Senin, 20 Agustus 2012

ESCAPE [Part 1]







Title   : Escape [Part 1]

Author: Ifa Raneza

Cast   : Lee Sungmin, Lee Song Eun


Remember Lee Song Eun? Yes! She’s Park Hyemi’s best friend on the another story :D
Oh iya, ‘Escape’ di sini bukan berarti ‘kabur’, tapi ‘pelarian’.
Okay, happy reading, guys! ^^


** ** ** ** **


“Selamat atas pernikahan kalian. Semoga kalian berbahagia.”

Sungmin menggigit bibir bawahnya dengan cukup kuat, berharap air matanya tidak mengalir begitu saja saat mengatakan kalimat yang baru saja keluar dari mulutnya. Dengan berat, ia menarik sudut-sudut bibirnya ke atas untuk membentuk segaris lengkung yang khas, berusaha menunjukkan tidak ada kesedihan dalam dirinya pada kedua lawan bicaranya.

Gomawo,” ujar seorang yeoja yang mengenakan gaun pengantin di depannya sambil mengulas senyum. Senyum yang hangat dan sangat berbeda dengan senyuman yang pernah ia berikan pada Sungmin. Ya, alasannya hanya satu. Apa lagi kalau bukan karena hari ini adalah hari yang paling membahagiakan dalam hidupnya.

Bahagia untuknya, tapi tidak dengan Sungmin. Ia masih belum bisa merelakan yeoja itu walaupun ia sudah melepaskannya untuk namja lain. Lima tahun terasa begitu singkat untuknya, dan itu belum cukup bagi Sungmin untuk melupakan yeoja itu.

Cheonmaneyo,” sahut Sungmin dengan berusaha mengatur emosinya agar suaranya tidak terdengar bergetar.

Ia mengangkat sebelah tangannya dan mendaratkannya pada pundak namja beruntung yang sudah memiliki yeoja yang sangat ia cintai. “Selamat,” ucapnya singkat dan dengan suara yang lirih. Tak lupa ia menambahkan senyuman saat mengucapkan satu kata itu, menunjukkan bahwa ia juga berbahagia di hari bahagia kedua orang di depannya itu.

Setelah berkata begitu, namja berwajah aegyeo itu membalikkan badannya dan melangkahkan kakinya keluar dari ruangan bernuansa putih itu. Ia terus melangkahkan kakinya dengan kepala menunduk, sampai akhirnya ia keluar dari gedung dan tiba di depan mobilnya.

Sungmin mengangkat wajahnya dan mendapati seorang yeoja berambut panjang sedang berdiri dengan bersandar pada mobilnya dan menatapnya intens.

“Song Eun-ah,” panggil Sungmin yang mengisyaratkan agar yeoja itu menyingkir dari mobilnya dan membiarkannya masuk.

Yeoja itu masih dengan tatapannya yang semakin tajam, tidak mengubah posisinya sedikit pun. Jelas sekali bahwa ia menolak untuk menyingkir dari tempatnya berdiri dan membiarkan Sungmin pergi dengan wajah kusut yang sangat tidak enak untuk dipandang.

“Berikan aku kunci mobilmu,” ujar Song Eun tanpa memedulikan Sungmin yang akan menolak perintahnya itu.

“Eun-ah…”

“Berikan,” kata Song Eun singkat dan dipertegas dengan tangan kanannya yang ia tadahkan ke arah Sungmin, menyuruh namja itu agar segera memberikan kunci mobilnya.

Sungmin menghela napasnya pelan dan merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah benda dan memberikannya pada Song Eun dengan berat hati.

Song Eun menatap namja di depannya itu dengan tatapan puas, seperti ibu yang puas saat melihat anaknya menuruti perintahnya.

“Aku tidak bisa membiarkanmu pergi sendirian dengan emosi yang masih meluap,” ujar Song Eun sebelum ia masuk ke dalam mobil hitam itu dan mulai menyalakan mesin sembari menunggu Sungmin ikut masuk dan duduk di sisi penumpang.


** ** ** ** **


“Aku mencintai sahabatmu, Song Eun-ah.”

Song Eun mengangguk pelan. Ia sudah sangat mengerti dan hafal dengan Sungmin yang masih belum bisa mengatur perasaannya agar melupakan yeoja yang sekarang sudah menjadi istri orang lain. Ia sudah sangat sering mendengar kalimat itu keluar dari mulut Sungmin. Setiap hari, bahkan hampir setiap detik.

“Aku tahu,” sahut Song Eun, berharap namja berkulit putih itu menyudahi baladanya yang sejak beberapa jam lalu ia mulai.

Namja itu tidak bergeming. Ia tetap menatap lantai yang ia pijak dengan tatapan kosong dengan pikiran yang melayang entah ke mana. Song Eun menghela napas dan menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa. Ia sudah bisa menebak apapun yang ia katakan untuk menghibur Sungmin, hasilnya akan tetap sama, nihil.

Tidak ada yang bisa mengubah suasana hati pria itu. Terlebih lagi Song Eun sudah menemani Sungmin selama lima tahun ini setiap Sungmin memulai baladanya. Ia mendengarkan semua yang keluar dari mulut Sungmin yang terdengar sangat putus asa. Mencoba untuk menjernihkan pikiran pria itu agar tidak bertindak bodoh. Yaah, siapa yang tahu apa yang akan dilakukan oleh orang yang sedang patah hati?

“Kau sudah melakukan sesuatu yang benar, Sungmin-ah,” hibur Song Eun. “Kau melepaskannya untuk kebahagiannya. Tidak ada yang salah.”

Song Eun mengambil jeda sebentar, membiarkan Sungmin mengambil nafas untuk menenangkan perasaannya yang sekarang sudah dipenuhi dengan rasa sakit yang bertubi-tubi.

“Atau kau menyesal?”

Sungmin mengangkat wajahnya dan menatap Song Eun dengan nanar. Bisa Song Eun lihat ada sedikit cairan bening yang menggenang di mata pria itu.

“Mungkin,” sahut Sungmin dengan suaranya yang sudah serak. Mungkin itu efek karena ia menahan tangisnya sejak di perjalanan ke rumahnya tadi. “Seharusnya aku bertindak sedikit jahat agar bisa memilikinya.” Sungmin menarik sudut bibirnya ke atas, tersenyum miris. “Tapi sayangnya aku tidak bisa,” ucapnya bersamaan dengan sebulir air mata yang keluar dan menuruni pipi mulusnya yang nyaris tanpa cela.

Song Eun membalas ucapan namja itu dengan senyuman yang lebih mengarah ke menyemangati.

“Itu wajar.” Song Eun menepuk sebelah pundak Sungmin, mencoba menularkan semangatnya pada namja itu. “Pasti ada penyesalan saat kita melepas sesuatu yang sangat berharga.”

Entah apa yang merasuki Sungmin sampai akhirnya ia menyandarkan kepalanya di bahu Song Eun dan melingkarkan kedua tangannya pada sisi tubuh Song Eun. Yeoja itu bisa merasakan sesuatu yang hangat mulai menggenangi pundaknya, air mata. Namja itu menangis dalam diam. Menangis karena sudah melepas yeoja yang sangat ia cintai. Menangis karena melihat pemandangan yang membuat hatinya sakit. Menangis karena pernah mencintai yeoja yang sama sekali tidak pernah mencintainya.

Bodoh? Benar, Sungmin sangat bodoh karena sampai detik ini belum bisa menghapus sosok yeoja itu di dari hatinya. Tapi itu bukan karena Sungmin enggan, melainkan tidak bisa. Ia tidak bisa dengan mudahnya menghapus sosok yang sudah sangat ia cintai sejak mereka duduk di bangku Junior High School, hampir sepuluh tahun yang lalu.

“Kau namja yang baik, Sungmin-ah. Kau sangat baik,” ucap Song Eun sambil mengelus kepala Sungmin yang berada di atas pundaknya, berusaha menenangkan namja itu.

Sungmin terhanyut dalam tangisnya. Ia mulai merasakan kenyamanan saat telapak tangan Song Eun menyentuh puncak kepalanya dan mengelusnya lembut. Ingin merasakan kenyamanan yang lebih, namja itu mengeratkan pelukannya.

Tidak butuh waktu lama untuk Song Eun menenangkan Sungmin. Karena pada akhirnya tangisan namja itu berhenti dan berganti menjadi senyuman. Senyum yang sama––hangat, teduh, dan bersahabat––namun terlihat setitik kesedihan di sana. Dan ini adalah tugas Song Eun, yaitu mencegah agar titik itu tidak membesar.


** ** ** ** **


Hari ini Song Eun dikejutkan dengan kedatangan Sungmin yang tiba-tiba di kantornya. Biasanya Song Eun yang akan datang menemui Sungmin jika namja itu membutuhkannya. Dan yang lebih membuat Song Eun bingung adalah namja itu datang dengan senyum aegyeo yang lebar, seolah kejadian di rumah Sungmin kemarin tidak pernah terjadi.

“Hai, Eun!” sapa namja itu sambil menghampiri Song Eun yang sedang sibuk dengan kertas-kertas yang berserakan di atas meja kerjanya.

Song Eun tidak langsung membalas sapaan Sungmin. Ia memerhatikan namja berkulit putih itu dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Lalu tatapannya berhenti pada wajah Sungmin, mencoba meneliti apa yang sudah terjadi pada namja itu melalui wajahnya.

“Tidak biasanya kau datang menemuiku,” ujar Song Eun sambil menyingkirkan kertas-kertas yang berserakan di depannya. “Ada apa?” tanyanya langsung tanpa berbasa-basi.

Sungmin menggembungkan kedua pipinya, membuatnya semakin terlihat konyol di mata Song Eun. Ia menarik kursi yang ada di depan Song Eun dan duduk di sana.

“Apa aku harus memiliki alasan untuk sekedar menemuimu?” tanyanya dengan raut wajah kesal yang dibuat-buat.

“Aku tanya ada apa? Aku sibuk,” balas Song Eun seraya menghadapkan wajahnya pada layar monitor komputer dan mulai menyibukkan dirinya kembali pada pekerjaannya.

“Aku hanya ingin menemuimu.”

So?”

“Makan siang bersamaku?”

“Aku sudah makan siang.”

“Kalau begitu temani aku saja.”

“Aku sibuk.”

“Kau bisa lebih sibuk dari aku yang businessman?”

“Kau pikir hanya kau yang bisa sibuk, huh?”

Song Eun tetap terhanyut dalam pekerjaannya tanpa melirik Sungmin sedetik pun. Sungmin sudah kehabisan akal untuk membujuk yeoja yang memiliki sifat mudah marah dan kesal itu. Ia harus memutar otaknya untuk merangkai kata-katanya agar yeoja ini kalah debat dan akhirnya menyetujui ajakan Sungmin.

Ayo, Sungmin… berpikir, berpikir…

“Kau benar-benar sibuk?” tanya Sungmin tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Song Eun.

Yang ditanya hanya mengendikkan bahunya yang berarti ‘kau bisa lihat sendiri, kan?’

“Di mana ruangan atasanmu?” tanya Sungmin seraya bangkit dari duduknya.

“Mau apa kau?”

“Meminta izin supaya aku bisa membawa editor berbakatnya ini.”

Tanpa menunggu balasan dari Song Eun yang sudah menghentikan aktifitasnya itu, Sungmin langsung melangkah dan hendak keluar dari ruangan itu.

“YA! Lee Sungmin! Berhenti kau! Dasar pabo!” seru Song Eun dengan tampang panik yang langsung membuat Sungmin menghentikan langkahnya. Namja itu benar-benar membuatnya kesal setengah mati.

“Tapi kau bilang kau sibuk, kan?”

Song Eun mengacak rambutnya frustasi. Ia sudah benar-benar kalah sekarang.

Arra, arra! Aku akan pergi denganmu sekarang!”

Namja berwajah aegyeo itu menarik sudut-sudut bibirnya ke atas, membentuk sebuah senyuman kemenangan saat mendengar ucapan Song Eun yang menandakan dirinya menyerah barusan. Terlebih lagi saat Song Eun mematikan komputernya setelah menyimpan datanya dan mengambil tas tangannya.

Kajja. Kau mau makan siang di mana?”


** ** ** ** **


Wae?”

Song Eun semakin memanyunkan bibirnya saat Sungmin melemparkan pertanyaan dengan tampang polos tak berdosanya.

Wae, Eun-ah?”

“Aissh, kau masih bertanya kenapa?!” Song Eun menghentakkan kakinya keras ke tanah masih dengan posisi duduknya di bangku taman. “Kau bilang ingin makan siang, kan?”

Sungmin mengangguk pelan masih dengan tampang polosnya.

“Lalu kenapa kau membawaku ke taman, hah?!!”

“Aku tidak lapar,” jawab Sungmin dengan enteng sambil menjilati es krim yang ia beli beberapa menit lalu.

“Tapi kau bilang mau makan siang!”

“Kau tidak lihat aku sedang apa? Ini menu makan siangku,” ujar Sungmin seraya menunjukkan es krim yang ia pegang pada Song Eun.

Song Eun melongo mendengar jawaban Sungmin yang menurutnya sangat tidak kreatif. Mana ada orang yang makan siang dengan es krim?

Namja ini bodoh atau apa?’ batin Song Eun tak habis pikir.

Song Eun mengalihkan pandangannya dengan jengah. Ia sudah tidak mau lagi berdebat dengan namja ini. Percuma saja, perdebatan mereka tidak akan ada habisnya. Lagipula Sungmin pasti sudah makan siang sebelum ia datang menemui Song Eun. Tidak mungkin kan, Sungmin melewatkan makan siangnya dan makan es krim sekarang? Dia pasti tidak seceroboh itu.

“Akh!”

Song Eun menoleh cepat pada Sungmin. “Ada apa?”

“Es krimku!” seru Sungmin dengan tampang tidak rela merujuk pada es krim yang tadi ia lahap sudah jatuh ke tanah.

Song Eun memutar kedua bola matanya jengah. Setelah bertahun-tahun mengenal namja ini, baru kali ini Song Eun menemukan sifat terpendam Sungmin. Lee Sungmin kekanakan sekali.

“Itu hanya es krim, Sungmin-ah.” Song Eun memungut bola yang menggelinding di kakinya yang ia yakini sebagai penyebab jatuhnya es krim Sungmin.

“Ish… Tapi tetap saja…”

“Ini punya kalian?” tanya Song Eun setengah berteriak pada sekumpulan anak sambil menunjukkan bola yang ia pungut.

Anak-anak itu mengangguk serempak dan memberikan isyarat agar Song Eun melempar bola itu kembali pada mereka. Song Eun mengerti tanda isyarat mereka dan melemparkan bola yang ia pegang pada anak-anak itu. Mungkin karena ia terlalu semangat atau memiliki kelebihan energi, bola itu terlempar terlalu jauh hingga ke jalanan, membuat Sungmin yang melihatnya terkekeh pelan.

Mwo?” tanya Song Eun dengan tatapan mematikan pada Sungmin.

“Kau itu yeoja tapi energimu seperti Rambo saja,” ejek Sungmin di sela-sela kekehannya.

“Aissh, apa hubungannya, huh?”

Song Eun mendengus kesal dan melangkahkan kakinya ke jalanan untuk memungut bola yang tadi ia lempar.

“Song Eun-ah!” panggil Sungmin dari seberang jalan dengan setengah berteriak.

Yeoja yang dipanggil itu tidak memedulikan panggilan Sungmin yang ia pastikan hanya untuk kembali mengejeknya.

‘Mau apa lagi, Lee Sungmin? Mengejekku lagi?’ batin Song Eun yang masih terus melangkahkan kakinya.

“YA! Lee Song Eun! Berhenti di sana!” teriak Sungmin yang tetap tidak Song Eun gubris. “Song Eun-ya! Kubilang berhenti di sana!!!”

“Aissh, jinjjayo! Kau menyebalkan, Sungmin-ya!” rutuk Song Eun sembari menolehkan kepalanya ke belakang.

Dan sedetik kemudian ia merasakan tubuhnya terdorong oleh sesuatu. Reflek, ia memejamkan matanya.

TEEEETTT!!!

Hanya itu yang Song Eun dengar. Suara klakson mobil.

Akhirnya yeoja itu memberanikan dirinya untuk membuka matanya. Tapi apa yang ia dapatkan? Ia mendapati dirinya yang hampir ditabrak oleh sebuah mobil dengan berkecepatan tinggi. Tak hanya itu, ia juga merasakan tubuhnya dilingkari dengan kedua tangan yang sangat ia kenal. Tangan itu milik seorang namja, namja yang kemarin baru saja menangisi nasibnya.

Otaknya tidak bisa bekerja dengan baik sekarang. Bahkan ia tidak mendengar dengan jelas teriakan dari si pengemudi yang melemparkan sumpah serapahnya pada mereka. Mereka? Ya, Song Eun dan namja yang sudah menyelamatkannya dari kecelakaan.

Perlahan tangan namja yang memeluk tubuh Song Eun melemah hingga melorot dan tak lagi memeluk pinggangnya dengan sempurna. Song Eun juga bisa merasakan tubuh namja itu sedikit bergetar, menahan sakit mungkin.

“Sungmin-ah?”

Yang dipanggil tidak menyahut. Tubuhnya semakin bergetar hebat, membuat dada Song Eun bergemuruh karena panik.

“Sungmin-ah!”

“Akh…” Hanya itu yang bisa telinga Song Eun tangkap dari mulut Sungmin, rintihan karena kesakitan.

Tanpa mengulur waktu lebih lama lagi, yeoja itu segera mendorong tubuh Sungmin yang masih merapat pada tubuhnya dan memeriksa keadaan namja itu. Dan apa yang terjadi? Song Eun hanya bisa membelalakkan kedua matanya saat melihat wajah dan keadaan Sungmin saat ini. Namja itu….


** ** ** ** **


Seorang yeoja mengamati wajah namja yang masih terbaring lemas di atas ranjang putih dengan kedua mata yang tertutup. Entah sudah yang keberapa kalinya ia menghembuskan nafasnya lelah, seolah menyesali sesuatu.

“Kau bodoh, Sungmin-ah,” gumamnya pelan.

Pandangannya tak berpindah sedikitpun dari setiap inci wajah namja itu, bahkan sampai namja itu terbangun dari tidurnya dan membalas tatapan yang Song Eun berikan.

“Song Eun-ah?”

“Kau bodoh, Lee Sungmin.”

Sungmin menaikkan sebelah alisnya mendengar kalimat yang baru saja keluar dari yeoja yang beberapa jam lalu ia selamatkan.

Wae? Aku sudah menyelamatkanmu dan kau…”

“Iya, aku tahu!” potong Song Eun cepat sebelum Sungmin sempat menyelesaikan ucapannya. “Kau tidak bodoh karena sudah menyelamatkanku. Aku hargai itu.”

“Lalu?”

“Tapi kau bodoh karena tidak makan siang, tapi malah makan es krim!!!”

Sungmin reflek memejamkan matanya saat kedua telinganya menangkap suara Song Eun yang menggelegar. Yeoja ini benar-benar menyeramkan kalau sedang marah.

“Dan lihat sekarang, penyakit maag-mu kambuh! Kau harus dirawat di rumah sakit selama beberapa hari, kau senang sekarang?!” seru Song Eun kesal sambil mengacak rambutnya frustasi.

Gwaenchana, Eun-ah.

“Tidak apa-apa katamu?!!!” seru Song Eun murka.

Wae, Eun-ah? Aku janji kali ini aku tidak akan merepotkanmu lagi,” ujar Sungmin dengan tampang yang––lagi-lagi––polos dan tak berdosa. “Aku masih bisa hidup tanpa bantuanmu seperti sebelumnya.”

Song Eun menarik ujung bibirnya ke satu arah, membentuk seringai. “Lihat saja bagaimana kau melewati hari-harimu saat sakit tanpa bantuanku.”


** ** ** ** **


“Lihat saja bagaimana kau melewati hari-harimu saat sakit tanpa bantuanku.”

Sungmin mengacak rambutnya frustasi. Ia harus mengutuk dirinya sendiri karena sudah membuat Song Eun marah dan tidak membantunya sama sekali. Dan kalimat yang Song Eun lemparkan padanya beberapa hari yang lalu terus mengisi memori otaknya, membuat kepalanya terasa semakin berdenyut-denyut.

“Aissh… Aku harus bagaimana sekarang?” gumamnya pelan sambil memandangi sup yang ada di depannya dengan tatapan frustasi.

Harus Sungmin akui, hari-harinya akan memburuk tanpa bantuan yeoja itu saat dirinya sakit. Terlebih lagi ia tidak begitu pandai memasak, membuatnya harus menderita selama dua hari ini karena masakannya selalu tidak enak. Ia juga harus memakan makanan tidak enaknya itu jika tidak mau penyakit maag-nya kambuh lagi.

Pria itu akhirnya meraih sendok yang tergeletak di sebelah mangkuk sup dan mulai menyuapkan kuah sup ke dalam mulutnya dengan enggan. Sungmin bergidik saat indera pengecapnya menangkap rasa asin yang juga membuat tangan serta bibirnya bergetar. Ia memejamkan matanya rapat, berusaha untuk melenyapkan rasa enggannya saat menelan makanan yang ada di dalam mulutnya. Sulit, namun akhirnya namja itu berhasil menelannya. Ia menjulurkan lidahnya bersamaan dengan sendok yang terlepas dari tangannya, berusaha melenyapkan rasa asin yang masih mendominasi lidahnya. Ia meraih gelas yang berisi air putih dan meneguknya hingga isi gelas itu kosong.

Ia tidak mungkin mampu menghabiskan makanan yang ada di hadapannya itu. Ia juga masih terlalu lemah untuk pergi ke restoran siap saji untuk mengisi perutnya yang sudah mendemo minta diisi. Terlebih lagi isi kulkasnya sudah habis, tidak ada sedikit makanan pun yang tersisa di dalamnya. Naas sekali nasibnya sekarang.

 Akhirnya Sungmin memilih untuk meminta bantuan orang yang (mungkin) sudah tidak mau menolongnya lagi. Ia merogoh kantung celananya dan mengeluarkan ponsel. Lalu menempelkannya ke telinga setelah menekan tombol 1 pada ponsel yang merupakan tombol speed call.

Yeoboseyo…. Ne, mianhae. Aku menyesal sekarang…. Aku benar-benar membutuhkan bantuanmu. Jebal…. Ne, aku membutuhkanmu sekarang.”


** ** ** ** **


Sungmin tidak mengalihkan tatapannya dari sosok yeoja yang sedang sibuk dengan peralatan masaknya di dapur. Entah apa yang merasuki Sungmin sejak beberapa hari yang lalu, ia tidak pernah bosan memerhatikan yeoja itu. Bahkan tanpa sadar sudut-sudut bibirnya tertarik ke atas setiap kali ia memerhatikan yeoja itu.

“Benar apa kataku, kan? Kau tidak akan sanggup bertahan hidup tanpa bantuanku saat kau sakit,” ujar Song Eun dengan senyum menyindir sambil menyodorkan semangkuk sup pada Sungmin yang sudah duduk manis di meja makan.

Ne, aku sangat menyesal, Eun-ah,” sahut Sungmin seraya menyuapkan kuah sup ke dalam mulutnya dan segera menelannya. “Mashita!” ujarnya dengan mata berbinar saat kuah sup masuk melewati kerongkongannya.

“Tentu saja. Akan jadi apa kau tanpaku, huh?” sahut Song Eun, bangga.

Ne, arraseo. Kau memang hebat, Eun-ah. Gomawo, Chagiya.”

Mwo?” Song Eun tersentak kaget saat mendengar kata di akhir kalimat yang Sungmin lontarkan kepadanya. Chagiya?

“Eh…? Ngg…”

Sial! Sungmin merutuki bibirnya yang mengeluarkan kata-kata itu tanpa disaring terlebih dahulu. Dan lagi, kenapa kata-kata itu yang keluar dari mulutnya? Chagiya? Bagaimana bisa ia menyebutkan kata itu pada Song Eun?

“Kau memanggilku apa tadi? ‘Chagiya’?”

Mwo? Chagiya? Mana mungkin aku memanggilmu begitu, Song Eun-ah,” elak Sungmin seraya menyuapkan sup ke dalam mulutnya.

“Aku jelas-jelas mendengarnya. Kau memanggilku ‘chagiya’ tadi,” desak Song Eun.

Omona, Lee Song Eun. Kau harus periksa ke dokter THT setelah ini. Jelas-jelas aku berkata ‘Gomawo, Eun-ah.’”

“Tapi aku…” Song Eun berpikir sebentar. Lalu ia kembali mengeluarkan suaranya setelah otaknya menangkap satu pemikiran. “Kau… masih memikirkan Hyemi?” tanya Song Eun hati-hati dan sedikit ragu, membuat Sungmin tersedak saat mendengarnya.

“Hati-hati,” ucap Song Eun seraya menyodorkan gelas yang sudah ia isi terlebih dahulu pada Sungmin yang masih terbatuk-batuk.

Mwoya?” ucap Sungmin setelah meneguk air yang Song Eun berikan padanya.

“Yaah…” Song Eun menghela nafasnya. Ia memundurkan tubuhnya perlahan hingga punggungnya menyentuh sandaran kursi. “Aku tahu kau masih mencintainya. Pasti sangat sulit menghapusnya dari pikiranmu, ne? Menurut pengalamanku bersamamu selama ini, kau selalu memikirkan Hyemi. Berhalusinasi, mimpi, semuanya. Dan… Seperti tadi, kau memanggilku chagiya karena kau menganggapku Hyemi, kan? Kau masih bisa merasakan kehadirannya hingga tanpa sengaja menyebutkan kata itu yang sebenarnya kau tujukan pada Hyemi.”

Sungmin menatap Song Eun tanpa berkedip sedikitpun selama yeoja itu meluncurkan kalimatnya seperti air mengalir.

“Terlebih lagi Hyemi baru menikah. Kau pasti patah hati. Aku mengerti, Sungmin-ah. Aku sangat mengerti dirimu.”

“Hentikan, Song Eun,” desis Sungmin dengan mata yang tertutup. “Hentikan semua ini…”

“Jangan siksa dirimu, Sungmin-ah,” ucap Song Eun sebelum ia beranjak dari duduknya, mengambil tasnya, dan melangkah keluar dari rumah namja yang masih bertahan di tempatnya itu.

Sungmin memejamkan matanya, mencoba menekan rasa sakit yang tiba-tiba merambat ke dalam hatinya saat mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Song Eun. Lagi, pikiran dan hatinya dipenuhi dengan nama Park Hye Mi yang sejak beberapa hari yang lalu berhasil ia enyahkan dari otaknya. Tapi kini nama itu kembali begitu saja dan dengan mudahnya melekat dalam pikiran namja itu. Ia diingatkan kembali dengan kejadian dua hari lalu yang membuat hatinya mencelos. Ia melihat yeoja itu bersanding dengan pria paling beruntung di dunia di depan altar. Pria itu adalah Jong Woon.

Sampai kapan… Sampai kapan Sungmin terus dihantui oleh bayang-bayang wanita bernama Park Hye Mi itu?


** ** ** ** **


Mianhae,” gumam Song Eun pada namja yang masih merapikan pakaiannya di depan cermin. “Tidak seharusnya aku mengatakan sesuatu tentang Hyemi padamu seperti kemarin. Aku benar-benar menyesal. Maafkan aku,” ucap Song Eun dengan kepala yang ditundukkan, menyesali ucapannya kemarin yang keluar begitu saja.

Gwaenchana,” sahut Sungmin sambil mengukir senyum khasnya. “Aku harus move on. Aku tidak mungkin terus bertahan pada satu yeoja yang sudah menikah, bukan?” ujarnya dengan pandangan yang sudah kembali pada bayangannya di cermin.

Song Eun tersenyum puas mendengar perkataan Sungmin. Inilah yang ia harapkan selama ini. Sungmin memang harus move on dari masa lalunya yang membuatnya terpuruk dan tersakiti. Move on dan memulai hidup baru yang lebih baik dari sebelumnya.

“Aissh…” gumam Sungmin kesal memandangi dasinya yang tak juga tersimpul dengan rapi.

Song Eun menghampiri namja yang masih berkutat dengan dasinya itu dan mengambil alih kerah bajunya.

“Harusnya kau pasang dasinya seperti ini,” ujar Song Eun dengan kedua tangannya yang sedang sibuk dengan dasi Sungmin.

Dengan jarak sedekat ini Sungmin bisa memerhatikan wajah Song Eun dengan jelas. Ia terus mengamati lekuk-lekuk wajah yeoja itu, hingga dirinya benar-benar terhanyut pada wajah Song Eun. Bahkan ia bisa merasakan jantungnya yang tidak berdetak secara normal saat mata mereka bertemu.

Wae, Sungmin-ah?” tanya Song Eun saat menyadari tatapan Sungmin padanya.

Sungmin tersentak dan dengan cepat ia mengalihkan pandangannya ke arah lain sebelum pandangannya kembali pada yeoja yang ada di hadapannya.

“Sudah selesai. Dasimu sudah rapi,” ujar Song Eun merujuk pada dasi yang sudah melingkar dengan rapi di leher Sungmin.

“Ah, ne. Gomawo, Eun-ah,” sahut Sungmin sambil tersenyum canggung.

“Mm… Cheonmaneyo,” balas Song Eun. “Oh ya. Sungmin-ah, mungkin lebih baik sekarang aku…”

“Aku yang akan mengantarmu ke kantor,” potong Sungmin sebelum Song Eun sempat menyelesaikan kalimatnya.

“Eh, tidak usah. Kau lupa aku bawa mobil ke sini?”

“Aku bilang aku yang akan mengantarmu, Eun-ah,” ujar Sungmin dengan penekanan pada setiap kata, menandakan tidak ingin perkataannya ditolak. “Kajja.” Sungmin menggamit tangan Song Eun keluar dari kamarnya lengkap dengan kunci mobil dan tas kerjanya.


** ** ** ** **


“Sungmin?”

Sungmin tertegun selama beberapa detik saat kedua telinganya menangkap suara yang memanggil namanya pelan. Terlebih lagi saat indera penglihatannya menangkap sesosok yeoja yang beberapa hari yang lalu membuat seluruh organ tubuhnya serasa mati rasa.

“Kau juga makan siang di sini?” tanyanya yeoja itu riang sambil melongokkan kepalanya melewati bahu Sungmin. “Bersama Song Eun?”

Sungmin mengangguk pelan sambil menarik ujung-ujung bibirnya dengan kaku.

Ne, kami makan siang bersama,” ucapnya pelan. “Hyemi-ah, aku harus ke toilet,” ujarnya sebelum melangkahkan kakinya ke suatu ruangan yang ia sebutkan tadi.


** ** ** ** **


“Song Eun-ah!”

Yang dipanggil menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang yeoja sedang berjalan menghampirinya riang.

Aigo, Park Hye Mi! Bagaimana rasanya menjadi pengantin baru, heh?” tanya Song Eun sambil mencubit gemas pipi yeoja yang merupakan sahabatnya itu.

“Aissh, kenapa bertanya begitu?” ucap Hyemi dengan pipi yang mulai merona merah. “Kau makan siang bersama Sungmin?” tanya Hyemi setelah mendudukan dirinya di kursi yang ada di hadapan Song Eun.

Song Eun hanya mengangguk sambil menyesap minumannya.

“Kalian berdua ada hubungan apa?” tanya Hyemi dengan mencondongkan tubuhnya ke arah Song Eun.

“Kau sudah tahu dengan pasti, Hyemi-ah. Kenapa masih bertanya? Teman, dari dulu sampai sekarang kami masih berteman,” jawab Song Eun ringan.

Memangnya hubungan apa lagi? Sejak kapan pula mereka menjadi musuh? Tidak pernah, kan? Kalau begitu hubungan Song Eun dan Sungmin tidak pernah tergeser dari kata ‘teman’.

“Aissh, bukan itu, Song Eun-ah!”

“Lalu apa?”

“Kalian berdua… pacaran?”

Sontak yeoja berambut panjang itu langsung menyemburkan minuman yang ada di dalam mulutnya keluar.

“Apa maksudmu, Hyemi-ah?!” tanya Song Eun dengan kedua mata yang terbelalak di sela-sela batuknya.

Hyemi mengendikkan bahunya santai. “Tidak ada. Hanya saja tidak biasanya kalian sedekat ini.”

“Cih, kau lupa siapa yang mengurus namja cengeng itu setiap ia sakit? Aku, kan? Dan sekarang sebelum maag-nya kambuh lagi, aku harus menjadi ‘ibu’ dadakannya.”

“Tapi, Song Eun-ah. Makan siang bersama? Kalian tidak biasanya menghabiskan waktu istirahat kantor berdua.”

“Tidak, kami hanya teman. Sebatas itu.”

“Tapi…”


“Hyemi-ah, dia masih mencintaimu.”

Hyemi diam, ia tidak melanjutkan ucapannya lagi. Hanya sorot matanya yang merespon ucapan Song Eun. Lagi-lagi yeoja ini di hadapkan dengan situasi yang sulit seperti lima tahun yang lalu.

Mwo?” Hanya itu yang keluar dari mulut Hyemi, efek dari keterkejutannya.

“Kau terkejut? Selama lima tahun ini dia mengatakan bahwa dia sudah melepaskanmu untuk Jong Woon. Tapi tidak dengan hatinya. Masih ada namamu di sana,” jawab Song Eun dengan mimik wajah serius. “Selama ini hanya aku yang tahu itu. Hanya aku tempatnya menangisi dirimu, menangisi dirinya yang sudah kehilanganmu,” lanjutnya.

“Tapi, aku…”

“Kau bertemu dengannya di toilet?” tanya Song Eun yang hanya Hyemi jawab dengan anggukan. “Kau bisa lihat wajahnya saat bertatap muka denganmu. Kau bisa lihat sorot matanya yang berbeda saat ia melihatmu. Selama ini tidak ada yang berubah tentang perasaannya padamu.”

Hyemi terlarut dalam diam dengan pandangan menunduk. Jadi selama ini Sungmin masih menyimpan perasaan yang tidak bisa Hyemi balas? Seperti film pendek, memori lima tahun yang lalu mulai berputar di benak yeoja itu. Tidak, tidak. Sungmin tidak boleh begini.

“Song Eun-ah… aku harus ke toilet,” ujar Hyemi seraya bangkit dari duduknya dan berjalan ke toilet––lagi.

Hyemi butuh menenangkan pikirannya yang tiba-tiba diingatkan kembali kepada fakta yang tidak ingin ia ketahui. Sungmin masih mencintainya?


** ** ** ** **


Song Eun kembali dibuat bingung dengan sikap Sungmin hari ini. Pertama, namja itu selalu memerhatikannya dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. Kedua, namja itu selalu mengajaknya pergi ke tempat-tempat yang biasa didatangi oleh pasangan-pasangan muda. Dan sekarang, Sungmin tiba-tiba menarik tangannya keluar dari restoran saat Hyemi masih di toilet. Ada apa ini? Kenapa tiba-tiba Sungmin menjadi aneh?

Ah, akhirnya Song Eun menemukan alasan yang mungkin menjadi penyebab namja ini ingin segera keluar dari restoran itu. Pasti karena Park Hyemi.

“Kau mau ke mana, Sungmin-ah?” tanya Song Eun sambil melirik Sungmin yang masih sibuk dengan jalanan yang ada di depannya.

“Eun-ah…” ucap Sungmin, membuat Song Eun sedikit tertegun mendengar nada bicara namja itu. Terlebih lagi hanya Sungmin yang memanggilnya dengan panggilan ‘Eun’. “Apa aku bisa move on dari masa laluku?” tanyanya sambil mengalihkan tatapannya pada Song Eun.

Why not? Kau pasti bisa,” jawab Song Eun sambil melemparkan senyum pada Sungmin.

Ini yang membuat Sungmin bingung. Senyuman gadis itu, kenapa bisa menyamai senyuman Hyemi yang membuatnya tenang? Ah, tidak. Bahkan Sungmin merasa Song Eun bisa membuatnya nyaman dan tenang melebihi Park Hyemi. Lalu, apa nama perasaannya saat ini?

Sungmin bingung. Di sisi lain, ia masih bisa merasakan getaran dalam dadanya saat bertatap muka dengan Hyemi. Tapi ia juga bisa mendengar jantungnya yang berdetak cepat saat menatap wajah Song Eun. Apa Sungmin bisa menyimpulkan bahwa ia sudah jatuh cinta pada yeoja yang sudah menemaninya selama lima tahun ini?

“YA! Apa yang kau lakukan?! Kau mau kita mati?!” seru Song Eun saat Sungmin dengan tiba-tiba menepikan mobilnya ke pinggir jalan.

Sungmin terdiam. Ia juga tidak tahu kenapa organ tubuhnya tidak bisa bekerja dengan baik saat ini, terlebih lagi saat ia sedang bersama Song Eun.

“Eun-ah…” panggilnya setelah mengatur nafasnya.

“Hm?”

“Aku rasa aku sudah bisa move on dari Hyemi sekarang.”

Song Eun menarik sudut bibirnya ke atas, membentuk seulas senyuman di sana.

“Itu bagus! Finally, kau bisa melupakannya juga, kan?” ujar Song Eun riang, senang atas keberhasilan temannya itu untuk bisa melupakan masa lalunya.

“Eun-ah…” ucap Sungmin. Kali ini dia menatap yeoja yang ada di sampingnya itu––kembali––dengan tatapan yang sulit untuk Song Eun artikan. “Menikahlah denganku.”

Dan entah kenapa kali ini giliran jantung Song Eun yang berdetak keras.
Namja ini… apa dia sudah gila?



-To be continued-



Hai hai~~~ Masih ingatkah konflik antara Sungmin, Hyemi, dan Jong Woon? Yap! Di sini bakal diceritain perjalanan hidup Sungmin yang merana gara2 ditinggal Hyemi. Kkkkk xD
Tapi nggak merana juga sih, soalnya si Umin udah dapet pengganti Hyemi kan yak? Hehehe…
Sebenarnya sih cerita ini pengen dibikin oneshot. Tapi ternyata gak bisa. Susah banget kalo bikin oneshot. Hehehe…
Gomawo udah baca. Leave comment ya :D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar