Title : Escape [Part 1]
Author: Ifa Raneza
Cast : Lee Sungmin, Lee Song Eun
Remember
Lee Song Eun? Yes! She’s Park Hyemi’s best friend on the another story :D
Oh
iya, ‘Escape’ di sini bukan berarti ‘kabur’, tapi ‘pelarian’.
Okay,
happy reading, guys! ^^
** ** ** ** **
“Selamat
atas pernikahan kalian. Semoga kalian berbahagia.”
Sungmin
menggigit bibir bawahnya dengan cukup kuat, berharap air matanya tidak mengalir
begitu saja saat mengatakan kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya. Dengan
berat, ia menarik sudut-sudut bibirnya ke atas untuk membentuk segaris lengkung
yang khas, berusaha menunjukkan tidak ada kesedihan dalam dirinya pada kedua
lawan bicaranya.
“Gomawo,” ujar seorang yeoja yang mengenakan gaun pengantin di
depannya sambil mengulas senyum. Senyum yang hangat dan sangat berbeda dengan
senyuman yang pernah ia berikan pada Sungmin. Ya, alasannya hanya satu. Apa
lagi kalau bukan karena hari ini adalah hari yang paling membahagiakan dalam
hidupnya.
Bahagia
untuknya, tapi tidak dengan Sungmin. Ia masih belum bisa merelakan yeoja itu walaupun ia sudah
melepaskannya untuk namja lain. Lima
tahun terasa begitu singkat untuknya, dan itu belum cukup bagi Sungmin untuk
melupakan yeoja itu.
“Cheonmaneyo,” sahut Sungmin dengan
berusaha mengatur emosinya agar suaranya tidak terdengar bergetar.
Ia
mengangkat sebelah tangannya dan mendaratkannya pada pundak namja beruntung yang sudah memiliki yeoja yang sangat ia cintai. “Selamat,”
ucapnya singkat dan dengan suara yang lirih. Tak lupa ia menambahkan senyuman
saat mengucapkan satu kata itu, menunjukkan bahwa ia juga berbahagia di hari
bahagia kedua orang di depannya itu.
Setelah
berkata begitu, namja berwajah aegyeo itu membalikkan badannya dan
melangkahkan kakinya keluar dari ruangan bernuansa putih itu. Ia terus
melangkahkan kakinya dengan kepala menunduk, sampai akhirnya ia keluar dari
gedung dan tiba di depan mobilnya.
Sungmin
mengangkat wajahnya dan mendapati seorang yeoja
berambut panjang sedang berdiri dengan bersandar pada mobilnya dan menatapnya
intens.
“Song
Eun-ah,” panggil Sungmin yang mengisyaratkan agar yeoja itu menyingkir dari mobilnya dan membiarkannya masuk.
Yeoja itu masih dengan tatapannya
yang semakin tajam, tidak mengubah posisinya sedikit pun. Jelas sekali bahwa ia
menolak untuk menyingkir dari tempatnya berdiri dan membiarkan Sungmin pergi
dengan wajah kusut yang sangat tidak enak untuk dipandang.
“Berikan
aku kunci mobilmu,” ujar Song Eun tanpa memedulikan Sungmin yang akan menolak
perintahnya itu.
“Eun-ah…”
“Berikan,”
kata Song Eun singkat dan dipertegas dengan tangan kanannya yang ia tadahkan ke
arah Sungmin, menyuruh namja itu agar
segera memberikan kunci mobilnya.
Sungmin
menghela napasnya pelan dan merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah benda
dan memberikannya pada Song Eun dengan berat hati.
Song
Eun menatap namja di depannya itu
dengan tatapan puas, seperti ibu yang puas saat melihat anaknya menuruti
perintahnya.
“Aku
tidak bisa membiarkanmu pergi sendirian dengan emosi yang masih meluap,” ujar
Song Eun sebelum ia masuk ke dalam mobil hitam itu dan mulai menyalakan mesin
sembari menunggu Sungmin ikut masuk dan duduk di sisi penumpang.
** ** ** ** **
“Aku
mencintai sahabatmu, Song Eun-ah.”
Song
Eun mengangguk pelan. Ia sudah sangat mengerti dan hafal dengan Sungmin yang
masih belum bisa mengatur perasaannya agar melupakan yeoja yang sekarang sudah menjadi istri orang lain. Ia sudah sangat
sering mendengar kalimat itu keluar dari mulut Sungmin. Setiap hari, bahkan
hampir setiap detik.
“Aku
tahu,” sahut Song Eun, berharap namja
berkulit putih itu menyudahi baladanya yang sejak beberapa jam lalu ia mulai.
Namja itu tidak bergeming. Ia tetap
menatap lantai yang ia pijak dengan tatapan kosong dengan pikiran yang melayang
entah ke mana. Song Eun menghela napas dan menyandarkan punggungnya ke sandaran
sofa. Ia sudah bisa menebak apapun yang ia katakan untuk menghibur Sungmin, hasilnya
akan tetap sama, nihil.
Tidak
ada yang bisa mengubah suasana hati pria itu. Terlebih lagi Song Eun sudah
menemani Sungmin selama lima tahun ini setiap Sungmin memulai baladanya. Ia
mendengarkan semua yang keluar dari mulut Sungmin yang terdengar sangat putus
asa. Mencoba untuk menjernihkan pikiran pria itu agar tidak bertindak bodoh.
Yaah, siapa yang tahu apa yang akan dilakukan oleh orang yang sedang patah
hati?
“Kau
sudah melakukan sesuatu yang benar, Sungmin-ah,” hibur Song Eun. “Kau
melepaskannya untuk kebahagiannya. Tidak ada yang salah.”
Song
Eun mengambil jeda sebentar, membiarkan Sungmin mengambil nafas untuk
menenangkan perasaannya yang sekarang sudah dipenuhi dengan rasa sakit yang
bertubi-tubi.
“Atau
kau menyesal?”
Sungmin
mengangkat wajahnya dan menatap Song Eun dengan nanar. Bisa Song Eun lihat ada
sedikit cairan bening yang menggenang di mata pria itu.
“Mungkin,”
sahut Sungmin dengan suaranya yang sudah serak. Mungkin itu efek karena ia
menahan tangisnya sejak di perjalanan ke rumahnya tadi. “Seharusnya aku
bertindak sedikit jahat agar bisa memilikinya.” Sungmin menarik sudut bibirnya
ke atas, tersenyum miris. “Tapi sayangnya aku tidak bisa,” ucapnya bersamaan
dengan sebulir air mata yang keluar dan menuruni pipi mulusnya yang nyaris tanpa
cela.
Song
Eun membalas ucapan namja itu dengan
senyuman yang lebih mengarah ke menyemangati.
“Itu
wajar.” Song Eun menepuk sebelah pundak Sungmin, mencoba menularkan semangatnya
pada namja itu. “Pasti ada penyesalan
saat kita melepas sesuatu yang sangat berharga.”
Entah
apa yang merasuki Sungmin sampai akhirnya ia menyandarkan kepalanya di bahu
Song Eun dan melingkarkan kedua tangannya pada sisi tubuh Song Eun. Yeoja itu bisa merasakan sesuatu yang
hangat mulai menggenangi pundaknya, air mata. Namja itu menangis dalam diam. Menangis karena sudah melepas yeoja yang sangat ia cintai. Menangis
karena melihat pemandangan yang membuat hatinya sakit. Menangis karena pernah
mencintai yeoja yang sama sekali
tidak pernah mencintainya.
Bodoh?
Benar, Sungmin sangat bodoh karena sampai detik ini belum bisa menghapus sosok yeoja itu di dari hatinya. Tapi itu
bukan karena Sungmin enggan, melainkan tidak bisa. Ia tidak bisa dengan
mudahnya menghapus sosok yang sudah sangat ia cintai sejak mereka duduk di
bangku Junior High School, hampir
sepuluh tahun yang lalu.
“Kau
namja yang baik, Sungmin-ah. Kau
sangat baik,” ucap Song Eun sambil mengelus kepala Sungmin yang berada di atas
pundaknya, berusaha menenangkan namja
itu.
Sungmin
terhanyut dalam tangisnya. Ia mulai merasakan kenyamanan saat telapak tangan
Song Eun menyentuh puncak kepalanya dan mengelusnya lembut. Ingin merasakan
kenyamanan yang lebih, namja itu
mengeratkan pelukannya.
Tidak
butuh waktu lama untuk Song Eun menenangkan Sungmin. Karena pada akhirnya
tangisan namja itu berhenti dan
berganti menjadi senyuman. Senyum yang sama––hangat, teduh, dan
bersahabat––namun terlihat setitik kesedihan di sana. Dan ini adalah tugas Song
Eun, yaitu mencegah agar titik itu tidak membesar.
** ** ** ** **
Hari
ini Song Eun dikejutkan dengan kedatangan Sungmin yang tiba-tiba di kantornya. Biasanya
Song Eun yang akan datang menemui Sungmin jika namja itu membutuhkannya. Dan yang lebih membuat Song Eun bingung
adalah namja itu datang dengan senyum
aegyeo yang lebar, seolah kejadian di
rumah Sungmin kemarin tidak pernah terjadi.
“Hai,
Eun!” sapa namja itu sambil
menghampiri Song Eun yang sedang sibuk dengan kertas-kertas yang berserakan di
atas meja kerjanya.
Song
Eun tidak langsung membalas sapaan Sungmin. Ia memerhatikan namja berkulit putih itu dari ujung kaki
sampai ke ujung kepala. Lalu tatapannya berhenti pada wajah Sungmin, mencoba
meneliti apa yang sudah terjadi pada namja
itu melalui wajahnya.
“Tidak
biasanya kau datang menemuiku,” ujar Song Eun sambil menyingkirkan
kertas-kertas yang berserakan di depannya. “Ada apa?” tanyanya langsung tanpa
berbasa-basi.
Sungmin
menggembungkan kedua pipinya, membuatnya semakin terlihat konyol di mata Song
Eun. Ia menarik kursi yang ada di depan Song Eun dan duduk di sana.
“Apa
aku harus memiliki alasan untuk sekedar menemuimu?” tanyanya dengan raut wajah
kesal yang dibuat-buat.
“Aku
tanya ada apa? Aku sibuk,” balas Song Eun seraya menghadapkan wajahnya pada
layar monitor komputer dan mulai menyibukkan dirinya kembali pada pekerjaannya.
“Aku
hanya ingin menemuimu.”
“So?”
“Makan
siang bersamaku?”
“Aku
sudah makan siang.”
“Kalau
begitu temani aku saja.”
“Aku
sibuk.”
“Kau
bisa lebih sibuk dari aku yang businessman?”
“Kau
pikir hanya kau yang bisa sibuk, huh?”
Song
Eun tetap terhanyut dalam pekerjaannya tanpa melirik Sungmin sedetik pun.
Sungmin sudah kehabisan akal untuk membujuk yeoja
yang memiliki sifat mudah marah dan kesal itu. Ia harus memutar otaknya untuk
merangkai kata-katanya agar yeoja ini
kalah debat dan akhirnya menyetujui ajakan Sungmin.
Ayo,
Sungmin… berpikir, berpikir…
“Kau
benar-benar sibuk?” tanya Sungmin tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Song
Eun.
Yang
ditanya hanya mengendikkan bahunya yang berarti ‘kau bisa lihat sendiri, kan?’
“Di
mana ruangan atasanmu?” tanya Sungmin seraya bangkit dari duduknya.
“Mau
apa kau?”
“Meminta
izin supaya aku bisa membawa editor berbakatnya ini.”
Tanpa
menunggu balasan dari Song Eun yang sudah menghentikan aktifitasnya itu,
Sungmin langsung melangkah dan hendak keluar dari ruangan itu.
“YA!
Lee Sungmin! Berhenti kau! Dasar pabo!”
seru Song Eun dengan tampang panik yang langsung membuat Sungmin menghentikan
langkahnya. Namja itu benar-benar
membuatnya kesal setengah mati.
“Tapi
kau bilang kau sibuk, kan?”
Song
Eun mengacak rambutnya frustasi. Ia sudah benar-benar kalah sekarang.
“Arra, arra! Aku akan pergi denganmu
sekarang!”
Namja berwajah aegyeo itu menarik sudut-sudut bibirnya ke atas, membentuk sebuah
senyuman kemenangan saat mendengar ucapan Song Eun yang menandakan dirinya
menyerah barusan. Terlebih lagi saat Song Eun mematikan komputernya setelah
menyimpan datanya dan mengambil tas tangannya.
“Kajja. Kau mau makan siang di mana?”
** ** ** ** **
“Wae?”
Song
Eun semakin memanyunkan bibirnya saat Sungmin melemparkan pertanyaan dengan
tampang polos tak berdosanya.
“Wae, Eun-ah?”
“Aissh,
kau masih bertanya kenapa?!” Song Eun menghentakkan kakinya keras ke tanah masih
dengan posisi duduknya di bangku taman. “Kau bilang ingin makan siang, kan?”
Sungmin
mengangguk pelan masih dengan tampang polosnya.
“Lalu
kenapa kau membawaku ke taman, hah?!!”
“Aku
tidak lapar,” jawab Sungmin dengan enteng sambil menjilati es krim yang ia beli
beberapa menit lalu.
“Tapi
kau bilang mau makan siang!”
“Kau
tidak lihat aku sedang apa? Ini menu makan siangku,” ujar Sungmin seraya
menunjukkan es krim yang ia pegang pada Song Eun.
Song
Eun melongo mendengar jawaban Sungmin yang menurutnya sangat tidak kreatif.
Mana ada orang yang makan siang dengan es krim?
‘Namja ini bodoh atau apa?’ batin Song
Eun tak habis pikir.
Song
Eun mengalihkan pandangannya dengan jengah. Ia sudah tidak mau lagi berdebat
dengan namja ini. Percuma saja, perdebatan
mereka tidak akan ada habisnya. Lagipula Sungmin pasti sudah makan siang
sebelum ia datang menemui Song Eun. Tidak mungkin kan, Sungmin melewatkan makan
siangnya dan makan es krim sekarang? Dia pasti tidak seceroboh itu.
“Akh!”
Song
Eun menoleh cepat pada Sungmin. “Ada apa?”
“Es
krimku!” seru Sungmin dengan tampang tidak rela merujuk pada es krim yang tadi
ia lahap sudah jatuh ke tanah.
Song
Eun memutar kedua bola matanya jengah. Setelah bertahun-tahun mengenal namja ini, baru kali ini Song Eun
menemukan sifat terpendam Sungmin. Lee Sungmin kekanakan sekali.
“Itu
hanya es krim, Sungmin-ah.” Song Eun memungut bola yang menggelinding di
kakinya yang ia yakini sebagai penyebab jatuhnya es krim Sungmin.
“Ish…
Tapi tetap saja…”
“Ini
punya kalian?” tanya Song Eun setengah berteriak pada sekumpulan anak sambil
menunjukkan bola yang ia pungut.
Anak-anak
itu mengangguk serempak dan memberikan isyarat agar Song Eun melempar bola itu
kembali pada mereka. Song Eun mengerti tanda isyarat mereka dan melemparkan
bola yang ia pegang pada anak-anak itu. Mungkin karena ia terlalu semangat atau
memiliki kelebihan energi, bola itu terlempar terlalu jauh hingga ke jalanan,
membuat Sungmin yang melihatnya terkekeh pelan.
“Mwo?” tanya Song Eun dengan tatapan
mematikan pada Sungmin.
“Kau
itu yeoja tapi energimu seperti Rambo
saja,” ejek Sungmin di sela-sela kekehannya.
“Aissh,
apa hubungannya, huh?”
Song
Eun mendengus kesal dan melangkahkan kakinya ke jalanan untuk memungut bola
yang tadi ia lempar.
“Song
Eun-ah!” panggil Sungmin dari seberang jalan dengan setengah berteriak.
Yeoja yang dipanggil itu tidak
memedulikan panggilan Sungmin yang ia pastikan hanya untuk kembali mengejeknya.
‘Mau
apa lagi, Lee Sungmin? Mengejekku lagi?’ batin Song Eun yang masih terus
melangkahkan kakinya.
“YA!
Lee Song Eun! Berhenti di sana!” teriak Sungmin yang tetap tidak Song Eun
gubris. “Song Eun-ya! Kubilang berhenti di sana!!!”
“Aissh,
jinjjayo! Kau menyebalkan, Sungmin-ya!”
rutuk Song Eun sembari menolehkan kepalanya ke belakang.
Dan
sedetik kemudian ia merasakan tubuhnya terdorong oleh sesuatu. Reflek, ia
memejamkan matanya.
TEEEETTT!!!
Hanya
itu yang Song Eun dengar. Suara klakson mobil.
Akhirnya
yeoja itu memberanikan dirinya untuk
membuka matanya. Tapi apa yang ia dapatkan? Ia mendapati dirinya yang hampir
ditabrak oleh sebuah mobil dengan berkecepatan tinggi. Tak hanya itu, ia juga
merasakan tubuhnya dilingkari dengan kedua tangan yang sangat ia kenal. Tangan
itu milik seorang namja, namja yang kemarin baru saja menangisi
nasibnya.
Otaknya
tidak bisa bekerja dengan baik sekarang. Bahkan ia tidak mendengar dengan jelas
teriakan dari si pengemudi yang melemparkan sumpah serapahnya pada mereka.
Mereka? Ya, Song Eun dan namja yang
sudah menyelamatkannya dari kecelakaan.
Perlahan
tangan namja yang memeluk tubuh Song
Eun melemah hingga melorot dan tak lagi memeluk pinggangnya dengan sempurna.
Song Eun juga bisa merasakan tubuh namja
itu sedikit bergetar, menahan sakit mungkin.
“Sungmin-ah?”
Yang
dipanggil tidak menyahut. Tubuhnya semakin bergetar hebat, membuat dada Song
Eun bergemuruh karena panik.
“Sungmin-ah!”
“Akh…”
Hanya itu yang bisa telinga Song Eun tangkap dari mulut Sungmin, rintihan
karena kesakitan.
Tanpa
mengulur waktu lebih lama lagi, yeoja
itu segera mendorong tubuh Sungmin yang masih merapat pada tubuhnya dan
memeriksa keadaan namja itu. Dan apa
yang terjadi? Song Eun hanya bisa membelalakkan kedua matanya saat melihat
wajah dan keadaan Sungmin saat ini. Namja
itu….
** ** ** ** **
Seorang
yeoja mengamati wajah namja yang masih terbaring lemas di atas
ranjang putih dengan kedua mata yang tertutup. Entah sudah yang keberapa
kalinya ia menghembuskan nafasnya lelah, seolah menyesali sesuatu.
“Kau
bodoh, Sungmin-ah,” gumamnya pelan.
Pandangannya
tak berpindah sedikitpun dari setiap inci wajah namja itu, bahkan sampai namja
itu terbangun dari tidurnya dan membalas tatapan yang Song Eun berikan.
“Song
Eun-ah?”
“Kau
bodoh, Lee Sungmin.”
Sungmin
menaikkan sebelah alisnya mendengar kalimat yang baru saja keluar dari yeoja yang beberapa jam lalu ia
selamatkan.
“Wae? Aku sudah menyelamatkanmu dan kau…”
“Iya,
aku tahu!” potong Song Eun cepat sebelum Sungmin sempat menyelesaikan
ucapannya. “Kau tidak bodoh karena sudah menyelamatkanku. Aku hargai itu.”
“Lalu?”
“Tapi
kau bodoh karena tidak makan siang, tapi malah makan es krim!!!”
Sungmin
reflek memejamkan matanya saat kedua telinganya menangkap suara Song Eun yang
menggelegar. Yeoja ini benar-benar
menyeramkan kalau sedang marah.
“Dan
lihat sekarang, penyakit maag-mu kambuh! Kau harus dirawat di rumah sakit
selama beberapa hari, kau senang sekarang?!” seru Song Eun kesal sambil
mengacak rambutnya frustasi.
“Gwaenchana, Eun-ah.”
“Tidak
apa-apa katamu?!!!” seru Song Eun murka.
“Wae, Eun-ah? Aku janji kali ini aku
tidak akan merepotkanmu lagi,” ujar Sungmin dengan tampang
yang––lagi-lagi––polos dan tak berdosa. “Aku masih bisa hidup tanpa bantuanmu
seperti sebelumnya.”
Song
Eun menarik ujung bibirnya ke satu arah, membentuk seringai. “Lihat saja
bagaimana kau melewati hari-harimu saat sakit tanpa bantuanku.”
** ** ** ** **
“Lihat saja
bagaimana kau melewati hari-harimu saat sakit tanpa bantuanku.”
Sungmin
mengacak rambutnya frustasi. Ia harus mengutuk dirinya sendiri karena sudah
membuat Song Eun marah dan tidak membantunya sama sekali. Dan kalimat yang Song
Eun lemparkan padanya beberapa hari yang lalu terus mengisi memori otaknya,
membuat kepalanya terasa semakin berdenyut-denyut.
“Aissh…
Aku harus bagaimana sekarang?” gumamnya pelan sambil memandangi sup yang ada di
depannya dengan tatapan frustasi.
Harus
Sungmin akui, hari-harinya akan memburuk tanpa bantuan yeoja itu saat dirinya sakit. Terlebih lagi ia tidak begitu pandai
memasak, membuatnya harus menderita selama dua hari ini karena masakannya
selalu tidak enak. Ia juga harus memakan makanan tidak enaknya itu jika tidak
mau penyakit maag-nya kambuh lagi.
Pria
itu akhirnya meraih sendok yang tergeletak di sebelah mangkuk sup dan mulai
menyuapkan kuah sup ke dalam mulutnya dengan enggan. Sungmin bergidik saat
indera pengecapnya menangkap rasa asin yang juga membuat tangan serta bibirnya
bergetar. Ia memejamkan matanya rapat, berusaha untuk melenyapkan rasa
enggannya saat menelan makanan yang ada di dalam mulutnya. Sulit, namun
akhirnya namja itu berhasil
menelannya. Ia menjulurkan lidahnya bersamaan dengan sendok yang terlepas dari
tangannya, berusaha melenyapkan rasa asin yang masih mendominasi lidahnya. Ia
meraih gelas yang berisi air putih dan meneguknya hingga isi gelas itu kosong.
Ia
tidak mungkin mampu menghabiskan makanan yang ada di hadapannya itu. Ia juga
masih terlalu lemah untuk pergi ke restoran siap saji untuk mengisi perutnya
yang sudah mendemo minta diisi. Terlebih lagi isi kulkasnya sudah habis, tidak
ada sedikit makanan pun yang tersisa di dalamnya. Naas sekali nasibnya
sekarang.
Akhirnya Sungmin memilih untuk meminta bantuan
orang yang (mungkin) sudah tidak mau menolongnya lagi. Ia merogoh kantung
celananya dan mengeluarkan ponsel. Lalu menempelkannya ke telinga setelah
menekan tombol 1 pada ponsel yang merupakan tombol speed call.
“Yeoboseyo…. Ne, mianhae. Aku menyesal
sekarang…. Aku benar-benar membutuhkan bantuanmu. Jebal…. Ne, aku membutuhkanmu sekarang.”
** ** ** ** **
Sungmin
tidak mengalihkan tatapannya dari sosok yeoja
yang sedang sibuk dengan peralatan masaknya di dapur. Entah apa yang merasuki
Sungmin sejak beberapa hari yang lalu, ia tidak pernah bosan memerhatikan yeoja itu. Bahkan tanpa sadar
sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas setiap kali ia memerhatikan yeoja itu.
“Benar
apa kataku, kan? Kau tidak akan sanggup bertahan hidup tanpa bantuanku saat kau
sakit,” ujar Song Eun dengan senyum menyindir sambil menyodorkan semangkuk sup
pada Sungmin yang sudah duduk manis di meja makan.
“Ne, aku sangat menyesal, Eun-ah,” sahut
Sungmin seraya menyuapkan kuah sup ke dalam mulutnya dan segera menelannya. “Mashita!” ujarnya dengan mata berbinar
saat kuah sup masuk melewati kerongkongannya.
“Tentu
saja. Akan jadi apa kau tanpaku, huh?” sahut Song Eun, bangga.
“Ne, arraseo. Kau memang hebat, Eun-ah. Gomawo, Chagiya.”
“Mwo?” Song Eun tersentak kaget saat
mendengar kata di akhir kalimat yang Sungmin lontarkan kepadanya. Chagiya?
“Eh…?
Ngg…”
Sial!
Sungmin merutuki bibirnya yang mengeluarkan kata-kata itu tanpa disaring
terlebih dahulu. Dan lagi, kenapa kata-kata itu yang keluar dari mulutnya? Chagiya? Bagaimana bisa ia menyebutkan
kata itu pada Song Eun?
“Kau
memanggilku apa tadi? ‘Chagiya’?”
“Mwo? Chagiya? Mana mungkin aku
memanggilmu begitu, Song Eun-ah,” elak Sungmin seraya menyuapkan sup ke dalam
mulutnya.
“Aku
jelas-jelas mendengarnya. Kau memanggilku ‘chagiya’
tadi,” desak Song Eun.
“Omona, Lee Song Eun. Kau harus periksa
ke dokter THT setelah ini. Jelas-jelas aku berkata ‘Gomawo, Eun-ah.’”
“Tapi
aku…” Song Eun berpikir sebentar. Lalu ia kembali mengeluarkan suaranya setelah
otaknya menangkap satu pemikiran. “Kau… masih memikirkan Hyemi?” tanya Song Eun
hati-hati dan sedikit ragu, membuat Sungmin tersedak saat mendengarnya.
“Hati-hati,”
ucap Song Eun seraya menyodorkan gelas yang sudah ia isi terlebih dahulu pada
Sungmin yang masih terbatuk-batuk.
“Mwoya?” ucap Sungmin setelah meneguk air
yang Song Eun berikan padanya.
“Yaah…”
Song Eun menghela nafasnya. Ia memundurkan tubuhnya perlahan hingga punggungnya
menyentuh sandaran kursi. “Aku tahu kau masih mencintainya. Pasti sangat sulit
menghapusnya dari pikiranmu, ne? Menurut
pengalamanku bersamamu selama ini, kau selalu memikirkan Hyemi. Berhalusinasi,
mimpi, semuanya. Dan… Seperti tadi, kau memanggilku chagiya karena kau menganggapku Hyemi, kan? Kau masih bisa merasakan
kehadirannya hingga tanpa sengaja menyebutkan kata itu yang sebenarnya kau
tujukan pada Hyemi.”
Sungmin
menatap Song Eun tanpa berkedip sedikitpun selama yeoja itu meluncurkan kalimatnya seperti air mengalir.
“Terlebih
lagi Hyemi baru menikah. Kau pasti patah hati. Aku mengerti, Sungmin-ah. Aku
sangat mengerti dirimu.”
“Hentikan,
Song Eun,” desis Sungmin dengan mata yang tertutup. “Hentikan semua ini…”
“Jangan
siksa dirimu, Sungmin-ah,” ucap Song Eun sebelum ia beranjak dari duduknya,
mengambil tasnya, dan melangkah keluar dari rumah namja yang masih bertahan di tempatnya itu.
Sungmin
memejamkan matanya, mencoba menekan rasa sakit yang tiba-tiba merambat ke dalam
hatinya saat mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Song Eun.
Lagi, pikiran dan hatinya dipenuhi dengan nama Park Hye Mi yang sejak beberapa
hari yang lalu berhasil ia enyahkan dari otaknya. Tapi kini nama itu kembali
begitu saja dan dengan mudahnya melekat dalam pikiran namja itu. Ia diingatkan kembali dengan kejadian dua hari lalu yang
membuat hatinya mencelos. Ia melihat yeoja
itu bersanding dengan pria paling beruntung di dunia di depan altar. Pria itu
adalah Jong Woon.
Sampai
kapan… Sampai kapan Sungmin terus dihantui oleh bayang-bayang wanita bernama
Park Hye Mi itu?
** ** ** ** **
“Mianhae,” gumam Song Eun pada namja yang masih merapikan pakaiannya di
depan cermin. “Tidak seharusnya aku mengatakan sesuatu tentang Hyemi padamu
seperti kemarin. Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku,” ucap Song Eun dengan
kepala yang ditundukkan, menyesali ucapannya kemarin yang keluar begitu saja.
“Gwaenchana,” sahut Sungmin sambil
mengukir senyum khasnya. “Aku harus move
on. Aku tidak mungkin terus bertahan pada satu yeoja yang sudah menikah, bukan?” ujarnya dengan pandangan yang
sudah kembali pada bayangannya di cermin.
Song
Eun tersenyum puas mendengar perkataan Sungmin. Inilah yang ia harapkan selama
ini. Sungmin memang harus move on
dari masa lalunya yang membuatnya terpuruk dan tersakiti. Move on dan memulai hidup baru yang lebih baik dari sebelumnya.
“Aissh…”
gumam Sungmin kesal memandangi dasinya yang tak juga tersimpul dengan rapi.
Song
Eun menghampiri namja yang masih
berkutat dengan dasinya itu dan mengambil alih kerah bajunya.
“Harusnya
kau pasang dasinya seperti ini,” ujar Song Eun dengan kedua tangannya yang
sedang sibuk dengan dasi Sungmin.
Dengan
jarak sedekat ini Sungmin bisa memerhatikan wajah Song Eun dengan jelas. Ia
terus mengamati lekuk-lekuk wajah yeoja
itu, hingga dirinya benar-benar terhanyut pada wajah Song Eun. Bahkan ia bisa
merasakan jantungnya yang tidak berdetak secara normal saat mata mereka
bertemu.
“Wae, Sungmin-ah?” tanya Song Eun saat
menyadari tatapan Sungmin padanya.
Sungmin
tersentak dan dengan cepat ia mengalihkan pandangannya ke arah lain sebelum
pandangannya kembali pada yeoja yang
ada di hadapannya.
“Sudah
selesai. Dasimu sudah rapi,” ujar Song Eun merujuk pada dasi yang sudah
melingkar dengan rapi di leher Sungmin.
“Ah,
ne. Gomawo, Eun-ah,” sahut Sungmin sambil tersenyum canggung.
“Mm…
Cheonmaneyo,” balas Song Eun. “Oh ya.
Sungmin-ah, mungkin lebih baik sekarang aku…”
“Aku
yang akan mengantarmu ke kantor,” potong Sungmin sebelum Song Eun sempat
menyelesaikan kalimatnya.
“Eh,
tidak usah. Kau lupa aku bawa mobil ke sini?”
“Aku
bilang aku yang akan mengantarmu, Eun-ah,” ujar Sungmin dengan penekanan pada setiap
kata, menandakan tidak ingin perkataannya ditolak. “Kajja.” Sungmin menggamit tangan Song Eun keluar dari kamarnya
lengkap dengan kunci mobil dan tas kerjanya.
** ** ** ** **
“Sungmin?”
Sungmin
tertegun selama beberapa detik saat kedua telinganya menangkap suara yang
memanggil namanya pelan. Terlebih lagi saat indera penglihatannya menangkap
sesosok yeoja yang beberapa hari yang
lalu membuat seluruh organ tubuhnya serasa mati rasa.
“Kau
juga makan siang di sini?” tanyanya yeoja
itu riang sambil melongokkan kepalanya melewati bahu Sungmin. “Bersama Song
Eun?”
Sungmin
mengangguk pelan sambil menarik ujung-ujung bibirnya dengan kaku.
“Ne, kami makan siang bersama,” ucapnya
pelan. “Hyemi-ah, aku harus ke toilet,” ujarnya sebelum melangkahkan kakinya ke
suatu ruangan yang ia sebutkan tadi.
** ** ** ** **
“Song
Eun-ah!”
Yang
dipanggil menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang yeoja sedang berjalan menghampirinya riang.
“Aigo, Park Hye Mi! Bagaimana rasanya
menjadi pengantin baru, heh?” tanya Song Eun sambil mencubit gemas pipi yeoja yang merupakan sahabatnya itu.
“Aissh,
kenapa bertanya begitu?” ucap Hyemi dengan pipi yang mulai merona merah. “Kau
makan siang bersama Sungmin?” tanya Hyemi setelah mendudukan dirinya di kursi
yang ada di hadapan Song Eun.
Song
Eun hanya mengangguk sambil menyesap minumannya.
“Kalian
berdua ada hubungan apa?” tanya Hyemi dengan mencondongkan tubuhnya ke arah
Song Eun.
“Kau
sudah tahu dengan pasti, Hyemi-ah. Kenapa masih bertanya? Teman, dari dulu
sampai sekarang kami masih berteman,” jawab Song Eun ringan.
Memangnya
hubungan apa lagi? Sejak kapan pula mereka menjadi musuh? Tidak pernah, kan?
Kalau begitu hubungan Song Eun dan Sungmin tidak pernah tergeser dari kata
‘teman’.
“Aissh,
bukan itu, Song Eun-ah!”
“Lalu
apa?”
“Kalian
berdua… pacaran?”
Sontak
yeoja berambut panjang itu langsung
menyemburkan minuman yang ada di dalam mulutnya keluar.
“Apa
maksudmu, Hyemi-ah?!” tanya Song Eun dengan kedua mata yang terbelalak di
sela-sela batuknya.
Hyemi
mengendikkan bahunya santai. “Tidak ada. Hanya saja tidak biasanya kalian
sedekat ini.”
“Cih,
kau lupa siapa yang mengurus namja
cengeng itu setiap ia sakit? Aku, kan? Dan sekarang sebelum maag-nya kambuh
lagi, aku harus menjadi ‘ibu’ dadakannya.”
“Tapi,
Song Eun-ah. Makan siang bersama? Kalian tidak biasanya menghabiskan waktu
istirahat kantor berdua.”
“Tidak,
kami hanya teman. Sebatas itu.”
“Tapi…”
“Hyemi-ah, dia masih mencintaimu.”
Hyemi
diam, ia tidak melanjutkan ucapannya lagi. Hanya sorot matanya yang merespon
ucapan Song Eun. Lagi-lagi yeoja ini
di hadapkan dengan situasi yang sulit seperti lima tahun yang lalu.
“Mwo?” Hanya itu yang keluar dari mulut
Hyemi, efek dari keterkejutannya.
“Kau
terkejut? Selama lima tahun ini dia mengatakan bahwa dia sudah melepaskanmu
untuk Jong Woon. Tapi tidak dengan hatinya. Masih ada namamu di sana,” jawab
Song Eun dengan mimik wajah serius. “Selama ini hanya aku yang tahu itu. Hanya
aku tempatnya menangisi dirimu, menangisi dirinya yang sudah kehilanganmu,”
lanjutnya.
“Tapi,
aku…”
“Kau
bertemu dengannya di toilet?” tanya Song Eun yang hanya Hyemi jawab dengan
anggukan. “Kau bisa lihat wajahnya saat bertatap muka denganmu. Kau bisa lihat
sorot matanya yang berbeda saat ia melihatmu. Selama ini tidak ada yang berubah
tentang perasaannya padamu.”
Hyemi
terlarut dalam diam dengan pandangan menunduk. Jadi selama ini Sungmin masih
menyimpan perasaan yang tidak bisa Hyemi balas? Seperti film pendek, memori
lima tahun yang lalu mulai berputar di benak yeoja itu. Tidak, tidak. Sungmin tidak boleh begini.
“Song
Eun-ah… aku harus ke toilet,” ujar Hyemi seraya bangkit dari duduknya dan
berjalan ke toilet––lagi.
Hyemi
butuh menenangkan pikirannya yang tiba-tiba diingatkan kembali kepada fakta
yang tidak ingin ia ketahui. Sungmin masih mencintainya?
** ** ** ** **
Song
Eun kembali dibuat bingung dengan sikap Sungmin hari ini. Pertama, namja itu selalu memerhatikannya dengan
tatapan yang sulit untuk diartikan. Kedua, namja
itu selalu mengajaknya pergi ke tempat-tempat yang biasa didatangi oleh
pasangan-pasangan muda. Dan sekarang, Sungmin tiba-tiba menarik tangannya
keluar dari restoran saat Hyemi masih di toilet. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba
Sungmin menjadi aneh?
Ah,
akhirnya Song Eun menemukan alasan yang mungkin menjadi penyebab namja ini ingin segera keluar dari
restoran itu. Pasti karena Park Hyemi.
“Kau
mau ke mana, Sungmin-ah?” tanya Song Eun sambil melirik Sungmin yang masih
sibuk dengan jalanan yang ada di depannya.
“Eun-ah…”
ucap Sungmin, membuat Song Eun sedikit tertegun mendengar nada bicara namja itu. Terlebih lagi hanya Sungmin
yang memanggilnya dengan panggilan ‘Eun’. “Apa aku bisa move on dari masa laluku?” tanyanya sambil mengalihkan tatapannya
pada Song Eun.
“Why not? Kau pasti bisa,” jawab Song Eun
sambil melemparkan senyum pada Sungmin.
Ini
yang membuat Sungmin bingung. Senyuman gadis itu, kenapa bisa menyamai senyuman
Hyemi yang membuatnya tenang? Ah, tidak. Bahkan Sungmin merasa Song Eun bisa
membuatnya nyaman dan tenang melebihi Park Hyemi. Lalu, apa nama perasaannya
saat ini?
Sungmin
bingung. Di sisi lain, ia masih bisa merasakan getaran dalam dadanya saat
bertatap muka dengan Hyemi. Tapi ia juga bisa mendengar jantungnya yang
berdetak cepat saat menatap wajah Song Eun. Apa Sungmin bisa menyimpulkan bahwa
ia sudah jatuh cinta pada yeoja yang
sudah menemaninya selama lima tahun ini?
“YA!
Apa yang kau lakukan?! Kau mau kita mati?!” seru Song Eun saat Sungmin dengan
tiba-tiba menepikan mobilnya ke pinggir jalan.
Sungmin
terdiam. Ia juga tidak tahu kenapa organ tubuhnya tidak bisa bekerja dengan
baik saat ini, terlebih lagi saat ia sedang bersama Song Eun.
“Eun-ah…”
panggilnya setelah mengatur nafasnya.
“Hm?”
“Aku
rasa aku sudah bisa move on dari
Hyemi sekarang.”
Song
Eun menarik sudut bibirnya ke atas, membentuk seulas senyuman di sana.
“Itu
bagus! Finally, kau bisa melupakannya
juga, kan?” ujar Song Eun riang, senang atas keberhasilan temannya itu untuk
bisa melupakan masa lalunya.
“Eun-ah…”
ucap Sungmin. Kali ini dia menatap yeoja
yang ada di sampingnya itu––kembali––dengan tatapan yang sulit untuk Song Eun
artikan. “Menikahlah denganku.”
Dan
entah kenapa kali ini giliran jantung Song Eun yang berdetak keras.
Namja ini… apa dia sudah gila?
-To
be continued-
Hai
hai~~~ Masih ingatkah konflik antara Sungmin, Hyemi, dan Jong Woon? Yap! Di
sini bakal diceritain perjalanan hidup Sungmin yang merana gara2 ditinggal
Hyemi. Kkkkk xD
Tapi
nggak merana juga sih, soalnya si Umin udah dapet pengganti Hyemi kan yak?
Hehehe…
Sebenarnya
sih cerita ini pengen dibikin oneshot. Tapi ternyata gak bisa. Susah banget
kalo bikin oneshot. Hehehe…
Gomawo
udah baca. Leave comment ya :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar