Title : The Truth (Part 2)
Author: Ifa
Raneza
Edited by: Hendiana
Cast : Lee Donghae, Lee Hyunmi (OC), Lee Hyuk Jae
(Eunhyuk)
Genre : Romance, Family, Friendship
Serapat apapun
ditutupi, kebenaran pasti akan terungkap juga.
***
“Cepat atau lambat
dia pasti akan tahu kebenarannya…”
Wanita
paruh baya itu masih memikirkan ucapan Donghae tadi malam. Semalaman ia tidak
tidur karena terus memikirkan perkataan keponakannya itu. Berbagai kemungkinan
muncul di benaknya. Bagaimana kalau Hyunmi tahu semua kebenarannya? Bagaimana
kalau Donghae tahu kebenaran yang tersimpan lebih jauh lagi? Bagaimana kalau
mereka akan meninggalkannya seorang diri? Bagaimana… bagaimana kalau…
“Immo!” sapa Hyunmi yang baru saja keluar
dari dalam kamarnya dan memeluk immo-nya
dari belakang.
Bisa
ia rasakan tubuh wanita paruh baya itu sedikit menegang karena terkejut.
“Ah,
kau mengagetkan Immo saja,” ujar
wanita itu sambil menepuk pelan kepala Hyunmi.
Hyunmi
terkekeh melihat respon yang immo-nya
berikan.
“Hari
ini kita sarapan apa, Immo?” tanyanya
sembari mengalihkan tatapannya pada makanan yang sudah tersusun rapi di atas
meja makan.
“Kau
bisa melihatnya sendiri, Sayang…” kata immo
sambil mengecup pelan pipi Hyunmi dan menarik kursi di dekatnya.
“Sepertinya
enak,” gumamnya kagum akan seni memasak immo-nya
sambil menarik kursi di dekatnya dan duduk di sana. “Mana Oppa?” tanya Hyunmi sambil mencari-cari sosok Donghae.
Immo hanya mengendikkan bahunya
sambil membuka piring yang tadi ia telungkupkan.
“Coba
kau lihat di kamarnya. Mungkin dia masih tidur,” ujar immo yang langsung Hyunmi turuti.
Ia
bangkit dari duduknya dan berjalan ke kamar Donghae. Ia baru saja hendak
mengetuk pintu kamar itu pelan saat tanpa sengaja di dengarnya suara Donghae
samar-samar.
“Omma… Appa… Apa yang harus kulakukan sekarang?” ucap Donghae dengan nada
merenung. “Bagaimana kalau dia tahu yang sebenarnya?” lanjutnya lirih.
Hyunmi
tertegun mendengar ucapan Donghae yang memanggil nama ayah dan ibu mereka. Dan…
‘Dia’? ‘Dia’ siapa? Apakah yang dimaksudnya itu adalah Hyunmi? Tapi … Apa yang
tidak Hyunmi ketahui saat ini? Dan kenapa Donghae seperti takut jika Hyunmi
mengetahui kebenaran itu?
Setelah
terdiam beberapa detik, akhirnya Hyunmi mendapatkan kesadarannya kembali. Ia
mengetukkan punggung jemarinya ke pintu kamar bercat putih itu, dan setelahnya
terdengar suara Donghae yang menyahut dari dalam.
***
“Dia tidak boleh
tahu apapun, Hae…”
Perlahan
ucapan immo tadi malam masuk kembali
ke dalam pikirannya, membuat namja
berambut kecokelatan itu semakin pusing. Berbagai dugaan muncul jika tanpa
sengaja gadis yang tidak tahu apa-apa itu menemukan titik terang dari masalah
yang sudah mereka sembunyikan selama lima belas tahun.
Namja itu menggerakkan tangannya dan
membuka laci meja belajarnya. Ia mengeluarkan sebuah buku catatan dan
membukanya, menunjukkan sebuah foto yang terselip di dalamnya. Foto seorang
wanita dan pria yang sedang mencium pipi putra kecil mereka. Ya, namja kecil itu adalah dirinya. Perlahan
air mata keluar dari sudut matanya.
“Omma… Appa…” ucapnya pelan sambil
mengelus permukaan foto itu. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” tanyanya
lirih pada foto yang ia pegang. Ia tak berharap akan mendapatkan jawabannya
dari dua orang yang sedang ditatapnya itu. Karena itu mustahil. “Bagaimana
kalau dia tahu yang sebenarnya?” ucapnya lagi dengan suara yang lebih lirih,
membuat hatinya perih saat mengatakannya.
Di
detik berikutnya ia hanya menatap foto yang ada di tangannya dengan tatapan
sendu. Kalau saja ia tahu kenapa dirinya dan Hyunmi bisa terperangkap dalam
kebohongan yang telah immo-nya
ciptakan, mungkin itu akan membuatnya lebih tenang sekarang. Tapi tidak, ia
tidak mengetahui apapun penyebab mereka bisa disatukan dalam keadaan ini. Yang
ia rasakan kini adalah takut. Ia takut penyebabnya akan lebih menakutkan dari
apa yang sudah ia ketahui. Hyunmi… gadis itu bukanlah adiknya. Karena itulah
dia berani untuk mencintai gadis itu.
Tak
lama kemudian terdengar suara ketukan pintu dari luar, membuat Donghae
terkesiap dan memasukkan foto dan buku catatannya ke dalam laci meja
belajarnya. Dengan cepat ia menghapus air mata yang tak sengaja jatuh di sudut
matanya. Ia menepuk-nepuk pelan kedua belah pipinya agar wajahnya tak terlihat
seperti baru saja menangis.
“Tunggu
sebentar,” ujarnya sambil bangkit dari kursi dan berjalan ke arah pintu.
“Oppa,” panggil Hyunmi yang sudah
menyunggingkan senyumnya saat Donghae baru saja membuka pintu kamarnya.
“Eh,
Hyunmi… Kau sudah lama berdiri di situ?” tanya Donghae, takut kalau gadis itu
mendengar ucapannya tadi.
“Tidak.
Aku baru saja ingin membangunkanmu,” jawab Hyunmi yang tentu saja berbohong. Ia
sudah cukup lama berdiri di sana dan mendengar ucapan Donghae yang entah ia
tujukan untuk siapa. ‘Omma… Appa’? Apa Donghae berbicara pada ayah
dan ibu? Tapi bagaimana…
“Ayo,
kita sarapan,” ajak Hyunmi sambil menarik tangan Donghae dan membawanya ke
ruang makan.
Sekali
lagi Hyunmi mendapatkan satu hal yang membuatnya kebingungan. ‘Apa sebenarnya yang
tidak boleh aku ketahui di sini?’ batinnya bingung bersamaan dengan senyumnya
yang perlahan memudar.
***
Hyunmi
sedang membaca majalah di kamarnya saat ponselnya berdering dan ia dikejutkan
dengan nama yang terpampang jelas di layar ponselnya, menunjukkan siapa yang
meneleponnya.
“Yeoboseyo?” ucapnya pelan saat menekan
tombol hijau pada ponselnya. Ia sedikit berbisik karena takut orang di luar
kamarnya bisa mendengar percakapan mereka. “Oppa,
kenapa kau baru menghubungiku sekarang?” tanyanya dengan nada manja yang
dibuat-buat.
Terdengar
kekehan dari seberang sana. “Wae? Kau
sudah merindukanku, ya?” goda orang di seberang sana, membuat kedua pipi Hyunmi
merona merah.
“Ada
apa, Oppa?” tanya Hyunmi setelah
berhasil menenangkan degup jantungnya yang sudah melewati batas normal.
“Mwo? Apa aku membutuhkan alasan untuk
mendengar suara yeoja-ku?” tanya
orang di seberang sana dengan suara yang berubah sedih.
“Bu-bukan
begitu,” ucap Hyunmi cepat. “Hanya saja…”
“Donghae
ada di dekatmu?” tanya orang itu cepat.
“Ani.”
“Aku
bingung mau menghubungimu bagaimana.”
Hyunmi
menaikkan sebelah alisnya, bingung dengan apa yang dikatakan lawan bicaranya
itu.
“Apa
maksudmu, Eunhyuk-oppa?” tanya
Hyunmi.
“Aku
bingung… Kalau aku mengirim pesan padamu, aku takut Donghae bisa membacanya.
Tapi kalau aku meneleponmu, Donghae pasti bisa mendengar percakapan kita, kan?”
jawab Eunhyuk.
Hyunmi
mengerti. Ia juga tidak mau persahabatan pacar dan kakaknya itu putus begitu
saja hanya karena status hubungannya yang sekarang.
“Aku
merindukanmu, Hyunmi-ah… Sangat…” kata Eunhyuk yang membuat senyuman Hyunmi
mengembang.
“Ne, Oppa.. Nado,” sahut Hyunmi sambil tersipu malu. Ini pertama kalinya ia
berbicara seperti itu pada seorang namja
selain Donghae. Dan terlebih lagi ini adalah pacarnya sendiri, pacar
pertamanya.
“Aku
bisa menemuimu saat jam istirahat di sekolah, kan?” tanya Eunhyuk memastikan.
“Ne, kau bisa menemuiku di kelas.”
Hyunmi
bisa mendengar suara desahan Eunhyuk lewat speaker ponselnya.
“Aku
tidak sabar menunggu hari Senin nanti,” ujarnya yang mengundang kekehan Hyunmi.
“Itu
masih dua hari lagi,” sahut Hyunmi di sela kekehannya.
“Kau
sudah makan siang?” tanya Eunhyuk lagi.
“Sudah.
Kau sendiri?”
“Sudah.”
“Mmm…
Kalau begitu aku tutup dulu teleponnya sebelum Donghae mendengar percakapan
kita. Annyeong,” kata Eunhyuk.
“Annyeong,” sahut Hyunmi sebelum menekan
tombol merah pada ponselnya.
Ia
menatap layar ponselnya dengan mata berbinar dan bibirnya yang sudah
menyunggingkan senyumnya. Yaah, siapapun pasti akan bisa menebak perasaannya
kini. Dia senang, sangat senang. Hatinyanya sedang berbunga-bunga saat ini.
***
“Hyunmi!”
panggil Donghae saat melihat Hyunmi keluar dari kamarnya.
“Ne, Oppa?” ucap Hyunmi saat Donghae
sudah ada di hadapannya.
“Kira-kira
apa ada barang yang kau inginkan sekarang?” tanyanya dengan antusias, membuat Hyunmi
sedikit bingung melihat sikap kakaknya itu.
“Mmm…
Molla. Memangnya kenapa?” kata Hyunmi
balik bertanya.
“Bagaimana
mungkin kau tidak tahu? Cepat beritahu aku,” ujar Donghae, mendesak gadis di
depannya itu untuk segera menjawab ucapannya.
Hyunmi
menaikkan sebelah alisnya. “Kau aneh sekali,” gumamnya keheranan sambil
memerhatikan Donghae.
“Cepat
jawab!”
“Arra, arra! Mungkin… es krim.”
“Hanya
itu?” tanya Donghae yang kini menaikkan sebelah alisnya. “Tidak ada barang
lain? Emm… maksudku… Seperti pernak-pernik begitu?” tanyanya lagi.
“Aku
rasa tidak. Memangnya kenapa?”
“Ah,
tidak. Tidak ada apa-apa,” kata Donghae sebelum ia pergi meninggalkan Hyunmi
yang masih berdiri di depan kamarnya.
“Ada
apa dengannya? Aneh sekali,” gumam Hyunmi. Ia mengendikkan bahunya dan berjalan
ke dapur.
Hyunmi
mengambil gelas dari dalam lemari kaca dan mengisinya dengan air dingin. Baru
saja ia ingin mengambil setoples biskuit dari dalam lemari makanan, telinganya
seperti mendengar sesuatu. Ia melangkahkan kakinya ke ambang pintu dapur dan
menguping dari balik dinding.
“Hae…”
Hyunmi
membulatkan kedua matanya sebentar. Itu suara immo!
“Aku
harap kau tidak mengungkit masalah ini lagi di depannya.”
“Geunde…” ucap suara lain yang Hyunmi
yakini adalah suara Donghae. “Dia berhak tahu, Immo. Dia berhak tahu semuanya.”
“Lalu?
Setelah dia tahu dia akan pergi meninggalkan kita. Kau mau itu terjadi?” ujar immo dengan nada bicara yang belum
Hyunmi dengar sebelumnya, dingin.
“Bukan…
Bukan begitu, Immo. Tapi..”
“Lalu
kenapa? Kenapa kau ingin dia tahu semuanya? Bukankah selama ini semuanya
baik-baik saja?”
“Tapi
itu menyangkut kehidupan Hyunmi, Immo-ya!”
Hyunmi
mengerutkan dahinya saat mendengar namanya disebut. Masalah apa yang tidak
boleh dia ketahui? Gadis itu merapikan helaian rambutnya yang menutupi
telinganya. Ia mendekatkan telinganya ke dinding dan kembali menguping
pembicaraan dua orang itu.
“Kehidupannya?
Kehidupan Hyunmi kau bilang?” ucap immo
dengan menarik sudut bibirnya, menyeringai. “Lalu bagaimana dengan
kehidupanku?”
Baik
Donghae maupun Hyunmi yang mendengar ucapan immo
barusan tersentak kaget. Bagaimana bisa seorang immo yang sudah mereka anggap sebagai ibu mereka sendiri bisa
mengatakan hal itu?
“Immo, kau…” ucap Donghae terputus karena
menahan emosinya. Rahangnya sudah mengeras dan kedua tangannya sudah mengepal
dengan sempurna.
“Atau
kau mau dia tahu bahwa kalian bukan…”
Ucapan
immo terputus saat mendengar
ponselnya berdering. Ia mendesis pelan dan merogoh saku bajunya. Ia berjalan
masuk ke dalam kamar dengan ponsel yang menempel pada sebelah telinganya.
Bisa
Hyunmi lihat dari tempat persembunyiannya, Donghae menghela nafasnya perlahan
dan berat. Sekilas ia mengacak rambutnya frustasi sebelum melangkah masuk ke
dalam kamarnya. Saat Donghae sudah masuk ke dalam kamarnya, barulah Hyunmi
berani keluar dari tempatnya bersembunyi. Ia meletakkan gelas yang sedari tadi
ia pegang di atas meja dengan tangan yang sedikit bergetar. Ternyata benar. Ada
sesuatu yang disembunyikan di sini. Tapi apa? Ia harus mencari tahu jawabannya sendiri.
Gadis
itu beranjak dari tempatnya dan saat berbalik kedua matanya membulat saat
mendapati siapa yang sudah berdiri di ambang pintu dapur. Ia merasa nafasnya
tercekat saat itu juga dan membuatnya kesulitan untuk menghirup oksigen agar
dapat mengisi paru-parunya yang perlahan-lahan mulai terasa hampa. Tampak orang
yang ditatapnya itu pun mengalami hal sama. Namja
itu menatapnya dengan tatapan terkejut. Berbagai dugaan muncul di dalam pikiran
namja itu.
“Hyunmi…
Kau…” ucap namja itu terputus, seakan
takut dengan dugaan yang muncul di dalam pikirannya. “Kau dengar… semuanya?”
tanya namja itu pelan, bahkan ia ragu
Hyunmi bisa mendengar ucapannya.
Hyunmi
mengerjapkan matanya berkali-kali dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Kemudian
ia menarik sudut bibirnya hingga membentuk seulas senyuman.
“Dengar
apa?” tanyanya dengan tatapan yang sudah berubah.
Tampak
namja itu tersentak mendengar
ucapannya. “Kau.. Sudah berapa lama kau di sini?” tanyanya.
“Baru
saja,” jawab Hyunmi, berbohong.
Bisa
Hyunmi lihat guratan lega dari wajah namja
itu. Terlihat ia sudah bisa mengatur nafasnya dengan baik.
Tanpa
mengatakan apapun lagi, Hyunmi beranjak dari tempatnya dan berjalan melewati namja itu, kakaknya.
‘Donghae-oppa… Sebenarnya apa yang sudah kalian
tutupi dariku?’
***
(Donghae POV)
Aku
melirik jam dinding yang tergantung di dinding kamarku. Tepat pukul 12 malam.
Ini saatnya aku mengucapkan selamat kepada yeoja
yang sedang tertidur di kamar yang berada tak jauh dari kamarku itu. Perlahan kubuka
pintu kamarku dengan berusaha untuk tidak menimbulkan bunyi sedikitpun. Dengan
mengendap-endap aku melangkahkan kakiku ke kamarnya.
Sepi.
Pasti yeoja itu masih tidur. Sebelah
tanganku yang memegang sebuah kotak kado kusembunyikan di belakang tubuhku,
sementara sebelahnya lagi terangkat dan hendak mengetuk pintu kamar bercat
putih itu. Tapi tanganku seolah membeku saat kudengar suaranya dari dalam
kamar.
“Ne, Oppa. Gomawoyo,” ucapnya dengan
sedikit berbisik.
Aku
mengerutkan dahiku. Oppa? Siapa?
“Ne, tidurlah. Kau pasti mengantuk, kan?”
Terdengar suaranya yang mulai berbicara lagi. “Saranghae…”
Detik
itu juga kurasakan dingin luar biasa menusuk tulang-tulangku. Tanganku beku
dengan nafasku yang terasa begitu tercekat. Sarang…
Saranghae… Aku mendengarnya mengucapkan kata itu. Kata yang begitu
kunantikan untuk keluar dari mulutnya dan ditujukan padaku. Kurasakan dadaku
yang bergemuruh karena emosiku mulai naik. Saat itu juga di pikiranku langsung
muncul sebuah pertanyaan. Siapa namja
yang sedang berbicara dengannya?
***
(Hyunmi POV)
Aku
membuka mataku perlahan saat kurasakan sesuatu bergetar di dekatku. Aku
menggosok-gosok mataku dan mengerjapkannya berkali-kali untuk mengumpulkan
kesadaranku yang sudah melayang entah ke mana. Dengan rasa kantuk yang masih
menyerang, kuraba-raba kasurku untuk menemukan sebuah benda yang bergetar itu.
Ponsel.
Hyukie Oppa-
calling
Mataku
langsung terbuka lebar saat melihat siapa nama penelepon itu. Eunhyuk-oppa? Dia meneleponku malam-malam
begini?
“Yeoboseyo,” ucapku setelah menekan
tombol hijau pada ponselku dengan sedikit berbisik.
“Maaf,
aku mengganggu tidurmu, ya?” tanyanya pelan.
“Ngg..
ani. Wae, Oppa?”
“Kau
sudah lihat kalender?” tanyanya lagi.
Aku
mengerutkan alisku. “Memangnya kenapa?” kataku balik bertanya, tak mengerti.
“Ck..
Kau benar-benar lupa, ya?” ujarnya. “Saengil
chukkahamnida, Lee Hyunmi! Saranghae,”
ujarnya lagi yang langsung membuatku tersentak kaget.
Hari
ini adalah hari ulang tahunku? Dengan cepat aku menghambur ke meja belajarku
dan mencari-cari kalender. Kuperhatikan deretan tanggal yang tertulis rapi di
sana dan mataku tertuju pada sebuah tanda di bagian bawahnya.
July 23rd
> My birthday ^^
“Ah,
iya! Benar, ini ulang tahunku!” ujarku senang masih dengan suara yang setengah
berbisik.
Bisa
kudengar Eunhyuk-oppa terkekeh di
seberang sana. “Sekarang berapa umurmu, Hyun-ah?” tanyanya.
“Tentu
saja 15 tahun,” jawabku dengan nada kesal yang dibuat-buat.
“Ah,
jinjja?”
“Memangnya
kau pikir umurku berapa, Oppa?”
“Aku
kira umurmu masih 10 tahun, hahaha…” jawabnya yang membuatku makin kesal.
“Aissh…
Tentu saja tidak!”
Mendengar
gerutuanku, dia makin mengencangkan tawanya, membuatku sedikit menjauhkan
ponsel dari telingaku. Suara tawanya kencang sekali. Aku yakin pasti perutnya
sudah kesakitan sekarang. Lalu kudengar perlahan-lahan tawanya mulai mereda.
“Sekali
lagi selamat ulang tahun, Hyunmi.”
“Ne, Oppa. Gomawoyo.”
“Aku
tutup dulu teleponnya.”
“Ne, tidurlah. Kau pasti mengantuk, kan?”
“Ne… Saranghae…”
“Saranghae…” balasku. Lalu kutekan tombol
berwarna merah dan menyimpannya kembali ke bawah bantal.
Aku
menghela nafas panjang. Tanpa kusadari selama berbicara dengannya membuatku
susah untuk bernafas. Hehehe… Saat aku baru saja akan memejamkan mataku
kembali, kudengar seseorang di luar mengetuk pintu kamarku.
“Nugu?” tanyaku dengan setengah
berteriak.
“Ini
aku,” jawab sebuah suara yang sangat kukenali.
Aku
beranjak dari tempat tidurku dan melangkah ke arah pintu. Tampak wajah Donghae-oppa yang sedikit lesu saat kubuka pintu
kamarku. Aku sedikit tertegun saat melihat raut wajahnya. Dia kenapa?
“Saengil chukkahamnida, Hyunmi-ah,”
ucapnya setelah menarik sudut bibirnya sehingga membentuk seulas senyuman.
Senyum yang biasa ia tunjukkan padaku.
Melihat
seyumnya mengembang, aku rasa tidak ada yang perlu kukhawatirkan sekarang. Dia
terlihat baik-baik saja.
“Ne, Oppa. Gomawo,” ucapku sambil menghambur ke pelukannya.
Kudengar
dia terkekeh dalam pelukanku. Kemudian kurasakan ada yang janggal dalam
pelukannya. Aku mendorong tubuhnya hingga pelukan kami terlepas dan…
“Ini
apa?” tanyaku merujuk pada sebuah kotak yang ada di tangannya. “Untukku?”
tanyaku memastikan.
Dia
mengangguk tanpa menghapus senyumannya sama sekali. Ternyata hanya aku yang
tidak ingat hari ulang tahunku sendiri? Astaga… Mataku mulai memanas dan tanpa
sadar mataku sudah berkaca-kaca, membuatnya sedikit panik saat melihatku.
“W-wae… Wae, Hyunmi-ah? Kau tidak suka?”
tanyanya panik sambil memegangi pipi kiriku.
Aku
hanya menggeleng lemah dan menarik sudut bibirku. “Gomawo…” gumamku.
Mendengar
gumamanku dia ikut mengembangkan senyumnya. Lalu sebelah tangannya kembali
menarikku ke dalam pelukannya, membuat bajunya basah akibat air mataku yang
terus mengalir. Sesekali ia mengelus pelan punggungku, mencoba menenangkanku
agar tangisku berhenti. Tuhan… Dia adalah kakak yang baik. Aku mohon, jangan
cabut kebahagiaanku saat ini dengan kebenaran yang belum kuketahui itu.
Lalu
perlahan ia mendorong tubuhku hingga kami menjadi berhadapan. Sebelah tangannya
menghapus sisa-sisa air mata yang masih mengalir di sudut mataku.
“Kau
sudah lima belas tahun sekarang. Jangan cengeng lagi,” guraunya sambil mencubit
pelan pipiku. “Ini untukmu. Kuharap kau menyukainya,” ujarnya seraya
menyodorkan kotak yang ia pegang padaku.
Aku
mengambil kotak yang ia berikan dan sekali lagi aku merasa ia terlalu baik
untuk menjadi kakakku. “Gomawo, Oppa…”
ucapku dengan suara serak.
Ia
mengangguk, lalu mendorongku agar kembali masuk ke kamar. Wajar karena sekarang
masih tengah malam dan aku yakin dia juga sangat mengantuk saat ini.
“Tidurlah,”
ucapnya sebelum menutup pintu kamarku.
Donghae-oppa… Aku bersyukur karena telah
terlahir menjadi adikmu.
***
(Donghae POV)
“Selamat
ulang tahun, Sayang,” ujar immo saat
Hyunmi baru saja bergabung bersama kami di meja makan.
Gadis
itu memeluk immo dan mencium kedua
belah pipi wanita paruh baya itu. Kemudian ia menarik kursi di dekatnya dan
duduk di sana.
“Lihat,
Immo memasak semua makanan
kesukaanmu,” ujar immo seraya duduk
di sebelah Hyunmi.
Kulihat
Hyunmi mengembangkan senyumnya lebar sekali, senang karena kami masih mengingat
hari ulang tahunnya dan mempersiapkan hadiah untuknya.
“Gomawo…” ucapnya seraya mengambil
makanan yang sudah immo sediakan di
atas meja makan. “Sepertinya enak,” gumamnya.
“Sayang
sekali hari ulang tahunku masih lama,” ujarku dengan nada sedih yang
dibuat-buat, membuat dua orang di depanku itu terkekeh.
“Kau
tenang saja. Immo pasti akan memasak
semua makanan kesukaanmu saat kau berulang tahun nanti. Ne, Immo?” ujar Hyunmi yang hanya immo jawab dengan sebuah anggukan.
“Ya
sudah. Ayo, kita makan,” kata immo
seraya ikut mengambil lauk pauk yang sudah tersedia di atas meja makan.
Ting…
Tong…
Aktifitas
kami terhenti saat mendengar suara bel pintu. Siapa yang datang pagi-pagi
begini?
“Siapa
itu?” tanya immo seraya bangkit dari
duduknya.
“Tidak
usah, Immo. Biar aku yang bukakan,”
ujarku seraya bangkit dan berjalan ke arah pintu depan.
Aku
melirik jam tanganku. Masih jam tujuh pagi. Tidak biasanya ada tamu yang datang
pagi-pagi begini. Aneh sekali. Tanpa rasa curiga aku membuka pintu depan dan
mendapati seorang namja yang berdiri
di sana. Aku terkejut dan tidak mengeluarkan suara selama beberapa detik. Namja ini… kenapa datang pagi-pagi
sekali?
“Apa
aku mengganggu?” tanyanya sambil memamerkan deretan giginya yang rapi.
Aku
menggeleng. “Ani, masuklah.”
Namja itu masuk dan mengikuti
langkahku dari belakang. Kami baru saja tiba di ruang makan saat immo bertanya, “Siapa yang datang, Hae?”
“Eunhyuk,”
jawabku seraya kembali duduk di kursiku.
Kulihat
Hyunmi menoleh cepat ke arah Eunhyuk dan saat mata mereka bertemu, gadis itu
tersedak. Ia terbatuk-batuk hingga membuat kami panik.
“Kau
tidak apa-apa?” tanya immo sambil
memberikan segelas air putih padanya.
Hyunmi
menggeleng dan segera meneguk air yang immo
berikan padanya. Aku hanya mengerutkan dahiku samar melihat sikapnya yang
menurutku aneh. Kenapa dia terkejut saat melihat Eunhyuk datang? Dan lagi…
kenapa Eunhyuk bisa datang pagi-pagi sekali? Di hari ulang tahun Hyunmi pula.
Aku merasa ada yang tidak beres di sini.
“Banyak
sekali masakan Ahjumma hari ini?”
kata Eunhyuk seraya duduk di sebelahku.
“Ne, hari ini Hyunmi ulang tahun,” sahut immo sambil memberikan mangkuk berisi
nasi pada Eunhyuk. “Ayo, kita makan bersama.”
Namja itu membalas ucapan immo dengan senyumannya. Sedangkan
Hyunmi… Kulihat gadis itu memakan makanannya dengan kepala tertunduk. Ada apa
ini? Kenapa dia tidak mau mengangkat kepalanya dan menatap Eunhyuk yang ada di
hadapannya? Aneh, sangat aneh. Lalu pandanganku beralih pada Eunhyuk yang
sedang sibuk melahap makanannya. Sesekali ia menatap Hyunmi dengan tatapan
yang… ah, entahlah. Aku tidak bisa mengartikan tatapannya itu. Yang jelas, ada
sesuatu yang tidak beres di sini.
“Hei,
bagaimana kalau kita pergi ke taman setelah ini?” ujarku tiba-tiba.
***
(Hyunmi POV)
“Selamat
ulang tahun, ya,” bisik Eunhyuk-oppa
tepat di telingaku saat kami duduk berdua di bangku taman.
Ya,
hanya kami berdua. Karena Donghae-oppa
pulang untuk mengambil dompetnya yang katanya tertinggal di rumah.
“Kau
mau mengatakannya berapa kali?” tanyaku yang diresponnya dengan kekehan.
Lalu
kulihat dia merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna
biru safir. Aku hanya bisa terdiam sambil menatap kotak itu saat dia
menyodorkannya padaku. Itu untukku?
“Ini
untukmu. Maaf kalau kau tidak suka,”
katanya sambil menggaruk belakang kepalanya.
“Ini
apa?” tanyaku seraya mengambil kotak itu dari tangannya.
“Buka
saja.”
Kubuka
kotak itu dan aku hanya bisa terpaku saat melihat isinya. Kurasa wajahku sudah
semerah kepiting rebus saat ini. Kemudian tatapanku yang tadinya tertuju pada
benda berkilauan itu beralih pada wajahnya. Kulihat dia menarik sudut bibirnya.
“Kau
suka?” tanyanya.
“Bukankah
ini mahal?” tanyaku seakan masih tidak percaya dengan apa yang ia berikan padaku.
“Aku
membelinya dari temanku, jadi harganya tidak terlalu mahal.”
Lalu
ia mengambil benda berkilauan itu dari tanganku. Ia menyingkirkan rambut
teruraiku yang menutupi leherku. Setelah itu kurasakan benda berkilauan itu
sudah melingkar dengan sempurna di leherku. Indah sekali.
“Ini…
terlalu indah,” gumamku sambil menatap haru liontin kalung yang tergantung di
leherku.
Dia
menggeleng. “Kau yang terlalu indah untuk memakainya,” sahutnya. “Saranghae…” ucapnya pelan seraya
mengecup kulit leherku lembut.
“Gomawo…” kataku sambil menatap lekat
kedua matanya.
Detik-detik
berlalu dengan kami yang saling menatap. Perlahan ia mendekatkan wajahnya
padaku dengan kepalanya yang sedikit dimiringkan. Aku hanya bisa menutup mataku
saat kurasakan hembusan nafasnya yang menyapu kulit wajahku, menunggunya untuk
menautkan bibir kami. Hingga…
BRUK!
Kami
berdua sontak menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang namja sedang berdiri sambil menatap kami
dengan tatapan terkejut. Kulihat ada dua gelas minuman yang berceceran di dekat
kakinya. Sepertinya dia menjatuhkan minuman itu saat melihat kami yang sedang..
ah, sudahlah! Baik aku maupun Eunhyuk-oppa
hanya bisa mematung, menatap namja
itu dengan tatapan tak percaya. Bagaimana bisa…
“Jadi
selama ini… kalian…” ucapnya menggantung, membuat jantungku berdegup tak
menentu.
-To be continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar