Minggu, 28 Oktober 2012

I'm Your Husband


Title    : I’m Your Husband [JongWoon-SoonHee’s Story]
Author: Ifa Raneza
Cast    :
-Yesung (Kim Jong Woon)
-Kim Soon Hee (OC)
Genre : Romance, Comedy(?), Marriage Life

Annyeong~ setelah udah beberapa bulan vakum dari couple ini saya balik lagi bawa cerita tentang couple setengah gila ini ke hadapan publik(?) karena banyak yang minta marriage life-nya. Okelah, inilah hasilnya.
Happy reading~ :D

Cerita sebelumnya:
-My Last Dream
-I’ll Marry You, Kim Jong Woon
-Marry Him

** ** **

 (Soon Hee POV)

Ukh… Apa ini? Kenapa badanku jadi berat begini? Dan lagipula… kenapa ada bau ini? Sepertinya bau ini tidak terlalu asing bagiku. Ini seperti bau Jong Woon… Eh, Jong Woon?
“Yaak!!! Lepaskan aku!!” teriakku histeris saat mendapati seorang namja tengah tertidur dengan wajah polosnya sambil memelukku erat. Bukannya melepaskan pelukannya, ia malah semakin mengeratkan pelukannya pada tubuhku, membuatku semakin kesulitan untuk bernafas.
“Lima menit lagi, Hee-ah… Aku masih ngantuk…” gumamnya sambil menelusupkan wajahnya pada lekukan leherku.
Aku menggelinjang kegelian saat nafasnya yang hangat menyapu kulit leherku. Apa katanya tadi lima menit lagi? Tidak sampai lima menit jika dia masih mengunci tubuhku seperti ini, bisa-bisa aku kehabisan nafas.
“Jong Woon-ah.. Aku tidak bisa bernafas!” ujarku sambil berusaha mendorong tubuhnya.
Ia melepaskanku dan menatapku kesal dengan matanya yang masih setengah tertutup serta bibirnya yang sengaja dikerucutkan. Lihat, manja sekali dia.
“Kau tahu ini baru jam berapa, hah?” tanyanya kesal. “Ini baru jam satu pagi, Soon Hee! Jam satu pagi!!” teriaknya tepat di telingaku dan tanpa aba-aba terlebih dahulu kepalan tangannya mendarat di puncak kepalaku.
“Auuww!” ringisku kesakitan. Dasar, namja ini. Aku ini istrinya atau bukan? “Sakit, Jong Woon-ah…” rengekku seraya mengelus kepalaku yang sedikit nyeri.
“Itu balasan untuk istri yang sudah mengganggu tidur suaminya,” ujarnya dengan nada bicara yang sok bijaksana. Cih!
“Oh, jadi begitu? Mentang-mentang sekarang kau suamiku, jadi kau bisa seenaknya menjitak kepalaku, hah? Bagus sekali,” kataku datar.
Lalu aku membalik tubuhku menjadi membelakanginya dan menarik selimut hingga menutupi kepalaku. Aku mulai memejamkan mataku dan tidak mempedulikannya yang mulai membujukku untuk tidur menghadapnya dan memeluknya seperti tadi.
“Hee… Kau marah? Hei.. aku hanya bercanda..” bisiknya sambil mengguncang pelan bahuku.
“Jangan ganggu aku..” gumamku membalas ucapannya seraya mengeratkan pelukanku pada bantal guling.
“Yaa, suamimu itu aku, kenapa kau malah memeluk guling heh?” tanyanya kesal sembari melempar guling yang ada di dalam dekapanku dan mengganti posisi guling dengan dirinya.
“Bisa tidak, jangan menggangguku? Aku mau tidur, Jong Woon-ah. Kau tahu tidak ini sudah jam berapa? Jam satu pagi!” ujarku yang langsung membuatnya terperangah karena sudah berhasil membalik kata-katanya.
Sebelum ia sempat menyahut ucapanku, aku segera memungut bantal guling yang ia lempar dan kembali memeluknya, tidak peduli dengan Jong Woon yang sudah kembali memasang wajah kesal.
Wae? Kenapa wajahmu cemberut begitu? Tidak terima, hah?” tanyaku ketus sambil mencubit hidungnya gemas. Yah, kalau boleh dibilang, aku tidak sepenuhnya marah saat ini. Tapi aku suka melihat wajahnya yang seperti ini. Lucu.
“Jangan mengacuhkanku, aku juga mau tidur dipeluk olehmu seperti nasib guling yang beruntung itu,” jawabnya setelah menyingkirkan tanganku yang masih mencubit hidungnya. Matanya beralih pada bantal guling yang ada dalam dekapanku. Dia cemburu pada bantal?
Tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku, berusaha keras untuk menahan tawa. Suamiku ini lucu sekali.
“Jadi kau mau kupeluk, hm?” tanyaku sambil menangkup kedua pipinya dengan kedua tanganku.
Ia mengangguk dengan polosnya dan lagi-lagi membuatku harus sekuat tenaga menahan tawa yang bisa meledak sewaktu-waktu.
Ne, tidurlah,” ucapku seraya mendekatkan wajahku pada wajahnya dan mengecup bibirnya lembut.
Sejenak ia tampak terkejut dengan ciuman yang kuberikan, tapi lama kelamaan ia mulai menikmatinya dan malah menuntut lebih. Ia menarik tengkukku agar ciuman kami semakin dalam dan tentu saja itu membuatku semakin susah untuk bernafas.
Ya! Geumanhae! Kau mau membunuhku?” tanyaku kesal setelah berhasil mendorongnya hingga membuat tautan bibir kami terlepas.
Lagi-lagi bibirnya mengerucut kesal. Dia amnesia, ya? Apa dia lupa sekarang masih jam berapa?
“Ssst…” Tiba-tiba jari telunjuknya mendarat manis di bibirku. “Kau lupa kewajibanmu sebagai istri?” tanyanya dengan suara yang setengah berbisik.
Aku menggeleng menjawab ucapannya.
“Nah, kau belum melaksanakan tugasmu. Jadi…” Ia menggantungkan ucapannya dan membuat jantungku berdebar menunggu kelanjutan kalimatnya. “Aku menagih tugasmu sebagai istri sekarang,” lanjutnya dengan seringai yang tiba-tiba muncul di bibirnya.
Sepertinya ada yang tidak beres di sini…
Belum sempat aku mengatakan sesuatu, ia kembali menarik tengkukku dan mengunci tubuhku dengan tangan besarnya. Ia kembali menautkan bibirnya pada bibirku dan melumatnya lembut. Awalnya lembut, tapi semakin lama bibirnya semakin melumat bibirku dengan ganas. Tapi, aneh.. Tubuhku seperti membeku.
Kemudian ia melepaskan bibirnya dari bibirku dan menatapku lekat tepat di manik mataku.
Saranghae..” bisiknya sambil merapikan rambutku yang sedikit menutupi wajahku.
Nado,” sahutku.
Ia tersenyum manis, manis sekali, hingga membuatku terpesona. Aku tidak bisa melakukan apa-apa saat lagi-lagi dia menarikku ke dalam dekapannya dan mencium leherku dengan lembut. Aku hanya diam menerima perlakuannya, sementara jantungku terus berdebar dengan keras saat ia mulai mendorong tubuhku pelan hingga aku berbaring di atas tempat tidur dengan tubuhnya yang masih berada di atas tubuhku. Untuk selanjutnya, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Aku terlalu dimabukkan dengan pesonanya.

** ** **

The morning after…

Morning kiss!” serunya riang saat aku baru saja membuka mataku dan mendapati wajahnya hanya berjarak sekitar sepuluh senti dari wajahku. Ia tersenyum lebar hingga deretan giginya yang rapi terlihat olehku. Dia manis sekali.
“Eumh… Jam berapa sekarang?” tanyaku sambil menggosok-gosok kedua mataku.
“Jam tujuh,” jawabnya singkat. “Morning kiss!” serunya lagi seolah tidak rela jika paginya terlewatkan tanpa morning kiss dariku.
“Aissh… Kau manja sekali,” cibirku seraya bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah kamar mandi tanpa memedulikan teriakannya yang hampir membuat gendang telingaku pecah.
“Yak! Istri macam apa kau, hah?! Jangan pergi sebelum aku mendapatkan morning kiss-ku!! Yaak, Kim Soon Hee, kembali kau!!”
BLAM!
Sebelum ia sempat berteriak lagi, aku segera menutup pintu kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Jangan sampai Mr Alien itu masuk ke dalam kamar mandi dan menyerangku di sini.
“Eh, apa ini?” gumamku saat melihat sesuatu pada leherku.
Penasaran dengan bercak merah yang tiba-tiba muncul di kulit leherku, aku menyibak rambutku dan memerhatikan leherku yang sudah tidak putih bersih seperti biasa di cermin. Ada dua bercak kemerahan yang terlihat di kulit leherku. Ini… Sekarang aku tahu ini apa.. Aku ingat apa yang terjadi semalam.
“Aaaarrrgghhh!!! Awas kau, Kim Jong Woon!!!”

** ** **

(Jong Woon POV)

“Hhh….”
Lagi-lagi wanita yang sudah menjadi istriku itu menghela nafasnya lelah. Dia kenapa? Ini sudah hampir yang kesepuluh kalinya dia menghela nafas. Sebagai suami yang baik, aku mendekatinya yang masih sibuk menyiapkan sarapan di meja makan. Dia membuatku khawatir saja. Apa dia sakit?
“Kau kenapa?” tanyaku seraya duduk di hadapannya.
Aniyo…” jawabnya tanpa mau menatapku.
“Kau kenapa?”
“Aku sudah bilang aku tidak apa-apa,” jawabnya lagi tanpa menatapku sedikit pun.
Dia ini kenapa, sih? Kenapa sikapnya aneh sekali?
“Kau sakit?” tanyaku sambil menuangkan air putih ke dalam gelas kaca.
Ani. Sudahlah, jangan pedulikan aku,” ujarnya sambil mengibaskan tangannya seolah keadaannya tidak perlu untuk dikhawatirkan. Dia ini bodoh, ya? Aku khawatir padanya, tapi dia malah menyuruhku untuk tidak peduli padanya.
“Ayo, sarapan,” ujarnya seraya duduk di hadapanku dan menyodorkanku semangkuk nasi.
Ting… Ting…
Hanya bunyi sumpit yang beradu dengan mangkuk yang terdengar di ruangan ini. Tidak ada obrolan antara kami. Padahal biasanya kami adalah pasangan yang paling ribut.
Rasanya sepi sekali, padahal aku mengharapkan suasana di apartemenku akan lebih ramai setelah menikah.
“Hey, kenapa kau diam saja? Kau sakit karena yang tadi malam itu?” tanyaku dengan wajah tak berdosa.
Ia menatapku dengan kedua matanya yang membelalak lebar, dan sedetik kemudian ia tersedak. Dengan cepat aku menuangkan air putih ke dalam gelas dan menyodorkannya padanya.
“Jangan ingatkan aku tentang yang tadi malam!” ujarnya setelah meneguk air putih yang kusodorkan.
Astaga, Soon Hee. Jadi ini semua karena yang tadi malam itu? Dasar aneh.
“Oooh… Jadi kau bersikap mengacuhkanku seperti ini karena yang tadi malam?” tanyaku sambil melipat kedua tanganku di depan dada, menatapnya lurus-lurus dengan tatapan ‘yang-benar-saja’.
“Issh… Sudah kubilang jangan ungkit-ungkit lagi tentang yang tadi malam!!” serunya dengan tatapan horror yang ia lemparkan padaku.
“Memangnya kenapa? Itu kan sudah menjadi kewajibanmu. Jadi jangan salahkan aku kalau kau sudah tidak gad–-”
Ya! Hentikaaaannn!!!” teriaknya memotong ucapanku sambil menutup kedua telinganya.
Dia aneh sekali. Soon Hee… Soon Hee… Kau itu sudah dewasa dan sudah menjadi istri, kenapa malah malu pada suamimu sendiri?
“Kau kenapa, sih? Aneh sekali,” cibirku seraya kembali memulai sarapan yang sempat terpotong tadi. “Kau malu padaku?” tanyaku lagi dan kali ini dengan nada bicara yang sangat datar.
Dia menggeleng cepat. “Untuk apa aku malu padamu?” katanya berbalik bertanya.
“Lalu?”
“Aku hanya…” Ia menunduk menatap mangkuk yang masih penuh dengan nasi. “Ah, sudahlah. Ayo, makan!” ujarnya sambil mengibaskan tangannya dan kembali melanjutkan makannya.
Dasar yeoja aneh.

** ** **

“Hari ini kau tidak ada jadwal show?” tanyanya sambil memain-mainkan rambutku yang berada di atas pahanya.
Aniyo. Aku libur sampai minggu depan. Kau lupa kita baru saja menikah, huh?” jawabku yang hanya ditanggapinya dengan anggukan.
“Baguslah kalau begitu.”
Mwo?” Apa aku tidak salah dengar? Dia senang kalau aku libur? “Kau senang aku tidak pergi kerja? Kau tidak rela aku pergi, yaaa?” godaku sembari bangkit dari pahanya yang tadinya menjadi alas kepalaku.
BUK!
Ia melemparku dengan bantal sofa dengan tidak memedulikan wajahku yang bisa lecet sewaktu-waktu akibat aksinya itu.
Ya! Siapa bilang aku tidak rela kau pergi, hah?”
“Lalu?”
Ia tersenyum lebar dan menangkupkan kedua tangannya. Biasanya kalau sudah seperti ini dia pasti ada maunya.
“Temani aku jalan-jalan!” ujarnya riang.
Mwo?”
Jebaaallll~ Jong Woon-ah… Anggap saja ini seperti bulan madu kita. Aku ingin sekali jalan-jalan,” ujarnya dengan nada memelas yang disertai dengan puppy eyes-nya yang tampak begitu kekanakan di mataku.
“Aissh… Kau seperti anak kecil saja,” cibirku seraya bangkit dari sofa dan berjalan ke dalam kamar.
“Kau mau ke mana?” tanyanya dengan setengah berteriak.
“Bersiap-siap. Kau bilang mau jalan-jalan?”
Dan sedetik kemudian yang terdengar adalah sorakannya yang hampir menembus gendang telingaku ditambah lagi dengan gerakan tangannya yang hampir menyerupai tarian pemanggil hujan(?).
** ** **

“Kau mau jalan-jalan ke mana?” tanyaku saat ia kami sudah siap di dalam mobil dan seat belt sudah terpasang pada tubuh kami.
“Lotte World!”
Mwo? Kau mau ke sana? Kau pikir berapa umurmu, hah?” tanyaku tak habis pikir.
Wanita ini kekanakan sekali. Kenapa ingin merayakan pernikahannya di taman bermain? Seperti anak kecil saja.
“Kau tidak mau, ya?” tanyanya dengan raut wajah yang mendadak berubah menjadi sedih.
O ow… Kenapa wajahnya jadi seperti ingin menangis seperti itu? Wajahnya menyedihkan sekali. Aku tidak tahan kalau melihat istriku seperti ini. Kasihan sekali dia…
Arraseo… arraseo… Kita ke taman bermain, ne?” kataku pada akhirnya.
Jinjjayo? Akhirnyaaaa! Gomawo, Jong Woon-ah!”
Chu!
Tanpa izin bibirnya langsung menyambar bibirku sekilas. Haah… kalau tahu sifatnya seperti ini, dari awal aku akan menuruti semua kemauannya kalau pada akhirnya akan mendapatkan hadiah ciuman. Kkkk….
Kajja, berangkat!” ujarku riang.
­­­­–––
“Eungg… Jong Woon-ah… Kau serius ingin pergi ke taman bermain?” tanyanya dengan sedikit ragu, saat mobilku sudah mendekati lokasi taman bermain.
Wae? Bukankah kau ingin pergi ke sana?” tanyaku bingung dengan sikapnya.
Aniyo… hanya saja… Kau tidak takut kalau nanti ada yang mengenali wajahmu? Kau tidak takut dikejar-kejar Clouds lagi?” tanyanya sambil menatapku ragu.
“Aku sudah mempersiapkan semuanya,” ujarku sambil menunjukkan jaket hoodie dan kacamata hitam yang memang sudah kupersiapkan sejak tadi.
Ia terdiam menatap benda-benda yang kusodorkan padanya. Lama ia menatap dua benda itu, sampai akhirnya ia mengangkat kepalanya dan kembali menatapku.
“Kau memang baik,” ujarnya sebelum ia menempelkan bibirnya pada pipi kananku.
CKIIIT!
Omo! Hampir saja aku kehilangan kendali. Dasar yeoja ini. Apa dia mau kami berdua mati berdua di dalam mobil seperti ini, hah?
“Kau membuatku kaget, Soon Hee-ah,” ujarku masih dalam efek keterkejutanku. Ia hanya terkekeh sambil menunjukkan tanda peace dengan dua jarinya.
“Awas kau, ya,” ujarku sambil mengacak rambutnya gemas. Lucu sekali dia.

** ** **

(Soon Hee POV)

“Fuuuh…”
Aku menghela nafas saat aku dan Jong Woon baru saja keluar dari taman bermain. Tapi bukan karena lelah, melainkan karena puas. Aku puas sekali. Rasanya sudah lama aku tidak bermain-main seperti ini. Dan beruntungnya, tidak ada yang mengenali Jong Woon sebagai Yesung di taman bermain tadi. Dengan begitu kami aman dan tidak perlu takut diserbu Clouds seperti waktu itu. (Baca I’ll Marry You, Kim Jong Woon).
“Kau senang?” tanyanya sambil merangkulku dan mengecup puncak kepalaku lembut.
Aku mengangguk dan mengulas senyum.
Gomawo,” ucapku seraya mendaratkan ciuman kilat pada pipinya. Rasanya sedikit aneh menciumnya duluan. Biasanya dia yang selalu mencuri ciumanku duluan. Hihihi…
“Kenapa setelah menikah kau jadi manja begini, Hee-ya?” tanyanya sambil terus melangkahkan kedua kakinya menuju tempat mobil kami diparkir.
Aku menggeleng. “Molla.”
Lagi-lagi tangannya mencubit pipiku gemas hingga pipiku kini sedikit nyeri dan memerah. Aku segera menyingkirkan tangannya dan mengelus pipiku yang sudah semerah tomat ini.
“Hehehe… Mianhae,” ucapnya sambil terkekeh. Lalu ia menciumku tepat di mana ia mencubitku tadi. “Kau tunggu di sini sebentar, ne? Aku beli minuman dulu,” ujarnya seraya meninggalkanku di depan gerbang Lotte World sendirian.
Mwo?” Dengan cepat aku menahan gerakannya hingga membuat ia menghentikan langkahnya.
“Tunggu sebentar di sini. Aku tidak akan lama, ne?” ujarnya seraya mengacak sekilas rambutku.
Aku hanya mengangguk pelan, seolah ragu untuk melepaskannya.
Setelahnya genggamanku pada tangannya lepas dan ia pergi meninggalkanku di sini. Aku hanya memandanginya yang semakin menjauh. Hhh… Kenapa perasaanku jadi campur aduk begini?

Eonnie, bukankah kau Kim Soon Hee?” tanya sebuah suara imut yang membuatku menoleh.
Seorang yeoja dengan tubuh kecil sedang tersenyum lebar padaku. Sepertinya dia masih SMA. Manis sekali dia..
“Ah, ne… Aku Kim Soon Hee. Kau siapa, ya?” tanyaku.
Ia mengulurkan tangannya dan melebarkan senyumnya. “Han Mao Ri imnida. Aku seorang Clouds!” serunya riang sambil menjabat tanganku.
“Oh.. Ah, kau Clouds rupanya,” kataku sambil mengulas senyum. Aku bingung, saat ini aku harus senang atau malah takut? Aku takut akan diserbu Clouds seperti di depan apartemen waktu itu.
“Kau sendirian saja, Eonnie? Mana suamimu?” tanyanya dengan nada yang dibuat-buat pada kata ‘suami’. Hey, dia sedang menggodaku?
“Su..suami? Ah, Jong Woon maksudmu?” kataku berbalik bertanya.
Ne, tentu saja dia. Memangnya kau sudah menikah berapa kali?” katanya sambil terkekeh pada akhir kalimatnya. “Mana Yesung-oppa?” tanyanya lagi.
“Dia sedang membeli minuman. Tapi…”
“Tapi apa, Eonnie?” tanyanya.
Aku mengibaskan tanganku mengisyaratkan padanya untuk segera mendekat padaku, dan berbisik padanya. “Jangan sampai Clouds yang lain tahu Jong Woon ada di sini. Kau tahu maksudku, kan?”
Setelahnya ia hanya mengangguk-angguk tanda mengerti dengan ucapanku. Wajahnya polos sekali, persis seperti anak kecil. Ah, lucunya. Andai saja dia itu adikku.
“Bagaimana rasanya jadi istri seorang Yesung, Eonnie?” tanyanya dengan antusias.
“Begitulah,” jawabku sambil menggaruk-garuk belakang kepalaku yang tidak gatal.
“Aisshh… Kau seperti anak SMA yang baru jatuh cinta saja, Eonnie. Kenapa malu-malu seperti itu?” ujarnya dengan lagi-lagi terkekeh.
Astaga, baru kali ini aku mati kutu karena digoda oleh anak SMA.
“Hehehe… Geumanhae, jangan menggodaku.”
“Hahaha….”
Sekarang dia malah tertawa. Dia membuat wajahku semakin panas saja.
Tapi tak berapa lama kemudian, perlahan-lahan tawanya lenyap. Raut wajahnya berubah begitu saja. Kedua matanya membelalak lebar dan suaranya seperti tercekat.
Eon… Eonnie…” ucapnya pelan sambil menunjuk ke arah belakangku.
Aku menoleh dan di detik berikutnya yang terdengar adalah suara mesin mobil yang berpacu cepat seperti orang kesetanan. Belum sempat aku menghindar, tubuhku kehilangan kendali saat mobil itu menghantam keras tubuhku.
Kepalaku langsung pusing dan seperti berputar-putar. Lama kelamaan pandanganku semakin gelap. Tapi sebelum kesadaranku menghilang, aku seperti melihat Jong Woon dari kejauhan yang sedang berlari mendekatiku.
“Jong Woon…”

** ** **

(Jong Woon POV)

“Terima kasih!” ujar ahjumma pelayan di café itu saat aku membuka pintu dan keluar dari café kecil itu.
Baru saja aku hendak melangkahkan kakiku untuk menyeberang jalan dan menyusul Soon Hee yang sedang menunggu di sana, tubuhku langsung membeku di tempat. Aku seperti tidak memiliki tenaga lagi untuk begerak. Minuman yang berada di kedua tanganku langsung jatuh begitu saja. Mataku membelalak lebar dan rasanya aku ingin sekali segera berlari ke arah wanita yang tengah terbaring di tepi jalan dengan bersimbah darah di kepalanya.
“Soon Hee!!” jeritku saat aku sudah berdiri tak jauh darinya.
Segera saja aku mengangkat kepalanya dan meletakkannya di atas pahaku. Aku tidak peduli dengan darah yang terus keluar dari kepalanya dan mengotori bajuku, aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya.
“Soon Hee-ah! Ireona! Ya! Kim Soon Hee!” teriakku sambil menepuk-nepuk pipinya, mencoba untuk menyadarkannya. Tapi sia-sia saja. Ia tetap tidak bangun dan darah terus keluar dari kepalanya.
Eon… Eonnie…” ucap seorang yeoja yang juga berlutut di samping tubuh Soon Hee. Tampak air mata sudah membasahi kedua pipinya. Dia siapa?
Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku segera mengangkat tubuh Soon Hee dan membawanya ke mobil.
Oppa! Aku ikut!” ujar yeoja tadi saat aku hendak memasang seat belt pada tubuhku.
“Kau siapa?” tanyaku.
“Han… Han Mao Ri imnida,” ujarnya sambil membungkukkan tubuhnya dalam.
“Ya sudah, cepat!” ujarku yang langsung diturutinya. Ia langsung masuk ke dalam mobil dan aku segera menancap gas, menuju rumah sakit terdekat untuk menyelamatkan istriku.
Soon Hee, bertahanlah..

** ** **

“Sebenarnya kau ini siapa?” tanyaku dengan suara berat pada yeoja yang sedang duduk berlutut di depanku.
Ia tampak sesenggukkan karena terlalu banyak menangis.
“A..Aku penggemarmu, Oppa…” ucapnya di sela aksi tangisnya.
“Bagaimana ini bisa terjadi pada Soon Hee?” tanyaku masih dengan suara yang sama.
“Ta.. tadi… Tadi ada mobil yang mengebut dan… tanpa diduga mobil itu menabrak Soon Hee-eonnie…” jawabnya yang kemudian dilanjutkan dengan tangisan. “Kenapa bukan aku saja yang ditabrak? Padahal aku juga ada di sana tadi…” ujarnya.
Aku hanya terdiam. Aku tidak bisa merasakan hal lain selain rasa sakit yang terasa di dadaku. Seperti ada yang menusuk-nusuk jantungku. Perih sekali. Hatiku seperti membeku, mengingat wanita yang sudah menjadi istriku tengah terbaring di ruang ICU dengan kondisi kritis. Aku rasa aku belum siap menerima semua ini. Aku tidak bisa menerima segala kemungkinan yang bisa terjadi pada Soon Hee. Aku tidak mau dia meninggalkanku lagi.
CKLEEKK…
Aku dan Maori langsung menoleh ke arah pintu yang baru saja terbuka. Sosok dokter yang tampak dua puluh tahun di atasku langsung menyambut kami dengan peluh yang menetes di dahinya.
“Bagaimana keadaan istriku?” tanyaku cepat. Aku tidak sabar lagi untuk menunggu agar bisa melihat keadaan Soon Hee di dalam.
Dokter itu mengulas senyum. “Istri Anda sudah melewati masa kritisnya,” jawab dokter itu yang membuatku dan Maori bernafas lega.
“Kami bisa melihat Soon Hee-eonnie sekarang, Dokter?” tanya Maori yang dijawab dengan anggukan oleh dokter itu.
Gomawo, Dokter,” ucapku sambil membungkukkan tubuhku berkali-kali.
Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri kalau sesuatu yang lebih buruk terjadi pada Soon Hee.

** ** **

(Soon Hee POV)

Rasa pusing masih mendominasi kepalaku saat ini. Dan ketika mataku terbuka sempurna, indera penciumanku langsung mencium bau obat yang mendominasi ruangan tempat aku berada. Putih. Warna itu yang mendominasi ruangan ini. Akh… Kepalaku pusing. Tanpa sadar tanganku memegangi kepalaku yang terbalut perban. Aku kenapa?
“Soon Hee-ah..”
Aku menoleh ke sumber suara. Seorang namja dan yeoja tampak begitu lega melihatku. Namja itu membantuku duduk dan ia tampak senang melihatku yang sudah sadar.
“Kau… Gwaenchana? Ada yang sakit?” tanyanya cemas walaupun kulihat senyum kecil menghiasi bibirnya. Sebahagia itukah dia melihatku?
Aku hanya menggeleng lemah menjawab ucapannya.
Eonnie… Kau baik-baik saja?” tanya yeoja yang berdiri di samping namja itu dengan suara serak. Sepertinya dia habis menangis.
Aku hanya mengangguk menjawab ucapannya.
“Syukurlah…” ucap namja tadi seraya menghambur memelukku. Aku hanya terlonjak kaget menerima perlakuannya. “Aku pikir… aku akan kehilanganmu lagi,” ucapnya pelan di dalam pelukanku.
Lagi? Kehilanganku lagi? Apa maksudnya dengan kata ‘lagi’?
Mwo? Kehilanganku.. lagi?” tanyaku pelan.
Ia mendorong tubuhku pelan hingga pelukannya terlepas. Lalu ia mengecup pipiku sekilas.
Ia mengangguk. “Aku mencintaimu,” ucapnya. “Aku mencintaimu, Sayang…”
Dia bilang dia mencintaiku?
“Kau…”
“Ssstt… Lebih baik kau istirahat dulu,” ujarnya sambil merapikan selimut yang menutupi sebagian tubuhku.
“Tapi, kau…” ucapku menggantung. “Kau siapa?”
Tampak namja itu membelalak kaget mendengar ucapanku. Ia membuka sedikit mulutnya dan seperti ingin mengatakan sesuatu namun sulit untuk dikeluarkan dengan kata-kata. Begitu pula dengan yeoja yang ada di sebelahnya. Mereka kenapa?
“Kau tidak ingat padaku?” tanyanya seakan tak percaya dengan ucapanku.
Aku hanya menggeleng pelan. Aku benar-benar tidak mengenali mereka.
“Kau juga tidak ingat padaku, Eonnie?” tanya yeoja itu yang lagi-lagi kujawab dengan sekali gelengan.
“Soon Hee…” Namja itu tampak begitu sedih dan pilu menatapku dengan kedua matanya yang sembab. Terlihat sekali kekecewaan yang terpancar dari tatapannya. “Aku suamimu…”
Mwo? Lelucon apa ini? Aku tidak mengenali mereka, lalu bagaimana bisa dia mengaku sebagai suamiku?
Mwo?!” jeritku tak percaya. Aku sudah menikah?
Namja itu mengangguk dan matanya tampak berkaca-kaca. “Kita baru saja menikah, Soon Hee..”
Aniyo!” sanggahku sambil menggelengkan kepalaku kuat, dan namja itu tampak begitu terkejut dengan sikapku. “Aku tidak mengenalmu, jadi bagaimana mungkin aku…”
“Tapi aku suamimu, Soon Hee…” ucapnya dengan sebulir air mata yang jatuh dari pelupuk matanya.
Di detik berikutnya pipinya sudah basah karena air mata. Namja itu menangis. Dia menangis untukku.

** ** **

(Jong Woon POV)

Seminggu yang lalu Soon Hee pulang dari rumah sakit. Tapi rasa canggung masih terasa di antara kami. Dia sering menjaga jarak denganku. Dia tidak pernah mau aku menyentuhnya apalagi hanya sekedar mengacak rambutnya. Ia seperti sudah melupakanku. Seolah memori tentangku di pikirannya sudah terhapus tak bersisa. Jangankan mengingat bahwa kami sudah menikah, tentangku saja dia tidak ingat. Seperti kata dokter yang menanganinya, Soon Hee terkena amnesia tidak permanen. Sebagian ingatannya terhapus. Dan itu adalah ingatan tentangku.
Maori, Clouds yang kutemui di taman bermain saat itu sering menjenguk Soon Hee. Mereka tampak seperti adik-kakak sungguhan. Seperti keinginan Soon Hee sejak lama, ia sangat ingin memiliki adik perempuan yang manis seperti Maori.

“Malam ini kau mau makan apa, Oppa?” tanya Soon Hee saat melihatku baru saja keluar dari kamar mandi. Ia sedang duduk di tepi ranjang sambil mendekap sebuah bantal. Sejak kehilangan ingatannya, ia menjadi bersikap lebih manis dan memanggilku dengan sebutan ‘Oppa’ seperti yang sudah lama kuinginkan darinya. Tapi sekarang sebutan itu malah membuatku menjadi tidak nyaman. Dia seperti bukan Soon Hee yang kukenal.
Aku menggeleng. “Siwon mengajak kita makan malam di luar,” ujarku sambil mengeringkan rambutku dengan handuk.
Dia hanya mengangguk-angguk tanda mengerti.
Walaupun dia melupakanku, tapi dia tetap ingat memori tentang keluarganya, apalagi Siwon yang merupakan sepupu yang paling akrab dengannya.
“Biar kubantu mengeringkan rambutmu,” ujarnya seraya mengambil alih handuk di tanganku dan mulai mengeringkan rambutku.
Aku duduk di tepi ranjang dan dia duduk di belakangku sambil menggosok-gosok lembut rambut basahku dengan handuk. Kehidupan rumah tangga yang sudah lama kuimpikan dengannya, tapi tidak dengan keadaannya yang sama sekali tidak ingat padaku.
“Kau istirahatlah. Sejak tadi pagi kau belum ada istirahat,” ujarku dengan berusaha menoleh padanya. Tapi ia kembali memutar kepalaku ke depan dan mengeringkan rambutku.
“Aku tidak lelah,” sahutnya. “Aku ingin melayanimu, Oppa.”
Perlahan kutahan tangannya yang masih sibuk dengan rambutku. Lalu aku menyingkirkan kedua tangan halusnya dari kepalaku. Kami saling tatap tepat pada retina mata kami masing-masing. Di saat seperti ini aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak menautkan bibir kami.
Tepat saat bibir kami bertaut, ia tidak menolak. Ia membiarkan bibirku untuk melumat lembut bibirnya, dan lama kelamaan ia membalasnya. Perlahan aku mendorong tubuhnya hingga ia berbaring di atas kasur. Dan tepat saat aku hendak membuka kancing bajunya, seseorang mengganggu kami.
TING… TONG…!
Sontak aku langsung melepaskan ciumanku pada bibirnya dan segera bangkit dari atas tubuhnya. Baik wajahku maupun wajahnya sama-sama bersemu merah. Kami tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ia merapikan rambutnya sebelum keluar dari kamar dan membukakan pintu untuk tamu tak diundang itu.
Annyeong, Eonnie! Annyeong, Oppa! Kalian baik-baik saja?” sapa suara riang yang tak perlu kusebutkan namanya itu.
Soon Hee terkekeh melihat sikap cerianya dan mempersilakannya untuk masuk ke ruang tamu sementara dirinya berjalan masuk ke dalam dapur dan membuatkan gadis periang itu minuman.
“Kau dari mana? Kenapa kelihatannya sangat bahagia, huh?” tanyaku merujuk pada kedua bola matanya yang berbinar.
“Lihat!” serunya senang tepat saat tangannya mengangkat sebuah album penyanyi yang sedang naik daun. Choi Siwon.
“Oooh, jadi sekarang kau beralih menjadi Siwonest, huh? Kau mau pensiun jadi Clouds rupanya,” ujarku pura-pura marah.
Ia mengerucutkan bibirnya kesal. “Bukan begitu, Oppa. Hanya saja aku rasa suara Siwon-oppa juga hampir sama bagusnya denganmu,” ujarnya.
Mwoya? Kau menyamakanku dengan manusia tengik itu?”
Oppa, jangan sebut sepupuku dengan sebutan manusia tengik,” ujar Soon Hee dari dalam dapur.
Arraseo.. Menyebut Siwon tengik sama saja menyebutmu dengan manusia tengik, iyakan chagiya?
Ne, mianhae,” sahutku setengah berteriak. “Hey, Maori. Kau mau tidak ikut dengan kami nanti malam?” tanyaku.
“Ke mana?” katanya balik bertanya.
“Kami akan makan malam bersama Siwon,” jawabku yang langsung mendapatkan suara cemprengnya.
Mwoooooooooo????!!! Si.. Si… Siwon? Choi Siwon maksudmuu???” jeritnya tak percaya.
“Yaak!”
“Aku mau, Oppa!! Aku mau! Aaaah, kau penyelamatku!” soraknya kegirangan yang hampir membuat gendang telingaku pecah. Di saat seperti ini dia mirip sekali dengan Soon Hee dulu.

** ** **

“Kau sudah siap, Chagiya?” tanyaku pada Soon Hee yang sudah siap dengan tas tangannya saat melihat sosok anggun itu keluar dari kamar.
Ia mengangguk mengiyakan ucapanku. Aku mengulurkan tanganku ke arahnya dan dengan sedikit ragu ia menyambutnya. Aku tahu dia masih belum terbiasa denganku, tapi dia selalu berusaha senyaman mungkin di dekatku. Dia berusaha menjadi istri yang baik, dan aku hargai itu.
“Maori juga ikut, Oppa?” tanyanya saat kami baru saja sampai di lantai satu.
Ne, sepertinya dia senang sekali akan bertemu dengan Siwon. Hhh… Sekarang dia Siwonest.. dasar fans labil,” jawabku yang diakhiri dengan helaan nafas.
Soon Hee tertawa melihatku.
“Kau cemburu, Oppa?” tanyanya dengan masih terkekeh.
Mwo? Cemburu? Ani!” sanggahku.
“Kau cemburu pada Siwon, Oppa..” ujarnya lagi. Oke, sekarang dia mau menggodaku.
Aniyo~,” ucapku manja.
Jinjja?”
“Aku akan cemburu kalau dekat-dekat dengan namja lain,” ujarku yang langsung membuat bibirnya terkunci rapat.
Ia menatapku lekat-lekat dengan tatapan yang aku sendiri tidak tahu apa artinya. Tapi setelahnya ia segera membuang mukanya ke arah lain dengan kedua pipinya yang bersemu merah.
“Ngg… Oppa.. Kajja berangkat. Nanti kita terlambat,” ucapnya tanpa menatapku.
Lihat, manis sekali dia.

** ** **

After dinner

“Menyenangkan sekali!” ujar Soon Hee saat kami baru sampai di apartemen.
“Kau suka makan malamnya?” tanyaku sambil merangkulnya, walaupun ia merasa sedikit tidak nyaman di dalam rangkulanku.
Ia mengangguk sambil tersenyum simpul ke arahku, membuatku langsung mencubit pipinya gemas.
“Yaak, appeu, Oppa..” ucapnya manja walau sebenarnya ia tidak bermaksud untuk mengeluarkan suara manja seperti itu.
Mian,” kataku sambil mengelus pipinya yang hampir memerah.
Ia tersenyum kecil dan berbalik, menatap suasana malam dari jendela apartemen. Aku mengikutinya dari belakang dan melingkarkan tanganku di pinggangnya. Ia sedikit terlonjak kaget saat aku memeluknya, tapi selanjutnya ia tidak berusaha untuk melepaskan diri dariku. Dia membiarkanku memeluknya dan menyandarkan daguku pada pundaknya.
Rasanya sudah lama aku tidak seperti dengannya. Semenjak dia terkena amnesia, aku tidak bisa menyentuhnya dengan leluasa. Apalagi panggilannya untukku itu, seperti memberi jarak antara aku dan dia.
“Soon Hee..” panggilku.
Dia menggumam dan menoleh padaku sedikit.
“Bisa tidak jangan memanggilku dengan sebutan Oppa?” pintaku yang langsung membuatnya membulatkan matanya lebar.
W-waeyo? Kau tidak suka kupanggil seperti itu, Oppa?” tanyanya panik. Dia takut aku tidak menyukainya.
Aniyo… Aku hanya tidak nyaman dipanggil seperti itu olehmu. Panggil aku Jong Woon saja, ne?” kataku seraya membalik tubuhnya hingga ia menghadap padaku.
“Ta..tapi, rasanya tidak sopan kalau aku..”
Aniyo.. Aku lebih nyaman jika kau memanggilku langsung dengan namaku,” ujarku memotong ucapannya. “Bagaimana?”
Ia tersenyum kecil dan menggeleng pelan. “Aku tidak bisa. Maaf…” ucapnya sebelum ia melepaskan tanganku pada pinggangnya secara perlahan dan meninggalkanku masuk ke dalam kamar.
Aku menghela nafasku berat. Kenapa di saat seperti ini aku merasa seperti kehilangan dirinya?

BRAK!
Tiba-tiba terdengar bunyi gaduh dari dalam kamarku. Dengan rasa cemas yang membuncah di dalam dadaku, aku segera berlari masuk ke dalam kamar. Tanganku memutar kenop pintu dengan cepat, namun pintu itu tidak juga segera terbuka. Sial! Dikunci!
“Soon Hee! Kim Soon Hee! Kau kenapa?” tanyaku setengah berteriak sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar. Nihil, tidak ada jawaban. Dan itu membuatku semakin khawatir.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera mendobrak pintu hingga membuat pintu itu terbuka dan.. aku melihat tubuh Soon Hee tergeletak di lantai dengan kedua mata yang terpejam. Tetesan peluh membasahi dahinya. Dia pasti terlalu berat memikirkan ingatannya yang hilang.
“Soon Hee…” Dengan hati-hati aku mengangkat kepalanya dan meletakkannya di atas pahaku. Dengan lembut aku membelai wajahnya yang terlihat lelah dan pucat. “Maaf… Maafkan aku…” Tanpa sadar, air mata sudah membasahi kedua pipiku. “Soon Hee… Maafkan aku..”

** ** **

Paginya aku terbangun dengan Soon Hee tidak berada di sampingku. Padahal aku yakin semalam aku menidurkannya di sampingku. Ke mana dia?
Pertanyaanku itu seakan terjawab dengan suara alat dapur dari arah dapur. Senyumanku langsung merekah saat melihatnya menyambutku dengan senyuman hangatnya.
“Sudah bangun?” tanyanya sambil menyiapkan sarapan di meja makan.
“Apa itu?”
“Kimbab.”
Ne?” ucapku setengah terkejut.
Waeyo?” tanyanya ragu. “Kau tidak suka?”
Aku menggeleng dan langsung mengulas senyum. “Ini makanan kesukaanku. Bagaimana mungkin aku tidak suka,” jawabku seraya menarik kursi dan duduk di sana.
“Ah, jinjja?” ujarnya sambil ikut duduk di hadapanku.
“Bagaimana kau tahu? Kau sudah ingat semuanya?” tanyaku penuh harap.
Mollayo. Aku hanya sedang ingin memasak kimbab,” jawabnya sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya.
Aku mengangguk-angguk menanggapi ucapannya. Tapi bukankah ini adalah suatu kemajuan yang lumayan bagus?
Oppa..” panggilnya.
Ne?”
“Kira-kira.. kapan aku bisa ingat semuanya?” tanyanya dengan menatapku penuh harap. Terlihat rasa keputusasaan dari sorot matanya. Apa aku sudah pernah bilang kalau aku tidak akan pernah tahan dengan tatapannya yang seperti ini?
Aku bangkit dari kursiku dan memutari meja makan, lalu memeluknya dari belakang serta mencium puncak kepalanya dengan lembut.
“Pelan-pelan kau pasti akan ingat semuanya, arra?” kataku tanpa melepaskan pelukanku pada tubuhnya.
Ia mengangguk. “Ne, Oppa..”
“Habiskan makananmu,” ujarku sambil sekali lagi mengecup kepalanya. Untuk saat ini, biarkan aku bersikap layaknya kakak untukmu, Hee. Aku akan melindungimu.

** ** **

(Soon Hee POV)

“Kau mau mengajakku ke mana, Oppa?” tanyaku saat ia membawaku masuk ke dalam sebuah gedung yang tampak begitu mengagumkan. Ia menekan tombol pada lift dan tersenyum simpul padaku.
“Aku ingin mengajakmu melihat kesibukanku,” jawabnya sambil mengacak rambutku, aktifitas yang selalu dilakukannya padaku.
Mwoya? Bagaimana kalau aku mengganggu pekerjaanmu?” tanyaku khawatir sambil menyingkirkan tangannya yang masih mengacak rambutku.
Ia menggeleng. “Tidak akan. Kau bisa menunggu di ruang ganti. Arraseo?” ujarnya seraya mencium kilat pipi kiriku.
Blush!
Wajahku panas. Pasti sekarang pipiku sudah semerah tomat. Namja ini memang suka membuatku salah tingkah, ya?
Kulihat dia tengah tersenyum lebar memerhatikanku yang mulai salah tingkah dibuatnya. Aahh… Oppa!

“Jadi di sini kau bekerja, Oppa? Kau public figure?” tanyaku saat ia membawaku masuk ke dalam ruang ganti khusus untuknya.
Ia mengangguk dan membiarkanku duduk di sofa di sudut ruangan.
“Kau tunggu di sini sebentar, ne? Aku tampil dulu,” ujarnya seraya melangkah keluar dari ruangan ini.
Ternyata seperti ini kehidupan suamiku itu? Berarti aku termasuk beruntung bisa menikah dengannya yang pada faktanya adalah seorang penyanyi yang dipuja-puja banyak yeoja.

Tapi lama kelamaan rasanya bosan juga di ruangan ini sendirian. Aku mencoba mencari kesibukan sementara Jong Woon-oppa sedang tampil untuk saat ini. Tapi sialnya saat aku hendak berdiri tiba-tiba hak sepatuku patah dan akhirnya aku kehilangan keseimbangan dan…
DUK!
Kepalaku membentur tembok dengan cukup keras dan itu membuatku tak mampu lagi untuk berdiri. Aku terjatuh di lantai dengan kepalaku yang rasanya seperti berputar-putar.
“Kim Jong Woon…” gumamku dengan kesadaran yang mulai menurun.
Eh? Kim Jong Woon? Ini pertama kalinya aku menyebut nama lengkapnya dan tanpa embel-embel oppa. Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa begitu berani menyebut nama namja yang sudah menjadi suamiku itu. Tapi perlahan-lahan bersamaan dengan kesadaranku yang semakin menurun, pikiranku dipenuhi dengan wajahnya. Wajah seorang Kim Jong Woon.
–––
“Hei, Soon Hee… Kira-kira nanti kau mau menikah dengan siapa?”
“Mwo? Kenapa bertanya begitu?”
“Aniyo, hanya bertanya. Cepat jawab, kau mau menikah dengan siapa nanti?”
“Kau tahu Choi Siwon?”
“Lalu… ? Yaak, jangan bilang kau akan menikah dengannya nanti!”
“Menurutmu?”
“Yaak! Kim Soon Hee!!!”
“Wae, Jong Woon-ah? Kau tidak terima? Kau mau aku menjadi perawan tua nantinya, eoh?”
“Aniyo.. karena kelak, akulah yang akan menikahimu.. Jangan melirik namja lain selain aku. Arraseo?”
–––

(Jong Woon POV)

“Soon Hee-ah!” seruku senang bercampur haru saat melihat yeoja yang sejak satu jam yang lalu terbaring lemah dengan kedua mata yang terpejam. Aku begitu mengkhawatirkan keadaannya. Apalagi tadi kutemukan dia pingsan di dalam ruang ganti saat aku baru selesai tampil mengisi acara musik.
Dengan segera aku langsung menarik tubuh kecil yeoja yang masih belum bisa mencerna situasi itu ke dalam pelukanku dan mencium puncak kepalanya berkali-kali.
Gwaenchanayo? Ada yang sakit, eoh? Mana yang sakit?” tanyaku tanpa memberinya waktu untuk menjawab. Aku begitu mencemaskannya.
“Ukhh… Jong Woon-ah..”
Ne, Soon Hee?”
“Kau berisik sekali,” ujarnya dengan nada kesal dan suara yang masih lemah.
Eh, tunggu dulu. Ada yang aneh…
“Soon Hee, kau––” ucapku terputus setelah melepaskan pelukanku.
Waeyo?” tanyanya masih dengan nada yang sama sambil mengerling kesal padaku. Sebelah tangannya menopang kepalanya sambil sesekali meringis karena pusing.
“Hee-ah..” Aku langsung menahan kedua bahunya dan menatapnya dari ujung rambut hingga ke ujung dagu.
“Yaak, kau kenapa, hah?!” teriaknya seraya melepaskan tanganku yang masih memegangi kedua bahunya.
“Jong Woon? Kau tidak memanggilku Oppa lagi, Hee-ya?” tanyaku.
Mwoya? Sejak kapan aku memanggilmu dengan sebutan Oppa, hah?! Jangan bermimpi!!!”
Dengan senyum yang sudah merekah sempurna, aku langsung menariknya dan memeluknya dengan erat, seakan tidak mau untuk melepaskannya lagi.
“Kau kembali! Kau kembali, Hee!” jeritku senang sambil menciumi kedua pipinya secara bertubi-tubi.
“Yaak, lepaskan aku!! Memangnya aku pergi ke mana selama ini, hah?! Kau aneh sekali, Jong Woon-ah! Lepas!”
Shireo!”
“Lepas!”
Shireo! Kau tidak tahu betapa aku merindukanmu, huh?” ujarku, menatap kedua matanya dalam.
“Kau aneh sekali,” gumamnya.
Aku hanya menggeleng. “Yang penting sekarang Soon Hee-ku sudah kembali. Ayo, kita rayakan!” jeritku senang.
Lalu tanpa persetujuannya aku segera mengeluarkan ponsel dan menelepon seorang namja abnormal yang sangat dipuja-puja banyak wanita.
“Siwon-ah! Soon Hee sudah sembuh! Ayo, kita rayakan!”
Mwo? Jinjjayo?”
Dan saat itu pula Soon Hee melirikku kesal, lalu ia melemparku dengan sebuah bantal.
“Apanya yang harus dirayakan, hah?! Kau senang melihatku sakit seperti ini?! Akh…” ujarnya yang diakhiri dengan ringisan sambil memegangi kepalanya. Pasti sakit kepalanya belum hilang.
Aku menutup flap ponselku dan menghampiri istriku yang tengah meringkuk di atas tempat tidur itu. Lalu memeluknya dari belakang dan mencium kulit lehernya.
Bogoshippeo,” bisikku sambil mengecup kulit lehernya.
“Memangnya selama ini aku kenapa?” tanyanya tanpa melepaskan pelukanku.
“Kau memang tidak ke mana-mana. Tapi… Ah, sudahlah. Yang penting kau sudah kembali.”
Ia membalas senyumanku dengan senyuman yang sangat manis, bahkan melebihi senyuman yang biasa ia berikan padaku selama ini.
Saranghaeyo, Mrs Kim,” bisikku sebelum mendekatkan wajahku pada wajahnya dan menempelkan bibirku pada bibirnya.
Well, ciuman itu berlangsung lama dan menjadi ‘lebih’ dari sekedar ciuman. Ciumanku turun pada pundaknya yang terbuka karena dengan sengaja tadi aku membuka tali gaun tidurnya. Ini akan menjadi malam yang indah. Bukan begitu? ^^


END

Aaaaahhh!!! Itu yang terakhir rada yadong! ><
Well, ini berdasarkan permintaan para readers yang pengen sequel tentang marriage life-nya Jong Woon-Soon Hee.. gimana? Sok atuh dikomen :D
Untuk selanjutnya saya bakal nyari ide dan inspirasi buat kelanjutan dari cerita couple setengah gila ini. Muahahahaha xD *diceburin ke kolam buaya* -___-v
Sampai jumpa lagi, ya di cerita Jong Woon-Soon Hee yang selanjutnya! :D