Selasa, 04 September 2012

What 'Stupid' is?

Bodoh adalah...




Bodoh adalah saat kau melepaskan cinta yang sudah berada di dalam genggamanmu...

Bodoh adalah saat kau menyakiti orang yang kaucintai...

Bodoh adalah saat kau ragu akan perasaanmu sendiri...

Bodoh adalah saat kau berusaha untuk kembali pada cinta yang sudah kau buang dan kau anggap sebagai sampah...

Sekarang kita bisa lihat, ada berapa banyak orang bodoh di dunia ini.





             August 24th, 2012

             - Ifa Raneza -

Minggu, 02 September 2012

Love or Obsession? [Part 2]




Title   : Love or Obsession? ––– Second Part

Author: Ifa Raneza

Cast   :
-Yesung (Kim Jong Woon)
-Park Hye Mi (OC)
-Lee Sung Min
-Leeteuk (Park Jung Soo)
-Jung Na Rin (OC)

Genre : Romance, Friendship


***


Hyemi masuk ke dalam rumah mewahnya dan langsung mendapati Jungsoo dan Sungmin sedang mengobrol di ruang tamu, menunggunya. Mereka menghentikan obrolan mereka dan mengalihkan tatapan pada Hyemi yang baru saja tiba di sana.

“Baru pulang?” tanya Jungsoo yang baru pertama kali mendapati adiknya terlambat pulang dua jam dari waktu pulang seperti biasanya.
Hyemi mengangguk.
“Dengan siapa kau pulang?” tanyanya lagi.
“Kim Jong Woon,” jawab Hyemi malas-malasan.
“Jongwoon-hyung?” tanya Sungmin memastikan pendengarannya sambil menatap Hyemi dengan tatapan ‘seriously?’
“Hanya dia yang berani ‘menculikku’ pada jam kuliah,” ujar Hyemi sambil melangkahkan kakinya ke lantai atas, menuju kamarnya.
“Aku membawakanmu catatan di kelas Mr Joe yang kau lewatkan,” ujar Sungmin setengah berteriak pada Hyemi yang sudah naik ke lantai atas.
Gomawo, Sungmin-ah!” sahut Hyemi dengan volume suara yang sama dengan Sungmin.


** ** **


(Park Hye Mi POV)

Malam setelah pulang dari ‘penculikan’ Tuan Kim yang sangat menyebalkan itu, aku langsung membuka buku catatan yang Sungmin berikan padaku dan menyalinnya di dalam buku catatanku sendiri. Satu jam sudah kulewatkan untuk menyalin kalimat-kalimat yang tertulis rapi di dalam buku bersampul biru itu, tapi tanganku belum juga selesai menuliskan tulisan-tulisan itu di dalam bukuku. Kenapa dosen killer itu tidak pernah sekalipun memberi catatan yang ringkas?! Dan ini semua karena namja sialan itu yang membuatku harus melewatkan kelas paling penting, kelas Mr Joe, dan membuatku harus berakhir dengan setumpuk catatan ini.

“Ping…!”

Gerakan tanganku terhenti dan tatapanku beralih ke ponselku yang tergeletak di samping buku catatanku. Kuletakkan pulpen yang sedari tadi tidak pernah lepas dari tanganku, mengistirahatkan sejenak tanganku yang terasa hampir putus. Lalu meraih ponselku dan membuka pesan yang baru saja masuk. Nomor tak dikenal.


Hey…
Tidak mau berterima kasih pada orang yang sudah mengantarmu pulang?


Tidak perlu ditanya lagi, aku sudah tahu siapa yang mengirimku pesan ini. Dan aku tidak perlu penasaran dari mana dia mendapatkan nomor ponselku, dia bisa mendapatkan apapun yang ia mau.

For what?
Itu sudah kewajibanmu karena sudah membawaku pergi tanpa persetujuanku.

Dua menit setelah pesan balasanku terkirim, pesan baru kembali masuk ke ponselku.

Baiklah, aku tahu.
Atau … berterima kasih karena sudah membawamu dari kesibukan kuliah sejenak? Aku sangat mengharapkan itu.

Namja ini gila kata terima kasih atau apa?

Andwae.

Klik. Pesan terkirim dan aku kembali melanjutkan catatan dari Mr Joe yang segudang ini. Beberapa menit setelahnya bukan pesan yang masuk, melainkan panggilan dari nomor yang sama.

Yeoboseyo,” kataku malas setelah menekan tombol hijau pada ponselku.
“Apa aku mengganggumu?” tanyanya dengan nada bicara tak berdosa.
“Sangat!”
Namja itu terkekeh. “Sedang apa?” tanyanya.
“Menyelesaikan catatan kuliah yang sempat kutinggalkan karena kau menyeretku keluar dari kelas tadi siang,” jawabku dengan nada bicara yang sama seperti tadi.
“Seberapa banyak?”
“Banyak sekali. Sudahlah, kau menggangguku!”
Arraseo. Maaf sudah mengganggumu, Nona Park,” ujarnya. “Ngg… Kalau boleh kusarankan, jangan terlalu memforsirkan diri untuk tugas kuliah. Beristirahatlah sejenak dan bersenang-senanglah sesekali.”

Selama beberapa detik kami terdiam. Tidak ada yang berbicara sampai suaraku kembali terdengar.
Arraseo…” kataku pelan dengan nada bicara yang sudah berubah. “Mm… Gomawo.”
Kekehannya kembali terdengar, dan itu membuatku sedikit kesal. Gengsiku sudah kalah sekarang.
“Kau sudah mendapatkan ‘terima kasih’-mu,” kataku datar.
Okay… Good night, Honey. Jangan lupa memimpikan aku saat kau tidur nanti,” katanya sebelum sambungan telepon terputus.

Mwo? Memimpikannya katanya? Cih, dia mau aku mengalami mimpi buruk ternyata.
Aku meletakkan ponselku kembali ke samping buku catatanku. Dan untuk sesaat aku terdiam memikirkan ucapan namja itu. Entah kenapa saat ia mengatakan hal yang tidak pernah kuduga akan keluar dari mulutnya itu membuatku sedikit menepis kenyataan bahwa dia adalah seorang playboy. Yaah.. dia sudah punya pacar, tapi ia dengan tidak merasa berdosa memanggilku dengan sebutan ‘honey’ yang terdengar sangat menjijikkan.

Hara… Kalau tidak salah itu nama yeoja yang meneleponnya tempo hari.

Yaah, dia adalah playboy. Dan kurasa akan sulit untuk dirinya meluluhkan hatiku dan menjadikanku sebagai ‘mainan’ kecilnya.


** ** **


(Kim Jong Woon POV)

“Siapa yang menelepon, Oppa?” tanya yeoja yang baru keluar dari toilet itu saat aku menekan tombol merah pada ponselku, menutup pembicaraanku dengan Hyemi.
“Ibuku,” jawabku yang tentu saja berbohong.
Mwo, ibumu?”
Aku hanya mengangguk sembari merangkul pundaknya.
“Benar itu ibumu?” tanyanya sambil melangkahkan kakinya dan menatapku curiga.
Tangan kiriku tergerak untuk menyentil hidung mancungnya.
“Kapan aku pernah berbohong padamu, Soojin-ah?”
Ia tersenyum simpul dan menggelanyut di lenganku dengan manja.
Ne, Oppa. Kau tidak pernah berbohong padaku,” katanya manja.

Dasar yeoja bodoh.

“Jadi kita akan menonton film apa hari ini?” tanyaku.
Step Up Revolution!” serunya senang.
Arraseo, aku beli tiketnya dulu.”


** ** **


(Author POV)

“Jadi kau kenal Park Hye Mi, Oppa?” tanya seorang yeoja berkacamata pada namja yang sedang menyesap secangkir kopi di hadapannya.
Namja itu membetulkan letak kacamata hitamnya dan menatap yeoja itu.
“Dia adik Jungsoo-hyung, temanku,” jawabnya datar.
“Kulihat kau selalu mengikutinya ke mana pun dia pergi.”
“Apa kau ada masalah dengan hal itu?”

Yeoja itu menghela nafasnya perlahan, ia menundukkan tatapannya, menatap kedua tangannya yang sudah hampir berkeringat karena tatapan dingin namja itu yang terhalangi oleh kacamata hitamnya.

“Tapi dia temanku, Oppa…” katanya pelan, bahkan hampir tidak terjangkau oleh indera pendengaran namja itu. “Aku sangat mengenalmu, dan aku tidak mau sampai temanku…”
“Lalu apa yang ingin kau lakukan?” tanya namja itu memotong ucapan yeoja berkacamata itu.
Oppa, aku…”
“Kau sudah mengenalku dengan baik, kan? lalu apa yang bisa kaulakukan untuk ‘menyelamatkan’ temanmu itu?” tanyanya yang lagi-lagi memotong ucapan yeoja itu. Ia menarik sudut bibirnya ke satu arah, membentuk sebuah seringai yang menunjukkan keangkuhan dirinya.

Yeoja itu menunduk. Bibirnya semakin kelu untuk membalas ucapan dingin namja angkuh itu. Bukannya tidak bisa membalas, ia bingung dan takut. Ia bingung bagaimana caranya untuk menghindarkan sahabatnya dari namja ini. Dan ia juga takut jika sahabatnya benar-benar akan jatuh ke dalam genggaman namja playboy ini.

“Kau lucu sekali,” gumam namja itu dingin seraya bangkit dari kursinya dan berjalan keluar café.

Yeoja itu masih terpaku di tempatnya, memikirkan nasib sahabatnya yang sudah menjadi incaran namja angkuh itu.

‘ Kim Jong Woon… Aku pastikan kau tidak akan bisa menyentuh Hyemi..’


** ** **


“Sudah lama sekali aku tidak ke sini,” ujar Narin sambil menjatuhkan dirinya di tepi kasur empuk Hyemi.
Hyemi tersenyum sambil menyodorkan segelas jus pada sahabatnya itu.
“Kurasa terakhir kali kau berkunjung kemari sebulan yang lalu,” ujar Hyemi setengah menerawang. “Ah, ada yang ingin kutunjukkan padamu,” ujar Hyemi seraya beranjak dari kasurnya.
Ia membuka laci meja belajarnya dan mengeluarkan sesuatu dari sana.
“Apa itu?” tanya Narin sambil mengelap sisa jus di sudut bibirnya.
Soft lense,” jawab Hyemi sambil menyodorkan kotak kecil yang diambilnya tadi pada Narin.
Mwo?” Kedua mata Narin terbuka lebar di balik kacamatanya. “Untuk apa?”
“Tentu saja untukmu, Narin-ah.” Hyemi membuka kotak kecil itu dan mengeluarkan isinya, lalu membuka kacamata Narin tanpa izin dari si pemilik dan hendak memasangkan soft lense berwarna kecokelatan itu pada kedua matanya.

Andwae! Ini tidak perlu!” cegah Narin sebelum soft lense cokelat itu sempat mampir di kedua bola matanya. Ia menahan kedua tangan Hyemi, membuat gerakannya terhenti.
Hyemi menepis tangan Narin yang menahan gerakan tangannya.
“Kau harus memakai ini,” ujarnya sambil memasangkan soft lense pada kedua bola mata Narin. “Jangan bergerak, jangan salahkan aku kalau matamu tertusuk jariku,” katanya lagi, membuat Narin berhenti memberontak dan menurut.

“Selesai!” seru Hyemi senang, puas dengan apa yang sudah ia lakukan pada sahabatnya itu. “Hasilnya tidak buruk,” ujarnya lagi.
Narin mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, mencoba memfokuskan pandangannya yang sedikit kabur.
“Bagaimana?” tanya Hyemi tanpa menghapus senyuman puasnya sesenti pun.
“Ti..tidak buruk,” jawab Narin.
Ia melirik kacamatanya di atas kasur yang tadi Hyemi lepaskan tanpa seizinnya. Hyemi buru-buru bergerak dan menyembunyikan kacamata itu sebelum Narin sempat menyentuhnya.
Hyemi menggeleng-gelengkan kepalanya pelan. “Untuk sementara kacamata ini kusita sampai kau terbiasa dengan soft lense-mu,” ujar Hyemi.

Hyemi mendorong pelan punggung Narin dan mendudukkannya di depan meja rias. Ia menarik ikat rambut di rambut panjang Narin hingga lolos dari helaian-helaian rambut hitamnya.
“Coba lihat dirimu. Kau tidak seburuk yang selama ini kau kira,” bisiknya sambil merapikan helaian-helaian rambut Narin.
Narin terpaku pada sosoknya di depan cermin untuk sesaat. Hyemi benar, ia tidak seburuk yang selama ini ia dan orang lain kira. Ia terlihat cantik dan manis dengan penampilannya saat ini.
“Ta..tapi… Untuk apa semua ini?” tanyanya seraya menoleh ke arah Hyemi.
“Aku bosan mendengar ejekan orang lain padamu dan kau sama sekali tidak melawannya,” ujar Hyemi seraya kembali menjatuhkan dirinya ke atas kasur.

Narin tersenyum dan ikut beranjak ke kasur Hyemi.
“Karena aku rasa aku tidak perlu melawan mereka,” kata Narin.
Hyemi memutar kedua bola matanya. “Ya ya ya… Aku tahu, kau sudah berulang kali mengatakan itu,” ujarnya malas. “Tapi aku bukan yeoja berhati malaikat sepertimu, Narin-ah.. Orang-orang seperti mereka perlu diberi pelajaran.”
Narin sedikit memiringkan kepalanya, tidak mengerti maksud ucapan Hyemi.
“Dengan penampilanmu yang seperti ini aku yakin pandangan orang lain padamu akan berubah. Kau bukan Narin yang cengeng dan penakut seperti dulu, kau sudah berubah,” ujar Hyemi sambil kembali mengukir senyum puasnya. “Mulai sekarang kau harus ubah penampilanmu menjadi lebih manis,” ujarnya.
“Ngg… Tapi…”
“Ssst!” Hyemi dengan cepat memotong ucapan Narin. “Aku tidak suka tapi-tapian! Dengar, kau harus ubah penampilanmu, arraseo?”
Narin terkekeh mendengar ucapan Hyemi yang lebih terdengar seperti titah dari sang ratu pada dayangnya. “Arraseo, Sajangnim,” katanya dengan nada serius yang dibuat-buat.
Hyemi tergelak mendengar ucapan Narin.

“Hei.. Aku baru ingat ada yang harus kubeli,” ujar Hyemi seraya bangkit dari duduknya dan beranjak ke depan lemari bajunya. Membukanya dan mengambil salah satu baju dari sana. “Temani aku, ya?” tanyanya sebelum masuk ke toilet.
Arraseo.”


** ** **


Oppa, sepertinya aku merasa ada yang aneh denganmu akhir-akhir ini,” ujar Soojin dengan nada bicara serius dan menatap Jongwoon dengan tatapan curiga.
Mwo? Apanya yang aneh?” tanya Jongwoon enteng. Ia masih belum menemukan sisi serius dari topik pembicaraan mereka kali ini.
“Kau jadi jarang menelepon dan mengirimiku pesan,” jawab Soojin masih menatap Jongwoon tajam.
“Itu karena aku sibuk,” sahut Jongwoon sambil menyesap iced cappuccino-nya santai.
“Atau jangan-jangan…” Ucapan Soojin terputus. Ia masih memikirkan pemikirannya tentang namjachingu-nya ini. “Jangan-jangan kau sudah punya pacar lain selain aku?” tanyanya dengan nada menuduh.

Jongwoon yang masih meminum minumannya hampir tersedak. Ia terbatuk-batuk sebentar, lalu menatap Soojin kaget.
Mwo?!”
Soojin hanya menatapnya ringan.
Jongwoon menghela nafasnya pelan, mulai memikirkan taktik untuk kembali meluluhkan hati yeoja di depannya itu.
Chagiya…” ucapnya mesra. *hoek -___-* “Mana mungkin aku bisa menduakan yeoja secantik dirimu,” katanya dengan nada yang sama seraya meraih kedua tangan Soojin di atas meja dan merengkuhnya, seolah meyakinkan yeoja itu akan ucapannya.

Soojin membuang muka ke arah lain, menolak untuk menatap Jongwoon. Tapi namja itu menyentuh pipi Soojin agar ia mau menatapnya.
“Apa kau sudah tidak memercayai namjachingu-mu yang tampan sejagad raya(?) ini? Kau sudah meragukanku, huh?” tanyanya dengan nada sedih yang dibuat-buat.
Tatapan Soojin padanya mulai melembut. “Tapi.. Kau selalu mengabaikan pesan dan teleponku,” ucap Soojin sedikit manja.
“Itu karena aku sibuk, Sayang.. Kau tahu kan, orang tuaku selalu menyuruhku membantu mereka di perusahaan. Aku selalu sibuk akhir-akhir ini,” ujar Jongwoon.

Lalu ia menunduk dan mengangkat kedua tangan Soojin yang sedang direngkuhnya, mengecup punggung tangan yeoja itu dengan lembut.
“Hanya kau yang ada di sini,” katanya sambil menuntun tangan kanan Soojin untuk menyentuh dadanya.
Jinjja?” tanya Soojin pelan.
Jongwoon mengangguk mantap. “Tentu saja. Kapan aku pernah berbohong padamu, Soojin-ah? Kau percaya padaku, kan?”
Soojin tersenyum dan mengangguk pelan. Senyuman Jongwoon melebar, lalu ia mengacak rambut cokelat Soojin pelan. Perlahan ia mendekatkan wajahnya pada wajah Soojin, lalu saat wajah mereka hanya berjarak sekitar lima senti, ia mengecup pipi kanan Soojin dengan lembut.

Saranghae…” bisik Jongwoon setelah melepaskan bibirnya dari pipi Soojin.
Soojin mengangguk, lalu membalas bisikannya. “Nado…”
Senyuman Jongwoon kembali melebar, namun tanpa Soojin sadari sebuah seringai juga muncul di sudut bibir namja yang sudah menjadi pacarnya selama lima bulan terakhir itu.
‘Apa semua yeoja sebodoh ini?’ pikir Jongwoon dengan senyum kemenangan yang sudah terlihat jelas di bibirnya.

Kring…
“Selamat datang,” sapa pelayan pada seorang yeoja yang baru memasuki café.
Yeoja itu duduk di meja yang berada di dekat jendela café. Jongwoon mulai menatap yeoja itu baik-baik. Ia seperti pernah bertemu dengan yeoja itu. Tapi di mana? Ia masih melakukan ‘adegan’ mesranya dengan Soojin sambil memikirkan di mana ia pernah bertemu dengan yeoja itu. Ia rasa yeoja cantik itu tidak pernah masuk dalam list koleksi yeoja-nya.

Ia masih mengamati yeoja itu sampai tatapan mereka bertemu. Yeoja itu tampak sedikit terkejut saat tatapannya tertuju pada Jongwoon, meyakinkan Jongwoon bahwa ia pernah bertemu dengan yeoja itu.

Oppa.. Kau sedang melihat apa?” tanya Soojin tiba-tiba, membuat Jongwoon sedikit tersentak dan segera mengalihkan tatapannya.
“Ah, ne? Aah, aku tidak melihat apa-apa. Kau mau memesan cake lagi, Chagi?” ujar Jongwoon.
Soojin menggeleng, membuat Jongwoon kembali mengacak rambutnya pelan dan mengecup pipi kanan Soojin sekali lagi.

Yeoja yang duduk di dekat jendela café tadi menatap Jongwoon tak habis pikir saat namja itu mengecup pipi Soojin. Ia sedikit mendengus, jengah dengan pemandangan yang ada di hadapannya sekarang. Tapi tubuhnya kembali menegang saat tatapan mereka kembali bertemu. Sedangkan Jongwoon merasa tubuhnya sedikit membeku saat menyadari siapa yeoja yang sedang ditatapnya.

“Aku ke sana dulu,” ujar Jongwoon seraya bangkit dari kursinya.
“Dia siapa, Oppa?” tanya Soojin sambil menoleh pada yeoja yang ditatap Jongwoon.
“Dia teman lamaku. Aku ke sana dulu sebentar, tidak akan lama,” jawab Jongwoon sambil kembali mengacak rambut Soojin.

Ketegangan yeoja itu kembali menjadi saat melihat Jongwoon berjalan ke arahnya. Ia merasa tubuhnya membeku saat namja itu tiba di depannya dan duduk di hadapannya.

“Kau.. Narin?”  tanya Jongwoon tanpa meninggalkan kesan dingin atau tajam dalam suaranya. Nada bicaranya lebih mengarah ke rasa takut.
Yeoja itu mengangguk pelan. Jongwoon kembali mengamati penampilan gadis itu. Ia sedikit tercengang dengan perubahan Narin sekarang. Rambut panjang tergerai, make up tipis di wajahnya, dan mata kecokelatan tanpa kacamata tebal yang selama ini selalu menghiasi kedua mata indahnya.
“Kau Jung Na Rin?” tanya Jongwoon sekali lagi, masih tidak percaya dengan apa yang ada di hadapannya sekarang.
Narin sekali lagi mengangguk menjawab pertanyaan Jongwoon.
“Kau… berubah sekali,” gumam Jongwoon kagum tanpa melepaskan sosok Narin dari tatapannya. Ada sedikit rasa penyesalan karena dulu ia pernah menyakiti yeoja ini.
Narin menghembuskan nafasnya perlahan. Sedikit lega karena ternyata penampilannya sekarang tidak seaneh yang ia kira dan puas karena pandangan namja sombong ini sudah berubah terhadapnya. Lihat saja, ia pasti akan membayar semua yang sudah ia lakukan pada Narin.
“Hyemi ada bersamamu?” tanya Jongwoon kembali dengan ketakutan awalnya.
Narin mengangguk pelan, tanpa mengeluarkan suaranya sedikit pun. Sementara kekhawatiran Jongwoon semakin menjadi.
“Kuingatkan padamu,” bisiknya sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Narin dan menoleh pada Soojin yang ada di belakangnya sekilas. “Jangan sampai Hyemi tahu akan hal ini.”
Narin kembali menghembuskan nafasnya perlahan. Ia tahu apa yang dimaksud dengan ‘hal ini’.
“Tapi dia ada di sini, Oppa…” ucap Narin polos.
“Lakukan apapun agar dia tidak melihatku dengan gadis itu!” bentak Jongwoon masih dengan berbisik, namun tidak dapat menyembunyikan nada bicara dingin dari suaranya.

Kring…
Satu orang lagi memasuki café. Dan orang itu mampu membuat wajah Jongwoon memucat saat tatapan mereka bertemu.

“Ha..hai, Hyemi,” sapa Jongwoon seramah mungkin walau dengan kegugupan yang tidak bisa ia tutupi.
“Kau di sini juga?” tanya Hyemi dengan tatapan jengah. Jengah karena namja itu selalu muncul di mana pun ia berada.
Ne…”
“Kau mengenal Narin juga?” tanyanya lagi.
Jongwoon hanya mengangguk mengiyakan.
“Narin-ah, sepertinya kita makan di café lain saja,” ujar Hyemi seraya menarik tangan Narin hingga gadis itu beranjak dari kursinya.

Kedua gadis itu sudah berada di ambang pintu dan hampir membuat Jongwoon bernafas lega saat Soojin beranjak dari kursinya dan menghampiri Jongwoon. Ia mulai menggelanyut di lengan kanan Jongwoon, membuat namja itu sedikit kewalahan saat tatapannya dan tatapan Hyemi kembali bertemu.

Oppa… Kau bilang hanya sebentar?” katanya dengan nada manja yang mampu membuat perut Hyemi dan Narin mual seketika.
“Eh… a-aku…” Jongwoon tergagap. Tatapannya kembali pada Hyemi dan Narin yang kini menatapnya tak percaya.
“Sepertinya pacarmu memerlukanmu, Jongwoon-ssi,” ujar Hyemi dengan seringai yang saat itu juga muncul di sudut bibirnya. Lalu ia keluar dari café itu dengan menggandeng tangan Narin, meninggalkan Jongwoon yang kini hanya bisa memaki Soojin dalam hati.

‘ Sial!’


** ** **


“Kau tidak pernah cerita kalau kau mengenal Kim Jong Woon,” kata Hyemi saat mereka mulai melahap makanan mereka.
Narin sedikit menunduk saat mata mereka bertemu, menolak untuk mengatakan yang sejujurnya karena kedua mata Hyemi dapat berpengaruh terhadap kerja mulutnya.
“Kau kenal namja kurang ajar itu?” tanya Hyemi, mendesak Narin untuk menjelaskan hubungannya dengan namja playboy itu.
“Dia sunbae-ku saat SMA dulu,” jawab Narin masih sibuk dengan makanannya, tanpa mengangkat wajahnya untuk menatap Hyemi.
“Aaah… Pantas saja,” gumam Hyemi. “Pasti sangat menjengkelkan jika harus bertemu dengannya setiap hari selama tiga tahun di sekolah,” ujarnya sambil kembali memasukkan sesuap makanan ke dalam mulutnya.
Narin mengendikkan bahunya, masih menolak untuk menjelaskan lebih jauh tentang hubungannya dengan Jongwoon. Itu sama saja menceritakan masa lalunya yang tidak ingin ia ingat meskipun sangat sulit untuk melupakannya.

“Dia… sunbae yang sangat…” Ucapan Narin terputus. Ia merasa tidak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya tentang Jongwoon.
“Dia pasti sangat menyebalkan,” kata Hyemi melanjutkan ucapan Narin yang sempat terputus.
Hyemi terus mengunyah makanannya tanpa sadar akan ekspresi wajah Narin yang mendadak berubah menjadi muram. Memori yang mampu menyayat hatinya beberapa tahun yang lalu kembali masuk ke dalam pikirannya. Memori yang membuatnya menjadi teringat akan satu kebodohannya dulu.

“Kau kenapa?” tanya Hyemi bingung saat menyadari Narin yang tidak melanjutkan makannya, melainkan termenung.
Narin tersentak dan cepat-cepat mengulas senyumnya. “A..aku tidak apa-apa,” jawabnya dengan sedikit tergagap.
“Kau sakit, ya?” tanya Hyemi lagi dengan raut wajahnya yang tiba-tiba berubah menjadi khawatir.
Narin menggeleng cepat. “A..aniyo…” jawabnya. “Mungkin mataku masih belum terbiasa dengan soft lense,” katanya sedikit beralasan.
Hyemi hanya mengangguk sekilas lalu kembali melanjutkan makannya.

Hyemi… Andai saja gadis itu tahu betapa kejamnya seorang Kim Jong Woon yang sebenarnya. Andai saja ia tahu bagaimana sosok asli Kim Jong Woon dibalik sifatnya yang suka mengganti-ganti pasangan. Yaah.. Andai saja ia tahu apa yang selama ini Narin takutkan terhadap namja itu.


** ** **


“Hai..” sapa Jongwoon dengan sedikit gugup saat melihat Hyemi baru muncul dari balik pintu kamarnya yang sedari tadi tertutup rapat dan Jongwoon masih belum berani untuk mengetuknya.
“Hai,” balas Hyemi datar. “Ada apa kau datang ke sini?” tanya Hyemi.
Jongwoon menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal. Ia masih memikirkan bagaimana cara untuk menjelaskan semuanya pada gadis di depannya ini.
“Ngg… Yang kemarin itu..” ucapnya terputus. Ia masih belum bisa menyusun kata-kata yang tepat untuk memberikan penjelasan pada Hyemi mengenai Soojin kemarin.
“Itu pacarmu, kan?” tanya Hyemi yang lebih terdengar seperti pernyataan, bukan pertanyaan. “Jadi itu yang namanya Hara?” tanyanya lagi yang membuat kedua mata Jongwoon terbelalak.
M..mwo?” ucapnya tak percaya. Dari mana gadis ini tahu tentang Hara?
“Oh, itu bukan Hara, ya? Jadi itu pacarmu yang mana?” tanya Hyemi lagi dengan wajah polosnya. Ia sedang berusaha keras untuk menahan tawanya yang hampir meledak. Jadi ini tampang seorang playboy saat rahasianya terbongkar? Hyemi menggeleng pelan melihat wajah Jongwoon yang sudah hampir memucat saat ini.

“Bu..bukan. Eh.. Ngg.. Maksudku… Itu…” Jongwoon semakin bingung untuk menyusun kalimatnya.
‘Sial.’ Umpatnya dalam hati. Semuanya tidak akan jadi begini kalau saja Soojin tidak bermanja-manja dengannya di depan Hyemi. Hancur sudah rencananya.
“Pacarmu ada berapa banyak sekarang?” tanya Hyemi.
Ne?”
“Pacarmu ada berapa? Sepertinya kau kesusahan untuk menghafal nama-nama mereka,” ujar Hyemi. Ia menarik sudut bibirnya ke satu arah, membentuk sebuah seringai yang mampu membuat keringat dingin Jongwoon keluar menuruni dahinya.

Hyemi mendengus pelan sambil melangkahkan kakinya melewati Jongwoon, menuju tangga untuk turun ke lantai bawah. Tapi detik itu juga Jongwoon menahan lengan gadis itu hingga langkah Hyemi terhenti. Ia menoleh pada Jongwoon dengan tatapannya yang menusuk.

“Ada apa lagi?” tanyanya datar.
“Sebenarnya aku ke sini untuk…” kata Jongwoon sedikit menggantung pada akhir kalimatnya. “Aku ingin mengajakmu pergi,” lanjutnya mantap.
Hyemi menaikkan sebelah alisnya. Namja ini sudah ketahuan belangnya tapi masih berani mengajaknya pergi?
“Kau tidak salah?” tanya Hyemi meremehkan.
Jongwoon menggeleng dengan polosnya. “Dan Jungsoo-hyung sudah memberiku izin untuk membawa adiknya pergi bersamaku,” katanya lagi dengan senyum menggoda yang muncul di bibirnya, membuat Hyemi bergidik dan mual melihatnya.
“Yaak… Lepaskan! Siapa bilang aku setuju!?” tanyanya dengan nada yang mulai meninggi sambil menyentak tangan Jongwoon yang masih mencekal lengan kirinya.

Jongwoon melipat kedua tangannya di depan dada, masih dengan senyum yang sama di bibirnya.
“Kau pasti akan setuju ikut denganku karena nasibmu berada di tanganku,” ujarnya sambil menunjukkan sebuah kunci kecil dengan gantungan kunci bintang biru pada Hyemi.
“YA!!!” teriak Hyemi penuh amarah. “Kembalikan kunci itu!” serunya sambil berusaha menggapai kunci yang berada di tangan kanan Jongwoon.
Tapi dengan kenyataan bahwa tubuh Jongwoon lebih tinggi daripada Hyemi, membuat gadis itu kesulitan untuk meraih kuncinya yang berharga.
“Kembalikan!!!” serunya lagi, dan kali ini dengan suara yang lebih menggelegar, hampir membuat gendang telinga Jongwoon pecah.
Jongwoon menggeleng. “Andwae~..” ucapnya sambil sedikit menjulurkan lidahnya. “Kau tidak akan bisa mengerjakan tugas-tugas dari dosenmu tanpa ini,” katanya lagi, menggoda Hyemi yang emosinya sudah naik ke kepala.
“Jongwoon-ah!”
Jongwoon sedikit tertegun mendengar Hyemi memanggilnya tidak lagi dengan panggilan formal. Membuatnya sedikit puas karena ia merasa jarak antara dirinya dan Hyemi sedikit demi sedikit semakin menipis.
“Kembalikan!!” teriak Hyemi lagi, berharap namja menyebalkan ini akan segera mengembalikan kunci penentu nasibnya.
“Kau akan mendapatkan kunci ini setelah kau ikut denganku.”
“Aisshh… Pergi ke mana?” tanya Hyemi kesal.
“Rahasia,” ucap Jongwoon seraya menggamit tangan kanan Hyemi turun ke lantai bawah.

Sedangkan Hyemi hanya menurut dengan perasaannya yang semakin dongkol pada namja berkulit putih ini. Sepertinya sekarang ia mulai memikirkan cara untuk menemukan alat penangkal playboy(?).

** ** **


(Lee Sung Min POV)

Aku menatap coklat panas yang lima menit lalu diantarkan bibi Jung padaku di ruang tengah sambil mengaduk-aduknya tanpa ingin segera meminumnya. Rasanya keinginanku untuk meminum minuman kesukaanku ini hilang begitu saja saat pikiranku kembali pada percakapanku dengan Jongwoon-hyung beberapa jam yang lalu. Rasanya sangat mengejutkan ia bisa mengambil tindakan yang menurutku bisa menandakan perubahan besarnya. Dan aku.. tanpa sengaja mengatakan hal yang tak ingin kukatakan padanya.


[Flashback]

“Kau kenapa, Hyung?” tanyaku saat melihat Jongwoon-hyung duduk di hadapanku dengan wajah kusutnya. Raut wajah yang sangat jarang muncul di wajahnya.
Ia menyandarkan punggungnya pada kursi dan memanggil pelayan. Setelah menyebutkan pesanannya dan pelayan itu pergi, ia mulai menghela nafas lelah.
“Ada apa, Hyung?” tanyaku sambil menyeruput tehku.
“Aku habis diserbu Hara dan Soojin tadi,” jawabnya tanpa lupa menyelipkan helaan nafas lelahnya.
“Mereka kenapa?” tanyaku dengan sedikit terkekeh.
Ia menatapku kesal dan mulai menjelaskan.
“Mereka marah, sangat marah.”
“Padamu?”
“Tentu saja!” jawabnya ketus. “Mereka seperti tidak rela saat aku… yaah, kau tahulah bagaimana wanita saat diputuskan begitu saja dan mengetahui bahwa namja-nya tidak hanya memiliki satu pasangan sebelumnya,” ujarnya yang membuatku hampir tersedak dan menyemburkan teh yang ada di dalam mulutku ke wajah tampannya.
Mwoya?” kataku sambil menatapnya tak percaya. “Kau memutuskan pacar-pacarmu, Hyung?” tanyaku masih sulit untuk percaya dengan apa yang kudengar dari mulutnya.
Ia mengangguk, mengiyakan ucapanku dan itu membuat kedua mataku kembali membelalak lebar.
Hyung.. kau tidak bercanda, kan?” tanyaku sedikit mendesaknya.
Dia menatapku jengkel. “Mana mungkin aku bercanda, pabo!” ujarnya sambil memukul kepalaku.

Apa lagi ini? Baiklah… baiklah. Aku senang dia mau berubah dan meninggalkan kebiasaan lamanya yang selalu mempermainkan wanita. Tapi… kenapa tiba-tiba?
“Apa ini karena Hyemi..?” tanyaku pelan dengan suara rendah, menandakan bahwa aku sedang tidak main-main.
Hyung-ku itu menarik salah satu sudut bibirnya ke satu arah, membentuk seringai khas yang selalu terlihat di bibir tipisnya seolah menyiratkan kata ‘ya’ untuk pertanyaanku.
Hyung… Aku harap kau tidak main-main dengannya,” ujarku. “Kalau kau serius dengan Hyemi, aku tidak akan keberatan kalau pada akhirnya dia memilihmu.”
Aku tertegun saat menyadari apa yang baru saja keluar dari mulutku. Aku baru saja mengatakan syarat untuk melepas gadis itu untuk hyung-ku sendiri.

Jinjja?” tanyanya yang membuyarkan lamunanku.
“Ngg.. Hyung…”
“Aku pegang kata-katamu,” ujarnya memotong ucapanku.
“Tapi aku hanya akan melepaskannya kalau kau serius dengannya, Hyung. Kalau kau mempermainkannya…”
“Kita lihat saja nanti.” Lagi-lagi ia memotong ucapanku yang belum sempat kuselesaikan.

Detik itu pelayan datang mengantarkan pesanan kami dan aku pun enggan untuk membahas masalah Hyemi dengan namja yang merupakan sepupuku itu. Aku hanya menatapnya, mencari-cari titik dusta yang tersirat dari kedua mata gelapnya. Tapi aku tidak bisa menemukannya. Apa dia benar-benar serius dengan Park Hye Mi, atau… ia bisa menutupi apa yang ada di dalam benaknya walau melalui mata sekalipun?

[Flashback end]



 
-To be continued-




Fuuh… Part 2 finished :D :D
Akhirnya part ini selesai juga. Maaf kalo ada typo atau kata-kata yang gaje, karena part ini juga nggak diedit ulang. Hahaha :p
Oiya, makasih buat adekku yang bawel yang selalu demo minta part selanjutnya cepet-cepet dipublish. Secara nggak langsung itu bikin aku termotivasi buat nyelesain part ini sesegera mungkin loh ^^v
Oke, don’t forget to leave comment. And see you on the next part…!!~
Kamsahamnida \(^^)/