Title : My Last Dream
Author : Ifa Raneza
Cast : Yesung (Kim Jong Woon) , Kim
Soon Hee (OC)
Genre : Sad Romance
*Yak! Seperti biasa, ide cerita dan
si OC adalah milik author. Kalo ada kesamaan alur, tokoh, atau peristiwa dalam
cerita ini, itu hanya ketidaksengajaan atau kebetulan. Dijamin nggak plagiat
^^*
FF ini juga pernah dipost di SJFF ya :)
Cerita ini terinspirasi dari lagu Super
Junior KRY yang judulnya My Love My
Kiss My Heart. Tapi sisanya sesuai dengan imajinasi aku sendiri. Happy
Reading ^^
~***~
(SJ KRY – My Love My Kiss My Heart)
A day feels like a year
My heart continues to sink because it only looks for your trace for days
When I forcefully swallow a bite of food, it feels like a grain of sand
The day without you has stopped. Just like this now.
My love, my kiss, my heart
I’ll bury them all. A place deep in my heart
One love, one kiss, to my heart
I’ll try to forget everything. I’ll erase everything
~***~
“Soon Hee-ya.”
“Mwo?”
“Beberapa tahun lagi, kira-kira kau
mau menikah dengan siapa?” tanyaku yang sukses membuatnya menoleh cepat ke
arahku.
“Apa maksudmu?” tanyanya bingung.
Aku mengendikkan bahuku dan
mengulas senyum simpul. “Tidak ada maksud apa-apa. Hanya bertanya,” jawabku
santai.
Dan biasanya kalau sudah seperti
ini, dia akan langsung melemparkan tatapan kesal padaku.
“Ayolah, Hee-ya. Jawab saja,”
ujarku menuntut jawabannya. “Kau mau menikah siapa nanti?”
Ia tampak berpikir. Tak lama
kemudian tatapannya kembali beralih padaku.
“Kau tahu Choi Siwon, mahasiswa baru
di kelas sebelah?”
Aku mencerna ucapannya baik-baik.
Setelah mengerti ucapannya, aku langsung memukul kepala kecilnya itu.
“YAK!”
“YA! Maksudmu kau mau menikah
dengan Choi Siwon, hah?!” seruku.
Ia meringis kesakitan sambil memegangi
kepalanya yang kupukul tadi.
“Memang apa salahnya? Bukankah dia
anak orang kaya? Lumayan kan, jadi aku tidak perlu mencari pekerjaan untuk
memenuhi kebutuhan hidupku nanti,” ujarnya dengan seringai dan mata yang
berbinar.
“Kau… Apa kau yakin dengan
ucapanmu?”
Ia hanya mengangguk dengan mata
masih berbinar-binar. Ya Tuhan, apa anak ini benar-benar serius dengan
ucapannya?
“Memang kenapa? Itu kan hakku,”
ujarnya lagi membuatku kehabisan akal untuk menjawabnya.
Belum sempat kujawab pertanyaannya,
ia sudah berdiri dan berjalan meninggalkanku yang masih duduk.
“Mau ke mana kau?” tanyaku seraya
beranjak dan menyamakan langkah kami.
“Ke kelas sebelah,” jawabnya cepat.
“Aku mau bertemu Choi Siwon.”
“Untuk apa kau bertemu dengannya?”
tanyaku dingin.
“Jong Woon, kau ini bodoh atau apa?
Kalau ingin menikah dengannya, bukankah aku harus menjadi pacarnya dulu?”
Ayolah, Soon Hee. Aku sedang tidak
ingin bercanda denganmu. “Aku serius, Hee-ya.”
“Aku juga serius.”
“Aku tidak akan membiarkanmu
menjadi milik orang itu.”
Berhasil. Langkahnya langsung
terhenti dan ia berbalik menghadapku. Ia melipat kedua tangannya di depan dada
dan menatapku dengan tatapan penuh selidik.
“Apa kau bilang tadi?” tanyanya
datar.
“Aku tidak akan membiarkanmu
menjadi milik orang itu.”
Satu detik. Dua detik. Tiga detik.
Respon yang kudapat darinya hanyalah tatapan aneh yang entah apa artinya.
“Kau tidak mengerti juga?” tanyaku
frustasi. “KIM SOON HEE, AKU TIDAK AKAN MEMBIARKANMU MENJADI MILIK CHOI SIWON!”
teriakku sekuat tenaga dengan mata tertutup, alih-alih menahan malu karena
tatapan mahasiswa-mahasiswa lain yang langsung memandangku aneh.
“Yak! Kau membuatku malu, tahu!”
Aku terkekeh pelan. “Kalau begitu
berhenti memikirkan rencanamu untuk menjadi istri Choi Siwon,” ujarku seraya
menarik tangannya dan melanjutkan langkahku entah ke mana.
Dia mengikuti langkahku sementara
sebelah tangannya kutarik. “Wae?”
“Kenapa apanya?”
“Kenapa aku tidak boleh menikah
dengan namja itu? Dia pria yang
baik.”
Aku menoleh padanya yang lebih
pendek dariku, menatapnya dalam.
“Kau yakin akan menikah dengannya?
Itukah tujuan hidupmu?” tanyaku, masih melangkahkan kakiku.
Beberapa detik kemudian tawanya
meledak, membuatku harus menutup kedua telingaku karena suaranya yang sangat
keras. Lihat, dia tertawa sekarang. Apa yang lucu?
“Kau percaya kata-kataku? Hahaha,”
katanya masih tertawa.
“Kau…?”
“Aku bercanda, Jong Woon. Astaga,
kau lucu sekali. Mudah dibohongi.”
Akh, sial. Aku terlihat seperti
orang bodoh sekarang. Bisa-bisanya aku dipermainkan oleh yeoja seperti dia. Awas saja kau, Kim Soon Hee.
“Diam, Soon Hee,” kataku datar,
kesal. Dengan cepat kulangkahkan kakiku ke taman di belakang kampus, tempat
yang biasa kudatangi.
“Hei, hei… Kau marah?” tanyanya
setelah menghentikan tawanya dan berlari-lari kecil mengejar langkah lebarku.
“Menurutmu?” Aku menatapnya
sekilas, hanya sekilas. Itu pun dengan tatapan datar.
“Ya, Jong Woon! Aku hanya bercanda.
Kenapa kau aneh sekali hari ini?”
Aku menghentikan langkahku
mendadak, membuatnya yang berada tepat di belakangku hampir menubruk punggungku.
Aku berbalik dan menatap mata coklatnya dalam. Entah sejak kapan, aku sangat
menyukai mata itu.
“Soon Hee.”
Ia mendongakkan kepalanya, membalas
tatapanku.
“Jangan jatuh cinta pada namja lain. Choi Siwon, Park Jung Soo,
atau siapapun itu,” ujarku pelan.
“Wae? Kau mau aku jadi perawan tua?” tanyanya dengan bibir yang
mengerucut.
“Karena aku yang akan menikahimu
nanti.”
Ia hanya melongo seakan tak percaya
dengan ucapanku, atau dia bingung dengan perkataanku? Ah, entahlah. Tapi yang
pasti, tampangnya sekarang persis seperti orang bodoh. Kuraih tengkuknya dan
mendekatkan wajahku pada wajahnya, membuat bibir kami menyatu.
“Kau milikku sekarang,” bisikku
sesaat setelah bibirku terlepas dari bibir tipisnya.
Dia hanya terdiam, memandangku
dengan tatapan bingung. Masih bingung? Biarkan saja dia berpikir sendiri. Aku
yakin dia pasti akan segera mengerti, dia bukan gadis yang bodoh, kan? Aku
mengenalnya––sangat mengenalnya––sejak sepuluh tahun yang lalu.
~***~
Kim Soon Hee kembali menjalani
hari-harinya seperti biasa. Dia terlihat biasa-biasa saja, seakan tidak ada
yang terjadi sebelumnya. Sikapnya itu membuatku bingung, bagaimana mungkin dia
belum mengerti maksud ucapanku yang kemarin?
“Yak! Jong Woon! Apa yang
kaulihat?” tanyanya ketus sambil memukul lenganku, membuat lamunanku buyar.
“Memangnya aku melihat apa?”
tanyaku bingung.
Ia memutar kedua bola matanya. Hei,
hei… Aku tidak sedang bercanda. Pikiranku melayang entah ke mana tadi.
“Kau menatapku. Sejak lima menit
yang lalu kau terus menatapku.”
Aku hanya tersenyum kecil sambil
menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Aku juga bingung kenapa
malah dia yang kutatap selama melamun tadi. Eh, tunggu. Apa dia salah tingkah?
“Kau sangat cantik hari ini. Kau
baru memotong rambutmu?” kataku menggodanya.
Ia melemparkan pandangan jengah
mendengar godaanku, lalu menepis tanganku yang sedang memintal rambut ikalnya.
“Dapat ide dari mana kau bertanya
begitu? Rambut panjang begini apanya yang baru dipotong?”
Aku tertawa pelan. Aku tahu,
Hee-ya. Aku tidak sebodoh itu.
“Oh, jinjja? Tapi kenapa kau berbeda sekali hari ini?” tanyaku masih
menggodanya.
Ia hanya memutar kedua bola
matanya. Ia membuka buku dan mulai terlarut dalam bacaannya, tidak
menghiraukanku yang masih ingin melemparkan kalimat-kalimat gombalku. Kemudian
sebelah tanganku bertengger di atas pundaknya, merangkulnya. Ia hanya diam, tak
bergeming sedikit pun. Sepertinya dia sudah terbiasa kurayu seperti ini. Tentu
saja, kalian ingat sudah berapa lama kami bersama? Sepuluh tahun. Tak heran jika
sekarang kami berada di kamarnya, duduk di lantai beralaskan karpet kuning
cerah. Itu sudah menjadi kebiasaan kami untuk menghabiskan waktu jika sedang
tidak ada kesibukan.
“Hee…” panggilku. Ia masih tidak
menyahutku, merespon, atau menatapku. Ia masih saja membaca buku yang ada di
tangannya. “Hee,” panggilku sambil menggoyangkan bahunya dengan tanganku yang
masih merangkulnya.
Ia hanya bergumam, tapi tetap tidak
menoleh padaku.
“Hee, kau ganti sampo?” tanyaku,
terdengar tidak penting memang.
“Tidak,” jawabnya singkat. “Sejak
kapan kau jadi memperhatikan merk sampoku?” tanyanya.
“Ah, kau jahat sekali, Hee-ya. Kau
tidak sadar kalau aku memperhatikanmu selama sepuluh tahun terakhir?” kataku
dengan nada kecewa yang dibuat-buat. “Kita sudah hidup bersama selama sepuluh
tahun.”
“Hei, kau berkata begitu
seolah-olah aku istrimu,” ujarnya kesal.
“Mwo? Bukankah kita memang hidup bersama?”
PLETAK!
Dia memukul kepalaku. Dasar yeoja ini.
“Rumahmu ada di sebelah, Tuan Kim,”
katanya datar, lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada buku.
“Aaah… Kau jahat sekali, Nyonya
Kim.”
Ia terkekeh, kemudian menutup
bukunya dan menolehkan wajahnya ke arahku.
“Astaga, Soon Hee!” ujarku dengan
tampang terkejut.
“Mwo?” tanyanya panik.
“Kau sadar? Kulitmu lebih cerah
hari ini. Kau ganti kosmetik?”
Lagi-lagi ia melemparkan pandangan
jengah padaku. Ayolah, ladeni aku dulu kali ini.
“Kukira ada apa,” katanya mulai
bernapas lega. “Kenapa? Kau mau membelikanku kosmetik baru?” tanyanya jahil.
“Aissh… Sifat mata duitanmu keluar,
Hee-ya.”
“YA! Apa katamu?!” serunya kesal
seraya mengangkat sebelah tangannya, hendak memukul kepalaku.
Sebelum dia sempat mendaratkan
tangannya tepat di atas kepalaku, dengan cepat kutahan tangannya. Mau
memukulku? Tidak bisa.
“Aku serius, Hee. Kulitmu lebih
lembut,” kataku pelan sembari mengelus pipi putihnya. “Halus.”
“Hentikan, Jong Woon.”
“Atau jangan-jangan kau pakai lipgloss?” tanyaku lagi, mengalihkan
tatapanku yang semula tertuju pada pipinya ke arah bibirnya. “Kau pakai lipgloss apa?”
“Apa urusanmu?”
Ia membuang muka ke arah samping,
menolak untuk menatapku. Lalu kurangkuh dagunya dan menariknya agar kembali
menatapku.
“Aku bertanya, Hee.”
“Kau sudah jadi pengamat kosmetik,
ya?” tanyanya acuh. “Tebak saja sendiri.”
Hah. Dia mau bermain-main denganku?
Pilihan yang salah, Kim Soon Hee.
“Baiklah. Akan kutebak sendiri.”
Wajahnya menegang saat menyadari
wajahku sudah hampir menyentuh wajahnya, dan akan membuat bibir kami saling
menyentuh. Tinggal satu centi lagi dan bibirku akan mendarat dengan sempurna di
bibirnya kalau saja dia tidak mendorong bahuku.
“What are you doing?” tanyanya cepat.
“Apa lagi? Menebak lipgloss apa yang kaupakai,” jawabku
dengan tampang tak berdosa. Kejujuran adalah hal yang baik, bukan?
“Aku menyuruhmu menebak, bukan
memeriksanya, pabo!”
Hahaha, lihat wajahnya sekarang.
Merah sekali.
“Begitu?”
Kukecup bibirnya singkat. Cukup
sampai bibirku mendarat di bibirnya, lalu kulepas sebelum ia melancarkan
tendangan mautnya.
Kujilati bibirku. “Ternyata cherry, ya?” ucapku, lalu keluar dari
kamarnya, meninggalkannya yang masih terpaku.
~***~
“Hee, mau ke mana?” tanyaku saat
melihatnya keluar kelas.
“Aku ada urusan sebentar,” jawabnya
dan hanya menatapku sekilas.
“Urusan apa?”
“Sejak kapan kau jadi posesif
begini?”
“Urusan apa? Dengan siapa? Apa
dengan namja?” tanyaku yang berhasil
membuat langkahnya terhenti.
“Benar. Aku sedang ada urusan
dengan seorang namja,” jawabnya
datar, lalu kembali melangkahkan kakinya.
Aku hanya terdiam di tempatku,
menatapnya yang sudah semakin menjauh di depanku.
“Hee! Aku jangan dekati namja lain! Kau dengar? Jangan dekati namja lain!” seruku dengan penekanan
pada kata ‘namja’.
Sial, dia hanya mengacungkan
jempolnya tinggi-tinggi tanpa membalikkan tubuhnya atau hanya sekedar
menghentikan langkahnya. Soon Hee, tidakkah kau tahu aku cemburu sekarang?
Penasaran, aku pun mengikutinya
dari belakang tanpa ia ketahui. Ia berhenti di taman belakang sekolah dan
menghampiri seorang namja yang
kukenali. Mereka mengobrol santai, tidak terlihat ada yang istimewa di antara
mereka.
Tapi tunggu… Kenapa mereka makin
dekat? Dan itu… Baiklah, darahku mulai naik melihat mereka. Segera kulangkahkan
kakiku menghampiri mereka dan menepis tangan namja itu yang dengan seenaknya memegang tangan yeoja-ku.
“Jangan sentuh dia! Dia milikku!”
seruku pada namja tinggi bernama Choi
Siwon itu.
Kutarik lengan Soon Hee agar
bergerak ke sampingku, menjauhi namja
itu.
“Jong Woon, kau ini…” protes Soon
Hee yang tak kubiarkan bergerak mendekat pada Siwon yang masih berdiri mematung,
bingung dengan apa yang baru kulakukan. Tidak kuhiraukan ucapannya, aku masih
menatap Siwon dengan tajam.
“Kau, apa yang kaulakukan padanya?”
tanyaku ketus.
“Aku? Aku tidak melakukan apa-apa,”
jawabnya polos. Ah, sekarang aku tidak bisa membedakan antara polos dengan
bodoh.
“Begitu? Kalau begitu jangan pernah
lagi menyentuhnya,” ujarku, masih enggan menggunakan nada yang sedikit lebih
lembut.
Kutarik tangan Soon Hee untuk
mengikuti langkah lebarku. Tidak kuhiraukan pandangan aneh yang dilemparkan mahasiswa-mahasiswa
lain padaku. Terdengar ringisannya karena kesakitan. Tapi tidak kupedulikan,
aku masih menariknya. Dia hanya menurut, mengikuti langkahku walaupun dengan
sedikit memberontak. Percuma, tenaganya tetap saja kalah dariku.
“Jong Woon, lepaskan!” serunya.
Tetap kulangkahkan kakiku. Benar,
aku cemburu sekarang. Hatiku sudah panas terbakar api cemburu karenamu, Soon
Hee.
“Kim Soon Hee, diam.”
“Lepaskan aku! Kim Jong Woon!”
Akhirnya langkahku berhenti dan
melepaskan tangannya kasar.
“Apa maksudmu, hah?! Kenapa
menarikku seperti barang begitu?!” tanyanya dengan nada suara yang mulai
meninggi. Ia mengelus-elus pergelangan tangannya yang kutarik tadi. Sekarang
kulit di sekitar pergelangan tangannya sudah memerah.
“Apa maksudku? Kau sendiri? Kenapa
bermesraan dengan namja itu?!”
Ia mendengus. “Bermesraan? Kau kira
aku wanita macam apa?!” balasnya tak kalah dingin.
Oke, itu bukan nada bicara yang
kusukai. Emosiku naik sekarang. Baiklah, kuladeni kau, Kim Soon Hee.
“Kau wanita macam apa hanya kau
yang tahu.”
“Apa?”
“Lalu untuk apa dia menyentuhmu?!”
tanyaku masih dengan emosi yang meledak-ledak.
Ia tertawa sinis, lalu melemparkan
tatapan tajam padaku––tatapan yang sangat tidak kusukai dan tidak pernah
kuharapkan darinya.
“Apa itu penting? Menurutku tidak.”
Ya Tuhan, yeoja ini benar-benar membuat darahku naik.
“Itu penting, Soon Hee! Itu
penting!” Suaraku sudah semakin meninggi sekarang, cukup jelas untuk menandakan
emosiku. “Aku tidak suka melihatmu disentuh pria lain!”
Ia kembali memperdengarkan tawa
sinisnya. Dan kali ini suaranya terdengar lebih dingin dari sebelumnya.
“Wae? Kenapa aku harus menuruti semua yang kau suka dan tidak kau
suka? Apa hakmu mengatur hidupku?!” Ia mendorong-dorong bahuku dengan sebelah
tangannya, membuatku mundur selangkah.
“Aku memilikimu, Kim Soon Hee! Kau
milikku!”
“Aku bukan milikmu, Jong Woon!”
Aku terdiam. Kata-katanya barusan
berhasil membuatku terpaku untuk beberapa detik.
“Sejak kapan aku setuju untuk
menjadi milikmu? Sejak kapan?”
Otakku tidak bekerja dengan baik
sekarang, aku tidak bisa membalas ucapannya. Aku bingung harus menjawab apa.
“Kau milikku, Soon Hee,” kataku.
Nada bicaraku sudah mulai melembut sekarang.
“Aku bukan barang, Jong Woon. Aku bukan
boneka yang bisa dengan seenaknya kau miliki dan atur-atur,” ucapnya, berhasil
membuatku kembali membisu. “Aku bukan bonekamu yang sewaktu-waktu bisa kau
buang dan kau ambil lagi. Bukan, Jong Woon. Aku hanya seorang Kim Soon Hee. Aku
Kim Soon Hee, Jong Woon.”
Apa yang sedang kaubicarakan? Bagaimana
mungkin, Kim Soon Hee? Bagaimana mungkin aku berniat membuangmu?
“Mungkin selama ini kau
menganggapku hanya sebagai barangmu, barangmu yang paling berharga. Seperti
kristal rapuh yang sewaktu-waktu bisa pecah. Seperti batu permata yang bisa kau
miliki.” Ia menggeleng-geleng pelan, menatapku sendu. “Bukan, Jong Woon. Aku
bukan seperti itu.”
“Hee…”
“Lupakan semua pemikiranmu
tentangku. Lupakan semuanya. Aku bukan barang kesayanganmu, Jong Woon.”
Membisu. Itulah keadaanku sekarang.
Aku hanya bisa memandang punggungnya yang semakin menjauh. Menjauh
meninggalkanku yang masih terdiam di tempatku. Masih tidak percaya dengan apa
yang kudengar dari mulutnya. Dia menyuruhku melupakannya?
~***~
The sound of my heart ringing. It feels like a lie. This pain too.
Like the writing that has been washed away and smudged, you and I have
been blurred and erased.
The world is the same but when I look around, it is only you who is not
by my side.
Semuanya tetap sama, tapi ada yang
berbeda sekarang. Kau penyebabnya, Soon Hee. Kau yang menyebabkan ada sesuatu
yang ganjil di kehidupanku sekarang. Tanpamu, hari-hariku terasa sepi. Aku
hanya bisa memandangimu yang sedang tertawa lepas dari kejauhan dan bukan
tertawa bersamaku, tapi bersama teman-temanmu yang lain. Kau membagi dan
menyuarakan kebahagiaanmu pada mereka, kebahagiaanmu di hari kelulusan kita
ini. Membuatku sekali lagi merasakan hal yang berbeda dari biasanya, kau tidak
lagi berada di sampingku.
I lost you, I lost everything
I can’t even turn back time
My love, my kiss, my heart
I’ll bury them all. A place deep in my heart
One love, one kiss, to my heart
I’ll bury them all. A place deep in my heart
One love, one kiss, to my heart
I’ll try to forget everything, I’ll erase everything
Benar. Aku sudah merasa seperti
kehilanganmu sekarang, aku kehilangan semuanya. Semua yang sudah kujalani
bersamamu, semua yang kudapat darimu, semuanya… Semuanya, Soon Hee. Tawamu,
senyummu, tatapanmu. Semua itu tidak kau berikan padaku lagi. Sesak, sakit,
perih, semua itu kurasakan di sini, di dadaku. Menyisakan satu ruang gelap di
dalam sini.
Soon Hee… Aku sudah mencoba apa
yang kaupinta, yaitu melupakanmu. Tapi ternyata sulit, aku tidak bisa, Soon
Hee. Kau sudah terlalu membekas di sini, aku tidak bisa melupakanmu. Aku tidak
bisa menghapusmu. Soon Hee, bisa kau katakan padaku caranya?
~***~
It feels as if only the memories that are like broken pieces are stuck in
it
Deep in my heart. Deep in my heart. In a place deep in my heart
The image of your face covered in tears haunts me.
It hovers. It hovers. You who took my everything.
Sekarang di sinilah aku. Berlarian
di antara kerumunan orang-orang yang sibuk dengan koper mereka masing-masing,
sementara aku mencari sosok Soon Hee. Dan akhirnya kudapati sosoknya sedang
berjalan masuk ke dalam ruang tunggu untuk keberangkatan dengan membawa
lembaran tiket dan passport di tangannya. Aku berlari ke arahnya, mencoba untuk
keluar dari kerumunan ini.
Semua ini kebodohanku. Aku
menyayanginya, tapi tidak pernah mengatakannya. Aku hanya mengatakan bahwa dia
milikku, sehingga dia merasa aku hanya menganggapnya sebagai barang. Tidak… Kau
salah, Soon Hee. Kau bukan barang atau benda, aku mencintaimu. Aku sangat
mencintaimu.
Di sela kesibukanku untuk keluar
dari kerumunan, aku melihatnya sudah hampir masuk ke dalam sana. Tidak. Tunggu,
Soon Hee! Jangan masuk sampai aku tiba di hadapanmu!
Last love… last kiss… last dream
My heart that knows you, only remembers you
Only remembers you
Akhirnya aku berhasil keluar dari
kerumunan. Kukejar dia, tapi terlambat. Dia sudah masuk ke dalam ruang tunggu
itu. Dia berbalik, membuatku dapat melihat senyumnya. Lalu melambaikan
tangannya padaku. Ah, tidak. Dia melambaikan tangan pada teman-temannya yang
mengantarnya. Dia tidak menyadari keberadaanku. Dia tidak melihatku di sini,
jauh di belakang teman-temannya.
Tidak, kau harus tahu, Soon Hee.
Kau harus tahu bahwa aku mencintaimu!
“Kim Soon Hee! Saranghae!” teriakku. “Saranghae,
Kim Soon Hee! Aku mencintaimu! Sangat mencintaimu!”
Tapi percuma, suaraku tenggelam
dalam suara pesawat yang baru saja mendarat. Lalu ia kembali membalikkan
badannya, melangkah masuk ke dalam ruang tunggu itu, menghilang dari
pandanganku. Menghilang. Menghilang dari hidupku. Dia, Kim Soon Hee… Dia sudah
pergi…
“AAAARRGHH!!! KIM SOON HEE!!!”
~***~
Goodbye my love my kiss
It feels like it will have stopped
It feels like it will have stopped
I’ll try to forget
~***~
-Several years later-
“AAAAA!!! Yesung-oppa!” teriak beberapa yeoja yang masih berlari di belakangku,
mengejarku. Mereka terus meneriakkan nama panggungku––Yesung––seperti orang
gila.
Mungkin mereka bukan mengejarku,
tapi mau memburuku. Lihat saja, mereka berlari seperti singa lapar yang sedang
memburu rusa. Aku menoleh ke belakang, berharap mereka sudah menyerah untuk
mengejarku. Tapi ternyata tidak, mereka masih mengejarku dengan penuh nafsu.
Sedetik kemudian aku langsung bergidik ngeri.
Oh, tidak! Satpam, polisi, atau
siapapun, tolong aku! Aku harus berlari ke mana lagi sekarang? Tiba-tiba satu
ide melintas cepat di otakku. Dengan cepat kucegat taksi yang melintas di jalan
dan masuk ke dalamnya. Aku menoleh ke belakang, melihat yeoja-yeoja gila yang sudah menyerah untuk mengejarku. Astaga, aku
baru tahu ada fans segila mereka.
Fuuuhh… Akhirnya aku bisa bernapas lega sekarang.
“Kita ke mana, Tuan?” tanya si
supir taksi yang hampir saja kuabaikan.
“Ke SM,” jawabku singkat. Saat ini
hanya SM Entertainment yang menjadi satu-satunya tempat yang paling aman
untukku.
~***~
“Dikejar Clouds––fans-mu––lagi, Hyung?” tanya Ryeowook saat kulangkahkan kakiku masuk ke dalam
gedung SM.
“Menurutmu? Kenapa ada fans segila mereka? Bahkan fans-ku yang lain masih banyak yang
lebih waras,” kataku masih menyimpan suasana hati yang buruk.
Bisa kudengar Ryeowook terkekeh
geli di sampingku. “Harusnya kau bersyukur masih punya fans, Hyung.”
“Tapi tidak segila mereka.”
Dengan cepat kutekan tombol lift.
Kemudian pintu lift terbuka dan kami langsung masuk ke dalamnya. Jari telunjukku
langsung menekan tombol berangka lima.
“Bagaimana dengan album barumu, Hyung? Kapan akan dirilis?” tanya
Ryeowook membuka obrolan.
Aku hanya mengendikkan bahuku acuh.
“Entahlah.”
TING!
Kulirik deretan angka-angka yang
ada di sampingku. Baru lantai dua. Lalu seorang yeoja masuk ke dalam lift dan menekan angka satu. Awalnya aku tidak
peduli dengan yeoja ini, tapi setelah
kuperhatikan baik-baik, aku langsung teringat pada satu nama.
Ini tidak salah lagi. Dia pasti yeoja yang kutunggu-tunggu selama
beberapa tahun terakhir. Dia pasti…
“Soon Hee?” panggilku pelan dengan
masih menatapnya dengan tatapan tak percaya, mengabaikan pandangan bingung yang
Ryeowook tujukan padaku.
“Ne?” Dia menoleh ke arahku. Lalu senyumnya mengembang, senyum yang
sangat kurindukan. “Ah, Jong Woon. Kukira kau sudah tidak mengingatku lagi,”
katanya riang seraya memukul lenganku pelan.
Aah, ternyata dia masih saja
seperti dulu––bodoh. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya?
“Kau… Kapan kau kembali ke Seoul?”
tanyaku masih dalam keterkejutanku.
“Dua hari yang lalu,” jawabnya
tanpa menghapus senyumannya sedikit pun. “Bagaimana kabarmu sekarang? Wah, kau
sudah jadi penyanyi terkenal sekarang,” katanya lagi.
“Tidak baik,” jawabku seadanya.
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku tanpa bisa kusaring terlebih
dahulu.
“Mwo?” tanyanya tak mengerti.
TING!
“Hyung, kita sudah sampai,” ujar Ryeowook sambil menyikut lenganku,
membuatku kembali tersadar.
Dengan terpaksa kulangkahkan kakiku
keluar dari lift mengikuti langkah Ryeowook. Tapi… Aku masih merindukannya. Aku
masih ingin bicara dengannya. Tidak, aku tidak bisa. Aku tidak bisa
melepaskannya lagi.
“Hyung! Kau mau ke mana?” seru Ryeowook ketika melihatku berlari dan
langsung masuk ke dalam lift sebelum pintunya benar-benar tertutup.
Kulihat wajah Soon Hee yang
mendadak pucat, terkejut dengan apa yang baru saja kulakukan.
“Yak! Kau mau mati, hah? Pintunya
sudah hampir tertutup tadi! Kau gila, Jong Woon!” omelnya saat pintu lift
benar-benar tertutup.
Tapi tidak kuhiraukan semua
omelannya. Aku hanya memusatkan perhatianku pada wajahnya, menelusuri
lekuk-lekuk wajahnya yang sudah sedikit berbeda dari yang kuingat. Wajahnya
sudah terlihat lebih dewasa sekarang, tapi selebihnya masih tetap sama seperti
dulu.
“Aaah! Jong Woon! Kau
benar-benar––”
“I miss you,” bisikku sesaat setelah tubuhnya tertarik ke dalam
dekapanku, memotong ucapannya.
Bisa kurasakan tubuhnya menegang
saat kupeluk erat seperti ini. Kutumpahkan semua kerinduanku yang selama ini
kutahan dengan memeluknya, mencoba mengalirkan semuanya agar dia tahu betapa
aku merindukan sosoknya selama ini.
“Jong Woon…”
Ia sedikit memberontak, mencoba untuk
melepaskan pelukanku, tapi kutahan. Tolong, Soon Hee. Kali ini saja, tetaplah
di sini.
“Ke mana saja kau selama ini?”
“Amerika. Dan aku yakin aku sudah
bilang padamu.”
Perlahan kulepas pelukanku.
Menatapnya dalam, lalu mulai kembali bersuara. “Kau memberitahuku beberapa
menit sebelum keberangkatan! Kau membuatku gila!” kataku sambil memegang kedua
pundaknya kuat.
Dia hanya terkekeh.
“Kau tidak tahu betapa aku
merindukanmu, pabo!” bentakku kesal.
“Dan kenapa kau ada di sini?” tanyaku.
“Aku baru saja menemui Choi Siwon,”
jawabnya cuek. “Kau masih ingat dia? Ah, tentu saja kau ingat. Dia kan artis
juga di sini.”
TING!
Pintu lift terbuka. Dia segera
melangkahkan kakinya keluar dan berjalan keluar gedung.
“Siwon? Untuk apa kau menemuinya?”
tanyaku penuh selidik sambil menyamakan langkah kami.
“Bukan urusanmu,” jawabnya singkat.
“Jangan bilang kau…” kataku
menggantung.
Ia hanya melemparkan senyum jahil
dan membuka pintu mobilnya.
“Menurutmu bagaimana?” katanya
sebelum masuk ke dalam mobil.
Dengan cepat aku memutari mobilnya
dan langsung masuk begitu saja ke dalam mobil putihnya itu.
“Mwo? Hei! Kenapa kau masuk?” tanyanya terkejut saat mendapati aku
sudah duduk di sebelahnya. “Keluar!”
“Aku tidak akan keluar sebelum kau
menjawab pertanyaanku,” kataku, menunjukkan sifat keras kepalaku.
Ia menatapku jengah, lalu
menyalakan mesin dan menginjak gas. Ia menjalankan mobilnya entah ke mana. Lima
menit berlalu, tapi kami belum juga bersuara.
“Jawab pertanyaanku, Hee,” kataku
datar, memecah keheningan di antara kami.
“Pertanyaan yang mana?” tanyanya
datar, masih tidak menatapku. Ia terus saja memusatkan perhatiannya pada
jalanan yang ada di depannya.
“Jangan pura-pura bodoh di depanku,
Hee!” bentakku kesal. Aku sudah kehilangan kesabaran menghadapi gadis ini.
“Siwon?” tanyanya memastikan.
Aku mengangguk mantap. Ia hanya
tersenyum licik, tidak menjawab pertanyaanku sama sekali. Kemudian ia menepikan
mobilnya di tempat yang sepi. Ada apa ini? Kenapa berhenti di sini?
“Turun,” katanya singkat saat
mendapat tatapan penuh tanya dariku. “Turun, Jong Woon,” ulangnya lagi.
“Kau menurunkanku di sini?”
“Apa kata-kataku kurang jelas? Jong
Woon, turun sekarang juga,” katanya dingin. Ia memalingkan wajahnya dariku.
Hah, dia mau bersikap dingin padaku
kali ini? Oke, coba saja, Kim Soon Hee.
“Aniya.”
Dia menoleh cepat ke arahku,
menaikkan sebelah alisnya.
“Sudah kukatakan dengan jelas.
Tidak,” kataku lagi dengan penekanan pada kata ‘tidak’.
“Jong Woon!”
“Aku tidak mau turun, Soon Hee!”
tolakku.
Ia mendengus kesal. Lalu
memalingkan wajahnya ke depan, memandang jalanan dan melipat kedua tangannya di
depan dada.
“Aku tidak mau jadi bonekamu lagi,
Jong Woon,” katanya datar.
“Kau bukan bonekaku, Hee-ya. Dan
kau tidak pernah menjadi bonekaku,” sahutku yang sudah kehilangan kesabaran.
“Lalu yang kaulakukan beberapa
tahun lalu itu apa?”
“Itu…”
“Itu apa?” katanya menyerbuku yang
masih memutar otak.
“Itu… Aku memang salah waktu itu.
Tidak seharusnya aku bilang kau milikku.”
Dia terdiam, tidak lagi
menghujaniku dengan kata-katanya.
“Seharusnya yang kukatakan bukan
itu. Tapi…” Ucapanku menggantung. Kuraih kedua tangannya dan menggenggamnya
erat namun lembut. “Harusnya aku bilang aku mencintaimu, Soon Hee,” lanjutku,
menatap kedua bola matanya dalam.
Mata coklatnya menatapku,
menunjukkan keterkejutannya.
“Aku mencintaimu, Soon Hee. Sejak
dulu sampai sekarang perasaanku masih sama,” kataku lagi sambil menatapnya
lekat-lekat.
“Begitu?”
Apa? Aku sudah mengatakannya dengan
sepenuh hati, tapi responnya hanya sebatas itu? Sabar, Jong Woon… Sabar… Demi
cinta, aku akan bersabar menghadapi yeoja
ini.
“Benar,” jawabku. “Kau sama sekali
bukan milikku, tapi yang memilikiku. Kau memiliki hatiku.”
Ia terkekeh. “That’s so romantic, Mr Kim,” katanya jahil, membuatku ingin sekali
memukul kepalanya. “Dan… Oh! Masalah Siwon,” katanya menggantung.
Tatapanku padanya langsung berubah
menjadi penuh selidik mendengar nama Siwon. Tanpa sadar aku menatapnya terlalu
tajam, menunggunya untuk melanjutkan ucapannya.
“He’s my cousin. Just it,” lanjutnya.
Hah, Soon Hee… Jadi selama ini…
Tertawa saja kalau kau ingin tertawa, Hee. Tertawakan saja kebodohanku selama
ini karena sudah cemburu pada namja
itu.
“Dan aku tidak mungkin akan menikah
dengan sepupuku sendiri,” katanya lagi, secara tidak langsung menyindirku yang
sempat berpikir kalau mereka memiliki hubungan khusus.
“Bagus,” gumamku puas sekaligus
lega.
“Apa?” katanya sembari menoleh
cepat padaku.
“Hei, hei… Apa yang kau lakukan?”
tanyanya panik saat menyadari wajahku sedang mendekat pada wajahnya. “YA! Stop it!” serunya seraya memukul dadaku
keras sekali, hingga tubuhku terdorong ke belakang dan kepalaku membentur kaca
mobil dengan sempurna. Bagus sekali.
“Aissh! Sakit, Hee…” ringisku.
“Ah, jinjja… Kau, Jong Woon… Kau sama sekali tidak berubah,” katanya
kesal sambil melipat tangan di depan dada. “Masih saja suka mencuri ciumanku.”
Hahaha, lihat. Dia lucu sekali. Aku
terkekeh melihat tingkahnya yang masih seperti anak-anak. Aku keluar dari mobil
dan memutar ke sisi pengemudi. Kubuka pintu mobilnya dan mendapati dirinya
sedang menatapku bingung.
“Jong Woon, what are you doing?” tanyanya bingung.
“Turun,” kataku singkat.
Dia hanya menaikkan sebelah
alisnya, masih menatapku bingung sekaligus menginterupsi. Ya ya ya, aku
mengerti. Mana ada penumpang yang menurunkan si pemilik mobil seperti ini.
“Turun, Hee,” kataku lagi seraya
menarik tangannya agar dia mau keluar. Dan ternyata tidak sulit, ia menurut dan
mau keluar dari mobil. Kutuntun dia ke sisi penumpang dan menyuruhnya duduk di
sana, sedangkan aku duduk di sisi penumpang dan siap menancap gas.
“Y-ya, Jong Woon… Apa yang kau
lakukan? Kau mau membawaku ke mana?” tanyanya panik.
Aku hanya tersenyum kecil,
menatapnya sekilas, lalu memusatkan perhatianku pada jalanan di depan selama
menyetir.
“Jong Woon! Kita mau ke mana?”
tanyanya lagi.
“Ke rumahmu,” jawabku singkat.
“Mwo? Rumahku?” tanyanya yang hanya kurespon dengan anggukan. “For what?” tanyanya lagi dengan tatapan
curiga.
“Tentu saja untuk melamarmu,
memangnya apa lagi?” jawabku santai. “Atau kau mau langsung ke gereja dan
menikah denganku sekarang juga?” tanyaku jahil. “Kalau itu maumu, kita ke
gereja sekarang.”
“YAK! KIM JONG WOON! KAU SUDAH
GILA!”
-END-
Fuuh… Akhirnya selesai juga nih FF.
Ayo, ditunggu comment-nya. Jelek, bagus, gaje? Jangan jadi silent reader ya. Bagi
silent reader, jangan harap hidup Anda bisa terbebas dari rasa penyesalan
*widiiih horror* Hahaha, becanda doang :D Makasih udah baca :)