Title : The Truth (Part 3)
Author : Ifa
Raneza
Edited by: Hendiana
Cast : Lee Donghae, Lee Hyunmi (OC), Lee Hyuk Jae
(Eunhyuk)
Genre : Romance, Friendship, Family, Angst
Haaai~~!
:D Masih pada penasarankah sama kelanjutan cerita ini?
Btw
maaf yak kalau di part sebelumnya rada gaje karena sudut pandangnya ganti mulu.
Abisnya saya udah kebiasaan bikin dari sudut pandang tokoh. Jadi kalo pas bikin
sudut pandang author jadi agak kurang nyaman gitu.
Okelah.
Langsung dibaca aja.
Happy
reading ^^
***
Aku
berlari masuk ke dalam kamarku dan tidak memedulikan teriakan immo yang terus memanggil-manggil
namaku. Aku tidak peduli dengan segala panggilan apapun. Aku sudah tidak bisa
menahan diriku lagi saat ini. Aku membenamkan wajahku pada lututku yang kutekuk
dengan sesekali memukul keras dinding kamar. Kenapa… Tuhan, kenapa kau tetapkan
takdir kami seperti ini?
“Kau yang terlalu
indah untuk memakainya. Saranghae…”
Itu
kalimat yang kudengar dari mulut Eunhyuk, sahabatku sendiri. Lalu setelahnya
aku melihat dia mendekatkan wajahnya pada Hyunmi, yeoja yang selama ini aku cintai secara diam-diam. Kenapa… Kenapa namja yang berhasil merebut hati Hyunmi
adalah Eunhyuk? Kenapa harus Eunhyuk, sahabatku sendiri?!
“Ne, Oppa…
Saranghae…”
Tiba-tiba
ucapan Hyunmi yang kudengar tadi malam langsung masuk ke dalam otakku. Jadi
kata-kata itu ia tujukan untuk Eunhyuk? Dan selama ini aku tidak menyadari
sikap mereka yang berbeda? Kenapa aku bisa begitu bodoh?
AAARGGGHHH!!!
Tanpa
sadar aku berteriak bersamaan dengan keluarnya air mata yang mulai membanjiri
wajahku. Aku sudah tidak peduli lagi. Hatiku sakit… Rasanya perih. Kenapa,
Tuhan? Kenapa…
“Hae!
Hae!! Kau kenapa?” seru immo dari
luar kamar sambil menggedor keras pintu kamarku, berharap aku akan segera
membuka pintu. “Lee Donghae!! Jawab Immo!!!”
“Donghae-oppa?”
Aku
tertegun sebentar. Suara itu…
“Donghae-oppa? Gwaenchana?”
Apa
dia bilang? Di saat seperti ini dia masih bisa bertanya apa aku baik-baik saja?
Aku
tidak menjawab pertanyaannya. Kurebahkan tubuhku di atas kasur dan mulai
memejamkan kedua mataku. Hatiku masih terlalu sakit untuk menghadapinya saat
ini. Terlebih lagi dengan fakta bahwa dia sudah memilih Eunhyuk sebagai namja-nya, dan aku… aku hanya seorang
kakak untuknya, tak lebih.
***
(Hyunmi POV)
Aku
berhenti mengetuk pintu kamar bercat putih itu dan menghela nafas panjang.
“Bagaimana?”
Aku
hanya menanggapi pertanyaan namja di
sebelahku itu dengan gelengan. Aku sudah putus asa untuk menghadapi Donghae-oppa. Cukup sudah, dia sudah tahu
semuanya. Dia sudah tahu semua yang kututupi selama ini.
“Sudahlah…”
bisiknya seraya menarikku ke dalam pelukannya saat cairan bening menuruni
pipiku.
“Kenapa,
Oppa? Kenapa semuanya jadi begini?
Kenapa Donghae-oppa tidak menyukai
hubungan kita?” ucapku sambil terus terisak di dalam pelukannya.
Dia
mengelus pelan punggungku, mencoba menenangkanku. Tapi nihil, aku masih terus
terisak dan membuat baju bagian dadanya basah akibat air mataku yang terus
mengalir deras.
“Dia
terlalu menyayangimu, Hyunmi-ah,” ucapnya tanpa menghentikan tangannya yang
mengelus pelan punggungku.
“Tapi
kenapa? Kenapa dia bisa menjadi begitu protektif padaku?” ucapku dengan
tangisan yang semakin menjadi-jadi. Bahuku terus berguncang dan nafasku sedikit
tersengal karena terus menangis. “Apa dia membenci kita, Oppa?” tanyaku.
Dia
mendorong pelan tubuhku hingga kami kini berhadapan. Ia menyentuh pipiku dan
menghapus air mata yang masih mengalir di sana.
“Percayalah
padaku. Dia menyayangimu,” ucapnya pelan sambil menarik sudut bibirnya hingga
membentuk seulas senyuman.
“Tapi…
Bagaimana kalau dia..”
“Kita
akan lalui ini bersama, arra?”
ucapnya memotong ucapanku dan mengecup lembut kepalaku.
Aku
hanya mengangguk pelan, lalu kembali kubenamkan wajahku pada dadanya yang
bidang. Dia melingkarkan kedua tangannya pada tubuhku dan merapatkan pelukan
kami. Donghae-oppa, kenapa kau jadi
begini?
***
“Sebenarnya
apa yang terjadi?” tanya immo saat
kami baru saja selesai makan malam, tanpa Donghae-oppa.
Aku
hanya menggeleng lesu, menolak untuk menjelaskan semua yang terjadi pada immo. Kudengar hembusan nafas immo yang terdengar berat dan lelah.
Pasti dia juga kebingungan dengan perubahan sikap Donghae-oppa saat ini.
“Biar
aku yang mengantarkan makanan untuknya,” ujarku seraya mengambil nampan dan
beberapa lauk pauk serta air putih.
“Kalau
kalian ada masalah, selesaikanlah secara baik-baik,” kata immo yang kurespon dengan senyuman.
Aku
bangkit dari kursi dan berjalan ke kamar Donghae-oppa dengan nampan berisi makanan. Sudah hampir sepuluh jam sejak
dia mengunci dirinya di kamar, aku harap dia sudah membuka kunci kamarnya dan
membiarkanku masuk.
“Oppa?” panggilku, berharap dia akan
segera menyahut. “Oppa, aku masuk,
ya…”
Aku
membuka pintu kamarnya dan kulihat dia masih berbaring di kasur dengan kedua
matanya yang tertutup rapat. Kuletakkan nampan yang kubawa di meja dekat tempat
tidurnya dan duduk di pinggir ranjang.
“Donghae-oppa…” panggilku seraya mengguncang
bahunya pelan.
Perlahan
kedua matanya terbuka. Ia bangkit dan menatap lurus ke depan, menolak untuk
menatapku.
“Oppa, kau harus makan,” ucapku sambil
menyodorkannya segelas air putih. “Ayo, minum dulu.”
“Sejak
kapan?” tanyanya dingin, membuat tubuhku sedikit menegang untuk beberapa saat.
“Mwo?”
“Sejak
kapan?” tanyanya lagi dengan tatapan yang sudah beralih padaku.
Aku
hanya terdiam dengan kepala yang tertunduk, tidak berani menatap matanya.
Dingin, tatapannya begitu dingin. Aku merasa seperti tidak sedang berhadapan
dengan Donghae-oppa, kakak yang
selama ini kukenal. Bisa kudengar hembusan nafasku yang tidak beraturan dan
jantungku yang berdetak dengan kencang.
“Sejak
kapan kalian berpacaran?” tanyanya lagi dengan nada bicara yang sama.
“Ngg…
Oppa, kau harus makan,” ucapku seraya
menggerakkan tanganku, hendak mengambil piring berisi makanan.
“JAWAB
AKU, LEE HYUNMI!!” bentaknya yang langsung membuat gerakanku terhenti.
Kini
aku memberanikan diri untuk mengangkat wajahku, menatapnya. Tampak sekali
emosinya sedang naik. Nafasnya tidak teratur dan ada kilatan amarah yang
terlihat dari sorot matanya. Kurasakan kedua tanganku yang bergetar, takut
dengan emosinya yang bisa meledak sewaktu-waktu. Aku rasa wajahku juga sudah
memucat sekarang.
“Oppa…”
“Jawab
aku.”
Kuhembuskan
nafasku perlahan dan mulai mengeluarkan suaraku untuk menjawab pertanyaannya. “Sejak
dua hari yang lalu.”
Donghae-oppa menghembuskan nafasnya frustasi. “Kenapa…?”
ucapnya lirih. “Kenapa harus Eunhyuk?”
Aku
mengangkat wajahku, menatapnya tak habis pikir. “Wae, Oppa? Ada apa dengan Eunhyuk-oppa? Bukankah dia namja
yang baik?”
“Tapi
dia sahabatku!!”
“Lalu?
Bukankah itu bagus? Apa yang kau permasalahkan sekarang? Dia sahabatmu, kan?
Kau sudah mengenalnya dengan baik.”
“Tapi
aku tidak bisa!!” bentaknya. “Aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja,
Hyunmi-ah!”
Mendadak
emosiku pun ikut naik, tidak habis pikir dengan jalan pikiran namja di depanku ini.
“Wae? Ada apa denganku? Kenapa kau tidak
bisa melepaskanku bersama orang yang kusayangi, Oppa?” tanyaku dengan nada bicara yang mulai meninggi. “Bukankah
aku adikmu, Oppa? Lalu kenapa kau
tidak bisa melihatku bahagia?”
“Kau
bukan adikku, Lee Hyunmi!!”
PLAAK!!
Aku
terpaku sesaat saat mendengar seruan Donghae-oppa, terlebih lagi saat kulihat pipi kirinya menerima tamparan
keras. Tanpa sadar air mataku mengalir begitu saja dengan derasnya. Kenapa…
Kenapa dia bisa bicara seperti itu? Aku menolehkan kepalaku ke samping dan
mendapati immo yang sudah berdiri
dengan penuh amarah di sana. Immo…
dia sudah menampar pipi Donghae-oppa.
“Apa
yang kaukatakan, Lee Donghae?!!” bentak immo,
menatap Donghae-oppa dengan penuh
emosi.
Donghae-oppa membuang mukanya ke arah lain,
tidak memedulikan ucapan immo yang
juga sudah tersulut emosinya. Sementara aku? Aku hanya bisa terdiam dengan air
mata yang terus mengalir di kedua sisi wajahku. Aku bukan adiknya? Lalu… aku
ini siapa? Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tak percaya dan menutup mulutku
yang sedikit terbuka dengan kedua tanganku.
“Immo… Apa benar..?” ucapku dengan suara
serak.
Perlahan
immo membalas tatapanku dan mencoba
menghentikan tangisku.
“Tidak,
Sayang.. Itu tidak benar. Donghae hanya sedang emosi saat mengatakannya,”
jawabnya sambil menghapus air mataku dengan jemarinya lembut.
“Jinjja?”
“Iya,
Sayang..”
“Huh…”
Donghae-oppa mendengus, lalu kulihat
seringai muncul di bibirnya. “Emosi?” ucapnya angkuh.
“Oppa…” ucapku dengan tangisan yang
semakin menjadi.
Aku
berlari keluar dari kamar itu dengan tidak memedulikan panggilan immo. Kubanting pintu kamar dan
menguncinya rapat. Aku bukan adiknya, lalu aku ini siapa?
***
Kubuka
mataku perlahan saat kurasakan wajahku yang mulai terasa panas. Kulihat dari
jendela kamarku, langit sudah terang. Ternyata sudah pagi. Berapa lama aku
menangis tadi malam? Sekarang aku merasa kepalaku pusing dan terasa
berputar-putar. Ucapan Donghae-oppa
tadi malam masuk begitu saja ke dalam ingatanku, membuat dadaku kembali sesak.
Tok…
Tok… Tok…
Aku
menoleh ke arah pintu. Tanpa rasa semangat, aku membukanya. Aku masih terlalu
malas untuk masuk sekolah hari ini. Mataku pun masih terlalu berat untuk
dibuka, pasti kedua mataku sudah membengkak sekarang.
Nafasku
sedikit lebih baik saat tahu siapa yang sedang berdiri di depan pintu kamarku
saat ini. Melihat senyumnya saja sudah membuatku merasa lebih baik sekarang.
“Pagi,
Tuan Putri,” sapanya lembut.
Tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, aku segera menghambur memeluk tubuhnya.
Kubenamkan wajahku pada dadanya, dan aku yakin sekarang baju seragamnya sudah
tidak serapi tadi.
“Kau
baik-baik saja?” tanyanya. Aku tidak menjawab, aku sendiri juga bingung harus
menjawabnya seperti apa. Aku baik-baik saja? “Aku sudah mendengar semuanya dari
Lee Ahjumma,” ujarnya.
Aku
mendorong tubuhnya agar bisa menatap wajahnya. Immo menceritakan semuanya? Dia tersenyum dan mendorongku masuk ke
dalam kamar. Setelah menutup pintunya, ia duduk di sisi ranjang, di sampingku.
“Masalah
kalian.. pasti karena hubungan kita, ne?”
tanyanya dengan nada bersalah.
Aku
tersenyum kecut dan mengangguk menjawab pertanyaannya. Dia menghela nafasnya
panjang, kemudian menggenggam kedua tanganku erat. Seakan meyakinkanku akan
perasaannya, dia menatapku lekat tepat di kedua bola mataku.
“Tidak
apa-apa. Semuanya pasti akan baik-baik saja,” ucapnya lembut.
Aku
mengangguk dan kembali menjatuhkan diriku ke pelukannya. Bisa kurasakan
nafasnya yang berhembus teratur dan detak jantungnya yang berdetak dengan
tenang. Aku merasa sangat nyaman saat bersamanya. Aku sangat menyayanginya, aku
mencintainya… sangat.
“Oppa…” panggilku saat pelukan kami
terlepas. Kutatap matanya dalam, dan dengan sekuat tenaga aku mencoba
mengucapkan kalimatku walau terasa begitu berat. “Donghae-oppa.. Dia bilang bahwa aku bukan.. Dia bilang aku bukan adiknya,”
ucapku dengan suara yang semakin lirih pada akhir kalimat.
Bisa
kulihat keterkejutan dari sorot mata namja
di depanku ini. Lama kelamaan dadaku terasa begitu sesak dan…
“Apa
dia begitu membenciku sampai-sampai dia.. dia mengatakan hal itu?” ucapku
bersamaan dengan air mata yang kembali membasahi pipiku.
Kurasakan
sebuah tangan hangat mengelus pipiku lembut, menghapus air mata yang mengalir
di sana.
“Dia
tidak membencimu, Hyumi-ah.. Dia menyayangimu, sangat..” ucapnya, berusaha
menghiburku.
“Tapi
kenapa dia berkata seperti itu padaku?”
“Dia
pasti sedang emosi karena kita tidak jujur tentang hubungan kita padanya.”
“Tapi..”
“Lee
Hyunmi.. Percaya padaku, dia menyayangimu, Chagi,”
ucapnya sambil mengelus rambut panjangku lembut. “Jangan menangis lagi,”
ucapnya lagi yang hanya kurespon dengan senyuman.
“Kau
tidak sekolah?” tanyaku saat tangisku sudah mulai mereda.
“Aku
khawatir padamu.”
“Bagaimana
kalau kau dimarahi sem?”
“Aku
sudah mengirim surat izin ke sekolah.”
Dia
menarikku kembali ke dalam pelukannya. Hangat. Rasanya sangat hangat. Aku tidak
mau melepaskan namja ini. Aku sangat
mencintainya. Andai saja Donghae-oppa
bisa mengerti akan hal itu.
“Eunhyuk-oppa… Saranghae..” ucapku tanpa sadar dan semakin membenamkan wajahku
pada dadanya.
“Ne, Hyunmi.. Nado saranghae.”
***
(Donghae POV)
“Donghae..”
Aku
menghentikan langkahku saat mendengar panggilan itu. Kutolehkan kepalaku ke
belakang dan benar saja, kulihat seorang namja
berdiri di depan pintu kamar Hyunmi. Eunhyuk.
“Sedang
apa kau di sini?” tanyaku dingin.
Dia
berjalan menghampiriku dan dengan hati-hati disentuhnya pundakku. Tapi
tangannya itu langsung kutepis. Bisa kulihat guratan terkejut pada wajahnya.
Dia sahabatku, tapi persahabatan kami sudah hancur hanya karena satu persoalan.
Ah, tidak. Bukan hanya satu, tapi banyak sekali persoalan yang sedang melanda
kami.
“Kau
tidak masuk sekolah karena menemani Hyunmi?” tanyaku dengan nada bicara yang
masih sama.
Namja itu mengangguk dan menatapku
teduh. Dia tampak menelan ludahnya dan dengan hati-hati ia mulai berbicara.
“Kau
membenciku?” tanyanya pelan.
Kutarik
sudut bibirku ke atas dan membuat sebuah seringai muncul di wajahku.
“Kau
boleh membenciku. Tapi aku mohon.. jangan membenci Hyunmi.”
“Aku
tidak membencinya,” ucapku dengan menatapnya tajam tepat pada kedua bola
matanya.
“Tapi
kenapa kau mengatakan hal itu padanya?” tanyanya pelan, tampak sekali dia
sedang menjaga emosiku agar tidak meledak-ledak. “ ‘Hyunmi bukan adikmu’? Apa
kau pernah memikirkan bagaimana perasaannya saat ini?”
“Itu
benar,” ucapku yang membuat Eunhyuk sekali lagi menatapku tak percaya.
“Hae..”
“Itu
benar. Dia bukan adikku. Lee Hyunmi bukan adikku,” ucapku dengan penekanan pada
kalimat terakhirku. “Aku mencintainya, Hyuk. Sangat mencintainya. Karena itulah
aku marah saat tahu kalian telah berhubungan.”
“Mwo?”
“Kenapa?
Kau terkejut?”
Eunhyuk
tidak menjawab ucapanku. Dia hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri
sementara matanya terus menatapku. Terkejut. Aku tahu pasti itu yang sedang ia
rasakan saat ini. Tapi itulah kenyataannya.
“Aku
sudah mengenalnya selama lima belas tahun, dan kau.. kau baru mengenalnya. Tapi
kau sudah merebutnya dariku!!”
“Oppa..”
Aku
menoleh ke arah sumber suara, begitu pula dengan Eunhyuk. Tampak seorang yeoja sedang berdiri tak jauh dari
tempat kami berdiri sambil menatapku tak percaya. Aku membulatkan mataku,
seakan tak yakin dengan apa yang sedang kulihat. Hyunmi..
“Apa
itu benar?” ucapnya pelan sambil menutup mulutnya dengan telapak tangannya,
menatapku tak percaya.
“Hyunmi..
dengarkan aku..” ucapku sambil perlahan melangkah mendekat padanya.
“Jawab
aku,” ucapnya yang membuat langkahku terhenti. “Apa itu benar?”
Aku
menelan ludahku dengan susah payah. Dan dengan susah payah pula kuanggukan
kepalaku pelan.
“Donghae..”
Kudengar Eunhyuk mengucapkan namaku, seakan tak percaya dengan apa yang
kuucapkan barusan. Inilah saatnya, dia harus tahu yang sebenarnya.
“Kau
bukan adikku, Hyunmi..” ucapku pelan.
“Lalu
aku ini.. siapa?” tanyanya lirih. Aku yakin air mata pasti sudah mendominasi
wajahnya sekarang.
“Kau
dan aku.. Kita tidak memiliki hubungan darah apapun. Orang tuamu dan orang
tuaku berbeda..”
Bisa
kudengar tangisan gadis itu makin menjadi. Eunhyuk melangkah melewatiku dan
menarik tubuh gadis itu ke dalam dekapannya. Ia menatapku tak percaya, seolah
apa yang sedang kulakukan saat ini adalah salah.
“Donghae,
kau..”
“Dan
immo… Dia adalah adik ayahku.
Sedangkan kau..” Ucapanku terputus. Aku menarik nafasku, mencoba mengumpulkan
oksigen untuk mengisi ruang paru-paruku. Meskipun hal itu percuma. Dadaku masih
saja terasa sesak dan hampa. “Kau adalah anak dari sahabat orang tuaku..
Ayahmu, Kim Yoon Joon.”
“LEE
DONGHAE!!”
Kurasakan
sebuah tamparan panas bersarang di pipi kiriku untuk kedua kalinya. Aku hanya
terdiam, membisu di tempatku. Maafkan aku.. Tapi Hyunmi memang harus tahu yang
sebenarnya.
“Apa
yang sudah kaukatakan, Lee Donghae?!!” seru immo
dengan kilatan amarah pada matanya.
“Dia
berhak tahu, Immo..” ucapku pelan,
berusaha bertahan pada pikiranku. Ini adalah kebenaran yang harus ditunjukkan
pada Hyunmi.
“Tapi..”
“Immo…” ucap sebuah suara yang sedari
tadi diam. Suaranya serak, dan bahkan kurasa dia terlalu berat untuk
mengeluarkan suaranya.
Kulihat
gadis itu berusaha mendorong tubuh Eunhyuk agar terlepas dari dekapan namja itu. Ia menatap immo dengan matanya yang sudah bengkak
karena terlalu banyak menangis.
“Jelaskan
semuanya padaku..” ucapnya.
“Hyunmi,
itu…”
“Katakan
saja, Immo,” ujarku memotong ucapan immo.
Kini
immo menatapku tak percaya.
“Jelaskan
pada kami kenapa kami bisa ada di sini.. Kenapa kami bisa disatukan di sini..”
ucapku dengan pandangan yang menunduk, tidak berani menatap siapapun yang
berada di ruangan ini.
Immo menghela nafasnya panjang.
Kemudian dengan berat, suaranya mulai terdengar. Menceritakan kebenaran yang
sudah sejak lama ingin kudengar.
***
[Flashback]
(Lee Ahran POV)
Aku
berlari ke dalam sebuah ruangan serba putih di mana bisa kulihat tubuh-tubuh
orang yang sangat kukenali terbaring tak berdaya di atas ranjang. Air mataku
mengalir begitu saja saat kudapati oppa
dan kakak iparku yang sudah hampir tak bisa menarik nafasnya.
“Oppa.. Eonnie..” ratapku seraya membelai wajah mereka secara bergantian.
“Ahran…”
panggil oppa dengan suaranya yang
sudah tak berdaya. “Jaga Donghae.. untuk kami..”
“Wae, Oppa? Kenapa tidak kalian saja yang
menjaganya?” tanyaku dengan air mata yang semakin deras menuruni pipiku.
Oppa menggeleng lemah. “Tidak bisa…”
“Kenapa
tidak bisa, Oppa? Kenapa kau tidak
bisa menjaga anakmu sendiri?”
“Waktu
kami… sudah tidak banyak,” ucap oppa
yang semakin membuatku tangisan menjadi-jadi.
“Oppa, jangan berbicara seperti itu!”
“Kumohon..
jaga Donghae dan juga.. Hyunmi…”
“Hyunmi?”
Kulihat
oppa berusaha untuk menganggukkan
kepalanya dengan susah payah.
“Dia…
anak Kim Yoon Joon, sahabatku.”
Pandanganku
beralih mengikuti arah pandang Oppa.
Kulihat sepasang suami istri juga terbaring di atas ranjang. Bedanya, mereka
sudah tidak bernyawa.
“Kumohon..
jaga mereka seperti kau menjaga nyawamu sendiri…”
Setelah
itu oppa menutup kedua matanya dan
tidak membukanya lagi. Detik itu juga terdengar suara nyaring dari alat
pendeteksi detak jantung. Oppa dan eonnie.. Mereka sudah tidak bernyawa
lagi. Mereka sudah meninggalkanku dan anak mereka, Donghae untuk
selama-lamanya.
“Ommaaa… Appaaaa…”
Kulihat
seorang namja kecil menarik-narik
pakaian oppa dan eonnie dengan air mata yang sudah membasahi seluruh wajahnya.
Tangisannya semakin menjadi tatkala dokter menutup seluruh tubuh dua orang itu
dengan kain putih.
Kuangkat
anak itu ke dalam gendonganku dan mencium pipinya berkali-kali. “Jangan
menangis… Immo di sini…” bisikku
perlahan.
Kini..
tinggal aku yang harus menjaga dan melindungi Donghae dan Hyunmi yang
ditinggalkan orang tua mereka. Aku akan menjaga mereka seperti anakku sendiri.
[Flashback end]
***
(Donghae POV)
“Kecelakaan
itu… Andai saja kecelakaan itu tidak terjadi, mungkin mereka semua ada di sini,
bersama kita…” ucap immo di akhir
ceritanya. Kini matanya pun ikut mengalirkan air mata.
Kulihat
Hyunmi tak lagi berdiri tegak. Ia sudah terduduk di lantai dengan tubuhnya yang
dipeluk Eunhyuk. Tangisnya makin menjadi saat cerita immo berakhir. Ternyata itu yang terjadi sehingga kami bisa berada
di dalam situasi seperti ini, tenggelam dalam kebohongan selama lima belas
tahun.
“Kenapa…
Kenapa kalian tidak memberitahuku lebih awal?” ucap Hyunmi di sela tangisnya.
Immo menggeleng. “Aku tidak mungkin
sanggup memberitahumu tentang hal itu, Hyunmi-ah..”
“Lalu?”
Hyunmi menatap immo tajam. “Immo membiarkanku tidak tahu apa-apa..
sama sekali?” ucapnya yang membuat immo
sedikit tersentak.
“Hyunmi,
bukan itu maksud Immo…”
“Kalian
pembohong!” teriak Hyunmi seraya melepaskan dirinya dari pelukan Eunhyuk.
Setelah
ia terlepas dari pelukan namja itu,
ia bangkit dan segera berlari keluar rumah. Aku yang melihatnya langsung
terkesiap. Begitu juga dengan Eunhyuk dan immo.
Tanpa menunggu lebih lama lagi aku dan Eunhyuk langsung bergegas keluar rumah
untuk mengejarnya.
“Hyunmi!
Hyunmi!!” panggilku yang tidak ia hiraukan.
Gadis
itu… Apapun bisa saja terjadi padanya yang masih terbalut emosi. Aku berlari ke
luar rumah dan kurasakan rintik-rintik hujan yang mulai turun membasahi bumi.
Hyunmi… Bukankah gadis itu mudah sekali sakit? Tidak, dia tidak boleh sakit. Hyunmi-ku
tidak boleh sakit.
***
(Eunhyuk POV)
“Hyunmi!!
Lee Hyunmi!!” teriakku memanggil namanya di tengah jalanan yang sepi.
Hari
sudah mulai gelap, hujan pun semakin deras mengguyur bumi, membuatku semakin
khawatir dengan kondisi yeoja itu. Di
tengah kebingungan yang masih melandaku, aku terus berlari mencari-cari
sosoknya, berharap akan segera menemukannya dan melihatnya baik-baik saja.
Akhirnya
langkahku terhenti. Masih dengan nafas yang memburu, kurogoh saku celanaku dan
mengeluarkan sebuah ponsel. Dengan cekatan jari-jariku menekan tombol-tombol
sesuai angka yang sudah kuhapal di luar kepala. Donghae.
Tut…
tut… tut…
Lama
aku menunggu namja itu menjawab
teleponku, sampai akhirnya yang kudengar hanyalah nada tunggu yang tak kunjung
dijawab. Aku menekan tombol merah pada ponselku cepat. Kuacak rambutku yang
sudah basah karena hujan dengan kasar. Apa yang harus kulakukan sekarang??!
Donghae… pasti namja itu juga belum
menemukan Hyunmi saat ini. Tuhan.. Kumohon… Apa yang harus kulakukan??
Aku
meremas rambutku kuat sambil memutar otak, berpikir di mana kira-kira Hyunmi
akan kabur di saat seperti ini. Tiba-tiba terlintas di pikiranku satu tempat.
Taman! Dia pasti ada di sana sekarang. Setiap kali dia merasa sedih atau
senang, dia pasti akan pergi ke taman. Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku
langsung melangkahkan kakiku ke arah taman, berharap yeoja yang kucari memang ada di sana.
Langkahku
melambat saat tempat itu sudah ada di depan mataku. Kuedarkan pandanganku ke
seluruh penjuru taman, tak ada satupun orang di sini kecuali aku. Akhirnya aku
memilih untuk berkeliling taman, berharap akan segera menemukan yeoja itu. Tapi nihil. Dia benar-benar
tidak ada di sini.
Donghae…
Apa dia sudah menemukan Hyunmi? Sekali lagi kurogoh saku celanaku, mengeluarkan
ponsel, dan menekan-nekan tombol ponselku dengan harapan ia sudah menemukan
Hyunmi dan semuanya akan baik-baik saja.
Tut…
Tut… Tut…
Tidak
ada jawaban. Dengan jantung yang berdetak cepat dan nafas yang memburu,
kulangkahkan kakiku ke luar taman. Tiba-tiba telingaku menangkap sebuah suara.
Seperti suara ringtone handphone
Donghae. Kulangkahkan kakiku ke sumber suara. Suara itu makin jelas. Jelas
sekali. Bahkan tak hanya suara ringtone
yang kudengar, tapi juga suara tangisan.
Sekujur
tubuhku melemas saat kudapati seorang yeoja
sedang menangis dengan tubuh seorang namja
yang tergeletak tak berdaya. Bajunya yang tadinya putih sekarang tak lagi
bersih, terdapat banyak bercak darah di sana. Otot-ototku serasa ngilu saat
melihat siapa namja itu. Lututku
melemas, tubuhku jatuh di sebelah yeoja
itu dan membiarkan hujan semakin membasahi tubuhku. Darah… cairan itu yang
mendominasi warna kulitnya saat ini. Dengan hujan yang membasahi tubuh kami,
aku hanya bisa terpaku. Berharap yang ada di depanku ini hanyalah mimpi buruk.
***
[Flashback]
(Donghae POV)
“Hyuk-ah,
kita berpencar. Kau cari dia ke sana, aku cari dia ke sana,” ujarku sambil menunjuk
ke dua arah yang berlawanan.
Eunhyuk
mengangguk dan segera berlari ke arah yang kutunjuk tadi. Kulangkahkan kakiku
ke sebuah tempat yang kurasa adalah tempat di mana Hyunmi akan meluapkan
perasaannya. Taman. Dan benar saja. Baru kulangkahkan kakiku di seberang jalan,
aku sudah menemukan sosoknya yang sedang duduk di bangku luar taman. Wajahnya
tampak begitu pucat dan bajunya sudah basah kuyup akibat hujan yang terus
mengguyur bumi. Kulihat tubuhnya bergetar karena dinginnya hujan.
“Hyunmi-ah!”
panggilku, membuatnya mengangkat kepalanya hingga aku bisa melihat tatapan
kosongnya yang menyedihkan.
Kulangkahkan
kakiku ke arahnya, menyeberang jalan yang memang sudah sepi karena hujan yang
semakin deras. Sedikit lagi.. aku akan sampai di hadapannya dan bisa
memeluknya, menjalarkan kehangatan dari tubuhku ke tubuhnya. Sedikit lagi,
tinggal beberapa langkah lagi, kalau saja tidak ada penghalang untukku..
“Oppa!! Awas!!!”
Teriakan
Hyunmi membuat tubuhku membeku sesaat. Belum sempat kutolehkan kepalaku ke
belakang, melihat apa yang membuat gadis itu berteriak memanggil namaku,
kurasakan tubuhku seperti dihantam benda keras. Sakit.. sakit sekali. Kurasakan
tubuhku terpental lumayan jauh dan darah langsung mengalir keluar dari
kepalaku. Sepertinya tubuhku sudah berlumuran darah sekarang. Kulihat sebuah
mobil berkecepatan tinggi melaju menjauh setelah berhasil menghantam tubuhku.
“Oppa…” ucap Hyunmi sembari menghampiriku
dan meletakkan kepalaku di pangkuannya.
“Gwaen.. gwaenchana?” ucapku tersendat.
Dia
menganggukkan kepalanya pelan dengan air mata yang mengalir dari sudut matanya.
“Baguslah…”
ucapku bersamaan dengan senyum yang mengembang di sudut bibirku.
“Oppa… mianhae…”
“Mian..” ucapku. “Maaf karena.. aku sudah
berani.. mencintaimu…”
(Hyunmi POV)
“Maaf
karena.. aku sudah berani.. mencintaimu…” ucapnya dengan susah payah karena
nafasnya kini sudah tersengal.
Aku
menggeleng kuat. “Oppa… jebalyo, bertahanlah…” ucapku sambil
menggenggam kuat tangan kanannya.
“Maaf…”
ucapnya lirih, seakan tidak memiliki tenaga untuk sekedar mengeluarkan suara.
“Jangan
minta maaf padaku…”
“Maaf…”
Sedetik
kemudian kudengar suara ponsel Donghae-oppa
berdering. Tanpa ada niat untuk mengangkatnya, aku hanya bisa terisak sambil
terus memeluk tubuhnya yang sudah tidak berdaya lagi.
“Donghae…”
[Flashback end]
“Donghae…”
Aku
menoleh. Kulihat seorang namja sudah
menjatuhkan dirinya di samping tubuhku. Wajahnya pucat dan tatapannya
menandakan seolah dia belum percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.
“Oppa…” ucapku di sela isakan tangis.
“Terima
kasih… karena kalian sudah… menyayangiku..” ucapnya yang membuat tangisanku
semakin menjadi.
“Donghae-ah..”
“Maaf,
Hyuk-ah.. Hyunmi… Aku bukan.. sahabat dan kakak… yang baik..”
Bisa
kurasakan dalam dekapanku, nafasnya yang sudah tidak berhembus secara normal.
Nafasnya tersengal sehingga membuat dadanya naik turun dengan cepat.
“Hiduplah..
dengan baik…” ucapnya. Setelah itu bisa kurasakan ia menghembuskan nafas
panjang, nafas terakhirnya.
“DONGHAE!!!”
teriak Eunhyuk-oppa sambil
mengguncang tubuh Donghae-oppa yang
sudah tak bernyawa.
Aku
hanya bisa menangis sambil membenamkan wajahku pada dada Donghae-oppa. Tidak bisa kurasakan lagi hembusan
nafasnya. Tidak bisa lagi kulihat kedua bola matanya yang menatapku dengan teduh.
Tidak bisa lagi…
“Lee
Donghae! Bangun! Bangun, Chingu…”
Bisa
kudengar suara Eunhyuk-oppa yang
mulai bergetar memanggil nama namja
yang sudah tak bernyawa ini. Di detik berikutnya yang terdengar hanyalah suara
tangisan kami yang diiringi suara hujan yang terus mengguyur bumi.
Donghae-oppa… Kau
adalah kakak dan sahabat yang baik.
***
-10 tahun
kemudian-
(Hyunmi POV)
“Omma, Appa… Apa ini makam Donghae Ahjussi?”
tanya seorang gadis kecil berambut kepang kuda yang sudah berdiri di sampingku
sambil menatap makam di depannya lurus-lurus.
Kuhapus
air mata yang sudah mengalir di pipi kiriku dan merangkul gadis kecil itu.
“Bukan,
Sayang… Tapi ini makam Donghae-samchon,”
ujar seorang pria yang berdiri di sebelah gadis kecil itu, Eunhyuk-oppa.
“Samchon?” ucap gadis kecil itu dengan
suara kecilnya yang lucu.
“Ne, Donghae adalah kakak Omma,” jawab pria itu sambil melemparkan
senyuman hangatnya padaku.
“Jinjja?”
Aku
dan Eunhyuk-oppa mengangguk. Gadis
kecil itu mendekat ke makam Donghae-oppa
dan berlutut di sana.
“Apa
yang kau lakukan, Eunhae-ah?” tanyaku, bingung melihat tingkahnya.
“Eunhae
ingin berkenalan dengan samchon,” jawabnya
polos, mengingatkanku pada diriku sewaktu kecil.
Aku
dan pria di sampingku itu bertatapan. Seakan mengerti maksud tatapanku, pria
itu hanya tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. Kemudian
tatapannya beralih pada Eunhae yang sudah memulai monolog-nya.
“Samchon, apa kau mengenalku? Aku Lee
Eunhae, keponakanmu..” ucapnya masih dengan nada bicara anak usia tiga tahun
yang menggemaskan.
“Apa
samchon bisa melihatku dari atas
sana?” tanyanya pada dirinya sendiri sambil menengadahkan kepalanya yang mungil
ke atas, menatap langit.
Aku
beranjak mendekati putri kecilku itu dan mengangkatnya ke dalam gendonganku.
“Sudah
sore. Ayo kita pulang,” ujarku sambil melangkah pergi yang diikuti oleh
Eunhyuk-oppa dari belakang.
“Apa
besok kita bisa kembali ke sini lagi, Omma?”
tanyanya polos.
“Waeyo?”
“Eunhae
ingin berbicara dengan Donghae-samchon
lagi,” jawabnya dengan tatapan yang lembut.
Aku
mengangguk, begitu pula dengan Eunhyuk-oppa
yang sudah berdiri di sampingku.
“Tentu
saja, Sayang. Besok kita akan kembali lagi ke sini,” ujar Eunhyuk-oppa sambil mencubit gemas pipi gembul
Eunhae.
“Jinjja?” tanyanya.
Kami
berdua serempak mengangguk.
“Omma dan Appa janji, ya..”
“Ne…”
Donghae-oppa … Apa kau bisa melihat kami dari
atas sana? Apa kau bisa melihat kami yang sudah hidup dengan baik sesuai dengan
permintaan terakhirmu? Kami sudah bahagia sekarang, Oppa. Dan Eunhae.. Dia adalah anakku dan Eunhyuk-oppa. Aku mengambil nama belakangmu dan
nama depan Eunhyuk-oppa untuk nama
anakku. Apa kau keberatan? Dan sepertinya.. Eunhae mulai menyukaimu. Terbukti
dia sangat antusias saat kami menceritakan tentangmu padanya. Dia anak yang
manis, mengingatkanku pada diriku sewaktu kecil dulu. Tapi bedanya, Eunhae
sangat lucu dan berani, sedangkan aku.. Aku hanya bisa menangis dan berlindung
di belakangmu saat anak-anak nakal menggangguku. Apa kau ingat itu?
“Yeobo-ya..”
“Ne, Oppa?”
“Kau
teringat dengan kejadian itu?” tanyanya dengan menatapku cemas.
Aku
mengangguk pelan. “Aku tidak apa-apa… Jangan khawatirku,” ucapku sambil menarik
sudut bibirku, mencoba meyakinkannya.
Dia
mengangguk. Kemudian dia membukakan pintu mobil untukku. Aku masuk ke dalamnya
dan memeluk Eunhae yang sudah tertidur di dalam gendonganku. Eunhyuk-oppa mulai menyalakan mesin mobil dan di
detik berikutnya mobilnya sudah melaju, menjauh dari tempat di mana tubuhnya
dimakamkan.
Donghae-oppa… sampai kapanpun kau adalah
kakak dan sahabat yang baik.
-END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar