Title : I’m Your Husband [JongWoon-SoonHee’s
Story]
Author: Ifa Raneza
Cast :
-Yesung (Kim Jong
Woon)
-Kim Soon Hee (OC)
Genre : Romance,
Comedy(?), Marriage Life
Annyeong~ setelah
udah beberapa bulan vakum dari couple ini saya balik lagi bawa cerita tentang
couple setengah gila ini ke hadapan publik(?) karena banyak yang minta marriage
life-nya. Okelah, inilah hasilnya.
Happy reading~ :D
Cerita sebelumnya:
-My Last Dream
-I’ll Marry You,
Kim Jong Woon
-Marry Him
** ** **
(Soon Hee POV)
Ukh… Apa ini? Kenapa badanku jadi berat begini? Dan
lagipula… kenapa ada bau ini? Sepertinya bau ini tidak terlalu asing bagiku.
Ini seperti bau Jong Woon… Eh, Jong Woon?
“Yaak!!! Lepaskan aku!!” teriakku histeris saat
mendapati seorang namja tengah
tertidur dengan wajah polosnya sambil memelukku erat. Bukannya melepaskan
pelukannya, ia malah semakin mengeratkan pelukannya pada tubuhku, membuatku
semakin kesulitan untuk bernafas.
“Lima menit lagi, Hee-ah… Aku masih ngantuk…” gumamnya
sambil menelusupkan wajahnya pada lekukan leherku.
Aku menggelinjang kegelian saat nafasnya yang hangat
menyapu kulit leherku. Apa katanya tadi lima menit lagi? Tidak sampai lima
menit jika dia masih mengunci tubuhku seperti ini, bisa-bisa aku kehabisan
nafas.
“Jong Woon-ah.. Aku tidak bisa bernafas!” ujarku sambil
berusaha mendorong tubuhnya.
Ia melepaskanku dan menatapku kesal dengan matanya yang
masih setengah tertutup serta bibirnya yang sengaja dikerucutkan. Lihat, manja
sekali dia.
“Kau tahu ini baru jam berapa, hah?” tanyanya kesal.
“Ini baru jam satu pagi, Soon Hee! Jam satu pagi!!” teriaknya tepat di
telingaku dan tanpa aba-aba terlebih dahulu kepalan tangannya mendarat di
puncak kepalaku.
“Auuww!” ringisku kesakitan. Dasar, namja ini. Aku ini istrinya atau bukan?
“Sakit, Jong Woon-ah…” rengekku seraya mengelus kepalaku yang sedikit nyeri.
“Itu balasan untuk istri yang sudah mengganggu tidur
suaminya,” ujarnya dengan nada bicara yang sok bijaksana. Cih!
“Oh, jadi begitu? Mentang-mentang sekarang kau suamiku,
jadi kau bisa seenaknya menjitak kepalaku, hah? Bagus sekali,” kataku datar.
Lalu aku membalik tubuhku menjadi membelakanginya dan
menarik selimut hingga menutupi kepalaku. Aku mulai memejamkan mataku dan tidak
mempedulikannya yang mulai membujukku untuk tidur menghadapnya dan memeluknya
seperti tadi.
“Hee… Kau marah? Hei.. aku hanya bercanda..” bisiknya
sambil mengguncang pelan bahuku.
“Jangan ganggu aku..” gumamku membalas ucapannya seraya
mengeratkan pelukanku pada bantal guling.
“Yaa, suamimu itu aku, kenapa kau malah memeluk guling
heh?” tanyanya kesal sembari melempar guling yang ada di dalam dekapanku dan
mengganti posisi guling dengan dirinya.
“Bisa tidak, jangan menggangguku? Aku mau tidur, Jong
Woon-ah. Kau tahu tidak ini sudah jam berapa? Jam satu pagi!” ujarku yang
langsung membuatnya terperangah karena sudah berhasil membalik kata-katanya.
Sebelum ia sempat menyahut ucapanku, aku segera
memungut bantal guling yang ia lempar dan kembali memeluknya, tidak peduli
dengan Jong Woon yang sudah kembali memasang wajah kesal.
“Wae? Kenapa
wajahmu cemberut begitu? Tidak terima, hah?” tanyaku ketus sambil mencubit
hidungnya gemas. Yah, kalau boleh dibilang, aku tidak sepenuhnya marah saat
ini. Tapi aku suka melihat wajahnya yang seperti ini. Lucu.
“Jangan mengacuhkanku, aku juga mau tidur dipeluk
olehmu seperti nasib guling yang beruntung itu,” jawabnya setelah menyingkirkan
tanganku yang masih mencubit hidungnya. Matanya beralih pada bantal guling yang
ada dalam dekapanku. Dia cemburu pada bantal?
Tanpa sadar aku menggigit bibir bawahku, berusaha keras
untuk menahan tawa. Suamiku ini lucu sekali.
“Jadi kau mau kupeluk, hm?” tanyaku sambil menangkup
kedua pipinya dengan kedua tanganku.
Ia mengangguk dengan polosnya dan lagi-lagi membuatku
harus sekuat tenaga menahan tawa yang bisa meledak sewaktu-waktu.
“Ne,
tidurlah,” ucapku seraya mendekatkan wajahku pada wajahnya dan mengecup
bibirnya lembut.
Sejenak ia tampak terkejut dengan ciuman yang
kuberikan, tapi lama kelamaan ia mulai menikmatinya dan malah menuntut lebih.
Ia menarik tengkukku agar ciuman kami semakin dalam dan tentu saja itu
membuatku semakin susah untuk bernafas.
“Ya! Geumanhae! Kau mau membunuhku?” tanyaku
kesal setelah berhasil mendorongnya hingga membuat tautan bibir kami terlepas.
Lagi-lagi bibirnya mengerucut kesal. Dia amnesia, ya?
Apa dia lupa sekarang masih jam berapa?
“Ssst…” Tiba-tiba jari telunjuknya mendarat manis di
bibirku. “Kau lupa kewajibanmu sebagai istri?” tanyanya dengan suara yang setengah
berbisik.
Aku menggeleng menjawab ucapannya.
“Nah, kau belum melaksanakan tugasmu. Jadi…” Ia
menggantungkan ucapannya dan membuat jantungku berdebar menunggu kelanjutan
kalimatnya. “Aku menagih tugasmu sebagai istri sekarang,” lanjutnya dengan
seringai yang tiba-tiba muncul di bibirnya.
Sepertinya ada yang tidak beres di sini…
Belum sempat aku mengatakan sesuatu, ia kembali menarik
tengkukku dan mengunci tubuhku dengan tangan besarnya. Ia kembali menautkan
bibirnya pada bibirku dan melumatnya lembut. Awalnya lembut, tapi semakin lama
bibirnya semakin melumat bibirku dengan ganas. Tapi, aneh.. Tubuhku seperti
membeku.
Kemudian ia melepaskan bibirnya dari bibirku dan
menatapku lekat tepat di manik mataku.
“Saranghae..”
bisiknya sambil merapikan rambutku yang sedikit menutupi wajahku.
“Nado,”
sahutku.
Ia tersenyum manis, manis sekali, hingga membuatku
terpesona. Aku tidak bisa melakukan apa-apa saat lagi-lagi dia menarikku ke
dalam dekapannya dan mencium leherku dengan lembut. Aku hanya diam menerima
perlakuannya, sementara jantungku terus berdebar dengan keras saat ia mulai
mendorong tubuhku pelan hingga aku berbaring di atas tempat tidur dengan
tubuhnya yang masih berada di atas tubuhku. Untuk selanjutnya, aku tidak tahu
lagi apa yang terjadi. Aku terlalu dimabukkan dengan pesonanya.
** ** **
The
morning after…
“Morning kiss!”
serunya riang saat aku baru saja membuka mataku dan mendapati wajahnya hanya
berjarak sekitar sepuluh senti dari wajahku. Ia tersenyum lebar hingga deretan
giginya yang rapi terlihat olehku. Dia manis sekali.
“Eumh… Jam berapa sekarang?” tanyaku sambil
menggosok-gosok kedua mataku.
“Jam tujuh,” jawabnya singkat. “Morning kiss!” serunya
lagi seolah tidak rela jika paginya terlewatkan tanpa morning kiss dariku.
“Aissh… Kau manja sekali,” cibirku seraya bangkit dari
tempat tidur dan berjalan ke arah kamar mandi tanpa memedulikan teriakannya
yang hampir membuat gendang telingaku pecah.
“Yak! Istri macam apa kau, hah?! Jangan pergi sebelum
aku mendapatkan morning kiss-ku!!
Yaak, Kim Soon Hee, kembali kau!!”
BLAM!
Sebelum ia sempat berteriak lagi, aku segera menutup
pintu kamar mandi dan menguncinya dari dalam. Jangan sampai Mr Alien itu masuk
ke dalam kamar mandi dan menyerangku di sini.
“Eh, apa ini?” gumamku saat melihat sesuatu pada
leherku.
Penasaran dengan bercak merah yang tiba-tiba muncul di
kulit leherku, aku menyibak rambutku dan memerhatikan leherku yang sudah tidak
putih bersih seperti biasa di cermin. Ada dua bercak kemerahan yang terlihat di
kulit leherku. Ini… Sekarang aku tahu ini apa.. Aku ingat apa yang terjadi
semalam.
“Aaaarrrgghhh!!! Awas kau, Kim Jong Woon!!!”
** ** **
(Jong Woon POV)
“Hhh….”
Lagi-lagi wanita yang sudah menjadi istriku itu
menghela nafasnya lelah. Dia kenapa? Ini sudah hampir yang kesepuluh kalinya
dia menghela nafas. Sebagai suami yang baik, aku mendekatinya yang masih sibuk
menyiapkan sarapan di meja makan. Dia membuatku khawatir saja. Apa dia sakit?
“Kau kenapa?” tanyaku seraya duduk di hadapannya.
“Aniyo…” jawabnya
tanpa mau menatapku.
“Kau kenapa?”
“Aku sudah bilang aku tidak apa-apa,” jawabnya lagi
tanpa menatapku sedikit pun.
Dia ini kenapa, sih? Kenapa sikapnya aneh sekali?
“Kau sakit?” tanyaku sambil menuangkan air putih ke
dalam gelas kaca.
“Ani.
Sudahlah, jangan pedulikan aku,” ujarnya sambil mengibaskan tangannya seolah
keadaannya tidak perlu untuk dikhawatirkan. Dia ini bodoh, ya? Aku khawatir
padanya, tapi dia malah menyuruhku untuk tidak peduli padanya.
“Ayo, sarapan,” ujarnya seraya duduk di hadapanku dan
menyodorkanku semangkuk nasi.
Ting… Ting…
Hanya bunyi sumpit yang beradu dengan mangkuk yang
terdengar di ruangan ini. Tidak ada obrolan antara kami. Padahal biasanya kami
adalah pasangan yang paling ribut.
Rasanya sepi sekali, padahal aku mengharapkan suasana
di apartemenku akan lebih ramai setelah menikah.
“Hey, kenapa kau diam saja? Kau sakit karena yang tadi
malam itu?” tanyaku dengan wajah tak berdosa.
Ia menatapku dengan kedua matanya yang membelalak
lebar, dan sedetik kemudian ia tersedak. Dengan cepat aku menuangkan air putih
ke dalam gelas dan menyodorkannya padanya.
“Jangan ingatkan aku tentang yang tadi malam!” ujarnya
setelah meneguk air putih yang kusodorkan.
Astaga, Soon Hee. Jadi ini semua karena yang tadi malam
itu? Dasar aneh.
“Oooh… Jadi kau bersikap mengacuhkanku seperti ini
karena yang tadi malam?” tanyaku sambil melipat kedua tanganku di depan dada,
menatapnya lurus-lurus dengan tatapan ‘yang-benar-saja’.
“Issh… Sudah kubilang jangan ungkit-ungkit lagi tentang
yang tadi malam!!” serunya dengan tatapan horror yang ia lemparkan padaku.
“Memangnya kenapa? Itu kan sudah menjadi kewajibanmu.
Jadi jangan salahkan aku kalau kau sudah tidak gad–-”
“Ya!
Hentikaaaannn!!!” teriaknya memotong ucapanku sambil menutup kedua telinganya.
Dia aneh sekali. Soon Hee… Soon Hee… Kau itu sudah
dewasa dan sudah menjadi istri, kenapa malah malu pada suamimu sendiri?
“Kau kenapa, sih? Aneh sekali,” cibirku seraya kembali
memulai sarapan yang sempat terpotong tadi. “Kau malu padaku?” tanyaku lagi dan
kali ini dengan nada bicara yang sangat datar.
Dia menggeleng cepat. “Untuk apa aku malu padamu?”
katanya berbalik bertanya.
“Lalu?”
“Aku hanya…” Ia menunduk menatap mangkuk yang masih
penuh dengan nasi. “Ah, sudahlah. Ayo, makan!” ujarnya sambil mengibaskan
tangannya dan kembali melanjutkan makannya.
Dasar yeoja
aneh.
** ** **
“Hari ini kau tidak ada jadwal show?” tanyanya sambil memain-mainkan rambutku yang berada di atas
pahanya.
“Aniyo. Aku
libur sampai minggu depan. Kau lupa kita baru saja menikah, huh?” jawabku yang
hanya ditanggapinya dengan anggukan.
“Baguslah kalau begitu.”
“Mwo?” Apa
aku tidak salah dengar? Dia senang kalau aku libur? “Kau senang aku tidak pergi
kerja? Kau tidak rela aku pergi, yaaa?” godaku sembari bangkit dari pahanya
yang tadinya menjadi alas kepalaku.
BUK!
Ia melemparku dengan bantal sofa dengan tidak
memedulikan wajahku yang bisa lecet sewaktu-waktu akibat aksinya itu.
“Ya! Siapa
bilang aku tidak rela kau pergi, hah?”
“Lalu?”
Ia tersenyum lebar dan menangkupkan kedua tangannya. Biasanya
kalau sudah seperti ini dia pasti ada maunya.
“Temani aku jalan-jalan!” ujarnya riang.
“Mwo?”
“Jebaaallll~
Jong Woon-ah… Anggap saja ini seperti bulan madu kita. Aku ingin sekali
jalan-jalan,” ujarnya dengan nada memelas yang disertai dengan puppy eyes-nya yang tampak begitu
kekanakan di mataku.
“Aissh… Kau seperti anak kecil saja,” cibirku seraya
bangkit dari sofa dan berjalan ke dalam kamar.
“Kau mau ke mana?” tanyanya dengan setengah berteriak.
“Bersiap-siap. Kau bilang mau jalan-jalan?”
Dan sedetik kemudian yang terdengar adalah sorakannya
yang hampir menembus gendang telingaku ditambah lagi dengan gerakan tangannya
yang hampir menyerupai tarian pemanggil hujan(?).
** ** **
“Kau mau jalan-jalan ke mana?” tanyaku saat ia kami
sudah siap di dalam mobil dan seat belt
sudah terpasang pada tubuh kami.
“Lotte World!”
“Mwo? Kau mau
ke sana? Kau pikir berapa umurmu, hah?” tanyaku tak habis pikir.
Wanita ini kekanakan sekali. Kenapa ingin merayakan
pernikahannya di taman bermain? Seperti anak kecil saja.
“Kau tidak mau, ya?” tanyanya dengan raut wajah yang
mendadak berubah menjadi sedih.
O ow… Kenapa wajahnya jadi seperti ingin menangis
seperti itu? Wajahnya menyedihkan sekali. Aku tidak tahan kalau melihat istriku
seperti ini. Kasihan sekali dia…
“Arraseo… arraseo…
Kita ke taman bermain, ne?” kataku
pada akhirnya.
“Jinjjayo?
Akhirnyaaaa! Gomawo, Jong Woon-ah!”
Chu!
Tanpa izin bibirnya langsung menyambar bibirku sekilas.
Haah… kalau tahu sifatnya seperti ini, dari awal aku akan menuruti semua
kemauannya kalau pada akhirnya akan mendapatkan hadiah ciuman. Kkkk….
“Kajja,
berangkat!” ujarku riang.
–––
“Eungg… Jong Woon-ah… Kau serius ingin pergi ke taman
bermain?” tanyanya dengan sedikit ragu, saat mobilku sudah mendekati lokasi
taman bermain.
“Wae? Bukankah
kau ingin pergi ke sana?” tanyaku bingung dengan sikapnya.
“Aniyo… hanya
saja… Kau tidak takut kalau nanti ada yang mengenali wajahmu? Kau tidak takut
dikejar-kejar Clouds lagi?” tanyanya sambil menatapku ragu.
“Aku sudah mempersiapkan semuanya,” ujarku sambil
menunjukkan jaket hoodie dan kacamata
hitam yang memang sudah kupersiapkan sejak tadi.
Ia terdiam menatap benda-benda yang kusodorkan padanya.
Lama ia menatap dua benda itu, sampai akhirnya ia mengangkat kepalanya dan
kembali menatapku.
“Kau memang baik,” ujarnya sebelum ia menempelkan
bibirnya pada pipi kananku.
CKIIIT!
Omo! Hampir saja aku kehilangan kendali. Dasar yeoja ini. Apa dia mau kami berdua mati
berdua di dalam mobil seperti ini, hah?
“Kau membuatku kaget, Soon Hee-ah,” ujarku masih dalam
efek keterkejutanku. Ia hanya terkekeh sambil menunjukkan tanda peace dengan dua jarinya.
“Awas kau, ya,” ujarku sambil mengacak rambutnya gemas.
Lucu sekali dia.
** ** **
(Soon Hee POV)
“Fuuuh…”
Aku menghela nafas saat aku dan Jong Woon baru saja
keluar dari taman bermain. Tapi bukan karena lelah, melainkan karena puas. Aku
puas sekali. Rasanya sudah lama aku tidak bermain-main seperti ini. Dan
beruntungnya, tidak ada yang mengenali Jong Woon sebagai Yesung di taman
bermain tadi. Dengan begitu kami aman dan tidak perlu takut diserbu Clouds
seperti waktu itu. (Baca I’ll Marry You,
Kim Jong Woon).
“Kau senang?” tanyanya sambil merangkulku dan mengecup
puncak kepalaku lembut.
Aku mengangguk dan mengulas senyum.
“Gomawo,”
ucapku seraya mendaratkan ciuman kilat pada pipinya. Rasanya sedikit aneh
menciumnya duluan. Biasanya dia yang selalu mencuri ciumanku duluan. Hihihi…
“Kenapa setelah menikah kau jadi manja begini, Hee-ya?”
tanyanya sambil terus melangkahkan kedua kakinya menuju tempat mobil kami
diparkir.
Aku menggeleng. “Molla.”
Lagi-lagi tangannya mencubit pipiku gemas hingga pipiku
kini sedikit nyeri dan memerah. Aku segera menyingkirkan tangannya dan mengelus
pipiku yang sudah semerah tomat ini.
“Hehehe… Mianhae,”
ucapnya sambil terkekeh. Lalu ia menciumku tepat di mana ia mencubitku tadi.
“Kau tunggu di sini sebentar, ne? Aku
beli minuman dulu,” ujarnya seraya meninggalkanku di depan gerbang Lotte World
sendirian.
“Mwo?” Dengan
cepat aku menahan gerakannya hingga membuat ia menghentikan langkahnya.
“Tunggu sebentar di sini. Aku tidak akan lama, ne?” ujarnya seraya mengacak sekilas
rambutku.
Aku hanya mengangguk pelan, seolah ragu untuk
melepaskannya.
Setelahnya genggamanku pada tangannya lepas dan ia
pergi meninggalkanku di sini. Aku hanya memandanginya yang semakin menjauh.
Hhh… Kenapa perasaanku jadi campur aduk begini?
“Eonnie,
bukankah kau Kim Soon Hee?” tanya sebuah suara imut yang membuatku menoleh.
Seorang yeoja
dengan tubuh kecil sedang tersenyum lebar padaku. Sepertinya dia masih SMA.
Manis sekali dia..
“Ah, ne… Aku
Kim Soon Hee. Kau siapa, ya?” tanyaku.
Ia mengulurkan tangannya dan melebarkan senyumnya. “Han
Mao Ri imnida. Aku seorang Clouds!”
serunya riang sambil menjabat tanganku.
“Oh.. Ah, kau Clouds rupanya,” kataku sambil mengulas
senyum. Aku bingung, saat ini aku harus senang atau malah takut? Aku takut akan
diserbu Clouds seperti di depan apartemen waktu itu.
“Kau sendirian saja, Eonnie? Mana suamimu?” tanyanya dengan nada yang dibuat-buat pada
kata ‘suami’. Hey, dia sedang menggodaku?
“Su..suami? Ah, Jong Woon maksudmu?” kataku berbalik
bertanya.
“Ne, tentu
saja dia. Memangnya kau sudah menikah berapa kali?” katanya sambil terkekeh
pada akhir kalimatnya. “Mana Yesung-oppa?”
tanyanya lagi.
“Dia sedang membeli minuman. Tapi…”
“Tapi apa, Eonnie?”
tanyanya.
Aku mengibaskan tanganku mengisyaratkan padanya untuk
segera mendekat padaku, dan berbisik padanya. “Jangan sampai Clouds yang lain
tahu Jong Woon ada di sini. Kau tahu maksudku, kan?”
Setelahnya ia hanya mengangguk-angguk tanda mengerti
dengan ucapanku. Wajahnya polos sekali, persis seperti anak kecil. Ah, lucunya.
Andai saja dia itu adikku.
“Bagaimana rasanya jadi istri seorang Yesung, Eonnie?” tanyanya dengan antusias.
“Begitulah,” jawabku sambil menggaruk-garuk belakang
kepalaku yang tidak gatal.
“Aisshh… Kau seperti anak SMA yang baru jatuh cinta
saja, Eonnie. Kenapa malu-malu
seperti itu?” ujarnya dengan lagi-lagi terkekeh.
Astaga, baru kali ini aku mati kutu karena digoda oleh
anak SMA.
“Hehehe… Geumanhae,
jangan menggodaku.”
“Hahaha….”
Sekarang dia malah tertawa. Dia membuat wajahku semakin
panas saja.
Tapi tak berapa lama kemudian, perlahan-lahan tawanya
lenyap. Raut wajahnya berubah begitu saja. Kedua matanya membelalak lebar dan
suaranya seperti tercekat.
“Eon… Eonnie…”
ucapnya pelan sambil menunjuk ke arah belakangku.
Aku menoleh dan di detik berikutnya yang terdengar
adalah suara mesin mobil yang berpacu cepat seperti orang kesetanan. Belum
sempat aku menghindar, tubuhku kehilangan kendali saat mobil itu menghantam
keras tubuhku.
Kepalaku langsung pusing dan seperti berputar-putar.
Lama kelamaan pandanganku semakin gelap. Tapi sebelum kesadaranku menghilang,
aku seperti melihat Jong Woon dari kejauhan yang sedang berlari mendekatiku.
“Jong Woon…”
** ** **
(Jong Woon POV)
“Terima kasih!” ujar ahjumma pelayan di café itu saat aku membuka pintu dan keluar dari
café kecil itu.
Baru saja aku hendak melangkahkan kakiku untuk
menyeberang jalan dan menyusul Soon Hee yang sedang menunggu di sana, tubuhku
langsung membeku di tempat. Aku seperti tidak memiliki tenaga lagi untuk
begerak. Minuman yang berada di kedua tanganku langsung jatuh begitu saja.
Mataku membelalak lebar dan rasanya aku ingin sekali segera berlari ke arah wanita
yang tengah terbaring di tepi jalan dengan bersimbah darah di kepalanya.
“Soon Hee!!” jeritku saat aku sudah berdiri tak jauh
darinya.
Segera saja aku mengangkat kepalanya dan meletakkannya
di atas pahaku. Aku tidak peduli dengan darah yang terus keluar dari kepalanya
dan mengotori bajuku, aku tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padanya.
“Soon Hee-ah! Ireona!
Ya! Kim Soon Hee!” teriakku sambil
menepuk-nepuk pipinya, mencoba untuk menyadarkannya. Tapi sia-sia saja. Ia
tetap tidak bangun dan darah terus keluar dari kepalanya.
“Eon… Eonnie…”
ucap seorang yeoja yang juga berlutut
di samping tubuh Soon Hee. Tampak air mata sudah membasahi kedua pipinya. Dia
siapa?
Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku segera mengangkat
tubuh Soon Hee dan membawanya ke mobil.
“Oppa! Aku
ikut!” ujar yeoja tadi saat aku
hendak memasang seat belt pada
tubuhku.
“Kau siapa?” tanyaku.
“Han… Han Mao Ri imnida,”
ujarnya sambil membungkukkan tubuhnya dalam.
“Ya sudah, cepat!” ujarku yang langsung diturutinya. Ia
langsung masuk ke dalam mobil dan aku segera menancap gas, menuju rumah sakit
terdekat untuk menyelamatkan istriku.
Soon Hee, bertahanlah..
** ** **
“Sebenarnya kau ini siapa?” tanyaku dengan suara berat
pada yeoja yang sedang duduk berlutut
di depanku.
Ia tampak sesenggukkan karena terlalu banyak menangis.
“A..Aku penggemarmu, Oppa…” ucapnya di sela aksi tangisnya.
“Bagaimana ini bisa terjadi pada Soon Hee?” tanyaku
masih dengan suara yang sama.
“Ta.. tadi… Tadi ada mobil yang mengebut dan… tanpa
diduga mobil itu menabrak Soon Hee-eonnie…”
jawabnya yang kemudian dilanjutkan dengan tangisan. “Kenapa bukan aku saja yang
ditabrak? Padahal aku juga ada di sana tadi…” ujarnya.
Aku hanya terdiam. Aku tidak bisa merasakan hal lain
selain rasa sakit yang terasa di dadaku. Seperti ada yang menusuk-nusuk
jantungku. Perih sekali. Hatiku seperti membeku, mengingat wanita yang sudah
menjadi istriku tengah terbaring di ruang ICU dengan kondisi kritis. Aku rasa
aku belum siap menerima semua ini. Aku tidak bisa menerima segala kemungkinan
yang bisa terjadi pada Soon Hee. Aku tidak mau dia meninggalkanku lagi.
CKLEEKK…
Aku dan Maori langsung menoleh ke arah pintu yang baru
saja terbuka. Sosok dokter yang tampak dua puluh tahun di atasku langsung
menyambut kami dengan peluh yang menetes di dahinya.
“Bagaimana keadaan istriku?” tanyaku cepat. Aku tidak
sabar lagi untuk menunggu agar bisa melihat keadaan Soon Hee di dalam.
Dokter itu mengulas senyum. “Istri Anda sudah melewati
masa kritisnya,” jawab dokter itu yang membuatku dan Maori bernafas lega.
“Kami bisa melihat Soon Hee-eonnie sekarang, Dokter?” tanya Maori yang dijawab dengan anggukan
oleh dokter itu.
“Gomawo,
Dokter,” ucapku sambil membungkukkan tubuhku berkali-kali.
Aku tidak akan pernah memaafkan diriku sendiri kalau
sesuatu yang lebih buruk terjadi pada Soon Hee.
** ** **
(Soon Hee POV)
Rasa pusing masih mendominasi kepalaku saat ini. Dan
ketika mataku terbuka sempurna, indera penciumanku langsung mencium bau obat
yang mendominasi ruangan tempat aku berada. Putih. Warna itu yang mendominasi
ruangan ini. Akh… Kepalaku pusing. Tanpa sadar tanganku memegangi kepalaku yang
terbalut perban. Aku kenapa?
“Soon Hee-ah..”
Aku menoleh ke sumber suara. Seorang namja dan yeoja tampak begitu lega melihatku. Namja itu membantuku duduk dan ia tampak senang melihatku yang
sudah sadar.
“Kau… Gwaenchana?
Ada yang sakit?” tanyanya cemas walaupun kulihat senyum kecil menghiasi
bibirnya. Sebahagia itukah dia melihatku?
Aku hanya menggeleng lemah menjawab ucapannya.
“Eonnie… Kau baik-baik
saja?” tanya yeoja yang berdiri di
samping namja itu dengan suara serak.
Sepertinya dia habis menangis.
Aku hanya mengangguk menjawab ucapannya.
“Syukurlah…” ucap namja
tadi seraya menghambur memelukku. Aku hanya terlonjak kaget menerima
perlakuannya. “Aku pikir… aku akan kehilanganmu lagi,” ucapnya pelan di dalam
pelukanku.
Lagi? Kehilanganku lagi? Apa maksudnya dengan kata
‘lagi’?
“Mwo?
Kehilanganku.. lagi?” tanyaku pelan.
Ia mendorong tubuhku pelan hingga pelukannya terlepas.
Lalu ia mengecup pipiku sekilas.
Ia mengangguk. “Aku mencintaimu,” ucapnya. “Aku
mencintaimu, Sayang…”
Dia bilang dia mencintaiku?
“Kau…”
“Ssstt… Lebih baik kau istirahat dulu,” ujarnya sambil
merapikan selimut yang menutupi sebagian tubuhku.
“Tapi, kau…” ucapku menggantung. “Kau siapa?”
Tampak namja
itu membelalak kaget mendengar ucapanku. Ia membuka sedikit mulutnya dan
seperti ingin mengatakan sesuatu namun sulit untuk dikeluarkan dengan
kata-kata. Begitu pula dengan yeoja
yang ada di sebelahnya. Mereka kenapa?
“Kau tidak ingat padaku?” tanyanya seakan tak percaya
dengan ucapanku.
Aku hanya menggeleng pelan. Aku benar-benar tidak
mengenali mereka.
“Kau juga tidak ingat padaku, Eonnie?” tanya yeoja itu
yang lagi-lagi kujawab dengan sekali gelengan.
“Soon Hee…” Namja
itu tampak begitu sedih dan pilu menatapku dengan kedua matanya yang sembab.
Terlihat sekali kekecewaan yang terpancar dari tatapannya. “Aku suamimu…”
Mwo? Lelucon apa ini? Aku tidak mengenali mereka, lalu
bagaimana bisa dia mengaku sebagai suamiku?
“Mwo?!”
jeritku tak percaya. Aku sudah menikah?
Namja itu mengangguk dan matanya tampak berkaca-kaca. “Kita
baru saja menikah, Soon Hee..”
“Aniyo!”
sanggahku sambil menggelengkan kepalaku kuat, dan namja itu tampak begitu terkejut dengan sikapku. “Aku tidak
mengenalmu, jadi bagaimana mungkin aku…”
“Tapi aku suamimu, Soon Hee…” ucapnya dengan sebulir
air mata yang jatuh dari pelupuk matanya.
Di detik berikutnya pipinya sudah basah karena air
mata. Namja itu menangis. Dia
menangis untukku.
** ** **
(Jong Woon POV)
Seminggu yang lalu Soon Hee pulang dari rumah sakit.
Tapi rasa canggung masih terasa di antara kami. Dia sering menjaga jarak
denganku. Dia tidak pernah mau aku menyentuhnya apalagi hanya sekedar mengacak
rambutnya. Ia seperti sudah melupakanku. Seolah memori tentangku di pikirannya
sudah terhapus tak bersisa. Jangankan mengingat bahwa kami sudah menikah,
tentangku saja dia tidak ingat. Seperti kata dokter yang menanganinya, Soon Hee
terkena amnesia tidak permanen. Sebagian ingatannya terhapus. Dan itu adalah
ingatan tentangku.
Maori, Clouds yang kutemui di taman bermain saat itu
sering menjenguk Soon Hee. Mereka tampak seperti adik-kakak sungguhan. Seperti
keinginan Soon Hee sejak lama, ia sangat ingin memiliki adik perempuan yang
manis seperti Maori.
“Malam ini kau mau makan apa, Oppa?” tanya Soon Hee saat melihatku baru saja keluar dari kamar
mandi. Ia sedang duduk di tepi ranjang sambil mendekap sebuah bantal. Sejak
kehilangan ingatannya, ia menjadi bersikap lebih manis dan memanggilku dengan
sebutan ‘Oppa’ seperti yang sudah
lama kuinginkan darinya. Tapi sekarang sebutan itu malah membuatku menjadi
tidak nyaman. Dia seperti bukan Soon Hee yang kukenal.
Aku menggeleng. “Siwon mengajak kita makan malam di
luar,” ujarku sambil mengeringkan rambutku dengan handuk.
Dia hanya mengangguk-angguk tanda mengerti.
Walaupun dia melupakanku, tapi dia tetap ingat memori
tentang keluarganya, apalagi Siwon yang merupakan sepupu yang paling akrab
dengannya.
“Biar kubantu mengeringkan rambutmu,” ujarnya seraya mengambil
alih handuk di tanganku dan mulai mengeringkan rambutku.
Aku duduk di tepi ranjang dan dia duduk di belakangku
sambil menggosok-gosok lembut rambut basahku dengan handuk. Kehidupan rumah
tangga yang sudah lama kuimpikan dengannya, tapi tidak dengan keadaannya yang
sama sekali tidak ingat padaku.
“Kau istirahatlah. Sejak tadi pagi kau belum ada
istirahat,” ujarku dengan berusaha menoleh padanya. Tapi ia kembali memutar
kepalaku ke depan dan mengeringkan rambutku.
“Aku tidak lelah,” sahutnya. “Aku ingin melayanimu, Oppa.”
Perlahan kutahan tangannya yang masih sibuk dengan
rambutku. Lalu aku menyingkirkan kedua tangan halusnya dari kepalaku. Kami
saling tatap tepat pada retina mata kami masing-masing. Di saat seperti ini aku
tidak bisa menahan diriku untuk tidak menautkan bibir kami.
Tepat saat bibir kami bertaut, ia tidak menolak. Ia
membiarkan bibirku untuk melumat lembut bibirnya, dan lama kelamaan ia
membalasnya. Perlahan aku mendorong tubuhnya hingga ia berbaring di atas kasur.
Dan tepat saat aku hendak membuka kancing bajunya, seseorang mengganggu kami.
TING… TONG…!
Sontak aku langsung melepaskan ciumanku pada bibirnya
dan segera bangkit dari atas tubuhnya. Baik wajahku maupun wajahnya sama-sama
bersemu merah. Kami tidak pernah seperti ini sebelumnya. Ia merapikan rambutnya
sebelum keluar dari kamar dan membukakan pintu untuk tamu tak diundang itu.
“Annyeong, Eonnie!
Annyeong, Oppa! Kalian baik-baik
saja?” sapa suara riang yang tak perlu kusebutkan namanya itu.
Soon Hee terkekeh melihat sikap cerianya dan
mempersilakannya untuk masuk ke ruang tamu sementara dirinya berjalan masuk ke
dalam dapur dan membuatkan gadis periang itu minuman.
“Kau dari mana? Kenapa kelihatannya sangat bahagia,
huh?” tanyaku merujuk pada kedua bola matanya yang berbinar.
“Lihat!” serunya senang tepat saat tangannya mengangkat
sebuah album penyanyi yang sedang naik daun. Choi Siwon.
“Oooh, jadi sekarang kau beralih menjadi Siwonest, huh?
Kau mau pensiun jadi Clouds rupanya,” ujarku pura-pura marah.
Ia mengerucutkan bibirnya kesal. “Bukan begitu, Oppa. Hanya saja aku rasa suara Siwon-oppa juga hampir sama bagusnya
denganmu,” ujarnya.
“Mwoya? Kau
menyamakanku dengan manusia tengik itu?”
“Oppa, jangan
sebut sepupuku dengan sebutan manusia tengik,” ujar Soon Hee dari dalam dapur.
Arraseo.. Menyebut Siwon tengik sama saja menyebutmu dengan
manusia tengik, iyakan chagiya?
“Ne, mianhae,”
sahutku setengah berteriak. “Hey, Maori. Kau mau tidak ikut dengan kami nanti
malam?” tanyaku.
“Ke mana?” katanya balik bertanya.
“Kami akan makan malam bersama Siwon,” jawabku yang
langsung mendapatkan suara cemprengnya.
“Mwoooooooooo????!!!
Si.. Si… Siwon? Choi Siwon maksudmuu???” jeritnya tak percaya.
“Yaak!”
“Aku mau, Oppa!!
Aku mau! Aaaah, kau penyelamatku!” soraknya kegirangan yang hampir membuat
gendang telingaku pecah. Di saat seperti ini dia mirip sekali dengan Soon Hee
dulu.
** ** **
“Kau sudah siap, Chagiya?”
tanyaku pada Soon Hee yang sudah siap dengan tas tangannya saat melihat sosok
anggun itu keluar dari kamar.
Ia mengangguk mengiyakan ucapanku. Aku mengulurkan
tanganku ke arahnya dan dengan sedikit ragu ia menyambutnya. Aku tahu dia masih
belum terbiasa denganku, tapi dia selalu berusaha senyaman mungkin di dekatku.
Dia berusaha menjadi istri yang baik, dan aku hargai itu.
“Maori juga ikut, Oppa?”
tanyanya saat kami baru saja sampai di lantai satu.
“Ne, sepertinya
dia senang sekali akan bertemu dengan Siwon. Hhh… Sekarang dia Siwonest.. dasar
fans labil,” jawabku yang diakhiri dengan helaan nafas.
Soon Hee tertawa melihatku.
“Kau cemburu, Oppa?”
tanyanya dengan masih terkekeh.
“Mwo?
Cemburu? Ani!” sanggahku.
“Kau cemburu pada Siwon, Oppa..” ujarnya lagi. Oke, sekarang dia mau menggodaku.
“Aniyo~,”
ucapku manja.
“Jinjja?”
“Aku akan cemburu kalau dekat-dekat dengan namja lain,” ujarku yang langsung
membuat bibirnya terkunci rapat.
Ia menatapku lekat-lekat dengan tatapan yang aku
sendiri tidak tahu apa artinya. Tapi setelahnya ia segera membuang mukanya ke
arah lain dengan kedua pipinya yang bersemu merah.
“Ngg… Oppa.. Kajja berangkat. Nanti kita terlambat,”
ucapnya tanpa menatapku.
Lihat, manis sekali dia.
** ** **
After
dinner
“Menyenangkan sekali!” ujar Soon Hee saat kami baru
sampai di apartemen.
“Kau suka makan malamnya?” tanyaku sambil merangkulnya,
walaupun ia merasa sedikit tidak nyaman di dalam rangkulanku.
Ia mengangguk sambil tersenyum simpul ke arahku,
membuatku langsung mencubit pipinya gemas.
“Yaak, appeu,
Oppa..” ucapnya manja walau
sebenarnya ia tidak bermaksud untuk mengeluarkan suara manja seperti itu.
“Mian,”
kataku sambil mengelus pipinya yang hampir memerah.
Ia tersenyum kecil dan berbalik, menatap suasana malam
dari jendela apartemen. Aku mengikutinya dari belakang dan melingkarkan
tanganku di pinggangnya. Ia sedikit terlonjak kaget saat aku memeluknya, tapi
selanjutnya ia tidak berusaha untuk melepaskan diri dariku. Dia membiarkanku
memeluknya dan menyandarkan daguku pada pundaknya.
Rasanya sudah lama aku tidak seperti dengannya.
Semenjak dia terkena amnesia, aku tidak bisa menyentuhnya dengan leluasa. Apalagi
panggilannya untukku itu, seperti memberi jarak antara aku dan dia.
“Soon Hee..” panggilku.
Dia menggumam dan menoleh padaku sedikit.
“Bisa tidak jangan memanggilku dengan sebutan Oppa?” pintaku yang langsung membuatnya
membulatkan matanya lebar.
“W-waeyo? Kau
tidak suka kupanggil seperti itu, Oppa?”
tanyanya panik. Dia takut aku tidak menyukainya.
“Aniyo… Aku
hanya tidak nyaman dipanggil seperti itu olehmu. Panggil aku Jong Woon saja, ne?” kataku seraya membalik tubuhnya
hingga ia menghadap padaku.
“Ta..tapi, rasanya tidak sopan kalau aku..”
“Aniyo.. Aku
lebih nyaman jika kau memanggilku langsung dengan namaku,” ujarku memotong
ucapannya. “Bagaimana?”
Ia tersenyum kecil dan menggeleng pelan. “Aku tidak
bisa. Maaf…” ucapnya sebelum ia melepaskan tanganku pada pinggangnya secara
perlahan dan meninggalkanku masuk ke dalam kamar.
Aku menghela nafasku berat. Kenapa di saat seperti ini
aku merasa seperti kehilangan dirinya?
BRAK!
Tiba-tiba terdengar bunyi gaduh dari dalam kamarku.
Dengan rasa cemas yang membuncah di dalam dadaku, aku segera berlari masuk ke
dalam kamar. Tanganku memutar kenop pintu dengan cepat, namun pintu itu tidak
juga segera terbuka. Sial! Dikunci!
“Soon Hee! Kim Soon Hee! Kau kenapa?” tanyaku setengah
berteriak sambil mengetuk-ngetuk pintu kamar. Nihil, tidak ada jawaban. Dan itu
membuatku semakin khawatir.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku segera mendobrak pintu
hingga membuat pintu itu terbuka dan.. aku melihat tubuh Soon Hee tergeletak di
lantai dengan kedua mata yang terpejam. Tetesan peluh membasahi dahinya. Dia
pasti terlalu berat memikirkan ingatannya yang hilang.
“Soon Hee…” Dengan hati-hati aku mengangkat kepalanya
dan meletakkannya di atas pahaku. Dengan lembut aku membelai wajahnya yang
terlihat lelah dan pucat. “Maaf… Maafkan aku…” Tanpa sadar, air mata sudah
membasahi kedua pipiku. “Soon Hee… Maafkan aku..”
** ** **
Paginya aku terbangun dengan Soon Hee tidak berada di
sampingku. Padahal aku yakin semalam aku menidurkannya di sampingku. Ke mana
dia?
Pertanyaanku itu seakan terjawab dengan suara alat
dapur dari arah dapur. Senyumanku langsung merekah saat melihatnya menyambutku
dengan senyuman hangatnya.
“Sudah bangun?” tanyanya sambil menyiapkan sarapan di
meja makan.
“Apa itu?”
“Kimbab.”
“Ne?” ucapku
setengah terkejut.
“Waeyo?”
tanyanya ragu. “Kau tidak suka?”
Aku menggeleng dan langsung mengulas senyum. “Ini
makanan kesukaanku. Bagaimana mungkin aku tidak suka,” jawabku seraya menarik
kursi dan duduk di sana.
“Ah, jinjja?”
ujarnya sambil ikut duduk di hadapanku.
“Bagaimana kau tahu? Kau sudah ingat semuanya?” tanyaku
penuh harap.
“Mollayo. Aku
hanya sedang ingin memasak kimbab,” jawabnya sambil memasukkan makanan ke dalam
mulutnya.
Aku mengangguk-angguk menanggapi ucapannya. Tapi
bukankah ini adalah suatu kemajuan yang lumayan bagus?
“Oppa..”
panggilnya.
“Ne?”
“Kira-kira.. kapan aku bisa ingat semuanya?” tanyanya
dengan menatapku penuh harap. Terlihat rasa keputusasaan dari sorot matanya.
Apa aku sudah pernah bilang kalau aku tidak akan pernah tahan dengan tatapannya
yang seperti ini?
Aku bangkit dari kursiku dan memutari meja makan, lalu
memeluknya dari belakang serta mencium puncak kepalanya dengan lembut.
“Pelan-pelan kau pasti akan ingat semuanya, arra?” kataku tanpa melepaskan pelukanku
pada tubuhnya.
Ia mengangguk. “Ne,
Oppa..”
“Habiskan makananmu,” ujarku sambil sekali lagi
mengecup kepalanya. Untuk saat ini, biarkan aku bersikap layaknya kakak
untukmu, Hee. Aku akan melindungimu.
** ** **
(Soon Hee POV)
“Kau mau mengajakku ke mana, Oppa?” tanyaku saat ia membawaku masuk ke dalam sebuah gedung yang
tampak begitu mengagumkan. Ia menekan tombol pada lift dan tersenyum simpul padaku.
“Aku ingin mengajakmu melihat kesibukanku,” jawabnya
sambil mengacak rambutku, aktifitas yang selalu dilakukannya padaku.
“Mwoya?
Bagaimana kalau aku mengganggu pekerjaanmu?” tanyaku khawatir sambil
menyingkirkan tangannya yang masih mengacak rambutku.
Ia menggeleng. “Tidak akan. Kau bisa menunggu di ruang
ganti. Arraseo?” ujarnya seraya
mencium kilat pipi kiriku.
Blush!
Wajahku panas. Pasti sekarang pipiku sudah semerah
tomat. Namja ini memang suka
membuatku salah tingkah, ya?
Kulihat dia tengah tersenyum lebar memerhatikanku yang
mulai salah tingkah dibuatnya. Aahh… Oppa!
“Jadi di sini kau bekerja, Oppa? Kau public figure?”
tanyaku saat ia membawaku masuk ke dalam ruang ganti khusus untuknya.
Ia mengangguk dan membiarkanku duduk di sofa di sudut
ruangan.
“Kau tunggu di sini sebentar, ne? Aku tampil dulu,” ujarnya seraya melangkah keluar dari ruangan
ini.
Ternyata seperti ini kehidupan suamiku itu? Berarti aku
termasuk beruntung bisa menikah dengannya yang pada faktanya adalah seorang
penyanyi yang dipuja-puja banyak yeoja.
Tapi lama kelamaan rasanya bosan juga di ruangan ini
sendirian. Aku mencoba mencari kesibukan sementara Jong Woon-oppa sedang tampil untuk saat ini. Tapi
sialnya saat aku hendak berdiri tiba-tiba hak sepatuku patah dan akhirnya aku
kehilangan keseimbangan dan…
DUK!
Kepalaku membentur tembok dengan cukup keras dan itu
membuatku tak mampu lagi untuk berdiri. Aku terjatuh di lantai dengan kepalaku
yang rasanya seperti berputar-putar.
“Kim Jong Woon…” gumamku dengan kesadaran yang mulai
menurun.
Eh? Kim Jong Woon? Ini pertama kalinya aku menyebut
nama lengkapnya dan tanpa embel-embel oppa.
Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa begitu berani menyebut nama namja yang sudah menjadi suamiku itu.
Tapi perlahan-lahan bersamaan dengan kesadaranku yang semakin menurun,
pikiranku dipenuhi dengan wajahnya. Wajah seorang Kim Jong Woon.
–––
“Hei, Soon Hee…
Kira-kira nanti kau mau menikah dengan siapa?”
“Mwo? Kenapa
bertanya begitu?”
“Aniyo, hanya
bertanya. Cepat jawab, kau mau menikah dengan siapa nanti?”
“Kau tahu Choi
Siwon?”
“Lalu… ? Yaak,
jangan bilang kau akan menikah dengannya nanti!”
“Menurutmu?”
“Yaak! Kim Soon
Hee!!!”
“Wae, Jong Woon-ah?
Kau tidak terima? Kau mau aku menjadi perawan tua nantinya, eoh?”
“Aniyo.. karena
kelak, akulah yang akan menikahimu.. Jangan melirik namja lain selain aku.
Arraseo?”
–––
(Jong Woon POV)
“Soon Hee-ah!” seruku senang bercampur haru saat
melihat yeoja yang sejak satu jam
yang lalu terbaring lemah dengan kedua mata yang terpejam. Aku begitu
mengkhawatirkan keadaannya. Apalagi tadi kutemukan dia pingsan di dalam ruang
ganti saat aku baru selesai tampil mengisi acara musik.
Dengan segera aku langsung menarik tubuh kecil yeoja yang masih belum bisa mencerna
situasi itu ke dalam pelukanku dan mencium puncak kepalanya berkali-kali.
“Gwaenchanayo?
Ada yang sakit, eoh? Mana yang
sakit?” tanyaku tanpa memberinya waktu untuk menjawab. Aku begitu
mencemaskannya.
“Ukhh… Jong Woon-ah..”
“Ne, Soon
Hee?”
“Kau berisik sekali,” ujarnya dengan nada kesal dan
suara yang masih lemah.
Eh, tunggu dulu. Ada yang aneh…
“Soon Hee, kau––” ucapku terputus setelah melepaskan
pelukanku.
“Waeyo?”
tanyanya masih dengan nada yang sama sambil mengerling kesal padaku. Sebelah
tangannya menopang kepalanya sambil sesekali meringis karena pusing.
“Hee-ah..” Aku langsung menahan kedua bahunya dan
menatapnya dari ujung rambut hingga ke ujung dagu.
“Yaak, kau kenapa, hah?!” teriaknya seraya melepaskan
tanganku yang masih memegangi kedua bahunya.
“Jong Woon? Kau tidak memanggilku Oppa lagi, Hee-ya?” tanyaku.
“Mwoya? Sejak
kapan aku memanggilmu dengan sebutan Oppa,
hah?! Jangan bermimpi!!!”
Dengan senyum yang sudah merekah sempurna, aku langsung
menariknya dan memeluknya dengan erat, seakan tidak mau untuk melepaskannya
lagi.
“Kau kembali! Kau kembali, Hee!” jeritku senang sambil
menciumi kedua pipinya secara bertubi-tubi.
“Yaak, lepaskan aku!! Memangnya aku pergi ke mana
selama ini, hah?! Kau aneh sekali, Jong Woon-ah! Lepas!”
“Shireo!”
“Lepas!”
“Shireo! Kau
tidak tahu betapa aku merindukanmu, huh?” ujarku, menatap kedua matanya dalam.
“Kau aneh sekali,” gumamnya.
Aku hanya menggeleng. “Yang penting sekarang Soon
Hee-ku sudah kembali. Ayo, kita rayakan!” jeritku senang.
Lalu tanpa persetujuannya aku segera mengeluarkan
ponsel dan menelepon seorang namja
abnormal yang sangat dipuja-puja banyak wanita.
“Siwon-ah! Soon Hee sudah sembuh! Ayo, kita rayakan!”
“Mwo? Jinjjayo?”
Dan saat itu pula Soon Hee melirikku kesal, lalu ia
melemparku dengan sebuah bantal.
“Apanya yang harus dirayakan, hah?! Kau senang
melihatku sakit seperti ini?! Akh…” ujarnya yang diakhiri dengan ringisan
sambil memegangi kepalanya. Pasti sakit kepalanya belum hilang.
Aku menutup flap ponselku dan menghampiri istriku yang
tengah meringkuk di atas tempat tidur itu. Lalu memeluknya dari belakang dan
mencium kulit lehernya.
“Bogoshippeo,”
bisikku sambil mengecup kulit lehernya.
“Memangnya selama ini aku kenapa?” tanyanya tanpa
melepaskan pelukanku.
“Kau memang tidak ke mana-mana. Tapi… Ah, sudahlah.
Yang penting kau sudah kembali.”
Ia membalas senyumanku dengan senyuman yang sangat
manis, bahkan melebihi senyuman yang biasa ia berikan padaku selama ini.
“Saranghaeyo,
Mrs Kim,” bisikku sebelum mendekatkan wajahku pada wajahnya dan menempelkan
bibirku pada bibirnya.
Well, ciuman itu berlangsung lama dan menjadi ‘lebih’ dari
sekedar ciuman. Ciumanku turun pada pundaknya yang terbuka karena dengan
sengaja tadi aku membuka tali gaun tidurnya. Ini akan menjadi malam yang indah.
Bukan begitu? ^^
END
Aaaaahhh!!! Itu yang terakhir rada yadong! ><
Well, ini berdasarkan permintaan para readers yang
pengen sequel tentang marriage life-nya Jong Woon-Soon Hee.. gimana? Sok atuh
dikomen :D
Untuk selanjutnya saya bakal nyari ide dan inspirasi
buat kelanjutan dari cerita couple
setengah gila ini. Muahahahaha xD *diceburin ke kolam buaya* -___-v
Sampai jumpa lagi, ya di cerita Jong Woon-Soon Hee yang
selanjutnya! :D