Aku masih normal, Jong Woon-ah!”
“Oh, begitu? Syukurlah,” sahut Jong Woon dengan nada mengejek mencoba untuk menghilangkan kegugupannya. “Tunggu apa lagi? Ayo pulang!”
****

“Sungmin-oppa, makan malamnya sudah siap,” ujar Hye Mi sambil mengetuk pintu kamar Sungmin.
Tak lama kemudian namja itu muncul di balik pintu dengan sweater abu-abu. “Kau sudah mau makan, ya?” tanya Sungmin yang langsung Hye Mi balas dengan sebuah anggukan.
Senyuman Sungmin melebar. Sebelah tangannya langsung merangkul pundak Hye Mi. “Ayo makan,” ujarnya.

Mereka makan dalam diam. Tidak ada yang memulai obrolan, hanya suara sendok dan garpu yang beradu di atas piring yang menghiasi ruangan itu. Sungmin terus memerhatikan Hye Mi. Akhirnya ia mulai membuka suaranya, “Bukankah Jung Ri Ah sangat manis?”
Hye Mi mengangkat kepalanya sehingga ia bisa memandang wajah Sungmin. “Mm… ne. Dia lucu,” jawab Hye Mi sambil memperlihatkan senyumnya.
Sungmin tidak lagi merespon ucapan Hye Mi, ia hanya tersenyum sambil terus menatap gadis itu. Memang inilah yang sangat ia inginkan. Obrolan ringan dengan makan malam yang tenang. Kehidupan seperti ini yang selalu ia idam-idamkan. Lalu, apa lagi yang dia inginkan? Kenapa hatinya bertambah sakit ketika melihat wajah gadis ini?
“Apa ada yang salah denganku?” tanya Hye Mi saat sadar Sungmin menatapnya.
“Tidak,” jawab Sungmin singkat. Ia kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
“Bagaimana urusanmu tadi?” tanya Hye Mi lagi.
“Sudah selesai.” Sungmin kembali diam. Setelah beberapa menit terdiam dia mulai membuka suaranya kembali. “Besok aku akan pulang.”
Arraseo.”
“Jangan menungguku.”
Hye Mi menghentikan makannya. Ia mengangkat kepalanya dan menatap Sungmin. Apa dia tidak salah dengar?
Mwo?” tanya Hye Mi meminta penjelasan.
“Aku tidak akan kembali selama beberapa hari,” jawab Sungmin sambil tersenyum samar.
“Tapi… kenapa?”
“Hmm… entahlah.”
Entahlah? Dengan mudahnya dia mengucapkan itu?
“Mungkin aku akan memberimu waktu untuk berpikir,” kata Sungmin lagi.
“Berpikir? Apa maksudmu?”
“Kau masih mencintai dia, kan?” tanya Sungmin. “Kim Jong Woon?”
Hye Mi tersentak. Namja ini… kenapa namja ini bertanya seperti itu?
“Tapi…”
“Aku tahu kau masih mencintainya, Hye Mi.”
“Aku…”
“Aku melihatnya.”
Mwo?”
“Aku melihat semuanya,” kata Sungmin membuat Hye Mi ingin dunia menelannya saat itu juga.
“Se… semuanya?” kata Hye Mi dengan mata terbelalak.
Sungmin mengangguk pelan tanpa menghapus senyuman dari wajahnya. “Aku mengerti perasaanmu. Karena itu aku ingin kau menenangkan diri selama aku tidak ada. Kau pasti masih terkejut bertemu dengannya, kan?”
“Tapi, Sungmin-oppa….” kata Hye Mi pelan. “Aku mohon jangan pergi.”
Kali ini giliran Sungmin yang tersentak. Apa dia tidak salah dengar? Gadis ini mencegahnya pergi? “Apa?”
“Aku tidak ingin kau pergi,” kata Hye Mi mengulangi ucapannya. “Bagaimana aku bisa tenang jika kau pergi?”
Sungmin kembali tersenyum. Ia menggenggam tangan Hye Mi yang tergeletak di atas meja makan. “Baiklah, aku tidak akan pergi,” ujarnya sambil terus tersenyum.
Apa ini saatnya ia melepaskan Hye Mi? Melepaskan cinta yang sudah lama ia kejar? Hanya sesingkat inikah Tuhan mengijinkannya memiliki seorang Park Hye Mi? Kenapa… kenapa dirinya tidak boleh memiliki gadis ini lebih lama? Kenapa….
****
(to be continued)

Rabu, 16 Mei 2012

I'm Sorry Oppa (part 5)


Annyeong readers! Sorry ya lama publish lanjutannya, mumet soalnya. wkwk...
Okeh, lngsung ajah..... silakan dibaca^^
***************


Author              : Ifa Raneza

Cast                 : Yesung a.k.a Kim Jong Woon , Park Hye Mi

Genre              : Romance

Warning         : Kissing Scene
*****
Sudah seminggu sejak Jong Woon dirawat di rumah sakit. Dan selama itu pula ia tak sadarkan diri dan membuat Hye Mi stress. Tapi ia tidak bisa terus memikirkan Jong Woon. Ia juga harus memikirkan sekolahnya. Sebentar lagi ia akan menghadapi ujian kelulusan. Dan untuk sementara ini ia harus bisa melupakan Jong Woon. Melupakan Jong Woon sampai semua ujiannya selesai.
****

Dia tidak tahu sudah berapa lama ia tertidur lemah di atas tempat tidur. Ia bahkan tidak dapat membuka matanya untuk mengetahui di mana ia sekarang. Seluruh tubuhnya terasa kaku. Tidak ada tenaga sedikitpun yang bisa ia gunakan untuk bangun dari tidur panjangnya. Yang bisa ia lihat sekarang hanyalah mimpi. Mimpi yang merupakan potongan-potongan kehidupannya yang sudah lewat. Kehidupannya bersama orang itu….
“Ah, maaf. Namaku Kim Jong Woon.”
“Aku Park Hye Mi.”
“Sekali lagi aku minta maaf. Aku pergi dulu.”

“Apa kau mau menjadi pemanduku?”
“A… apa?”

“Lalu apa kau menyukainya? Maksudku… Lee Sung Min?”

“Siapa itu? Apa itu Sungmin? Jawab aku.”
“Wae? Terserah aku kan mau jawab atau tidak?”

“Sepertinya aku menyukaimu.”
“Apa?”
“Kau tidak mendengarkanku? Dengar baik-baik. Park Hye Mi, jadilah pacarku.” …  “Kau mau jadi pacarku kan?” …  “Ya! Park Hye Mi, kenapa kau diam saja?”
“Hah? Aku…”
“Baiklah, dengan ini kau resmi jadi pacarku.”

“Chagiya, aku ingin menghabiskan waktu denganmu sebelum pulang.”

“Ya, aku akan membuatmu menyukaiku, mencintaiku, tidak mau melepaskanku, dan ingin selalu berada di pelukanku. Aku akan membuatmu jatuh ke dalam pelukanku. Aku akan membuatmu terus memikirkanku, merindukanku, dan ingin terus melihat wajahku dan senyumanku. Kau dengar? Inilah janjiku padamu. Karena itu jangan pernah pergi dariku agar aku bisa menepati janjiku padamu.”
“Baiklah. Coba saja tepati janjimu itu.”
“Lihat saja. Aku pasti bisa menepati janjiku.”

“Hye Mi….”
“Oppa? Kau kenapa? Apa kau sakit?”
“Aku harus pulang besok.”
“Pulang? Kenapa tiba-tiba?”
“Omma-ku…. Dia tak sadarkan diri dan… rumah sakit… jantungnya….”
“Aku mengerti, Oppa…. Aku mengerti.”
“Maafkan aku…. Aku harus meninggalkanmu….”
“Aku baik-baik saja. Oppa pulanglah.”

“Aku tidak mengerti kehidupanmu, Hye Mi.”
Aku tidak tahu harus berkata apa padamu agar kau mengerti kehidupanku, karena aku tahu kau juga tidak akan mengerti kehidupanku, hahaha…. Selama ini kau terus bertanya kenapa aku memilih kehidupanku yang sekarang, yah… karena aku telah memilihnya. Dan sekarang yang kupilih adalah menjauhimu… karena aku takut aku akan tersakiti dengan perasaanku dan kenyataan ini. Mianhaeyo, Oppa…. Mianhaeyo, ternyata aku salah. Pilihanku bukan menjauhimu tapi bersamamu. Mianhaeyo, Oppa…. Aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu untuk melepaskanmu. Aku tidak bisa… aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja.”

“Hye Mi, mungkin aku salah. Jangan menungguku. Jika aku tidak kembali padamu, jangan menungguku. Karena aku takut kau tenggelam dalam sebuah penantian tanpa akhir. Saranghaeyo….”

Perlahan dia mulai bisa menggerakkan jemarinya. Kemudian secara perlahan cahaya masuk ke dalam matanya. Dia menyapu pandangan ke seluruh ruangan. Di mana ini? Ia merasa ada yang menyentuh lengannya. Ia menoleh. Ada seorang yeoja dan namja yang sangat dikenalnya. Mereka tersenyum padanya. Ia mencoba bangun, tapi kepalanya masih sangat sakit. Ia memegang kepalanya dan merasakan ada perban yang membalut lukanya. Banyak perban yang membalut tubuhnya. Ia membuka alat pernapasannya dan melirik infus yang menempel di tangan kirinya.
“Di mana ini?” tanyanya pelan. “Akh….” Ia meringis kesakitan ketika sadar kepalanya berdenyut.
“Kau di rumah sakit, Oppa,” jawab seorang yeoja. “Kau bodoh, Oppa! Kau membuat kami semua khawatir, termasuk Jung Soo-oppa dan Park Hye Mi itu,” lanjutnya tanpa wajah kesal. Wajahnya malah menunjukkan kebahagiaan.
“Rumah sakit?” tanyanya lagi. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi pada dirinya. Ah, kecelakaan itu. Ia mengingatnya.
“Jong Woon-ah, kau benar-benar membuat kami khawatir sekaligus shock. Bagaimana mungkin orang yang kami tunggu untuk pulang ke Seoul malah kecelakaan dan koma selama hampir sebulan,” ujar seorang namja yang berada di sebelah yeoja itu.
“Kami?” tanya Jong Woon.
“Ya, Kim Jong Woon! Apa kau lupa pada yeojachingu-mu? Dia menunggumu seperti orang gila!” jawab namja itu.
“Jangan-jangan kau hilang ingatan, Oppa? Tapi kenapa kau masih mengenal kami? Kau ingat aku kan?” tanya yeoja yang berada di sampingnya.
“Tentu saja aku ingat. Kau Kim Soon Hee,” jawab Jong Woon. “Pabo yeoja,” lanjutnya lagi.
“Ya!”
Jong Woon mengalihkan pandangannya pada namja yang ada di sebelahnya. “Jung Soo, di mana dia sekarang? Aku ingin bertemu dengannya sekarang juga.”
Orang yang ditatap segera mengeluarkan ponselnya dan memencet beberapa nomor.
“Dia sedang di sekolah sekarang. Mungkin sebentar lagi dia akan pulang. Seharusnya hari ini hari terakhirnya ujian,” ujar Jung Soo.
“Ujian?” tanya Jong Woon. Begitu lama ia tertidur, tidak terasa gadis itu malah sudah hampir lulus.
Ne, kau koma lama sekali. Hampir membuat kami jantungan. Omma dan aku sudah berkali-kali bolak-balik ke Seoul untuk melihat perkembanganmu. Untungnya aku libur sekolah karena semua kakak kelasku ujian. Tapi, appa tidak bisa melepaskan pekerjaannya di sana,” jelas Soon Hee. “Ah, aku hampir lupa. Biar aku panggilkan dokter.” Lalu ia keluar dari ruangan itu dan menutup pintunya.
Sementara Jong Woon kembali berbaring dan memerhatikan Jung Soo menelepon Hye Mi.
****

Hye Mi keluar dari gerbang sekolah. Ia hanya berjalan, sementara teman-temannya yang lain berlarian dengan wajah cerah. Itu wajar karena hari ini semua ujiannya sudah selesai. Perlahan bayangan Jong Woon kembali dalam ingatannya. Entah sudah berapa lama ia tidak memikirkan namja itu. Secara perlahan sesak di hatinya kembali menyelinap ke dalam dadanya. Sakit… perih. Tapi sesakit apapun hatinya saat ini, air matanya tidak bisa keluar lagi. Entah kenapa. Mungkin karena ia sudah lelah menangis. Menangis hanya membuatnya semakin terluka. Lagipula menangis tidak dapat menyadarkan Jong Woon secara ajaib kan?
Hye Mi membuka flap ponselnya saat ia merasa benda itu bergetar. Ia menempelkan ponsel itu ke telinganya. “Yoboseyo?”
“Hye Mi! Kau harus ke rumah sakit sekarang!” Terdengar suara Jung Soo dari seberang telepon dengan panik.
Ada apa ini? “W… Wae?” tanya Hye Mi tak mengerti.
Dia ingin bertemu denganmu sekarang,” jawab Jung Soo.
Hye Mi tahu siapa ‘dia’ yang dimaksud. Tanpa berkata apa-apa lagi, Hye Mi langsung menutup flap ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku bajunya. Ia segera berlari ke tepi jalan dan menyetop taksi.
“Antarkan aku ke rumah sakit!” ujarnya pada supir taksi.
Dia… dia sudah sadar?
****

Hye Mi masuk ke dalam gedung rumah sakit yang besar itu dan langsung berpapasan dengan seorang yeoja yang menegurnya. Sepertinya yeoja itu sangat mengenalinya, tapi siapa?
“Ah, maaf. Apa aku mengenalmu?” tanya Hye Mi sopan.
“Aku Kim Soon Hee, adik Kim Jong Woon-oppa. Dia mencarimu, kebetulan kita bertemu di sini. Ayo kuantar ke kamarnya,” jawab Soon Hee seraya menarik lengan Hye Mi.
Hye Mi mengikuti langkah yeoja itu dari belakang. Mereka masuk ke lift dan berhenti di lantai tiga. Soon Hee berjalan ke arah kamar yang bertuliskan tiga angka dan langsung membuka pintunya.
“Hei, lihat siapa yang aku bawa,” ujar Soon Hee seraya menyuruh Hye Mi masuk ke dalam kamar itu.
Jong Woon menoleh ke arah Soon Hee. Tapi kemudian tatapannya beralih pada yeoja yang dibawa adiknya itu. Hye Mi bisa melihat Jong Woon sedang menatapnya. Perlahan senyum namja itu terlihat di wajahnya yang penuh dengan luka.
“Ah, mungkin seharusnya aku keluar dulu,” ujar Jung Soo sambil menatap Soon Hee penuh arti.
“Ah, aku juga mau membeli sesuatu di kantin rumah sakit. Kalian mengobrol lah dulu,” ujarnya seraya melangkah mengikuti langkah Jung Soo.
Sekarang di ruangan itu hanya tinggal Hye Mi dan Jong Woon. Keduanya diam untuk beberapa menit sampai akhirnya suara Jong Woon memecah keheningan.
“Bagaimana ujianmu? Baik?” tanya Jong Woon sambil memperlihatkan senyumnya. Senyum yang biasa ia tunjukkan pada Hye Mi.
Hye Mi hanya mengangguk. Ia bingung harus mengatakan apa. Ayolah, Hye Mi…. Sudah berapa lama kau menunggu saat-saat ini? Sekarang Jong Woon sudah sadar dan kau hanya diam?
“Harusnya kau menanyakan kabarku,” ujar Jong Woon lagi.
Hye Mi tersentak. Ah, benar juga. Harusnya itu hal pertama yang ia tanyakan. Kenapa Hye Mi jadi bingung begini? “Aah… eh… iya, benar.” Hye Mi melihat wajah Jong Woon yang penuh dengan luka. “Tapi sepertinya keadaanmu sudah sangat membaik,” lanjutnya.
“Kau tidak merindukanku?” tanya Jong Woon lagi.
Hye Mi geram mendengarnya. Merindukannya? Apa yang dipikirkan namja ini? “Kau pergi dari Seoul untuk menemui ibumu dan pulang ke Seoul membawa berita kecelakaan hingga kau koma untuk beberapa minggu,” ujar Hye Mi. Ia mendesah pelan. “Kau masih bertanya aku merindukanmu atau tidak?”
Jong Woon terkekeh. Benar juga. “Aku hanya ingin mendengar kau mengucapkannya.”
“Haah… kau ini menyebalkan,” ujar Hye Mi. “Ya, aku merindukanmu. Kau puas?”
Jong Woon tersenyum puas. Ia merentangkan kedua tangannya, bersiap untuk memeluk Hye Mi. “Puas sekali,” ujarnya. “Sini kupeluk.”
Hye Mi mendekatkan tubuhnya ke tubuh Jong Woon. Ia menjatuhkan diri ke dalam pelukan itu. Sekarang ia menjadi susah bernapas. Namja ini memeluknya sangat erat. Bahkan Jong Woon lupa dengan luka-lukanya.
“Akh, lukamu….” Hye Mi mencoba melepas pelukan Jong Woon.
Jong Woon melepas pelukannya dengan enggan. “Ah, benar. Lukaku belum sembuh,” katanya. Ia menatap mata Hye Mi dalam-dalam, lalu berkata, “Bisa ambilkan air itu? Aku haus.”
Hye Mi langsung meraih botol berisi air putih di meja yang berada di depan tempat tidur. Ia menuangkannya ke dalam gelas dan memberikannya pada Jong Woon. Jong Woon meraih gelas itu dan meneguk habis isinya. Dia benar-benar haus. Bayangkan saja, sudah berapa lama ia koma? Jong Woon menyodorkan gelas kosong itu pada Hye Mi. Gadis itu mengambil gelas yang Jong Woon sodorkan dan meletakkannya kembali di atas meja.
“Apa kata dokter?” tanya Hye Mi.
“Dokter bilang aku baik-baik saja. Hanya lukaku yang belum sembuh,” jawab Jong Woon. Ia menggenggam tangan Hye Mi dan berkata, “Aku sudah tidak sakit lagi. Aku juga tidak punya penyakit lagi.”
Hye Mi tersenyum samar. Ia menyentuh tangan Jong Woon yang sedang menggenggam tangannya. “Sebenarnya aku yang sakit,” katanya pelan.
Mwo?” tanya Jong Woon pelan, sama pelannya dengan suara Hye Mi.
Ne, Oppa. Aku sakit.” Hye Mi menarik napas dan menghembuskannya. “Di sini,” lanjutnya sambil menunjuk dadanya. “Rasanya sakit sekali. Aku sakit melihatmu terbaring kaku. Aku sakit melihatmu tidak tersenyum ketika aku datang, saat kau tidak menjawab panggilanku. Apa kau memikirkan perasaanku selama kau koma?” Air mata Hye Mi menyeruak keluar. Suaranya mulai bergetar. “Jika kau bertanya apa ada lagi penyakitmu, penyakitmu adalah membuatku sakit.”

Jong Woon membelai rambut Hye Mi pelan. Lagi-lagi ia menunjukkan senyumnya. Ditatapnya yeoja itu dalam-dalam. “Mianhaeyo, Hye Mi. Aku tidak bermaksud membuatmu sakit. Sejujurnya aku sangat merindukanmu. Aku rindu tawamu, senyummu, suaramu. Aku rindu saat-saat aku memelukmu. Aku rindu tatapan matamu. Aku rindu semua hal yang kita lalui bersama,” katanya sambil menatap mata Hye Mi dalam-dalam meskipun air mata gadis itu menghalangi.
“Dulu aku pernah membayangkan bagaimana jika aku menyerahkanmu begitu saja pada Lee Sung Min. Tapi sekarang aku tidak akan pernah melakukan itu.”

Bibir Hye Mi mengerucut. “Ya, jangan lakukan itu atau aku akan semakin sakit,” ujarnya.
Jong Woon tersenyum simpul. Ia tertawa pelan. “Kau pikir aku bodoh sampai tega melakukan hal itu? Aku tidak akan pernah melepas sesuatu yang kucintai. Kau dengar?” katanya. Tangannya masih membelai rambut Hye Mi. Perlahan tangan itu turun ke pipi Hye Mi dan menghapus bekas air mata dengan lembut. Wajahnya mendekat ke wajah gadis itu. Gadis itu hanya diam, entah karena ia menerima bibir laki-laki itu mengincar bibirnya, atau karena ia tidak tahu harus bagaimana.

Kesadaran Hye Mi terkumpul. Dengan cepat kedua tangannya menahan pundak Jong Woon, agar wajah laki-laki itu tidak semakin mendekat. Tapi tenaganya lebih kecil dari tenaga Jong Woon. Tangan Jong Woon yang tadinya berada di pipi Hye Mi, berpindah ke belakang punggung gadis itu untuk merangkuhnya. Hye Mi yang tidak bisa apa-apa hanya bisa berkata pelan, “Oppa, apa yang kau lakukan?” Suaranya kecil hampir seperti bisikan. Tapi Jong Woon tetap tidak peduli. Wajahnya semakin mendekat, ia menghapus jarak antara bibirnya dengan bibir gadis yang ada di depannya. Gadis itu tidak bisa bernapas dengan baik. Jong Woon menghalanginya untuk bernapas. Tangan namja itu terlalu kuat merangkuhnya, sehingga ia susah bergerak. Ia tidak bisa mengatakan sesuatu untuk menghentikan apa yang sedang Jong Woon lakukan padanya.

Perlahan Jong Woon melepaskan rangkuhannya. Ia menatap Hye Mi lekat. Keduanya hanya terdiam. Baru saja Jong Woon akan menarik sudut bibirnya untuk tersenyum, Hye Mi sudah menyerbunya dengan omelan.
“Ya! Pabo namja! Apa yang kau lakukan, hah!?” tanya Hye Mi dengan nada tinggi. Wajahnya memerah.
“A… apa?”
“Apa yang kau lakukan barusan!? Kau pikir kau bisa seenaknya menciumku, hah?!” Hye Mi mengatur napasnya yang masih tidak beraturan. Setelah napasnya kembali normal, ia melanjutkan. “Kau tahu kita di rumah sakit, tapi kau masih tetap melakukannya? Pabo pabo pabo pabo!!!” jerit Hye Mi tak terima. Kedua tangannya memukul pundak Jong Woon.
Jong Woon hanya bisa meringis kesakitan. “Akh! Appeu!” Dengan cepat sebelah tangannya yang tidak terpasang infus meraih sebelah tangan Hye Mi yang memukul pundaknya.
Hye Mi berusaha melepaskan genggaman namja itu, tapi tidak bisa. Ia melirik wajah Jong Woon. Wajah namja itu berubah serius. Ada apa ini? Hye Mi mundur perlahan, sementara tangannya masih ditahan namja itu.
“Hei… hei…. Mau apa kau, hah? Mau apa kau?” tanyanya takut-takut.
Raut wajah Jong Woon tidak berubah, masih serius. Matanya yang gelap menampakkan sinar yang menakutkan. Sama seperti yang pernah ia lihat, tapi bukan tatapan cemburu. Mungkin lebih tepatnya tatapan… pemburu? Pemburu? Apa dia masih mau mengincar bibirnya? Lagi? Tidak!

“Jangan dekati aku! Oppa! Hentikan!!” jeritnya. Akhirnya tangannya terlepas dari cengkeraman Jong Woon. Ia berlari keluar ruangan itu. Ia tidak mau dicium lagi. Sekali dicium saja rasanya sudah mau pingsan.
Ia meninggalkan Jong Woon yang tertawa terbahak-bahak di dalam kamar itu. Jong Woon merasa geli melihat Hye Mi berlari ketakutan. Ia memegangi perutnya karena terlalu banyak tertawa. Lucu sekali, pikirnya.
****

“Kenapa dia lari ketakutan seperti itu?” tanya Soon Hee ketika ia dan Park Jung Soo masuk ke dalam kamar di mana Jong Woon dirawat.
Jong Woon hanya mengangkat kedua bahunya dan memasang wajah tidak berdosa. “Entahlah.”

Soon Hee memerhatikan kakaknya dengan tatapan sinis. Ia menggeleng. “Tidak mungkin dia berlari seperti itu kalau kau tidak melakukan apa-apa. Iya, kan?” tuduh Soon Hee sambil menunjukkan telunjuknya ke depan wajah Jong Woon.
“Ya! Kim Soon Hee, apa maksudmu?” tanya Jong Woon kesal.
“Kau pasti melakukan sesuatu padanya. Benar kan?” Soon Hee kembali menuduh Jong Woon.
Baru saja Jung Soo ingin menengahi perdebatan mereka, pintu kamar itu terbuka. Ada Hye Mi di belakang pintu. “Permisi,” katanya pelan.
Eonnie,” kata Soon Hee. “Kenapa kembali lagi?”
“Ah… eh… ponselku tertinggal.” Hye Mi melangkah masuk ke dalam kamar dan menghampiri kursi yang ada di sebelah tempat tidur Jong Woon, kursi yang tadi dia duduki. Ia meraih ponselnya dan memasukkan benda itu ke dalam saku bajunya. Entah bagaimana ponsel itu bisa terjatuh dari saku bajunya tadi. Mungkin karena apa yang mereka lakukan tadi?

“Kenapa kau berlari ketakutan seperti tadi, Hye Mi?” tanya Jong Woon dengan tatapan mengejek. “Padahal aku kan tidak menakutkan.”
Hye Mi tidak kesal dengan tatapannya itu, tapi ia masih takut. “Ah… aku….”
“Apa Jong Woon melakukan sesuatu padamu?” tanya Jung Soo ingin tahu.
“Ya! Kenapa kau jadi ikut-ikutan, hah?” tanya Jong Woon kesal.
“Tidak. Aku hanya berpikir, kata-kata Soon Hee-ah ada benarnya juga. Tidak mungkin Hye Mi berlari ketakutan seperti tadi kalau kau tidak melakukan apa-apa.” Jung Soo melirik Hye Mi yang sedari tadi tidak bersuara. “Iya, kan?”

Bagus. Hye Mi tidak menjawab, hanya wajahnya saja yang bersemu merah. Baiklah, Jong Woon sudah kesal dituduh-tuduh seperti itu–––meskipun kenyataannya benar. Ia menarik tangan Hye Mi sehingga tubuh gadis itu tertarik ke tubuhnya. Lagi-lagi raut wajahnya menampakkan ketakutan.

BUK! Satu pukulan mendarat di perut Jong Woon.
“Akh!”
“Kau mau mengulanginya lagi, hah?!” tanya Hye Mi seraya melepaskan tangannya yang ditahan Jong Woon.
Mwo?! Mengulangi? Oppa, ternyata benar kau melakukan sesuatu padanya tadi,” ujar Soon Hee dengan matanya yang dibelalakkan.
“Wah, wah…. Jong Woon, kau harus ingat, adikku ini masih SMA,” ujar Jung Soo menyindir sambil sesekali menahan tawanya.
“Awas kalian….”
****

Hye Mi keluar dari café itu dengan berjalan gontai. Kata-kata Sungmin masih tersimpan dalam pikirannya. Sekarang yang harus ia pikirkan bukan hanya tentang dirinya sendiri, tapi juga keluarganya. Bagaimana ini?
“Kau tahu bisnis ayahmu sedang dalam kesulitan?”
“Bagaimana kau tahu?”
“Karena ayahku mengenal ayahmu.”
“Jadi begitu?”
“Aku bisa meminta ayahku membantu bisnis ayahmu, tapi kau harus mau bertunangan denganku.”
“Apa kau gila?”
“Pikirkan baik-baik, Park Hye Mi.”
“Apa hanya ayahmu yang bisa membantu kami?”
“Tidak… Begini, Hye Mi. Perusahaan ayahmu sudah dikalahkan oleh perusahaan ayahku. Dalam beberapa bulan, perusahaan ayahmu akan menjadi milik ayahku. Tapi aku bisa membantumu.”
“Tapi, Sungmin…”
“Semua terserah padamu. Tinggalkan Kim Jong Woon dan berpaling padaku, atau… Ah, pikirkan tawaranku baik-baik.”

Jantung Hye Mi terasa ditusuk-tusuk mengingat kata-kata Sungmin. Siapa yang harus dia pilih? Jong Woon atau ayahnya? Keduanya adalah orang yang sangat ia cintai. Tapi… haruskah ia memilih ayahnya? Ayah yang sudah membesarkannya? Ayah yang selama ini sudah memberikan cintanya selama Hye Mi hidup? Atau… Jong Woon?
****

Hye Mi masuk ke dalam kamar di mana Jong Woon dirawat. Tidak ada orang selain Jong Woon yang sedang tertidur pulas di sana. Hye Mi duduk di samping tempat tidur laki-laki itu. Ia memerhatikan setiap detail wajah namja itu. Perlahan sebelah tangannya menyentuh rambut Jong Woon. Ternyata begini wajah namja yang sudah mengisi hatinya.
Hye Mi ingat pertama kali mereka bertemu di stasiun. Hye Mi ingat bagaimana laki-laki ini memintanya untuk menjadi pemandu. Hye Mi juga ingat bagaimana ia memarahi Jong Woon ketika membututi Hye Mi ke rumah Song Eun, dan… meminta Hye Mi untuk menjadi pacarnya. Hye Mi mengingat semuanya. Pahit, manis… semuanya. Tiba-tiba air mata yeoja itu turun di pipi. Dengan cepat tangannya menghapus air mata itu.
Oppa… aku harus bagaimana?” ucapnya lirih sambil terus menatap Jong Woon yang sedang tertidur. “Aku harus pilih siapa?”

Kenapa Tuhan memberikannya pilihan yang sangat sulit sekarang? Hye Mi sangat menyayangi ayahnya. Ia harus mengutamakan keluarganya. Tapi di sisi lain, Hye Mi tidak mau meninggalkan Jong Woon. Ia benci mengakui ini, tapi… ia sudah sangat mencintai Jong Woon. Ia tidak mau kehilangan Jong Woon.
Jong Woon terbangun dari tidurnya dan menoleh pada Hye Mi yang sedang menyentuh rambutnya. Tapi ada satu yang tidak ia lihat, air mata.
“Kau ada di sini?”
Hye Mi tersentak. Ia melihat Jong Woon yang sedang menatapnya. “Ah… eh, Oppa… Kau sudah bangun?”
“Sejak kapan kau ada di sini?” tanya Jong Woon lagi.
“Aku… aku baru saja datang,” jawab Hye Mi.
Tidak ada masalah dengan jawaban Hye Mi. Tapi Jong Woon merasa ada yang aneh dengan suaranya hari ini. Tapi… apa?
“Kau sakit?” tanya Jong Woon khawatir.
Ani. Bukankah kau yang sakit? Bagaimana keadaanmu hari ini?”
“Aku baik-baik saja.”

Sakit? Ya, aku memang sakit. Tapi Hye Mi tidak bisa mengatakan hal itu. Mengatakannya hanya akan membuatnya semakin terluka. Batinnya sakit, ia tersiksa. Tersiksa akan dua pilihan yang sangat sulit. Sungmin… kenapa orang itu yang harus memberinya dua pilihan?

Chagiya…” panggil Jong Woon pelan.
Hye Mi menoleh. “Ada apa?”
“Aku boleh meminta sesuatu?”
“Apa?”
“Jangan tinggalkan aku.”
“Apa? Kenapa kau berkata begitu?”
Jong Woon menghela napas. Entahlah, ia juga tidak tahu kenapa ia mengatakan hal itu. Hati kecilnya seperti mendorong dirinya untuk mengatakan hal itu.
Hye Mi menahan air matanya keluar. Kenapa namja ini bertanya hal yang membuat hatinya makin pilu? Yang membuat hatinya semakin sulit untuk menentukan pilihan. Kenapa…
“Aku boleh minta sesuatu lagi?” tanya Jong Woon.
Hye Mi mengangguk pelan. “Apa itu?”
Raut wajah Jong Woon berubah ragu. Ia ragu Hye Mi akan mengabulkan permintaannya. Tapi…
“Apa itu?” Hye Mi mengulangi pertanyaannya.
“Cium aku,” jawab Jong Woon.
Wajah Hye Mi berubah kaget.
“Untuk kali ini saja… cium aku.”
Hye Mi mendekatkan wajahnya pada wajah Jong Woon. Perlahan tangan Jong Woon menyentuh belakang kepala Hye Mi dan bibir mereka bersentuhan. Lama. Jong Woon seperti tidak mau melepaskan yeoja ini. Sementara air mata Hye Mi sudah turun. Ia tidak peduli berapa lama Jong Woon menciumnya, ia juga tidak mau melepaskan namja ini. Ia tidak mau meninggalkan namja ini. Ia tidak mau…

Jong Woon menyadari air mata Hye Mi sudah jatuh. Tapi ia masih tidak mau melepaskan ciumannya. Seperti tahu bagaimana perasaan gadis itu saat ini, Jong Woon memeluknya lembut. Biarlah… biarlah saat ini seperti ini. Ia merasa seperti tidak akan mendapatkan apa yang selama ini sudah Hye Mi berikan padanya. Cinta, kasih… Ia merasa tidak akan mendapatkan semua itu lagi. Entah kenapa…
****

Sungmin masuk ke dalam ruangan. Ruangan di mana hanya ada Hye Mi di sana. Ia menyentuh puncak kepala yeoja itu lembut. Senyumnya sudah terukir di wajahnya. Ia bahagia. Bahagia karena apa yang selama ini ia kejar akan menjadi miliknya.
“Kau sudah siap? Sebentar lagi acaranya akan dimulai.”
Hye Mi hanya mengangguk pelan. Ia tidak bisa menjawab ‘Ya, aku siap.’ Karena memang hatinya tidak siap. Hati kecilnya memberontak. Ia tidak mau menjadi milik namja ini. Tapi di lain sisi, ia harus melakukan ini. Kim Jong Woon, pikirannya dipenuhi dengan nama itu. Matanya memanas mengingat nama itu.
“Kau sudah mengundangnya?” tanya Sungmin. “Kim Jong Woon?”
“Sudah. Aku sudah memberikan undangan padanya,” jawab Hye Mi datar.
“Aku keluar dulu. Sebentar lagi acaranya akan dimulai.”
Sungmin berjalan keluar dari ruangan itu. Tinggal Hye Mi yang sedang merenungi pilihannya. Ternyata begini rasanya mengkhianati seseorang yang sangat dicintai. Sakit. Ia bahkan masih ingat bagaimana dengan berat hati ia memberikan undangan pertunangannya dengan Sungmin pada Jong Woon.
****

Jong Woon sudah keluar dari rumah sakit. Keadaannya sudah membaik. Ia sudah sembuh. Dan luka-lukanya sudah tidak apa-apa. Harusnya mereka senang, tapi tidak. Hye Mi dan Jong Woon yang duduk di bangku taman hanya terdiam. Mereka tidak tahu harus mengatakan apa untuk memecah keheningan ini.
Tangan Hye Mi terulur memberikan undangan pada Jong Woon. Ya, undangan pertunangannya dengan Sungmin. Jong Woon mengambil undangan itu. Wajahnya masih tetap dingin. Tidak biasanya Hye Mi melihat wajah Jong Woon seperti itu.
“Jadi ini pilihanmu?” tanya Jong Woon datar tanpa menatap Hye Mi. Pandangannya lurus ke depan. Begitu pula Hye Mi, ia tidak sanggup menatap namja ini. “Aku sungguh tidak mengerti kehidupanmu.”
Oppa…”
“Hah, ternyata aku gagal menepati janjiku waktu itu,” ujar Jong Woon sambil tersenyum pahit. “Kata-katamu sama saja seperti yeoja lainnya. ‘Carilah yeoja yang lebih baik dariku dan bisa mencintaimu dengan tulus.’” ujar Jong Woon menirukan kata-kata Hye Mi.
Oppa…” Air mata Hye Mi turun. Ia tidak sanggup menahan emosinya saat ini. Akhirnya ia menoleh pada Jong Woon. Wajah namja itu… saat ini wajahnya susah ditebak. Ekspresi apa itu? Itukah ekspresi seseorang yang sakit hati? Sesakit itukah? Apakah sama sakitnya dengan apa yang Hye Mi rasakan ketika memilih Sungmin?
Jong Woon menatap Hye Mi tajam. Kedua tangannya memegang pundak Hye Mi kasar. “Apa kau tahu tidak ada orang lain yang bisa menggantikanmu? Tidak ada yeoja lain yang lebih baik darimu! Apa kau tahu itu?!” seru Jong Woon. Emosinya meledak. “Kau harus tahu, Park Hye Mi, aku bukanlah orang yang bisa merelakan sesuatu. Aku orang yang egois! Aku tidak mau orang lain memilikimu! Hanya aku yang boleh memilikimu! Senyummu, tawamu, tatapanmu, bibirmu… semua itu harusnya hanya milikku! Tidak ada orang lain yang bisa mengambilmu dariku! Aku memang jahat! Aku egois! Kau harus tahu itu!” serunya lagi membuat tangis Hye Mi semakin pecah. Ia masih memegang kedua pundak Hye Mi dengan kuat. Dengan kasar sesekali ia mengguncang tubuh kecil yeoja itu.

Oppamianhae… Kau boleh membenciku, kau boleh tidak mau memaafkanku. Oppa…”
Jong Woon melepaskan tangannya dari bahu Hye Mi. Ia menatap wajah yeoja itu dengan tatapan datar. “Bahkan air mata itu… aku tidak tahu apa air mata itu kau tujukan untukku atau untuk Lee Sung Min. Apa hanya kata maaf yang bisa kau berikan untukku?”
Oppa…” ucap Hye Mi lirih sambil sesekali terisak. Air matanya terus turun membasahi pipinya.
“Kau tahu hidup tanpamu seperti bukan hidup bagiku? Kau tega membuatku menjadi mayat hidup? Kau puas?!”
“Aku juga sakit, Oppa…
“Tapi, kenapa?” Jong Woon mengerutkan alisnya. Raut wajahnya menunjukkan tanda tanya pada Hye Mi. “Kenapa kau tega melakukan ini? Kau tidak bisa hidup tanpaku, tapi tetap melakukan ini? Apa kau sekejam itu, hah?!” Emosi Jong Woon kembali naik. Nada bicaranya mulai meninggi. “Kau kejam, Hye Mi… kau tega menyiksa diriku dengan meninggalkanku seperti ini. Tapi, kau juga menyiksa dirimu sendiri. Aku tidak menyangka kau bisa melakukan hal ini, kau menyiksa batinmu sendiri.”
“Aku…”
“Aku mengerti.”
Oppa…”
“Aku mengerti. Pergilah bersama Sungmin. Kalau itu pilihanmu, aku mengerti. Semoga kau bisa bahagia dengannya.” Jong Woon menatap Hye Mi lembut. Perlahan ia menyentuh pipi gadis itu dan menghapus air matanya. “Kau harus tahu, Hye Mi… saranghaeyo.”
Nado saranghaeyo, Oppa…” sahut Hye Mi sambil terisak.
Saranghaeyo.” Jong Woon mengecup bibir Hye Mi pelan. Untuk kali ini saja. Untuk terakhir kalinya. “Untuk kali ini… jangan dilepas,” ujarnya pelan sementara bibirnya masih menyentuh bibir yeoja ini. Hye Mi menurut.
Jong Woon tidak sadar sudah berapa lama ia mencium gadis ini. Akhirnya ia melepas ciumannya. Entah kenapa saat melepasnya, ia merasa aneh. Seperti ada yang hilang di hatinya.
Saranghae,” ucapnya lirih. Lalu ia beranjak dan meninggalkan Hye Mi.
Saranghaeyo, Oppa…” ucap Hye Mi pelan. Tapi berharap Jong Woon dapat mendengarnya dan merasakannya.
****

Lamunan Hye Mi buyar ketika mendengar suara ketukan pintu dari luar. Dengan cepat sebelah tangannya menghapus air mata yang sudah terlanjur jatuh. “Masuk,” serunya.
Terlihat Jung Soo berdiri di belakang pintu. “Acaranya sudah mau dimulai,” katanya hati-hati. Ia tahu bagaimana perasaan adik sepupunya itu saat ini. Perih.
Hye Mi berjalan ke arah Jung Soo. Mereka menuju ruangan di mana semua tamu sudah menunggunya. Tamunya tidak terlalu banyak, hanya beberapa kerabat mereka dan teman Hye Mi, Song Eun. Tampak Sungmin sudah siap-siap dengan senyum yang terukir di wajahnya.
“Sudah siap?” tanya appa Hye Mi.
Hye Mi hanya mengangguk lemah.
“Baiklah, sekarang kita mulai saja acaranya.”
****

Jong Woon berlari ke arah ruangan di mana acara pertunangan Hye Mi dan Sungmin dilaksanakan. Dia sendiri tidak tahu kenapa dia berlari. Mungkin karena ia tidak rela yeoja itu menjadi milik orang lain? Ia tahu hal itu tidak mungkin bisa mempengaruhi apapun, tapi… entahlah.
Ia sampai di depan ruangan itu dan pintunya terbuka lebar, sehingga dia bisa melihat peristiwa yang sangat menyakiti hatinya. Matanya membulat, mulutnya sedikit ternganga, dan jasnya sudah tidak serapi sebelum ia sampai di ruangan itu, mungkin karena ia berlari terlalu kencang. Tubuhnya lemas, seakan jantungnya berhenti berdetak dan terjatuh entah di mana. Sakit, ah tidak. Mungkin lebih tepatnya… hancur.
****

Yeoja itu hanya terdiam melihat cincin yang melingkar indah di jari manisnya. Ia mengangkat kepalanya untuk melihat namja yang tadi memasangkan cincin itu ke jarinya. Tampak senyum terukir di wajah namja itu. Hancur. Hanya kata itu yang bisa menggambarkan perasaannya saat ini. Ia memalingkan pandangannya ke arah pintu dan mendapati Jong Woon sedang berdiri di sana. Apa yang dia lihat? Apa dia melihat proses Sungmin memasangkan cincin itu pada Hye Mi?

“Jong Woon-ah, apa yang kau lakukan di sini?”
Jong Woon mengalihkan pandangannya pada Jung Soo yang berdiri di sampingnya.
“Ayo, masuk,” ujar Jung Soo seraya meraih pundak Jong Woon dan mengajaknya masuk.
“Selamat,” ujar Jong Woon pelan dengan senyum yang dipaksakan ketika ia sudah berdiri di hadapan Hye Mi.
Hye Mi hanya terdiam. Ia tidak mampu berkata apa-apa. Perlahan sebelah tangan Jong Woon mendarat di puncak kepalanya.
“Sekarang keadaannya sudah berbeda,” katanya pelan. “Hanya ini yang bisa kulakukan. Tidak seperti dulu, aku akan memelukmu dan mungkin mencuri ciummu.” Ia tertawa getir, mencoba mencairkan atmosfer yang menyelimuti dirinya dan yeoja di hadapannya. “Selamat.” Setelah berkata begitu, ia keluar dari ruangan itu. Hye Mi hanya bisa melihat punggungnya yang semakin menjauh dan akhirnya hilang di balik pintu.
Ya… keadaannya sudah berubah sekarang. Sangat berbeda, tidak seperti dulu. Sekarang yang harus ia pikirkan adalah Sungmin. Sungmin yang akan mengisi hari-harinya setelah ini… bukan Jong Woon. Bukan lagi Kim Jong Woon.
****

 Gimana? Leave comment yaw ^^
Jangan lupa ^^/