Title : I’ll Marry You, Kim Jong Woon (Sequel of My Last Dream)
Author : Ifa Raneza
Cast : Yesung (Kim Jong Woon), Kim Soon Hee (OC)
Genre : Romance,
Humor(?)
Well, inilah sequel buat My Last Dream. Masih
pada ingatkah? Btw, makasih banget loh buat respon positifnya kemaren :D Okelah,
langsung aja dibaca ya..
Happy reading ^^
***
“Pagi, Ahjumma!”
sapa seorang namja dengan senyuman
khasnya saat wanita paruh baya itu membukakan pintu untuknya.
“Yaak, kau ini aneh sekali! Kenapa masih memanggilku Ahjumma? Bukankah sebentar lagi kau akan
menjadi menantuku?” tanya wanita paruh baya itu seraya menarik lengan baju namja itu agar mengikuti langkahnya ke
ruang tengah.
“Ommonim, mana
Soon Hee?” tanyanya saat tidak menemukan sosok yang dicarinya di ruangan itu.
Wanita paruh baya itu mendecak kesal. “Kau seperti tidak
tahu saja. Anak itu kalau sudah tidur, seperti mayat! Susah sekali dibangunkan,”
ujarnya kesal, membuat namja itu
terkekeh pelan.
“Arraseo, biar
aku yang membangunkannya.”
***
(Jong Woon POV)
“Selamat pag-–”
BUK!
Belum sempat kuselesaikan ucapanku, sebuah bantal sudah
mendarat dengan sempurna di wajahku. Bagus sekali. Sepertinya wajah tampanku
kini sudah sedikit ternoda karena bantal penuh iler itu.
“Kau berisik sekali. Jangan ganggu aku!” sungutnya seraya
membenamkan wajahnya kembali ke bantal, melanjutkan mimpi yang sempat terganggu.
“Yaak… Kim Soon Hee, mau sampai kapan kau tidur, hah? Kau
tidak lihat matahari sudah tinggi?” tanyaku seraya duduk di sisi tempat tidur,
mencoba membangunkan yeoja pemalas
ini.
“Aku mohon.. Biarkan aku tidur sebentar lagi saja,”
gumamnya tanpa membuka matanya sedikit pun.
“Cepat bangun,” kataku sambil mengguncang pelan bahunya.
“Ommaaaa…”
“Yaak, apa aku terlihat seperti omma-mu?” tanyaku kesal.
Bisa-bisanya dia menyamakanku dengan ibunya. Apa dia
tidak melihat wajah tampanku ini, heh? Sejak kapan wajah ibunya bisa setampan wajahku?
“Soon Hee-ah.. Ppali
ireona,” kataku lagi sambil mendekatkan wajahku pada wajahnya.
Sedikit lagi bibir kami akan saling menyentuh dan aku
akan mendapatkan morning kiss-ku
kalau saja yeoja pemalas ini tidak
bangun dan memukul hidungku dengan ganas.
“Aauuw!” ringisku kesakitan sambil memegangi hidungku
yang sepertinya sudah memerah.
“Yaak, Mr Kim! Berhenti mencuri ciumanku!” serunya dengan
mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajahku.
Aku hanya bisa membulatkan mataku saat mendapatkan
perlakuannya yang bisa terbilang ganas ini.
“Yaak, kau mau membunuhku, heh? Aaissh…” ucapku terpotong
karena harus meringis saat hidungku kembali berdenyut.
Aku berani bersumpah, rasanya sangat sakit. Dari mana dia
mendapatkan ilmu meninju wajah orang seperti ini?
“Sudah cukup melemparku dengan bantal penuh ilermu itu,
jangan membuat ketampananku pudar dengan pukulan mautmu itu!” sungutku seraya
beranjak dari tempat tidurnya dan sibuk memerhatikan pantulan wajahku di
cermin.
Tampak yeoja
itu memutar kedua bola matanya malas dan bangkit dari tempat tidurnya, lalu
berjalan masuk ke kamar mandi yang berada di sudut kamar.
“Aku mandi dulu!” ujarnya sebelum pintu kamar mandi
benar-benar tertutup.
“Kau mau kutemani?” tanyaku jahil.
“Coba saja kalau kau berani. Dan setelah itu Clouds akan
berduka cita karena Yesung mereka telah tiada,” sahutnya dari dalam kamar
mandi.
Saat itu juga aku langsung bergidik ngeri. Aku menelan
ludahku dengan susah payah dan bergumam, “Wanita macam apa dia…”
***
“Kita mau ke mana?” tanyanya saat mobilku mulai melaju di
tengah jalan raya.
“Menurutmu? Tempat apa yang tepat untuk kita tuju saat
ini?” kataku balik bertanya, mencoba membuatnya berpikir dan menemukan
jawabannya sendiri.
Dia menempelkan jari telunjuk pada dagunya, tampak ia
sedang berpikir keras. Tapi setelahnya ia langsung menggeleng dan dengan wajah
polos ia kembali bertanya, “Memangnya ke mana?”
“Aiish… Kapan kau bisa menjadi yeoja pintar, Mrs Kim?” kataku dengan sedikit terkekeh dan mengacak
rambutnya sepintas.
Bibirnya mengerucut dan menatapku kesal. Lalu tangannya
tergerak untuk merapikan rambutnya yang sempat kuacak. Aku kembali terkekeh
pelan saat melihatnya dengan kesal merapikan potongan rambut panjangnya sambil
memerhatikan pantulan wajahnya di cermin kecil yang memang selalu dibawanya ke
mana-mana.
Ternyata seperti ini yeoja
yang akan kunikahi itu. Manis, lucu, cantik, dan pintar. Ah, tidak! Untuk
beberapa hal dia berubah menjadi yeoja
bodoh. Ya ya ya…
“Kau kenapa?” tanyanya sambil menatapku bingung.
Mendengar ucapannya, aku langsung tersentak dari
lamunanku. Tanpa sadar aku mengangguk-anggukkan kepalaku saat memikirkan
hal-hal tadi.
Aku menggeleng cepat. “Aniya…”
“Dasar aneh,” gumamnya dan kembali menyibukkan diri
dengan mengamati pantulan wajahnya pada cermin.
“Kau sudah cantik, Hee-ah,” kataku tanpa menoleh padanya.
“Berhenti menggombal,” ujarnya dengan nada yang masih
sama, kesal.
“Aku tidak gombal. Aku serius. Neomu yeoppeo,” sahutku.
“Ya ya ya… Aku ini memang cantik,” ujarnya bangga.
Sepertinya dia sedikit tertular sifat narsisku.
“Ne, benar.
Bukankah kita pasangan yang serasi? Kau cantik dan aku tampan.”
“Yaak, berhenti membangga-banggakan dirimu! Kau membuatku
mual!”
“Mual?” ucapku dengan nada terkejut yang dibuat-buat.
“Tapi kita kan belum melakukan apapun. Kenapa kau bisa mual?”
“Heh? Maksudmu apa?” tanyanya pelan dengan wajah polos
yang terlihat bodoh di mataku.
Aku hanya tersenyum kecil dan kembali memfokuskan
pandanganku ke jalanan yang ada di depan. Sementara dia hanya terdiam,
memikirkan arti ucapanku tadi. Kugeleng-gelengkan kepalaku pelan melihat
tingkahnya yang seperti anak kecil. Ayolah, berapa umurnya sekarang? Kenapa
masih saja berpikir lama dan tidak mengerti maksud ucapanku. Itu sederhana,
kan?
“Yaak! Dasar mesum!” serunya, membuat aku sedikit
tersentak kaget.
“Sudah mengerti, ya?” tanyaku dengan diiringi kekehan
kecil.
“Issh…” desisnya seraya menyilangkan kedua tangannya di
depan dada, seakan membuat perisai agar aku tidak dapat menganggunya. “Awas
kalau kau berani menyentuhku!”
“Haaah… Aku tidak sabar untuk segera menjadi nampyeon-mu,” ujarku sambil tersenyum
malu pada akhir kalimat. Ya, bukankah sebentar lagi aku akan menjadi seorang
suami? Aah… Aku sudah tidak sabar.
“Bahkan saat kau sudah jadi suamiku pun jangan harap kau
bisa menyentuhku SEDIKIT PUN.”
“Wae?” tanyaku
kaget mendengar ucapannya dengan pandanganku yang sudah beralih padanya. Mataku
membulat lebar saat dia mengatakan itu. Istri macam apa yang melarang suaminya
untuk menyentuhnya?
Dia tidak menjawab, hanya memain-mainkan cermin kecil
yang tadi ia gunakan untuk memerhatikan pantulan dirinya, mulai bersikap acuh
tak acuh padaku.
“Kau tidak mau melihat anak kita? Jong Woon kecil? Kau
mau membuatku merana?” tanyaku bertubi-tubi dengan nada memelas, persis seperti
suami yang tidak diberi makan tiga bulan.
“Yak yak yak! Hentikan itu! Kau membuatku terdengar
seperti istri yang buruk,” katanya sambil memanyunkan bibirnya.
“Karena itu,” ucapku menggantung. “Layani suamimu dengan
baik. Maka kau akan jadi istri yang baik,” lanjutku yang membuatnya menatapku
dan tidak mengeluarkan suaranya sedikitpun.
Aku hanya tersenyum sambil memerhatikan jalanan di
depanku. Sepertinya dia sudah mengerti dengan kata-kataku barusan. Dia pasti
akan menjadi istri yang baik, kan?
“Hahahaa…”
Sontak aku menoleh padanya yang sudah tertawa
terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya yang mungkin sudah terasa sakit.
“Wae?”
“Tumben sekali kau bisa mengatakan hal yang… yang… Ah,
sudahlah! Hahaha…” ujarnya sambil terus tertawa dan tidak memedulikan tatapan
horror yang kulemparkan padanya.
“Yaak… Hentikan,” sungutku kesal.
Dia semakin mengencangkan suara tawanya, membuat hatiku
semakin dongkol. Apa dia tidak mengerti juga? Sebentar lagi kan aku akan
menjadi suaminya. Aku juga ingin menjadi suami-suami lain yang bisa bersikap
bijaksana, bukan seperti Kim Jong Woon yang kekanakan yang selama ini
dikenalnya. Hhh… Kapan yeoja ini bisa
bersikap serius padaku?
“Yap! Kita sampai,” ujarku setelah menepikan mobil di
depan sebuah toko gaun pengantin yang terlihat mewah.
Soon Hee tidak segera keluar dari mobil. Ia memandangi
bangunan itu dengan tatapan bingungnya. Seolah tidak menyangka aku akan
membawanya ke tempat ini.
“Kenapa? Ayo, turun,” ujarku sambil melepaskan seat belt dan keluar dari mobil.
“Kau tidak bilang kita akan pergi ke sini,” katanya
sambil melangkah masuk ke dalam bangunan itu, mengikuti langkahku dari
belakang.
Aku hanya menanggapi ucapannya dengan tersenyum seperti
biasa. Kugandeng sebelah tangannya saat kami masuk ke dalam toko itu. Kulihat
ada beberapa pelayan yang menyambut kedatangan kami dan salah seorang di
antaranya menghampiri kami.
“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya ramah.
“Tolong bantu dia mencari gaun pengantin,” jawabku tanpa
menghapus lengkungan di bibirku sesenti pun.
“Wah, Agassi
akan segera menikah?” tanyanya yang hanya Soon Hee jawab dengan anggukan. Kedua
pipinya merona merah saat pelayan itu menanyakan hal itu padanya. “Anda
beruntung memiliki kakak yang baik seperti Tuan ini, Agassi. Mau mengurus acara pernikahan adiknya sendiri,” ujar
pelayan itu lagi, membuat senyumku langsung menghilang begitu saja.
Kudengar Soon Hee terkikik geli saat mendengar ucapan
pelayan itu. Kenapa orang-orang di sekitarku mendadak jadi bodoh begini?
“Yaa, dia bukan adikku. Dia calon istriku,” kataku pelan
sambil memasang raut wajah cemberut.
“Ah, ne? Mianhae… mianhae… Saya tidak tahu. Mari
ikut saya, Agassi,” katanya seraya
menuntun Soon Hee untuk mengikuti langkahnya ke sebuah sudut di mana banyak
terdapat gaun-gaun pengantin yang kurasa cukup mewah.
Perlahan tanganku tergerak untuk menyentuh pipiku
sendiri. Lama aku terdiam, sampai akhirnya muncul sebuah pertanyaan konyol di
otakku. ‘Apa wajah kami memang seperti kakak-adik?’
***
“Jong Woon.”
Aku mengalihkan tatapanku dari majalah yang sejak lima
belas menit lalu kubaca untuk mengusir rasa bosan selama menunggu calon istriku
itu menemukan gaun yang cocok untuknya. Kuperhatikan yeoja yang berdiri tak jauh dariku dengan balutan gaun putih di
tubuhnya. Aku hanya bisa memandangnya takjub dari atas kepala sampai ke kaki,
lalu kembali lagi ke atas kepalanya.
“Jong Woon,” panggilnya lagi, membuat kesadaranku yang
sudah melayang ke mana-mana kembali. “Bagaimana?” tanyanya dengan raut wajah
khawatir menunggu jawabanku.
“Cantik…” gumamku pelan, namun masih terjangkau oleh
telinganya, efek dari kekagumanku akan sosoknya saat ini.
Dia tersipu malu dengan kedua pipinya yang lagi-lagi
merona merah. Aissh… lucu sekali dia.
“Jinjja?”
tanyanya memastikan yang hanya kujawab dengan anggukan.
Dia tersenyum puas, lalu berjalan masuk kembali ke dalam
ruang ganti untuk mengganti gaun yang sedang ia kenakan dengan dress biru laut yang ia kenakan
sebelumnya. Sedangkan aku? Aku hanya berdiri terpaku sambil menatapnya yang masuk
ke dalam ruang ganti dengan rasa kagum. Kim Jong Woon, ternyata kau tidak salah
memilih wanita.
“Anda tidak mau mencoba tuxedo-nya, Tuan?” tanya seorang pelayan yang entah sejak kapan
berdiri di dekatku.
“Ah, ne?”
“Anda tidak mau mencoba tuxedo-nya?” katanya mengulangi pertanyaan yang sama.
“Ah, iya. Hampir saja aku lupa.”
“Mari ikut dengan saya,” ujar pelayan itu ramah seraya
menuntunku ke sebuah sudut.
Di sana banyak sekali tuxedo
yang dipajang di tubuh patung, membuatku kebingungan untuk memilih tuxedo mana yang cocok untuk kukenakan
pada pesta pernikahanku nanti. Semuanya bagus dan terkesan mewah. Kepalaku
hampir pusing memikirkannya. Ternyata mengurus acara pernikahan itu tidak
semudah yang kupikirkan. Aku baru disuruh memilih tuxedo, tapi kepalaku sudah pusing seperti ini..
“Anda ingin memilih tuxedo
yang mana, Tuan?” tanya pelayan itu, membuatku tersadar kembali.
Aku menggeleng. “Aku masih bingung,” ucapku sambil
memamerkan cengiran kuda.
“Anda ingin saya rekomendasikan tuxedo yang cocok dengan gaun pengantin calon istri Anda?” tanyanya
dengan nada bicara yang lagi-lagi ramah.
“Ne?”
Pelayan itu masuk ke sebuah ruangan dan tak berapa lama
kemudian, ia keluar dengan sebuah tuxedo
putih dengan aksen emas di sekitar kerah bajunya.
“Ini tuxedo
yang didesain oleh perancang yang mendesain gaun pengantin calon istri Anda,”
ujarnya.
“Ini bagus. Aku pilih yang ini saja.”
***
“Kenapa membawaku ke sini?” tanyanya sambil menatapku
bingung saat kami tiba di apartemenku.
“Aku hanya ingin beristirahat,” jawabku seadanya seraya
menghempaskan tubuhku di atas sofa.
Aah… Rasanya tulang-tulangku hampir remuk. Dari pagi
sampai siang mengurus acara pernikahan seperti mencari gaun pengantin,
undangan, tempat resepsi, sampai ke cincin pernikahan. Semuanya dilakukan
sekaligus dalam sehari dan itu membuatku lelah setengah mati.
“Tapi kenapa harus di apartemenmu?” tanyanya sambil ikut
menjatuhkan diri di atas sofa. Tampak sekali dari wajahnya dia sudah mulai
bosan karena seharian ini menemaniku mengurus acara pernikahan yang hanya
terhitung tiga minggu dari sekarang.
“Tenanglah, aku masih waras. Aku tidak akan berbuat yang
macam-macam padamu,” ujarku malas sambil memejamkan mataku.
“Aku tidak berbicara begitu,” ujarnya seraya mengambil
sebuah majalah dan membacanya.
“Hee…”
“Hm?”
“Buatkan aku teh,” pintaku dengan nada malas karena
terlalu lelah untuk mengatur nada bicaraku.
“Arra…” katanya
seraya bangkit dan berjalan ke dapur.
“Hee…”
“Ne?”
“Ambilkan biskuit juga,” kataku lagi.
“Yaak, kau pikir aku ini pembantumu?!” serunya dari dalam
dapur, namun tetap terdengar sangat jelas di telingaku.
Tak lama kemudian dia datang dengan membawa secangkir teh
hangat dan setoples biskuit cokelat. Aku bangkit dan segera melahap biskuit
yang dibawanya. Ia hanya bisa memandangku dengan tatapan heran karena makanku
yang tidak biasa ini. Aku benar-benar lapar.
“Kau lapar?” tanyanya seraya duduk di sebelahku.
Aku hanya mengangguk dengan mulut penuh biskuit.
“Kau mau membuatkanku makanan?” tanyaku dengan nada
bicara meminta.
Namun respon yang kudapatkan hanyalah tatapan mematikan
darinya.
“Kau pikir aku pembantumu?” tanyanya sambil memicingkan
matanya dan menatapku sadis.
“Andwae,”
sanggahku cepat. “Hanya saja… Sebentar lagi kan kau menjadi istriku, jadi apa
salahnya kalau kita membiasakan diri?” kataku ragu.
Dia terdiam sejenak. Lalu pandangannya kembali tertuju
padaku dan kepalanya dianggukkan sekali, membuat senyumku saat itu juga
mengembang.
“Arraseo…”
ucapnya pelan.
“Anak pintar,” kataku seraya menepuk sayang puncak
kepalanya. “Jadilah istri yang baik,” kataku lagi sambil mendaratkan ciuman ke
dahinya.
Ting… Tong…!
Aku menggerutu kesal dan dengan enggan melepaskan
rangkulanku pada Soon Hee. Aissh… Siapa yang berani mengganggu momen baik ini?
Masih dengan perasaan yang dongkol, kulangkahkan kakiku ke pintu depan dan
membukakan pintu.
“Hyungiee~”
Ryeowook langsung menghambur ke arahku dan tanpa
kupersilahkan dia sudah melangkah masuk ke dalam apartemenku. Aku hanya bisa
menggerutu kesal saat menutup pintu dan melangkah masuk, menyusul langkahnya ke
ruang tengah.
“Wah, ada noona
juga. Annyeong, Noona!” sapanya manis
pada Soon Hee yang sedang membaca majalah.
“Ada apa datang kemari?” tanyaku langsung sambil
menjatuhkan diri ke samping Soon Hee.
“Aiisshh… Hyung,
mentang-mentang kau akan menikah, lantas kau jadi sombong begini padaku?”
katanya pura-pura sedih dan membuat Soon Hee terkekeh pelan saat melihatnya.
“Langsung saja, ada apa kau kemari?” tanyaku lagi.
“Hyung, kau
ingat konferensi pers seminggu yang lalu yang membahas tentang rencana
pernikahanmu?” tanyanya serius, membuat Soon Hee meletakkan majalah yang sedang
dibacanya ke meja dan mulai memerhatikan arah bicara Ryeowook.
Kunaikkan sebelah alisku, bingung. “Lalu?”
“Kau sudah mengecek mention
twittermu?” tanyanya lagi yang membuatku semakin tidak mengerti.
Aku menggeleng pelan.
“Hyung! Apa kau
tahu karena berita itu Clouds menjadi marah?? Clouds mengamuk!!” seru Ryeowook
yang langsung membuatku dan Soon Hee terlonjak kaget.
“M..mwo? Mengamuk?”
tanyaku tak percaya dengan kedua mataku yang sudah membulat lebar.
Ryeowook mengangguk. “Kau tidak akan bisa membayangkan
bagaimana Clouds menyerbu kalian,” ujarnya menakuti-nakuti kami dengan tampang
horror yang dibuat-buat dan pada akhirnya malah terlihat begitu konyol.
“Tapi kau tahu kan keputusanku? Mana mungkin aku
membatalkan rencana pernikahanku hanya karena alasan konyol seperti itu,”
ujarku frustasi sambil memundurkan tubuhku hingga punggungku menyentuh sandaran
sofa.
Namja itu mengendikkan bahunya. “Nan molla. Tapi kalau kau mau kehidupanmu baik-baik saja, kau harus
meyakinkan mereka tentang keputusanmu itu,” ujarnya bijaksana seraya bangkit
dari duduknya dan melangkah keluar dari apartemenku. “Aku pergi dulu, Hyung. Annyeong, Noona,” pamitnya.
Sepeninggalan Ryeowook, aku dan Soon Hee sama-sama
terhanyut dalam diam. Hanya suara helaan nafas panjang dan lelah kamilah yang
menghiasi ruangan ini. Kulihat yeoja
itu juga sama bingungnya denganku. Aku tahu, semarah-marahnya Clouds, pasti
dialah yang akan menjadi sasaran mereka karena ‘Yesung mereka’ akan segera
menikah.
“Jadi… bagaimana?” tanyanya kemudian. Ia memandangku
frustasi dengan kepalanya yang ia topang pada tangan kirinya.
Aku hanya menghela nafasku panjang dan mengacak rambutku
dengan kasar.
“Tenanglah. Kau akan aman bersamaku.”
***
“Hei, sudah jam berapa ini??!!”
Terdengar suara teriakan tepat di telingaku, membuatku
langsung membuka mata dan mengubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Dengan
kesadaran yang belum sepenuhnya terkumpul, aku celingukan, bertanya-tanya apa
yang terjadi.
“Kenapa? Ada apa??” tanyaku ikut panik saat melihat wajah
Soon Hee yang juga mendadak panik.
“Kau lihat ini sudah jam berapa! Kenapa kau malah tidur,
hah?!” omelnya sambil menunjukkan jam tangannya padaku, lalu mengacak rambutnya
frustasi.
Aku mengerjap-ngerjapkan mataku, mencoba memfokuskan
pandangan agar bisa melihat dengan jelas sudah pukul berapa sekarang. Pukul
enam sore.
“Lalu?” tanyaku masih dengan wajah tak berdosa.
Dia membulatkan kedua matanya dan menatapku tak habis
pikir.
“YA! Sudah berapa lama kau mengurungku di sini? Antar aku
pulang!” serunya lagi seraya bangkit dan mengambil tasnya.
“Arra… arra. Aku
mau mandi dulu,” ujarku seraya melangkah ke arah kamar mandi.
Dengan cepat ia menarik kerah bajuku dari belakang dan
tanpa belas kasihan ia menarik––lebih tepatnya menyeretku keluar dari
apartemen.
“Tidak ada waktu lagi, ayo antar aku pulang!”
Dengan bibir yang dimanyunkan aku pun mengikuti langkahnya
setelah menyambar kunci mobil yang tergeletak di meja TV.
Diam. Tidak ada yang kami bicarakan selama berada di
lift. Baik dia maupun aku tidak mengeluarkan suara sedikitpun untuk memulai
obrolan. Kulirik yeoja yang sebentar
lagi akan menjadi anae-ku itu, dia
cuek sekali. Dia hanya menekan-nekan tombol ponselnya sambil mendengarkan musik
lewat headset. Sepertinya dia sedang
mengirim sms. Aku hanya menghela nafas melihatnya. Dia tidak memedulikanku sama
sekali. Jahat sekali dia. Kenapa nasibku jadi begini?
“Setidaknya kau membiarkanku mandi dulu,” kataku pelan
sambil mengetuk-ngetukkan kakiku ke lantai. Pandanganku masih tertuju pada
lantai yang kupijak dan bibirku masih manyun, walau tidak semanyun tadi. “Apa
kau tidak malu melihat calon suamimu yang tampan ini kehilangan ketampanannya
karena bau?” kataku lagi sambil tersenyum malu. Tersenyum malu karena sudah
menyebutkan ketampananku. Kkkk…
“Bagaimana kalau kita bertemu dengan temanmu di jalan?
Apa kau tidak malu memperkenalkan calon suamimu yang belum mandi ini? Atau yang
lebih parah, bagaimana kalau kita bertemu fansku?” kataku lagi yang tidak ia
gubris sama sekali.
Aneh. Kenapa dia tidak menggubris omonganku? Biasanya dia
akan menyela saat aku mengatakan keistimewaan yang ada pada diriku. Penasaran,
kutolehkan kepalaku padanya. Kulihat dia sedang memerhatikan ponselnya sambil
tersenyum malu. Kenapa? Apa karena ucapanku barusan?
“Kau kenapa?” tanyaku yang lagi-lagi tidak ia gubris.
Lalu tatapanku beralih pada benda yang masih menyumpal
telinganya. Akh, aku lupa! Dia masih memakai headset! Pantas saja dia tidak memedulikan semua ucapanku.
“Yaak! Jadi daritadi kau tidak mendengarkanku, haah??!!”
seruku kesal sambil menarik headset-nya
dengan kasar.
Dia tersentak dan langsung memasang raut wajah kesal, tak
lupa dia juga memasang tatapan horror di matanya dan melemparkannya padaku.
“Kau ini mengganggu saja!” serunya sambil mengangkat
sebelah kakinya dan mendaratkannya dengan keras di kaki kananku.
“AARRGGHH!!!” teriakku saat kurasakan kakiku seperti
ditusuk oleh sesuatu.
Kualihkan pandanganku pada kakiku yang diinjaknya.
Sepertinya kakiku akan bengkak, karena ternyata dia sedang mengenakan sepatu
high heels. Yah, memang tingginya tidak seberapa. Tapi ujung heels-nya bisa
terbilang sedikit meruncing.
“Yaak, appeu!!”
teriakku padanya yang hanya memandangku enteng dengan senyuman kemenangan yang
menghiasi bibir tipisnya.
“Mianhae,”
ucapnya pelan sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengah sehingga terlihat
seperti tanda ‘peace’. Tapi nada bicaranya masih seringan tadi, membuatku tidak
yakin apa dia benar-benar sedang meminta maaf padaku.
Aiisshh… Yeoja
macam apa dia?
TING!
Pintu lift terbuka dan tanpa menungguku, gadis
menyebalkan itu keluar dari lift. Dengan susah payah karena kakiku yang masih
terasa berdenyut, kulangkahkan kakiku menyusul langkahnya dari belakang.
“Yaak, tunggu aku!” ujarku kesal sambil berjalan dengan
langkah yang sedikit pincang.
Masih menggerutu, aku berjalan menyusul langkahnya yang
bisa terbilang lebar untuk ukuran yeoja
yang memiliki badan semungil dia. Tapi tiba-tiba langkahnya terhenti dan
tubuhnya sedikit menegang. Oke, ada apa lagi ini?
“Ada apa?” tanyaku setelah berdiri di sampingnya.
“Jong Woon…” ucapnya pelan dengan pandangannya yang sudah
beralih padaku.
Aku semakin bingung saat melihatnya yang menatapku dengan
matanya yang sudah membelalak. Seolah melihat sesuatu yang tidak biasa, seperti
melihat hantu atau UFO.
“Wae?” tanyaku
tak mengerti.
“Kenapa… Kenapa di luar banyak sekali orang?” tanyanya
sambil menunjuk ke arah luar gedung.
Kulihat di sana sudah banyak rombongan yeoja yang masing-masing memegang kertas
karton yang bertuliskan ‘Oppa, saranghae’, ‘Jebal jangan menikah’, atau ‘Jangan tinggalkan Clouds’.
Tunggu… Clouds? Kenapa mereka bisa tahu aku sedang ada di
sini???
“Itu fansmu, kan?” tanya Soon Hee memastikan.
Aku yang panik langsung bersembunyi di belakang
punggungnya. Setidaknya aku dulu yang harus berlindung, karena publik pasti
belum mengenali wajah Soon Hee. Jadi dia aman, dan dengan begitu aku bisa
berlindung padanya.
“Yaak, kenapa kau yang bersembunyi di belakangku, hah?
Harusnya kau yang menghadapi mereka duluan,” protesnya sambil menarik tanganku
agar kembali berdiri di depannya. Namun tenagaku yang lebih besar darinya membuatnya
tidak bisa menarikku dengan mudah.
“Ssst… Jangan sampai mereka melihatku. Kalau mereka
melihatku bersamamu, maka kau tidak akan selamat,” bisikku dengan tatapan dan
nada bicara horror yang dibuat-buat.
Dia menelan ludahnya dengan susah payah dan menganggukkan
kepalanya dengan kaku.
“Arra… arra.
Jadi kita keluar lewat mana? Mereka sudah mengerubungi pintu keluar,” tanyanya
khawatir, mungkin khawatir pada keselamatannya sendiri.
Aku memutar otakku, memikirkan jalan terbaik untuk bisa
keluar dari sini tanpa diketahui rombongan Clouds yang sudah memenuhi halaman
apartemen.
“Ah, aku tahu!” seruku saat menemukan ide yang err… bisa
dibilang cukup cemerlang.
“Apa?”
“Kemari,” kataku sambil menarik kepalanya agar mendekat
padaku dan membisikkan sesuatu padanya. “Bagaimana?” tanyaku saat aku sudah
selesai membisikkan ide bagusku itu padanya.
Dia memandangku ragu dengan sebelah alisnya yang
terangkat. “Kau yakin ini akan berhasil?” tanyanya.
“Ck.. Kau meragukan ide calon suamimu yang tampan ini,
huh?”
Dia memutar kedua bola matanya malas dan menarik tanganku
dengan tidak sabaran.
“Arraseo. Ayo
cepat keluar dari sini!”
***
“Aku pulang! Hhh… hh…” ujar Soon Hee saat kami memasuki
rumahnya dengan nafas yang masih memburu.
Bagaimana tidak? Sebagus apapun rencanaku untuk
mengelabui Clouds, fansku itu tetap mengenaliku dan akhirnya kami dikejar-kejar
Clouds bahkan sampai ke mobil. Aku masih tidak habis pikir, dari mana mereka
tahu kalau aku sedang ada di apartemen? Biasanya aku akan selalu selamat
keluar-masuk apartemen tanpa harus takut dicegat fansku itu. Sepertinya ada
yang tidak beres.
“Kau sudah pulang?” tanya sebuah suara yang berasal dari
ruang tengah. Suara namja, dan aku
sangat mengenali suara ini.
“Hhh… Kau… hh… di sini?” tanya Soon Hee dengan nafas yang
masih ngos-ngosan seraya menyeret kedua kakinya ke arah sofa dan menghempaskan
tubuhnya di sana.
“Kalian kenapa?” tanya namja itu dengan tampang tak berdosanya.
Aku dan Soon Hee sama-sama menggeleng, menolak untuk
segera menjawab. Kusambar botol air mineral––entah milik siapa––yang tergeletak
begitu saja di atas meja dan langsung meneguknya tanpa sisa.
“Yaak, kenapa dihabiskan?” protes Soon Hee saat melihat
botol air mineral itu sudah kosong melompong.
“Aku haus… hhh… sekali,” jawabku terputus-putus karena
nafasku yang belum berhembus secara normal.
“Ngg… Kalian… dikejar fansmu ya, Hyung?” tanyanya sambil tersenyum aneh.
Sontak aku dan Soon Hee langsung menatap namja itu dengan tatapan mematikan.
Sepertinya aku tahu ke mana arah pembicaraannya.
“Kenapa kau bisa tahu?” tanya Soon Hee dengan nada
rendah, membuat namja itu bergidik
ngeri dan keringat dingin mulai menuruni kulit putihnya.
“Ngg…” Namja
itu tampak menggaruk belakang kepalanya, persis seperti orang salah tingkah
atau… seperti pencuri yang tertangkap basah? Mungkin saja.
“Kau yang memberitahu mereka tentang keberadaanku?”
tanyaku sambil mencondongkan tubuhku ke arahnya.
Dengan wajah polos setengah ketakutan seperti anak kecil
yang bertemu dengan hantu, namja
tinggi itu menganggukkan kepalanya pelan.
“Yaak, Choi Siwon pabo!!”
seruku kesal sambil memukul kepalanya dengan botol mineral kosong yang
kupegang.
Siwon meringis pelan sambil mengusap kepalanya yang sudah
kupukul itu.
“Mianhae…”
ucapnya.
“Mianhae? Hanya
itu yang kau ucapkan? Apa kau tahu kami hampir mati dikejar-kejar fansku,
hah??!!” ujarku murka.
“Ampun, Hyung..
Aku dipaksa oleh Siwonest merangkap Clouds. Aku kasihan, jadi…”
“Kasihan?”
“Ne, bukankah namja tampan sepertiku harus bersikap
manis pada fansnya?” ucapnya malu-malu sambil menyatukan kedua jari
telunjuknya, membuatku langsung mual melihatnya.
Dasar namja
ini… Dia ini sebenarnya namja atau yeoja? Jangan-jangan dia adalah yeoja berotot. Kepribadiannya manis
sekali.
“Lalu apa gunanya otot-ototmu itu, heh??! Jangan-jangan semua
itu hanya untuk pajangan saja. Kau lembek sekali, seperti wanita!” omel Soon
Hee yang sedari tadi hanya bisa menatap sepupunya itu dengan tatapan mematikan
tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. “Sekali lagi kau membuat kami kerepotan,
kau akan MATI!” ujarnya lagi dengan tatapan yang sama, dan langsung membuat
Siwon menelan ludahnya dengan susah payah.
***
(Soon Hee POV)
“Sayangkuuu… Kau sudah datang?” sambutnya sambil
menghambur ke arahku dan memelukku dengan erat, seolah-olah kami baru bertemu
setelah sepuluh tahun berpisah.
Dan lagi, ada apa dengan nada bicaranya itu? Dia mau
bersikap sok aegyeo sekarang? Oh,
tidak. Jong Woon, jinjjayo… kau sama
sekali tidak cocok dengan sifat aegyeo.
“Yaak, lepaskan aku!” ujarku sambil meronta-ronta agar namja itu melepaskan pelukannya yang
hampir membuatku kehilangan nafas.
Namja itu melepaskan pelukannya, tapi kedua tangannya masih
melingkar di pinggangku. Dia tersenyum sekilas, lalu menciumi kedua pipiku
secara bertubi-tubi, membuatku lagi-lagi harus meronta-ronta agar dia
menghentikan aksi berlebihannya ini.
“Yak, yak… Hentikan!” seruku sambil mendorong tubuhnya
agar menjauh dariku.
“Wae, Soon Hee?
Bogoshippeo,” katanya lagi-lagi
dengan nada bicara yang sama––manja.
“Kau berlebihan sekali,” desisku sambil menggosok kedua
pipiku yang sudah hampir basah karena ciumannya.
Dia terkikik geli melihatku yang hampir mati kesal karena
make upku luntur akibat ulahnya itu. Kulirik dia dengan tatapan mematikanku.
“Wae?” tanyanya
dengan bibir yang dimanyunkan. “Tidak usah pakai make up pun kau sudah cantik,
Hee-ya,” ujarnya yang langsung membuat kedua pipiku merona merah.
Lagi-lagi dia terkekeh pelan melihat wajahku yang sudah
semerah tomat. Dasar namja ini…
“Jadi, untuk apa kau menyuruhku datang kemari?” tanyaku
langsung sambil mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Walaupun hanya back stage, tapi tempat ini mampu
membuatku berdecak kagum. Ternyata seperti ini kehidupan para artis?
“Tentu saja untuk menemaniku. Aku bosan di sini,”
jawabnya seraya menarik tanganku pelan agar mengikuti langkahnya ke arah sebuah
sofa dan menjatuhkan dirinya di sana.
“Just it?”
tanyaku lagi setelah duduk di sebelahnya.
Dia mengangguk, lalu beringsut mendekatiku dan
menggelanyut di lenganku. Dia mulai bersikap manja lagi sekarang. Apa jadinya
kalau aku sudah menjadi anae-nya?
Pasti sifat manjanya semakin menjadi-jadi.
“Kim Soon Hee, saranghae..”
ucapnya manja sambil membenamkan wajahnya pada lekukan leherku seperti anak
kucing yang sedang bermanja-manja dengan induknya.
Perlahan tubuhku sedikit membeku mendengar ucapannya.
Sebenarnya aku sudah terbiasa dengan sifat manja dan kata-katanya itu, karena
dia juga sering mengatakan bahwa dia mencintaiku, bahkan hampir setiap hari.
Tapi sekarang… Kenapa aku jadi sedikit ragu dengan kata-kata itu? Kenapa ada
sesuatu yang memberontak di dalam diriku mengingat hari pernikahan kami hanya
tinggal beberapa hari lagi? Dan… perasaan apa ini? Apa ini.. takut?
Nafasku rasanya sedikit sulit untuk kuhembuskan. Dan aku
pun sedikit kesulitan untuk menelan ludahku sendiri, atau hanya sekedar
mengeluarkan suara.
“Hee-ah, kau kenapa?” tanyanya dengan memandangku lekat.
“Jong Woon-ah…” ucapku pelan. “Sebenarnya.. ada yang
ingin kukatakan padamu.”
“Katakanlah,” katanya riang seraya melepaskan tangannya
dari lenganku dan mempersilahkanku untuk memulai kalimat yang terasa sangat
sulit untuk kuucapkan. Terlebih padanya yang sebentar lagi akan menjadi
suamiku. Dan itu…
“Hee? Kau ingin mengatakan apa padaku?” tanyanya dengan
menaikkan sebelah alisnya, bingung dengan kegugupanku.
“Aku…” ucapku terputus. Aku merasa tidak tega untuk
mengatakannya. “Tapi kau janji, ya. Jangan marah,” kataku lagi dengan nada
memohon padanya.
“Kenapa? Jangan-jangan kau selingkuh, ya?” tebaknya
dengan wajah yang mendadak berubah menjadi serius.
Aku menggeleng cepat. “Aniyo… Bukan itu.”
“Lalu?”
Kuhembuskan nafasku perlahan, mencoba mengumpulkan
keberanian untuk mengucapkan kalimatku yang mungkin bisa menyakitinya. Akhirnya
dengan keberanian yang terkumpul, kutatap matanya yang hitam gelap. Ya, Tuhan…
Bagaimana mungkin aku bisa menyakiti namja
ini?
“Aku… Mungkin aku bukan yeoja yang tepat untuk menjadi istrimu,” ujarku pada akhirnya.
Bisa kurasakan tubuhnya yang tiba-tiba menegang begitu
kuucapkan kalimatku itu. Sorot matanya berubah, jelas sekali ia terkejut dengan
apa yang kukatakan.
“M.. mwo?” ucapnya pelan dan lirih, hampir
seperti bisikan.
Kutundukkan kepalaku, tidak sanggup menatap matanya yang
membuatku semakin tidak tega untuk melanjutkan ucapanku.
“Maaf…”
“Kenapa? Kenapa kau tiba-tiba berubah pikiran, Soon Hee?”
tanyanya menuntut jawabanku. “Jawab, Soon Hee!” bentaknya sambil mengguncang
tubuhku saat tidak mendapatkan jawaban dariku.
“Takut…” gumamku. “Aku takut, Jong Woon,” lanjutku seraya
mengangkat wajahku, menatapnya.
Kini mata itu tak lagi bersinar seperti sebelumnya.
Matanya sudah tergenang oleh cairan bening bernama air mata yang sewaktu-waktu
bisa terjun begitu saja ke pipi putihnya.
“Apa karena.. fansku?”
Aku menggeleng. “Bukan..” jawabku. “Aku baru menyadarinya
sekarang. Kita begitu berbeda. Kau adalah seorang Yesung, public figure dipuja-puja dunia. Sedangkan aku.. aku hanya yeoja biasa yang bahkan tidak begitu
baik untuk menjadi istrimu…” ucapku dengan suara yang semakin lirih pada akhir
kalimat.
Bisa kurasakan tubuhnya yang melemas, terbukti dengan
kedua tangannya yang sudah merosot dan kini tak lagi memegang bahuku. Kedua
tangannya bergetar dan ia juga tidak lagi menatapku.
“Tapi, Hee-ya.. Aku… tidak bisa,” ucapnya dengan suara
yang mulai bergetar. Kurasa sebentar lagi air matanya akan tumpah.
Kusentuh sebelah pipinya dan menghapus air mata yang
sempat jatuh di sudut matanya dengan ibu jariku.
“Sebaiknya kita memikirkan ulang tentang rencana
pernikahan ini,” ucapku. “Mianhae,
Jong Woon. Jeongmal mianhae...”
“Soon Hee, aku…” Belum sempat ia menyelesaikan
kalimatnya, seorang kru sudah memanggilnya.
“Yesung-ah!”
Ia dan aku menoleh ke arah kru itu. Tampak kru itu
menggerakkan ibu jarinya ke arah sebuah sudut.
“Sekarang sudah giliranmu. Ayo, cepat!” ujarnya seraya
kembali ke dalam sebuah ruangan.
Jong Woon mengalihkan pandangannya padaku, dan mata kami
bertemu.
“Aku tampil dulu. Jangan pulang sampai aku selesai
tampil,” ujarnya seraya bangkit dan pergi ke panggung, meninggalkanku yang
masih bertahan pada posisiku.
Jong Woon… Kau tidak pantas menangis karena aku. Maafkan
aku…
“Hari ini ada yang ingin kukatakan pada kalian semua,
terutama Clouds..”
Terdengar suaranya yang berbicara lewat mikrofon,
membuatku menaikkan sebelah alisku, bingung. Apa yang akan dia lakukan?
“Aku tahu kalian pasti marah saat aku mengatakan tentang
rencana pernikahanku. Dan benar, aku sudah menemukan yeoja yang kurasa pantas untuk menjadi anae-ku.”
Terdengar suara riuh rendah para penonton yang sepertinya
kecewa dengan ucapannya barusan.
“Tapi aku ingin kalian mengerti akan keputusanku. Aku
memilihnya karena aku mencintainya.”
Sekarang giliranku yang tertegun karena ucapannya. Dia… Apa
yang akan dia bicarakan di panggung?
“Aku pernah kehilangan dia selama beberapa tahun, dan itu
membuatku hampir gila,” ucapnya dengan suasana yang mulai hening. Tidak ada
suara penonton yang riuh karena kecewa. “Dan sekarang aku ingin mengikatnya
dengan pernikahan agar aku tidak akan kehilangan dirinya untuk kedua kalinya.”
“Clouds… Kuharap kalian mengerti. Kalian menyayangiku,
kan?”
Kurasakan mataku yang mulai memanas dan nafasku yang
sedikit terasa sesak. Apa dia mengatakannya dengan sungguh-sungguh?
“Lagu ini kupersembahkan untuk kalian yang setia padaku
dan… Kim Soon Hee, saranghamnida,”
ujarnya dengan suara penonton yang riuh karena bersorak dan bertepuk tangan
mendengar ucapannya.
Di detik berikutnya terdengar alunan musik yang
mengiringinya untuk mulai bernyanyi. Dan detik itu pula air mataku mulai
menetes dan lama kelamaan menjadi deras membasahi kedua pipiku. Apa sekarang
aku bisa menyimpulkan bahwa aku sangat mencintainya? Ya, kurasa bisa.
***
(Jong Woon POV)
Aku segera berjalan ke back stage setelah laguku selesai. Kuedarkan pandanganku ke seluruh
penjuru ruangan saat tiba di back stage,
mencari-cari sosoknya. Tapi nihil, aku tidak menemukan dia di mana pun. Ke mana
dia? Apa jangan-jangan dia sudah pulang dan meninggalkanku di sini?
Kuhempaskan tubuhku di atas sofa yang tadi kududuki
bersamanya dengan kepalaku yang sudah mulai terasa berputar-putar. Mataku
kembali memanas saat pikiranku kembali ke pembicaraan kami tadi. Dia
menginginkanku untuk membatalkan pernikahan ini? Bagaimana mungkin…? Apa dia
benar-benar tidak bisa mencintaiku? Soon Hee, kenapa…
“Jong Woon, maaf.. Tadi aku ke toilet dulu.”
Kuangkat kepalaku cepat dan mendapati sosoknya sedang
berdiri di depanku. Dia masih di sini?
“Kau.. masih di sini?” ucapku sambil memandangnya tak
percaya.
Dia bergerak ke samping tubuhku dan menjatuhkan dirinya
di sofa yang sama denganku.
“Bukankah kau yang menyuruhku untuk menunggumu?” ucapnya
seraya mengeluarkan sebuah tissue dan menyeka air yang ada di sudut matanya.
Dia habis menangis?
“Kau menangis?” tanyaku sambil memegang kedua sisi
wajahnya agar wajah kami berhadapan.
Dia tidak menjawab, tapi perlahan-lahan air mata mulai
menggenangi pelupuk matanya dan cairan bening itu jatuh dengan bebasnya,
membasahi kedua pipi mulusnya.
“Maafkan aku…” ucapnya dengan suara serak. “Aku tidak
seharusnya berkata seperti itu padamu. Maaf… maafkan aku…”
Ia mulai terisak dan air matanya juga mulai membasahi
kedua tanganku yang masih menyentuh kedua sisi wajahnya.
“Gwaenchana,”
ucapku sambil menarik sudut bibirku ke atas.
“Jong Woon-ah… saranghae..”
ucapnya yang langsung membuat kedua mataku membulat tak percaya.
Apa aku tidak salah dengar? Selama ini dia tidak pernah
menunjukkan bahwa dia juga memiliki perasaan yang sama denganku. Tapi sekarang…
“Kau bilang apa?” tanyaku memastikan.
“Sarang… saranghae…”
ucapnya dengan sedikit terputus karena tangisnya yang belum juga mereda.
“Nado…” balasku
seraya menariknya ke dalam dekapanku dan memeluknya erat. Erat sekali,
sampai-sampai bajuku basah pada bagian dada karena air matanya.
Saat itu, kami terus berpelukan sampai tangisan Soon Hee
mereda dengan tidak memedulikan keadaan sekitar kami. Kru-kru yang lewat dengan
bingungnya memandangi kami yang bersikap tidak biasa di sana. Mungkin mereka
bingung karena tiba-tiba mendapat tontonan ‘drama’ gratis. Tapi aku tidak
peduli. Toh, ternyata kami memiliki perasaan yang sama dan yang terpenting…
beberapa hari lagi dia akan menjadi istriku, istriku seutuhnya.
Setelah itu aku berjanji tidak akan pernah melepaskannya.
Lihat saja kalau dia berani melirik namja
lain. Yaah… walaupun aku tahu, dia tidak mungkin bisa berpaling dari pesonaku.
Hahaha…
-END-
Aaaa~ akhirnya selesai juga :D :D
Gimana sequelnya? Rada gaje yah? Atau malah kepanjangan? Hihihi…
Mungkin setelah ini saya bakal bikin FF tentang Jong
Woon-Soon Hee dan kelanjutan dari cerita ini. Abisnya saya jadi suka sama ini
couple, hehe…
Leave comment yah, biar saya tahu kekurangan-kekurangan
di cerita ini supaya bisa bikin kelanjutan yang lebih baik :D
Oke deh, sampai jumpa lagi daaan… Kamsahamnida~! *bow
bareng Yesung*
kkk~
BalasHapuskemudian menyanyikan lagu Marry You.a Bruno Mars ^^~~