Kamis, 30 Agustus 2012

Love or Obsession? [Part 1]







Title  : Love or Obsession? ––– First Part

Author : Ifa Raneza

Cast  :
-Yesung (Kim Jong Woon)
-Park Hye Mi (OC)
-Lee Sung Min
-Leeteuk (Park Jung Soo)

Genre : Romance


Entah ini udah FF gaje yang keberapa yang udah aku tulis. Dan lagi-lagi aku ambil main castnya Jong Woon-Hyemi. Tapi ini ceritanya beda kok, gaada sangkut pautnya sama cerita I’m Sorry Oppa. Ini pure cerita baru dan pastinya original dari otak pas-pasan(?) aku. Oiya, FF ini juga tanpa editing ulang, jadi maaf kalo ada kata-kata yang gaje atau typo di mana-mana -__-v
Okelah, Happy reading all ^^


***


BRUK!
Tanpa membantu memungut buku-buku yang jatuh atau sekedar mengucapkan kata maaf, namja itu hanya memandangi yeoja yang ditabraknya lewat kacamata hitamnya. Tatapan angkuh ia layangkan pada yeoja bertubuh kecil yang sedang sibuk memunguti buku-bukunya yang berserakan di lantai sambil sesekali menggerutu pelan. Yeoja itu bangkit dengan buku-buku tebal ditangannya dan menatap namja itu dengan tatapan tajam.
“Siapa kau?” tanya namja itu tanpa melembutkan nada bicaranya yang terdengar begitu angkuh.
“Yaak… Seharusnya aku yang bertanya siapa kau?!” kata yeoja itu balik bertanya dengan nada tinggi. Tampak sekali namja itu sudah merusak mood-nya.
“Untuk apa kau tahu namaku?” kata namja itu disertai dengan seringai yang muncul di sudut bibirnya. Sombong.
Yeoja itu membulatkan kedua matanya lebar, menatap namja di depannya itu dengan tatapan tak habis pikir. Lalu matanya mulai memicing dan ia berdesis pelan.
“Baiklah. Kalau begitu lebih baik setelah ini Tuhan tidak mempertemukan kita lagi. Annyeong!” ujarnya ketus seraya berjalan melewati namja itu dengan langkah lebar.

Beberapa detik setelahnya, setelah yeoja itu berjalan cukup jauh di belakangnya, namja itu menoleh ke belakang, menatap punggung yeoja itu yang semakin menjauh.
“Park Hye Mi..” gumamnya pelan, menyebutkan nama yang tertulis di salah satu sampul buku tebal yang berserakan di lantai tadi.
Ia membuka kacamata hitamnya dan menunjukkan kedua bola matanya yang terlihat dingin dan menusuk. Sebuah seringai kembali muncul di sudut bibirnya.
“Sepertinya kau salah sudah mencari masalah denganku,” gumamnya seraya merogoh saku celananya dan mengeluarkan kunci mobil dengan namanya yang tertera di gantungan kuncinya.

Kim Jong Woon.


** ** **


“Haish! Siapa yang bilang kalau aku akan setuju ikut ke acara itu bersamamu?!” tanya Hyemi sambil melemparkan tatapan kesal pada Jungsoo yang sedang sibuk memilih pakaian yang cocok untuknya untuk ke acara pertemuan keluarga.
“Aku tidak perlu persetujuanmu,” jawab Jungsoo enteng sambil mengambil sebuah dress putih dari lemari pakaian Hyemi dan melemparkannya pada seorang pelayan di belakangnya. “Paksa dia memakai pakaian itu. Aku tunggu di mobil,” ujarnya tanpa memedulikan tatapan mematikan yang Hyemi lemparkan padanya.
“Yaak, Oppa!” seru Hyemi.
Saeng-ah!” balas Jungsoo sambil melemparkan tatapan datarnya yang menurut Hyemi cukup menakutkan. “Cepat dandani dia,” ujarnya pada pelayan-pelayan yang ada di kamar itu. Lalu sosoknya menghilang di balik pintu kamar yang ditutupnya.

Setelah itu, Hyemi harus menambah stok kesabarannya karena ia mulai diseret dan didandani secara paksa oleh pelayan-pelayannya sendiri. Tujuannya? Untuk menghadiri sebuah acara pertemuan keluarga dengan keluarga Kim dan Lee yang merupakan sahabat dari keluarga Park. Ya, tidak ada yang menarik dalam acara itu. Dan itulah yang membuat Hyemi selalu menolak untuk diajak menghadiri acara itu.


** ** **


“Jaga sikapmu di sini. Kau baru pertama kali menghadiri acara ini, kan? Tahun-tahun sebelumnya kau selalu menolak ketika diajak,” bisik Jungsoo saat mereka mulai memasuki rumah mewah bercat putih itu.
Hyemi tidak menyahut, ia hanya memasang wajah datarnya dan menatap Jungsoo dengan tajam. Ia paling tidak suka dipaksa, dan Jungsoo adalah satu-satunya orang di keluarganya yang berani memaksanya.

“Jungsoo-ya, kau sudah datang?” sambut seorang wanita paruh baya dengan gaun birunya yang membuatnya tampak sedikit lebih muda dari usianya yang sebenarnya. “Apa ini adikmu?” tanyanya dengan tatapan yang sudah beralih pada Hyemi.
Ne, Ahjumma. Namanya Park Hye Mi. Maaf, omma dan appa tidak bisa hadir. Mereka masih di luar negeri,” jawab Jungsoo seraya menyikut lengan Hyemi untuk mengembangkan senyumnya.
Hyemi memutar kedua bola matanya dan dengan terpaksa ia mulai menarik sudut bibirnya. Tampak sekali senyumnya sangat dipaksakan, membuat Jungsoo ingin sekali mencekik adik kesayangannya ini.
“Ah, selama ini dia tidak pernah ikut ke acara ini, bukan? Selalu kau yang mewakili orang tuamu, Jungsoo-ya,” ujar wanita itu sambil terus mengulas senyumnya. “Tenanglah, acara ini tidak akan membosankan seperti kelihatannya,” ujarnya lagi.
“Tidak membosankan dari mana,” gumam Hyemi yang tidak dapat wanita itu dengar namun dapat dijangkau oleh telinga Jungsoo.
Detik itu juga Jungsoo menyikut lengan Hyemi. “Jaga sikapmu, Hyemi-ah,” bisiknya dengan penekanan pada setiap kata, menunjukkan bahwa ia tidak main-main dengan ucapannya.
“Ayo, masuk. Keluarga Lee juga sudah hadir di dalam,” ujar wanita itu sambil berbalik dan masuk ke sebuah ruangan di mana keluarga Kim dan Lee sudah menunggu.

“Itu Nyonya Kim atau Nyonya Lee?” bisik Hyemi pada Jungsoo sementara kaki mereka masih melangkah masuk ke dalam ruangan itu.
“Nyonya Kim,” jawab Jungsoo.
Hyung!” panggil sebuah suara ringan yang sangat Hyemi kenal. Ya, suara ini.
“Sungmin-ah!” balas Jungsoo sambil menghampiri namja berwajah aegyeo yang sedang duduk di sebuah sofa di sudut ruangan itu.
“Lee Sung Min,” gumam Hyemi seraya mengikuti langkah kakaknya dari belakang.
Ia mengenal Lee Sung Min. Mereka biasa bertemu di kantin kampus setiap jam istirahat, dan yah.. Sungmin termasuk namja populer di kampus. Maka mustahil jika Hyemi tidak mengenalinya.

“Kau datang juga, Hyemi-ah?” tanya Sungmin sambil lagi-lagi memamerkan senyum manisnya.
Hyemi hanya mengangguk sambil mengulas senyum singkat. Ia menjatuhkan dirinya di sofa di hadapan Sungmin. Ia benar-benar tidak bisa membayangkan bagaimana nasibnya dalam dua jam ke depan di dalam acara paling membosankan ini.
“Mana Jongwoon?” tanya Jungsoo sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. “Dia sudah pulang dari Tokyo, kan?” tanyanya lagi.
Sungmin mengangguk. “Ne, mungkin dia masih siap-siap di kamarnya.”
“Siapa Jongwoon?” tanya Hyemi yang sedari tadi hanya diam.
“Dia putra tunggal keluarga Kim,” jawab Jungsoo.
“Ooh…” gumam Hyemi seraya mengeluarkan ponselnya dan mulai menyibukkan diri dengan ponsel. Ia tampak sangat tak peduli dengan acara membosankan ini, terlebih pada namja bernama Jongwoon itu. Mendengar namanya saja baru kali ini. Jadi apa yang harus ia pedulikan?

“Kau belum pernah bertemu dengan Jongwoon, kan?” tanya Sungmin tiba-tiba, sedikit membuat Hyemi tersentak dari kesibukannya pada ponselnya.
“Ah, ne?” tanyanya dengan sedikit gelagapan, efek dari keterkejutannya.
“Kau ini, kenapa malah sibuk dengan ponselmu? Kita sedang ada di acara keluarga, Nona Park,” ujar Jungsoo sedikit kesal dengan sikap adiknya yang terlampau cuek.
Hyemi berdesis pelan, lalu tatapannya kembali pada Sungmin.
“Kau belum pernah bertemu dengan Jongwoon, kan?” tanya Sungmin lagi, mengulangi pertanyaannya yang belum Hyemi jawab.
Hyemi menggeleng. “Belum,” jawabnya. “Seperti apa orangnya?” tanyanya.
“Dia menyenangkan,” jawab Sungmin.
“Dan sepertinya dia tipe namja yang tidak kau sukai,” tambah Jungsoo.
“Aaaah… Dia pasti menyebalkan, bukan?”
“Mungkin..” kata Jungsoo. Lalu ia bangkit dari duduknya. “Aku ambil minuman dulu,” ujarnya pada Hyemi dan Sungmin, kemudian berjalan ke salah satu sudut ruangan.
“Ngg… Sepertinya aku juga sedikit haus, aku ambil minuman dulu,” ujar Sungmin seraya bangkit dan meninggalkan Hyemi sendirian di sana.

Hyemi menghela nafasnya pelan, lalu kembali menyibukkan diri dengan ponselnya.
Well, it’s bored,” gumamnya pada dirinya sendiri.


** ** **


TOK… TOK… TOK…
Sosok seorang namja muncul di balik pintu berwarna coklat itu. Dilihat dari raut wajahnya, namja itu terlihat marah atau kesal karena kesenangannya diganggu. Sedangkan pelayan yang berdiri di depan pintu kamarnya hanya menundukkan kepalanya, takut akan tuan mudanya ini.
“Ada apa?” tanyanya ketus. “Kau tidak tahu kau sudah menggangguku, heh?”
“Ma..maaf, Tuan. Nyonya dan Tuan sudah menunggu Anda di bawah. Saya hanya disuruh Nyonya,” jawab pelayan itu takut-takut.
Namja itu melirik ke lantai bawah. Sepertinya acaranya sudah dimulai.
“Acaranya sudah dimulai?” tanyanya.
Ne, Tuan.”
“Aku akan segera ke bawah,” ujarnya seraya menutup kembali pintu kamarnya dengan cukup keras, membuat pelayan tadi sedikit tersentak kaget.

“Dasar.. Mengganggu saja,” gumamnya. Lalu ia kembali menempelkan ponselnya ke telinga kirinya, kembali pada kesibukannya sebelumnya. “Hara-ya.. Mian, tadi aku ada urusan sebentar,” katanya dengan nada bicara yang lembut.
Ne, Oppa.. Urusan apa? Apa lebih penting dari aku?” tanya si lawan bicara dengan nada manja.
“Tentu saja tidak, Hara-ya..” jawab namja itu, berusaha membujuk yeoja yang sedang berbicara dengannya yang sepertinya mulai merajuk.
Jinjjayo?”
Ne… Ngg… Aku tutup dulu teleponnya, ne? Nanti kutelepon lagi.”
Ne, Oppa… Annyeong.”
Annyeong, Chagi.”

KLIK.
Namja itu menekan tombol merah pada ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku celananya. Ia membuka lemari bajunya dan mengambil salah satu kemeja dari sana.
“Dasar yeoja centil,” gumamnya dengan seringai yang muncul di sudut bibirnya sambil mengenakan kemeja yang ia ambil tadi.
Setelah bersiap-siap, ia keluar dari kamarnya dan turun ke lantai bawah, bergabung dengan orang tuanya dan kedua keluarga yang sudah hadir di acara tahunan keluarga mereka, keluarga Lee dan keluarga Park.

Sesampainya di ruangan di mana acara itu dimulai, ia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan. Terlihat para orang tua sedang sibuk bercengkrama di sudut ruangan, lalu ada Jungsoo dan Sungmin yang sedang mengobrol di bar sambil menyesap minuman mereka.
Ia hampir saja hendak melangkah ke arah dua temannya itu saat pandangannya menangkap seorang yeoja yang sedang duduk di sofa putih di sudut ruangan yang lain, menyibukkan dirinya dengan ponsel.
Ia menarik sudut bibirnya ke satu arah dan melangkahkan kakinya menghampiri yeoja itu.
                                                                                                                      

** ** **


(Park Hye Mi POV)


Aku sedang asyik-asyiknya mengirim pesan pada Narin saat kurasakan seseorang menjatuhkan dirinya di tempat kosong di sebelahku. Masih enggan menolehkan kepala atau sekedar meliriknya untuk mengetahui siapa orang itu, aku hanya kembali menyibukkan diri dengan mengirim pesan pada Narin.
“Hai..” sapa orang itu yang kuyakini adalah namja, terdengar dari suaranya yang lumayan berat dan bau parfumnya yang hampir sama seperti parfum Jungsoo-oppa.
Aku hanya menanggapi sapaannya dengan menggumam tanpa menatapnya.
“Sendirian saja?” tanyanya.
“Menurutmu?” kataku jengah.
“Ya… Kulihat kau sedang sendiri,” katanya ringan.

Eh, tunggu sebentar.. Aku rasa aku pernah mendengar suara ini. Tapi kapan dan di mana?
“Kau lupa padaku, ya?” tanyanya sambil terkekeh pelan.
Penasaran, kutolehkan kepalaku ke arahnya dan detik itulah aku tahu di mana aku pernah mendengar suara yang sangat menjengkelkan ini. Di lorong kampus saat jam pulang tadi! Dia namja sombong yang sudah menabrakku!
“Yaak… Ternyata kau!” seruku dengan memasang tampang ‘oh ternyata kau?’.
Namja kurang ajar itu hanya mengembangkan senyumnya yang membuat kekesalanku semakin menjadi.
“Kau ingat aku?” tanyanya tanpa menghapus senyuman menjijikkannya sesenti pun.
“Tentu saja aku ingat! Kau namja kurang ajar yang kutemui beberapa jam yang lalu!” jawabku ketus tanpa mengubah tatapan jengkel yang kulemparkan padanya.

Namja itu hanya menanggapi ucapanku dengan kembali terkekeh. Namja ini pasti sudah gila!
“Nada bicaramu tidak bisa lembut sedikit, ya? Telingaku hampir tuli karena suaramu,” ujarnya sambil menggosok pelan telinganya.
“Khusus padamu sepertinya tidak bisa.”
Namja itu kembali terkekeh. Apa dia tidak bisa menanggapi ucapanku dengan sikap lain selain terkekeh? Aku sudah mulai muak dengan kekehannya.
“Kau lucu sekali, Hyemi-ah,” ujarnya sambil mencubit gemas pipi kananku.
“Aaaah!” ringisku kesakitan sambil menggosok pipiku yang dicubitnya. Sepertinya pipi kananku sudah memerah sekarang. “Dari mana kau tahu namaku, heh?” tanyaku tanpa melembutkan nada bicaraku.
Ia menyeringai. “Jangan panggil aku Kim Jong Woon kalau aku tidak bisa tahu namamu,” katanya membanggakan dirinya.
Hah! Jadi dia yang namanya Kim Jong Woon? Ternyata benar kata Jungsoo-oppa, dia sangat menyebalkan. Daripada aku mati kesal di sini lebih baik aku menyusul Jungsoo-oppa dan Sungmin di bar.

Baru saja aku bangkit dari dudukku, tanganku sudah ditarik hingga aku kembali terduduk. Aku terjatuh di samping namja itu, hingga kini posisi kami sangat dekat. Ia melingkarkan sebelah tangannya ke belakang punggungku, merangkulku.
“Yaak… Lepaskan aku!” kataku sambil berusaha melepaskan tangannya dari bahuku.
“Kau termasuk salah satu yeoja beruntung yang bisa dekat denganku, Hyemi-ah. Jangan sia-siakan kesempatan baik ini,” ujarnya tanpa mau melepaskan tangannya dari pundakku. Lagi-lagi dia membanggakan dirinya sendiri. Menyebalkan sekali.
“Sayangnya aku menolak kesempatan ‘baik’ itu. Terima kasih,” ujarku cepat sambil melepas tangannya dengan kasar dan beranjak dari tempat dudukku, lalu berjalan ke arah Jungsoo-oppa dan Sungmin yang sedang mengobrol di bar sebelum namja menyebalkan ini kembali mencekal tanganku.

Jongwoon ikut bangkit dan berjalan menyusul langkah lebarku. Ia kembali berhasil mencekal pergelangan tanganku dan menarikku hingga wajahku sedikit menubruk dada bidangnya.
“Auww…” ringisku saat kurasakan hidungku sedikit terasa nyeri saat menubruk dadanya. “Issh… Apa maumu?” tanyaku ketus.
“Aku sarankan kau menggunakan kesempatan yang kuberikan baik-baik, ne?” katanya sambil kembali merangkulku.
“Lepaskan! Jangan sentuh aku dengan tangan baumu itu!” ujarku seraya menghempas tangannya dan kembali berjalan menghampiri Jungsoo-oppa di bar.

Aku bersumpah, jika namja itu berani menyentuhku sekali lagi maka kupastikan tulangnya akan segera berpindah ruas.


** ** **


(Kim Jong Woon POV)


Aku terus mengikuti ke mana pun yeoja ketus ini bergerak. Sedikit saja ia bergerak, maka aku akan segera bergerak ke arahnya yang membuatnya semakin jengkel padaku. Selama acara keluarga ini berlangsung, aku terus menempel padanya hingga membuatnya jengah. Tapi untungnya kehadiran para orang tua di sini membuatnya menahan kekesalannya untuk tidak mengomeliku atau memukulku saat aku mulai bersikap manja padanya. Apalagi saat Jungsoo-hyung mulai mengomelinya saat ia bersikap kasar, ia akan segera menurut dan mulai bersikap sopan lagi. Yeoja yang lucu.

Drrt… Drrtt…
Aku sedikit tersentak saat merasakan sesuatu yang bergetar di dalam saku celanaku. Kurogoh saku celanaku dan sedikit terkejut melihat nama penelepon yang tertera di layar ponsel. Jung Ha Ra. Kenapa yeoja ini meneleponku di saat yang tidak tepat?
Aku melirik Hyemi yang sedang melemparkan tatapan bingung padaku. Bisa gawat kalau dia tahu tentang Hara, semua rencanaku bisa kacau balau.

“Kenapa tidak angkat teleponnya?” tanyanya tanpa melembutkan nada bicaranya yang terdengar ketus itu.
“Aaah, ini…” kataku terputus, masih memutar otak untuk menemukan alasan yang masuk akal.
“Angkatlah, dan lepaskan tanganmu dari lenganku,” ujarnya sambil melirik tanganku yang masih melingkar di lengannya. Tampak sekali ia tidak suka dengan sikapku.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku segera bangkit dari sofa tempatku duduk dan beranjak ke teras rumah, tempat paling aman untuk menjawab telepon Hara.
Yeoboseyo?” ucapku setelah menekan tombol hijau pada ponsel.
Oppaaa…” Suara manja yang sudah sering kudengar masuk ke dalam indera pendengaranku. Dasar yeoja ini.
Ne, Chagi. Ada apa?” tanyaku sedikit berbisik walaupun aku tahu tidak ada yang bisa mendengar obrolan kami di sini.
Mwo? Kau masih bertanya ada apa? Bukankah kau sudah berjanji akan meneleponku? Tapi ke mana janjimu?” tanyanya dengan nada bicara kesal yang terdengar manja.
“Aku sedang ada di acara keluarga,” jawabku. “Nanti malam kutelepon lagi, ne?”
“Aaah, Oppaaa… Aku masih ingin bicara denganmu.”
“Tapi aku sedang ada acara keluarga,” kataku, mulai kehabisan akal untuk membujuk yeoja centil ini. “Aah, bagaimana kalau nanti malam kau kujemput? Kita makan malam bersama,” kataku, mencoba membujuknya.
“Baiklah. Aku tunggu. Jangan berbohong lagi, Oppa.”
“Aissh… Kapan aku pernah berbohong padamu?”
Aniyo.. Aku hanya takut Oppa lupa dengan janjimu sendiri.”
“Aku pastikan aku tidak akan lupa. Aku tutup dulu teleponnya, ne?”
Ne, Oppa.. Annyeong.”
Annyeong, Chagi.”

KLIK. Kutekan tombol merah pada ponselku dan menutup sambungan. Aku menghela nafas lega saat akhirnya bisa menutup pembicaraan dengan yeoja yang hanya kujadikan sebagai mainanku itu. Dia memang yeoja centil yang pernah menjadi hoobae-ku saat SMA dulu. Dan yaah… aku ini memang women lover, dan jarang ada wanita yang bisa menepis pesonaku, kecuali Hyemi. Aku rasa dia bukan yeoja normal yang bisa merasakan pesonaku yang melebihi kapasitas normal ini(?).

Aku baru saja berbalik dan hendak melangkah masuk ke dalam ruangan tadi saat kudapati yeoja itu sedang berdiri dengan menyandarkan punggungnya pada pintu, menatapku. Sejak kapan dia ada di sana?

“Sejak kapan kau ada di sana?” tanyaku datar, sedikit takut kalau dia mendengar semua pembicaraanku dengan Hara tadi.
“Baru saja,” jawabnya cuek. “Aku mau ke toilet,” ujarnya seraya beranjak dan berjalan ke arah toilet.

Sekali lagi aku menghela nafas lega, untungnya dia tidak mendengar pembicaraanku dengan Hara dan menghancurkan rencana yang sudah kususun rapi. Park Hye Mi, you must be mine.


** ** **


(Author POV)


“Kulihat sepertinya kau menyukai Hyemi,” kata Jongwoon saat acara keluarga selesai. Ia menghampiri Sungmin yang sedang bersiap di depan pintu mobilnya untuk segera pulang, menyusul orang tuanya yang sudah pulang terlebih dahulu.
“Yeah… Since when I was a highschooler,” jawab Sungmin sambil memutar kunci mobilnya. Ia tahu ke arah mana pembicaraan ini akan berlanjut. “Bagaimana denganmu, Hyung? Bukankah Hyemi adalah yeoja yang menarik?” tanyanya, mencoba memancing Jongwoon.
Jongwoon menyeringai lebar. “Maybe..” jawabnya enteng.
Hyung, kuharap kau tidak menganggapnya sebagai ‘mainan’ kecilmu,” ujar Sungmin mulai serius.
Jongwoon lagi-lagi menyeringai lebar. “Listen, my dearest cousin. She’s not my little toy. She will be my great toy,” ucapnya dingin dengan senyum licik yang muncul di sudut bibirnya. “Kalau kau benar-benar menyukainya, lebih baik kau jaga Hyemi-mu itu sebelum aku benar-benar menjadikannya sebagai salah satu koleksi yeoja-ku. Annyeong!” ujarnya seraya membuka pintu mobilnya sendiri dan meninggalkan Sungmin yang masih berdiri terpaku di depan pintu mobilnya.

Sepertinya ia memang harus berhati-hati dengan sepupu playboy-nya ini. Terlebih lagi sasaran Jongwoon yang selanjutnya adalah Hyemi, yeoja yang sangat Sungmin sukai.

“Lee Sung Min. You must protect your girl,” gumamnya, lalu berbalik dan masuk ke dalam mobil, meninggalkan halaman rumah mewah keluarga Kim.


** ** **


“Hyemi-ah.. Itu temanmu?” tanya Narin sedikit berbisik pada Hyemi yang sedang sibuk berkutat dengan buku tebalnya sambil melirik ke arah namja yang sedang berdiri di depan pintu kelas mereka.
Mwo? Nugu?” tanya Hyemi seraya mengangkat kepalanya. “Itu?” tanyanya tak habis pikir sambil menunjuk ke arah namja yang sedang memamerkan angel smile­-nya.
Narin mengangguk.
“Dia bukan temanku, dia namja super menyebalkan yang kutemui kemarin,” jawab Hyemi datar sambil kembali hanyut ke dalam bacaannya.
“Sepertinya dia menunggumu,” ujar Narin sambil kembali melirik namja itu.
“Biarkan saja.”
“Hei… Hei… Dia ke sini,” bisik Narin sebelum namja yang selalu menebarkan pesonanya ke seluruh penjuru kelas tiba tepat di hadapan mereka.

Hyemi menyadari kehadiran namja tinggi itu di depannya, namun ia masih enggan mengangkat kepalanya. Terlalu menguras energi hanya untuk mengetahui siapa namja itu.
Go with me?” tanyanya tanpa menghapus senyumannya sesenti pun.
“Aku menolak,” jawab Hyemi cepat tanpa membalas tatapan namja itu.
“Aku memaksamu, dan aku tidak memerlukan persetujuanmu, Nona Park,” ujarnya lagi.
“Aku tidak mau.”
Namja itu melebarkan senyumannya dan berbisik. “Jangan panggil aku Kim Jong Woon kalau aku tidak bisa memaksamu.”


** ** **


Jongwoon tersenyum melihat Hyemi yang sedang sibuk mengamati pemandangan kota Seoul dari jendela yang ada di sebelah tempat duduknya. Mereka kini berada di apartemen pribadi Jongwoon. Melihat keramaian kota dari atas adalah kesukaan Hyemi. Entah apa yang membuat yeoja itu betah menatapnya berlama-lama.

“Kau tidak mau memakan cheese cake-mu? Aku rasa kau ini makanan favoritmu,” ujar Jongwoon seraya menyesap kopinya tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Hyemi.
Hyemi menoleh, beralih menatapnya. Ia mendengus pelan. “Dari mana kau tahu itu?” tanyanya dengan nada bicara yang tidak pernah berubah, selalu ketus.
Jongwoon mengendikkan bahunya dan kembali mengukir senyum. “Kau tahu siapa aku, kan?” katanya.
Hyemi memutar kedua bola matanya jengah. “Ne, aku tahu, Tuan Kim Jong Woon,” ujar Hyemi dengan nada malas yang terdengar dibuat-buat, membuat Jongwoon sedikit tergelak mendengarnya. “Kau punya segalanya yang bisa kau gunakan untuk melakukan dan mendapatkan apapun yang kau mau. Aku tahu itu,” katanya lagi sambil memotong ujung cheese cake-nya dengan sendok kecil dan menyuapkannya ke dalam mulutnya.
“Bukankah kau juga sama? You’re a part of Park family,” tanya Jongwoon, mengingatkan Hyemi pada kenyataan bahwa mereka sama-sama berasal dari keluarga paling berpengaruh di negeri ini.
Hyemi mengangguk sambil terus mengunyah makanan di dalam mulutnya.

Jongwoon menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, menunggu Hyemi untuk mencerna makanan di dalam mulutnya dan melanjutkan ucapannya.

“Ada satu hal yang kau tidak pikirkan, Jongwoon-ssi. Tidak semua hal bisa berjalan sesuai dengan apa yang kauinginkan,” ujar Hyemi setelah berhasil menelan makanannya dan menyesap cokelat panasnya.
Jongwoon mencondongkan tubuhnya ke arah Hyemi, mengambil tissue dan membersihkan sisa cokelat di sudut bibirnya.
“Aku tidak pernah terpikir tentang hal itu,” gumamnya sambil mengukir senyum tipis dan menatap Hyemi tepat pada kedua manik matanya.
Hyemi menepis tangan Jongwoon dan kembali melahap makanannya.

Ada sesuatu yang muncul di benak Jongwoon saat menatap kedua mata gelap Hyemi, keinginannya untuk segera menjadikan yeoja itu sebagai miliknya. Dan tanpa Hyemi sadari, Jongwoon mulai menarik sudut bibirnya ke atas, menyeringai.

‘ You will be mine soon.’




To be continued…



Yup! Yesung is a women lover in this story. Ternyata lumayan susah juga bikin scene pas dia ngomong sama cewek centilnya -___-v
Bikin karakter playboy juga ternyata sama susahnya loh. Fuuuh….
Okay, C U in the next part! Don’t forget to leave a comment. Gomawooo~!! ^^

Senin, 27 Agustus 2012

ESCAPE [Part 2]






ESCAPE [Part 2]

Author: Ifa Raneza

Edited by: Park Hye Mi (Yana)

Cast : Lee Sungmin , Lee Song Eun




Remember Lee Song Eun? Yes! She’s Park Hyemi’s best friend on the another story :D
Oh iya, arti ‘Escape’ di sini bukan berarti ‘kabur’, tapi ‘pelarian’.
Okay, happy reading, guys! ^^


** ** ** ** **


Kali ini Song Eun tidak akan ragu-ragu lagi dengan pemikirannya. Ya, Lee Sungmin pasti sudah gila! Bisa-bisanya namja cengeng ini melamarnya secara tiba-tiba, di pinggir jalan pula!

“Sungmin, kau demam?” tanya Song Eun sambil menempelkan punggung tangannya pada dahi Sungmin.

Sungmin menggeleng. “Aku serius, Eun-ah,” ucapnya lembut. Sangat lembut, bahkan mampu membuat pipi Song Eun sedikit merona. “Apa kau mau menjadi Nyonya Lee?” tanyanya lagi.

“Tentu saja,” jawab Song Eun, membuat Sungmin sedikit terperangah. “Tanpa menikah denganmu pun aku akan menjadi Nyonya Lee. Margaku itu Lee, bodoh! Kau lupa?” ujarnya lagi sambil menatap Sungmin jengah.

“Ah, benar juga,”gumam Sungmin sambil menggaruk kepalanya yang tidak terasa gatal. “Kalau begitu, Nyonya Lee, jadilah ibu bagi anak-anakku,” ucapnya kemudian sambil menggenggam kedua tangan Song Eun.

Song Eun mengerjapkan matanya berkali-kali, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang sudah berterbangan ke mana-mana akibat ucapan Sungmin barusan. Namja ini benar-benar melamarnya ternyata.

“Eun-ah, kau mau, kan?”

“Atas alasan apa kau melamarku?” tanya Song Eun dengan tatapan datar, berbeda dari tatapannya sebelumnya. Dan hal itu berhasil membuat Sungmin mengerutkan dahinya samar.

W-wae?”

“Apa kau menjadikanku sebagai…” ucap Song Eun menggantung. Tapi sedetik kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya cepat, membuat Sungmin semakin bingung melihat sikapnya. “Sudahlah, lupakan. Jam istirahatku hampir selesai. Ayo, kembali ke kantor,” ujarnya seraya melepaskan tangannya dari genggaman Sungmin dan mengalihkan tatapannya ke depan.

“Eun-ah, kau––”

“Aku baik-baik saja. Ayo, pergi.”

“Jawab dulu pertanyaanku,” desak Sungmin sambil melemparkan tatapan menuntut pada Song Eun.

“Aissh… apa yang–– YA! Sungmin! Mau apa kau?!” tanya Song Eun dengan nada bicara yang sedikit meninggi saat menyadari namja di sebelahnya itu sudah keluar dari mobil dan berdiri di tepi jalan, entah untuk apa.

“Sungmin-ah, apa yang kau lakukan?” tanya Song Eun sedikit berbisik pada namja itu setelah ikut keluar dari mobil.

“Aku ingin membuktikan sesuatu,” jawab Sungmin sambil menatap Song Eun nakal.

Mwo? Membuktikan apa?”

“Membuktikan bahwa aku serius ingin menikahimu.”

Mwo?”

“LEE SONG EUN…!!”

Song Eun tersentak mendengar teriakan Sungmin yang sontak membuat para pejalan kaki menghentikan langkah mereka dan memerhatikan dua orang yang sedang berdiri di tepi jalan itu.

“Yaak! Sungmin-ah, hentikan! Hentikan kataku!” ujar Song Eun sambil menghentakkan kedua kakinya, kesal.

“Aku tidak akan berhenti sampai kau menjawab lamaranku,” sahut Sungmin sambil menoleh pada Song Eun sekilas. Lalu ia  kembali lagi pada aksinya. “LEE SONG EUN, SARANGHAMNI–– hmpph!”

Teriakan Sungmin terhenti begitu saja karena sebuah tangan kecil dan lembut membekap mulutnya, tangan Song Eun. Ia langsung menatap Song Eun yang sudah menggembungkan pipinya, kesal. Sungmin menahan tawanya melihat wajah Song Eun yang menurutnya imut itu.

“Diam, Lee Sungmin!” bisiknya dengan penekanan pada setiap kata.

“Aku sudah bilang aku tidak akan berhenti sampai kau menjawab lamaranku.” Sungmin menyingkirkan tangan Song Eun dari mulutnya dan bersiap untuk berteriak lagi.

Tapi kali ini Sungmin tidak hanya tinggal diam di tempatnya. Ia berjalan ke tengah jalan yang sepi dengan kendaraan namun ramai oleh pejalan kaki karena ulahnya tadi.

‘Aissh… Bagaimana ini?’ batin Song Eun yang sudah kehabisan akal.

Ia ingat bahwa Sungmin masih dilanda baladanya akibat pernikahan Jong Woon dan Hyemi. Lalu sekarang ia harus bagaimana? Song Eun tidak mungkin membiarkan Sungmin semakin terpuruk jika ia menolaknya. Jadi ia harus bagaimana? Menolaknya … atau menerima lamarannya?

Aissh, sudah tidak ada waktu lagi untuk berpikir.

“SONG EUN, AKU MENCIN––”

“Yaak! Hentikan!” potong Song Eun sambil mendaratkan pukulan di kepala Sungmin saat ia sudah berada tepat di belakang namja itu. “Ne! Aku mau menikah denganmu! Jadi hentikan semua ini! Kau membuatku malu!!” ujar Song Eun masih setengah berbisik dengan kepala yang menunduk, menahan malu akibat ulah kekanakan Sungmin.

Jeongmal?” tanya Sungmin yang lebih mengarah menggoda ‘calon istrinya’ itu.

Ne, jeongmal.”

“Aish, aku tidak mendengarmu, Eun-ah.”

“Yaak! Kau menyebalkan! NE, JEONGMAL!!! KAU PUAS, HAH?!” seru Song Eun seraya membalikkan badannya dan hendak melangkah masuk ke mobil.

Tapi langkahnya terhenti saat ia merasakan pergelangan tangannya ditahan oleh seseorang.

Gomawo,” bisik Sungmin, menatap lembut tepat ke dalam kedua bola mata Song Eun, membuat jantung Song Eun sedikit berdetak lebih keras dari sebelumnya.

Ahh, Song Eun pasti sudah gila!


** ** ** ** **


Annyeong, Mrs Lee!” sapa Sungmin riang saat melihat Song Eun yang sudah berdiri di depan pintu rumahnya.

Song Eun lagi-lagi dikejutkan dengan sikap Sungmin yang tidak terduga. Baru saja ia membuka pintu rumahnya, hendak pergi ke kantor, ia sudah disambut oleh Sungmin yang sudah berdiri di depan pintu.

“Kenapa kau ada di sini?” tanya Song Eun seraya melirik mobil Sungmin yang sudah terparkir rapi di depan pagar rumahnya.

“Menunggumu,” jawabnya sambil memamerkan susunan giginya yang rapi. “Ibumu ada di dalam?” tanyanya seraya melongokkan kepalanya ke dalam rumah Song Eun.

“Mau apa kau?” tanya Song Eun curiga. Yaah, bagaimana pun juga namja ini punya sejuta kejutan yang tidak pernah Song Eun duga.

Wae? Kenapa bertanya begitu?” tanya Sungmin setelah pandangannya kembali pada wajah Song Eun.

A-ani… Hanya saja tidak biasanya kau menanyakan ibuku. Ada apa?”

“Aku ingin melamarmu sekali lagi di depan ibumu,” jawab Sungmin ringan sembari memamerkan senyum aegyeo-nya yang terlihat kekanakan di mata Song Eun.

MWOYA!?”

Sungmin meringis mendengar seruan Song Eun sambil menggosok telinganya.

“Aiisshh… Aku bisa tuli, Eun-ah.”

“Aku tidak peduli kau mau tuli atau tidak! Kau ini sudah gila atau apa, hah?!” ujar Song Eun sambil menatap Sungmin tidak percaya. Berani sekali namja ini.

Mwo? Aku masih waras, Eun-ah. Kalau aku gila, aku mungkin sudah membawamu lari dan menikahimu tanpa sepengetahuan orang tuamu, iya kan?” Lagi-lagi Sungmin memamerkan cengiran khasnya, membuat Song Eun semakin tak habis pikir pada namja ini.

“Kau gila, Sungmin-ah,” desis Song Eun.

“Ah, sudahlah. Mana ibumu?” tanya Sungmin sambil melangkah masuk ke dalam rumah Song Eun tanpa izin dari pemilik rumah.

“YA! Mau apa kau?” tanya Song Eun yang tidak Sungmin gubris sambil menahan lengan namja itu. Tapi usahanya sia-sia saja karena tenaga Sungmin lebih besar dibanding tenaganya.

Sungmin terus melangkah masuk ke dalam rumah itu tanpa memedulikan Song Eun terus menggerutu di belakangnya sambil menahan lengannya. Tapi langkahnya terhenti saat melihat sosok wanita paruh baya yang keluar dari dalam ruang tengah.

“Oh, Sungmin-ah,” ucap wanita paruh baya itu sambil tersenyum hangat pada Sungmin.

Annyeonghaseyo, Ommonim,” balas Sungmin sambil membungkukkan badannya hormat.

“Yaak! Apa maksudmu memanggil ibuku seperti itu?!” bisik Song Eun sambil mencubit lengan namja di sebelahnya itu keras-keras, membuat yang dicubit meringis kesakitan.

“Apa aku salah?” balas Sungmin dengan tampang cemberut pada Song Eun.

“Tentu saja salah! Aku belum sah jadi istrimu! Panggil dia ahjumma! Ahjumma!!” bisik Song Eun dengan penekanan pada kata ‘ahjumma’.

“Ada apa, Sungmin-ah? Tidak biasanya kau datang kemari, pagi-pagi pula,” tanya ibu Song Eun yang mulai bingung dengan sikap Sungmin dan putrinya itu.

“Ah, ada yang ingin kubicarakan, Lee Ahjumma,” jawab Sungmin sambil­––lagi-lagi–– memamerkan senyum (sok) manisnya itu.

“Katakan saja,” kata ibu Song Eun.

Inilah kemiripan yang bisa Sungmin tangkap antara ibu dan anak yang ada di depannya ini. Mereka sama-sama memiliki sifat yang tidak bisa berbasa-basi, to the point.

“Di sini?” tanya Sungmin ragu.

“Ah, aku hampir lupa. Duduklah,” ujar ibu Song Eun seraya duduk di sofa yang ada di ruang tamu.

Song Eun mengikuti ibunya dan Sungmin yang sudah duduk di sofa. Ia harus merutuki dirinya dalam hati karena jantungnya yang terus berpacu cepat. Ya, dia memang sudah menerima lamaran namja cengeng ini. Tapi apa yang harus ia katakan pada ibunya jika ibunya itu bertanya ‘sejak kapan kalian berhubungan lebih dari teman?’.

Cinta. Bahkan perasaan absurd itu pun belum pernah mampir ke dalam hati Song Eun. Apalagi pada Sungmin. Ah, tidak… tidak. Semua ini sudah sangat salah. Song Eun pasti sudah gila karena menerima lamaran Sungmin hanya karena ia tidak mau melihat namja itu semakin terpuruk. Tapi dia juga tidak bisa menikah dengan namja yang tidak ia cintai, bukan?

Song Eun melirik Sungmin yang duduk di sampingnya. Ia bisa melihat sedikit guratan gugup pada wajah namja itu. Aaah… Semuanya sudah terlambat, Lee Song Eun!

“Jadi apa yang ingin kaubicarakan, Sungmin-ah?” tanya ibu Song Eun, tidak lupa dengan senyuman hangatnya.

“Aku ingin Lee Song Eun menja––” ucapan Sungmin menggantung karena ia merasakan lengan bajunya ditarik-tarik oleh yeoja yang ada di sebelahnya. “Wae, Eun-ah?” bisiknya pada yeoja yang menundukkan kepalanya itu, malu mungkin.

Song Eun menggeleng. “Ani.”

Sungmin kembali mengalihkan tatapannya pada ibu Song Eun dan mulai melanjutkan ucapannya kalau saja Song Eun tidak menarik lengan bajunya lagi.

“Ada apa, Eun-ah?” tanya Sungmin lagi dengan berbisik.

“Kau yakin dengan ini?” bisik Song Eun sambil menatap mata hitam milik namja yang merupakan ‘calon suaminya’ itu.

Sungmin menarik sudut-sudut bibirnya dan mengangguk mantap sambil mengelus tangan Song Eun, mencoba menenangkannya.

“Jadi apa yang ingin kaubicarakan denganku, Sungmin-ah?” tanya ibu Song Eun, membuat Sungmin langsung menoleh padanya.

“Aku ingin Lee Ahjumma menjadi ibu mertuaku,” kata Sungmin mantap, tanpa keraguan atau jeda sedikit pun dari suaranya.

Wanita paruh baya itu sedikit terperangah mendengar pernyataan Sungmin yang menurutnya begitu tiba-tiba ini. Setahunya putrinya dan namja ini tidak pernah menjalin hubungan lebih dari teman, tapi sekarang namja ini melamar anak bungsunya itu. Astaga…

“Maksudmu… kau dan Song Eun…?”

Ne, kami akan menikah,” ujar Sungmin melanjutkan ucapan calon mertuanya yang sempat menggantung itu. “Aku akan segera memberitahu orang tuaku di luar negeri tentang rencana pernikahan kami dan akan mengurusnya sesegera mungkin.”

“Tapi… siapa kau?” tanya ibu Song Eun, membuat alis Sungmin sedikit terangkat.

“Aku Lee Sungmin, Ahjumma…”

“Aku sudah tahu namamu dan bukan itu yang kutanyakan. Maksudku siapa kau hingga yakin melamar anakku?” tanya ibu Song Eun dengan nada yang semakin meragu, masih shock dengan pernyataan Sungmin.

“Ah, aku…” Sungmin menundukkan kepalanya, masih memikirkan jawaban apa yang tepat untuk menjawab pertanyaan ibu dari calon istrinya itu.

Song Eun menghembuskan nafasnya lelah dan memundurkan tubuhnya hingga punggungnya menyentuh sandaran sofa. Ia sudah mengira keadaannya akan jadi begini. Sangat tidak wajar jika Sungmin mengatakan hubungan mereka hanya teman, tapi ia sudah berani melamar Song Eun.

“Apa alasanmu ingin menikahi putriku?” tanya ibu Song Eun lagi, kali ini dengan nada bicara yang sedikit serius.

“Aku mencintainya,” jawab Sungmin. Tangan kanannya mencari-cari tangan Song Eun yang tadi menarik lengan bajunya dan menggenggamnya. “Dan Song Eun sudah menerima lamaranku.”

Tatapan wanita paruh baya itu beralih pada putrinya yang duduk di sebelah Sungmin.

“Benar, Song Eun-ah?” tanyanya yang hanya Song Eun jawab dengan sekali anggukan. “Setahuku hubungan kalian hanya sebatas teman.”

Ne, itu benar, Ahjumma.”

“Lalu kenapa kalian tiba-tiba berencana ingin menikah?” tanya ibu Song Eun dengan nada yang sedikit meninggi. “Atau jangan-jangan kau…” Ucapan Nyonya Lee itu menggantung. Ia masih tidak terlalu yakin dengan pemikirannya saat ini. Tapi hanya pemikiran inilah yang muncul di otaknya. “Kau hamil, Song Eun-ah?”

Song Eun ingin sekali tertawa mendengar ucapan ibunya yang tidak terdengar seperti pertanyaan itu. Omong kosong apa lagi ini? Ayolah, menyentuhnya saja tidak. Lalu bagaimana cara Sungmin menghamilinya?

“Yaak, Omma-ya! Aku tidak hamil!” sanggah Song Eun membela diri.

“Jangan berbohong padaku! Lalu kenapa kalian tiba-tiba berencana menikah?! Kenapa kalau bukan karena kalian sudah berhubungan terlalu jauh?!”

Ahjumma, dengarkan aku dulu. Aku dan Song Eun tidak pernah melakukan apapun,” sela Sungmin, berusaha menepis pikiran buruk calon mertuanya itu. “Aku menikahinya karena aku mencintainya, Ahjumma. Percaya padaku.”

Ibu Song Eun terdiam. Ia memandangi dua orang anak muda di depannya itu secara bergantian.

“Jika itu mau kalian, cepat urus pernikahan kalian,” ujar ibu Song Eun yang sudah terlihat mulai tenang.

“Jadi Ahjumma merestui kami?” tanya Sungmin memastikan.

“Kalau aku bilang tidak apa kau akan berhenti melamar anakku? Tidak, kan? Urus pernikahan kalian sebaik mungkin. Aku percayakan semuanya padamu.”


** ** ** ** **


Song Eun sedang sibuk dengan berbagai file di komputernya saat tiba-tiba seorang pria datang mengejutkannya. Pria yang sedang tidak ingin ia temui saat ini. Tiba-tiba saja kepalanya semakin berdenyut-denyut melihat namja itu tersenyum padanya dengan senyuman yang sama––aegyeo.

“Hai, Eun-ah! Apa aku mengganggumu?” sapanya riang seraya menghampiri Song Eun yang masih tidak beranjak dari meja kerjanya.

‘Sudah mengganggu, masih bertanya!’ batin Song Eun dalam hati walaupun bibirnya mengulaskan senyum.

Aniya, kau tidak mengganggu. Ada apa, Sungmin-ah?” tanyanya lembut, berbeda dengan sifat aslinya.

Sungmin makin melebarkan senyum aegyeo-nya. Ia menopang dagunya dengan sebelah tangannya sambil terus menujukan tatapannya pada gadis yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu.

“Kau sibuk?” tanyanya tanpa mengalihkan tatapannya sesenti pun dari wajah Song Eun.

“Tidak terlalu sibuk,” jawab Song Eun sambil menekan mouse-nya dan menyimpan file yang tadi dikerjakannya. “Wae?”

“Aku ingin mengajakmu pergi.”

“Pergi? Eodi?”

“Toko gaun pengantin,” jawab Sungmin dengan nada bicara yang lembut tapi terdengar menjijikkan di telinga Song Eun.

Song Eun benar-benar dibuat pusing sekarang. Ia ingin sehari saja tidak diingatkan dengan rencana pernikahan yang menurutnya adalah suatu kesalahan terbesar yang pernah ia perbuat. Bagaimana tidak? Ia menerima lamaran namja ‘setengah gila’ di depannya ini tanpa memikirkannya matang-matang.

“Ngg… Sepertinya aku tidak bisa pergi. Mianhae,” ujar Song Eun pelan sambil tersenyum kecut.

Senyum Sungmin perlahan memudar. Ia tahu Song Eun pasti akan menghindar jika diajak pergi untuk mengurus rencana pernikahan mereka.

Waeyo?” tanya Sungmin menyelidik.

“Tiba-tiba saja aku teringat ada pekerjaan yang belum kuselesaikan,” jawab Song Eun sambil menghadapkan wajahnya pada layar komputer, berbohong pastinya.

“Kau bilang tidak terlalu sibuk.”

“Iya, itu sebelum aku ingat ada pekerjaanku yang belum selesai. Mianhae, Sungmin-ah. Kau pergi sendiri saja, ya?” ujar Song Eun sambil menekan-nekan mouse-nya, bingung file yang mana yang akan ia kerjakan sekarang. Semua pekerjaan sudah ia selesaikan, tidak ada yang terlewatkan. Astaga, kenapa tugas-tugasnya selesai tidak tepat pada waktunya?

‘Aisssh… Tuhaaan!! Berikanlah aku pekerjaan sekarang!!!’ serunya dalam hati, frustasi.

“Aku harus pergi ke sana bersamamu,” ujar Sungmin dengan wajah cemberut yang terlihat kekanakan.

“Ngg… Tapi aku harus menyelesaikan pekerjaanku dulu, Min. Tidak apa-apa, kau saja yang pilih gaunnya, ne?” bujuk Song Eun, berharap namja yang merupakan calon suaminya itu akan menyerah dan segera pergi dari kantornya.

“Yang akan mengenakan gaun pengantin itu kan kau, Eun-ah! Kenapa aku yang memilih? Kau pikir aku yang akan mengenakannya nanti, hah?!” ujar Sungmin kesal, membuat Song Eun semakin terpojok.

“Iya, tapi…”

“Tidak ada tapi-tapian! Kau harus pergi denganku sekarang!”

Sungmin langsung beranjak dari kursi yang ada di depan meja kerja Song Eun dan mengambil tas tangan yeoja itu tanpa persetujuan terlebih dahulu dari si pemilik.

“Tapi, Min-ah… Pekerjaanku bagaimana?” tanya Song Eun, masih bersikeras dengan ‘pekerjaan’nya.

Sungmin mendelik ke arah Song Eun. Ia yakin ini pasti hanya alasan yang Song Eun buat agar tidak pergi dengannya ke toko gaun pengantin.

“Aku ingin lihat pekerjaanmu sudah sampai mana,” katanya seraya melangkah ke belakang kursi yang Song Eun duduki dan mencondongkan tubuhnya ke arah monitor komputer, membuat Song Eun sedikit terhimpit dengan badan besar Sungmin.

“Apa yang kaulakukan?” tanya Song Eun panik, takut kebohongannya akan segera diketahui calon suaminya itu.

Sungmin tidak menjawab. Ia masih bertahan pada egonya. Ya, di saat seperti ini tidak akan ada yang bisa menghentikannya untuk melakukan sesuatu. Termasuk penolakan, ia sangat tidak suka penolakan. Apalagi penolakan Song Eun yang menurutnya tidak masuk akal.

“Mana pekerjaan yang kau maksud?” tanya Sungmin, merujuk pada layar komputer yang hanya menunjukkan desktop. Tidak ada satu file pun yang terbuka.

Song Eun terdiam. Hanya itu yang bisa ia lakukan saat kebohongannya terbongkar.

“Jadi apa lagi yang kau tunggu, Yeobo? Ayo, kita pergi.”

Tanpa menunggu respon dari si lawan bicara, namja berwajah aegyeo itu langsung menggamit tangan Song Eun dan menariknya––atau lebih terlihat seperti menyeretnya––keluar dari kantor. Ia tidak memedulikan rekan-rekan kerja Song Eun yang memerhatikan kepergian mereka, termasuk Song Eun yang meronta-ronta meminta tangannya segera dilepaskan. Tidak, Sungmin terus membawa yeoja itu sampai ke dalam mobil, hingga yeoja itu tidak bisa kabur lagi.


** ** ** ** **


Sekarang giliran Sungmin yang merasakan kepalanya mulai berdenyut-denyut. Sedari tadi yang dilihatnya hanya Song Eun yang mondar-mandir tak tentu arah, sibuk memilih gaun yang akan ia kenakan di hari bahagia mereka nanti. Sepertinya suatu kesalahan sudah menyuruh yeoja itu memilih gaun pengantin. Harusnya Sungmin meminta eomma atau calon mertuanya yang memilih gaun pengantin. Selain menghemat energi, ia juga tidak perlu menunggu Song Eun mondar-mandir selama dua jam.

“Eun-ah, kau sudah menemukan gaun yang cocok untukmu?” tanya Sungmin sambil memegangi kepalanya, berusaha menambah stok kesabarannya.

“Belum.”

Yup, jawaban yang sama sejak dua jam yang lalu. Gadis ini belum menemukan gaun yang cocok untuk pernikahan mereka.

Di detik berikutnya Song Eun sudah menyerah dengan pencariannya yang mungkin tidak akan pernah selesai. Ia membalikkan tubuhnya ke arah namja yang masih setia menunggunya itu duduk. Sungmin sedikit tersentak melihat Song Eun yang tiba-tiba menghampirinya dan menghempaskan tubuhnya di tempat kosong di sebelah Sungmin. Sepertinya gadis itu sudah kelelahan sekarang.

“Aku bingung, Min-ah,” ucapnya dengan nada merengek. “Bagaimanapun juga ini pertama kalinya bagiku. Aku belum pernah memilih gaun untuk pernikahanku. Dan aku juga tidak mau sampai salah pilih,” ujarnya lagi dengan kedua tangannya yang dilipat di depan dada. “Eotteoke?”

Sungmin menarik sudut bibirnya ke atas, sementara tangan kanannya sudah terulur ke belakang tubuh gadis di sebelahnya itu dan menariknya ke dalam dekapannya. Yang dipeluk sontak membulatkan kedua bola matanya. Sungmin memang selalu berhasil membuat jantung Song Eun hampir copot. Sementara namja yang memeluknya bisa merasakan tubuh yang ada di dalam dekapannya itu sedikit menegang.

Gwaenchana, kita cari gaun di toko lain saja, ne?”

Song Eun hanya mengangguk kaku, lalu mendorong tubuh namja itu agar pelukannya terlepas dan memberikannya kesempatan untuk mengisi paru-parunya yang hampir terasa hampa. Ya, ‘kejutan-kejutan’ yang Sungmin berikan memang selalu sukses membuatnya lupa untuk bernafas. Song Eun bahkan tidak sadar sejak kapan pipinya mulai terasa panas. Ia belum terlalu terbiasa dengan sikap Sungmin yang selalu tiba-tiba membuat jantungnya berdegup kencang.

Namja itu punya sejuta kejutan yang siap menanti Song Eun.


** ** ** ** **


“Kau cantik sekali, Eun-ah,” ujar Sungmin terkagum-kagum melihat yeoja yang mengenakan gaun pengantin di depannya itu.

Berbeda dengan Sungmin, yeoja itu malah memasang tampang cemberut, seolah ada yang salah dengan gaun pilihan namja itu. Ah, tidak! Bukan ‘salah’, tapi sangat salah!

“Apa tidak ada gaun lain?” tanya Song Eun masih dengan bibir yang mengerucut.

Wae? Gaun ini bagus,” sahut Sungmin sambil memerhatikan calon istrinya itu dari ujung kepala sampai ujung kaki.

“Issh, jangan melihatku seperti itu, bodoh!” ujar Song Eun yang sudah mulai risih diperhatikan seperti itu oleh Sungmin seraya melayangkan pukulan mautnya ke kepala Sungmin.

“Aww!”

“Apa otakmu itu sudah terkontaminasi hingga tidak bisa memilih gaun yang sedikit lebih ‘waras’, hah?! Aku tidak mau pakai gaun ini!” rengek Song Eun sambil menghentak-hentakkan kedua kakinya, menandakan ketidakmauannya yang sudah mencapai posisi teratas.

Sekali lagi Sungmin memerhatikan gaun yang dikenakan Song Eun. Menurutnya tidak ada yang salah, tapi tidak bagi yeoja keras kepala ini.

Gaun yang Song Eun kenakan itu tanpa lengan yang cukup menunjukkan bahu dan lehernya yang jenjang. Dan juga gaun itu terbuka bagian depannya sehingga menunjukkan kedua kaki jenjang Song Eun hingga lutut.

‘Tidak ada yang salah’, pikir Sungmin.

“Apa yang salah?” tanyanya dengan tampang polos.

“Aisssh, kau masih bertanya?!!” Lagi-lagi yeoja itu melayangkan pukulan mautnya ke kepala Sungmin. Tapi sebelum kepalan tangannya mendarat dengan sempurna di puncak kepala namja itu, Sungmin menahan tangan calon istrinya itu.

“YA! Kepalaku bisa membesar seperti Jong Woon-hyung kalau kau pukul terus!” protes Sungmin seraya menghempas tangan Song Eun pelan.

“Aku tidak mau pakai gaun ini! Ini terlalu minim, Sungmin-ah!” rengek Song Eun lagi, membuat kepala Sungmin semakin berdenyut-denyut.

“Lalu kau mau pakai gaun yang mana lagi? Hanya ini gaun yang pas dengan badanmu.”

“Aissh, tidak mungkin! Pasti ada gaun lain yang lebih ‘waras’ daripada ini!”

Sungmin memutar kedua bola matanya mendengar penolakan dari calon istrinya yang keras kepala itu. Tidak ingin pilihannya diganggu gugat, namja itu langsung memanggil pelayan tanpa persetujuan Song Eun.

“Kami pilih gaun yang ini,” ujar Sungmin pada si pelayan, membuat Song Eun ingin sekali mencakar-cakar wajah mulus namja itu.

“Baik, Tuan,” sahut si pelayan seraya membawa Song Eun kembali ke ruang ganti.

“YA! Lee Sungmin, kau akan mati! Lihat saja nanti!!!” seru Song Eun yang sudah dibawa ke ruang ganti. Suaranya cukup bisa membuat telinga Sungmin berdengung. Yaah, yeoja itu memang sedikit berbeda dengan yeoja lainnya. Dan mungkin itulah yang membuat Sungmin merasa nyaman di dekat Song Eun dan memutuskan untuk menikahinya.

Sungmin hanya bisa terkekeh mendengar seruan Song Eun yang terlihat sudah sangat dongkol padanya. Tapi inilah nasib seorang yeoja yang akan menjadi pendamping seorang Lee Sungmin. Tidak akan ada yang bisa membantah keinginannya, sekalipun itu orang tuanya sendiri. Ya, itulah Lee Sungmin.


** ** ** ** **


Song Eun hanya menghembuskan nafasnya panjang melihat sahabatnya yang menatapnya dengan mata berbinar dan berbicara dengan nada bicara yang lebih riang dari biasanya. Ia terlihat senang sepertinya.

“Aku tidak menyangka kalian akan menyusulku secepat ini!” ujarnya dengan nada gemas, bahkan kedua tangannya hampir mencubit kedua sisi pipi Song Eun jika yeoja itu tidak menghentikan aksi sahabatnya itu. “Kau bilang kalian tidak ada hubungan khusus apapun,” lanjutnya lagi, tapi dengan raut wajah cemberut.

“Kami memang tidak ada hubungan apapun,” sahut Song Eun apa adanya.

“Aissh, jangan berbohong, Song Eun-ah,” desak Hyemi sambil menyenggol lengan Song Eun dan tersenyum penuh arti. “Jadi bagaimana Sungmin melamarmu?” tanyanya lagi dengan tubuhnya yang sudah mencondong ke arah Song Eun, menandakan dirinya sangat tertarik dengan aksi melamar yang Sungmin lakukan.

“Cara melamarnya sangat tidak kreatif,” jawab Song Eun datar.

Mwo? Bagaimana?”

“Ah, sudahlah. Aku yakin kau tidak akan mau tahu.”

“Tapi aku sangat ingin tahu, Song Eun-ah,” rengek Hyemi sambil melemparkan tatapan ‘aku mohon’.

“Bukan hanya dia, tapi aku juga ingin tahu,” timpal Jong Woon yang sedari tadi hanya diam mendengarkan percakapan kedua yeoja di depannya.

“Aku tidak mau memberitahu kalian,” sahut Song Eun bersikeras dengan pendiriannya.

“KAMI MOHOOON!” rengek pasangan suami-istri di depannya itu serempak sambil sama-sama menangkupkan kedua tangannya di depan, lengkap dengan puppy eyes yang mereka miliki.

Song Eun memerhatikan Hyemi dan Jong Woon bergantian. Ia memang sudah terbiasa dengan puppy eyes Hyemi yang sering ia lihat dulu sewaktu kuliah, tapi Jong Woon? Ayolah, dia sangat tidak pantas memasang wajah kekanakan seperti itu. Wajahnya terlihat sangat menjijikkan di mata Song Eun. Berbeda dengan Sungmin. Calon suaminya itu memang memiliki wajah aegyeo dan puppy eyes yang terlihat lucu bila diperlihatkan.

Eh, kenapa Song Eun jadi memikirkan Sungmin?
Song Eun menggeleng-gelengkan kepalanya cepat, mencoba menghapus pikirannya tentang Sungmin. Dan tentu saja hal itu membuat Hyemi dan Jong Woon kebingungan.

Wae, Song Eun-ah?” tanya Jong Woon.

“Aku tidak apa-apa,” jawab Song Eun setelah ia sudah merasa cukup pusing karena terus menggeleng-gelengkan kepalanya. “Pokoknya aku tidak akan memberitahu kalian tentang aksi lamaran itu,” ujarnya lagi.

“Ayolah, Song Eun…” rengek Hyemi.

“Yaak, hentikan! Puppy eyes-mu tidak akan pernah mempan untukku! Dan kau, Jong Woon-oppa, puppy eyes-mu terlihat aneh!” ujar Song Eun sambil menunjuk Hyemi dan Jong Woon secara bergantian.

“Diam kau!” desis Jong Woon pada istrinya yang terkekeh mendengar ucapan Song Eun tentang puppy eyes-nya.

Sontak Hyemi menghentikan kekehannya dan kembali beralih pada Song Eun.
“Jadi kapan kalian akan menikah?” tanyanya.

Mollayo,” jawab Song Eun enteng sembari mengendikkan bahunya.

“Yaak! Yang menikah kan kalian, kenapa belum menetapkan tanggalnya?”

“Aah, sudahlah! Aku tidak mau memikirkan masalah pernikahan!” jerit Song Eun sambil menangkupkan kedua tangannya di telinga.

Hening. Hyemi dan Jong Woon saling pandang, lalu tatapan mereka kembali beralih pada Song Eun yang masih menangkupkan kedua tangannya pada telinganya.

“Hei, temanmu kenapa?” bisik Jong Woon pada Hyemi tanpa mengalihkan tatapannya dari Song Eun.

Mollayo… Dia stress mungkin,” sahut Hyemi dengan berbisik. “Mmm… Aku ke toilet dulu,” ujar Hyemi seraya bangkit dari kursinya dan berjalan menuju toilet.


** ** ** ** **


“Dia pasti suka,” gumam Sungmin dengan senyumnya yang sudah mengembang sambil memandangi kotak kecil berwarna merah muda di tangannya. Ia sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan calon istrinya, ya siapa lagi kalau bukan Lee Song Eun.

Dia berjalan ke lapangan parkir dan menghampiri mobilnya yang sudah terparkir dengan rapi. Ia memasukkan kotak yang dipegangnya tadi ke dalam saku celananya, dan mengeluarkan kunci mobil serta ponsel. Sementara tangan kanannya memutar kunci mobil, tangan kirinya ia gunakan untuk menekan tombol ponsel sesuai dengan angka yang sudah ia hapal di luar kepala.

Tepat pada nada tunggu ketiga, telepon di angkat dan bisa ia dengar suara lembut yeoja yang akan dinikahinya di seberang sambungan.

Yeoboseyo?” ucap Song Eun yang terdengar sedang tidak bersemangat meladeni Sungmin.

Yeoboseyo, Eun-ah!” sahut Sungmin riang, sangat bertolak belakang dengan suara yang Song Eun keluarkan. “Kau ada di mana sekarang?” tanya Sungmin tanpa menghapus senyumannya sedikitpun.

“Eh, aku? Wae?” kata Song Eun balik bertanya.

“Aku ingin menemuimu. Kau ada di kantor?”

Ani… ani, aku ada di café,” jawab Song Eun cepat.

“Café?”

Ne, café di dekat kantorku bersama Hyemi,” lanjutnya.

Arra, aku akan segera ke sana. Kau tunggu aku, ne?”

Tanpa mendengar sahutan dari Song Eun, namja berwajah aegyeo itu menekan tombol merah pada ponselnya dan memasukkan benda berwarna silver itu kembali ke dalam saku celananya. Lalu ia menginjak gas dan mulai melajukan mobilnya membelah jalan raya.


** ** ** ** **


Sesampainya di depan café, Sungmin langsung menepikan mobilnya dan keluar dari mobil. Ia sudah tidak sabar untuk menunjukkan cincin pernikahan yang baru dibelinya pada Song Eun. Tapi baru ia menapakkan kakinya di depan café, sepasang matanya menangkap pemandangan yang membuat hatinya bergemuruh dari kaca jendela café. Ya, itu Song Eun. Tapi bukan Song Eun yang membuat hatinya panas, melainkan namja yang duduk di hadapan Song Eun. Mereka mengobrol dengan sesekali tertawa kecil, tapi Sungmin tidak dapat mendengar ucapan mereka. Ya, mereka tampak akrab, terlihat dari raut wajah Song Eun yang sangat nyaman di dekat namja itu, berbeda saat ia berbicara dengan Sungmin.

Cemburu? Jelas! Siapa yang tidak cemburu saat melihat calon istrinya sendiri sedang mengobrol akrab bersama namja lain? Tapi yang membuat dada Sungmin semakin panas adalah kenyataan bahwa namja yang bersama Song Eun sekarang adalah namja yang kini sudah memiliki cinta lamanya, Park Hye Mi. Ya, namja itu adalah Kim Jong Woon. Namja yang sudah merebut cinta lamanya, dan kini Sungmin tidak bisa menahan emosinya saat ia merasa cinta barunya seakan direbut oleh namja itu. Egois? Ya, memang itulah salah satu sifat terburuk Lee Sungmin. Ia ingin senyuman Song Eun semanis senyuman yang saat ini ditunjukkannya hanya ditujukan padanya, hanya padanya seorang. Tak ada lain.

Dengan emosi yang masih meledak di dalam dadanya, Sungmin memasuki café itu dengan langkah lebar. Seakan tidak mau memberikan waktu sedetik pun untuk membiarkan dua orang itu mengobrol dengan riangnya. Tanpa Song Eun dan Jong Woon sadari, Sungmin menghampiri mereka dan menarik sebelah tangan Song Eun saat ia sudah berdiri di sebelah yeoja itu.

“Sungmin..”

“Ayo pergi,” ujar Sungmin datar dengan tatapan tajamnya yang membuat hati Song Eun bergetar. Dia takut.

“Ta..tapi…”

“Lee Song Eun, ayo pergi,” ujar Sungmin lagi dengan penekanan pada setiap kata.

“Tapi…” ucap Song Eun dengan tatapannya yang beralih pada Jong Woon yang sedang menatap dua orang itu dengan tatapan terkejut.

“Tapi apa? Kau terkejut karena kebohonganmu sudah ketahuan?” tanya Sungmin tajam, membuat Song Eun langsung menatapnya tak habis pikir.

“Kebohongan? Kebohongan apa maksudmu?” tanya Song Eun tak mengerti.

“Aku di café dekat kantorku bersama Hyemi,” kata Sungmin meniru kata-kata Song Eun. “Dan sekarang di mana Park Hye Mi?”

“Tapi aku benar-benar bersama Park Hye Mi,” ujar Song Eun bersikeras.

Sungmin menyeringai, lalu tatapannya beralih pada Jong Woon. “Sekarang kita lihat siapa yang ada di sini,” ujarnya dengan nada angkuh. “Park Hye Mi atau... Ah, Kim Jong Woon ternyata.” Pandangannya beralih pada Song Eun yang emosinya mulai naik. Ia kembali menatap yeoja itu dengan tatapan dingin dan tajam. “Jadi sekarang kau mau menghabiskan waktumu dengan Kim Jong Woon dibandingkan bersamaku yang sebentar lagi akan menjadi suamimu, heh?” tanyanya dengan nada yang mulai meninggi.

Mwoya?”

“Apa kau pantas menyebut dirimu sendiri sebagai sahabat Hyemi saat kau diam-diam berada di sebuah café bersama suami sahabatmu sendiri? Apa kau pernah memikirkan perasaan Hyemi kalau dia tahu kau––”

PLAKK!
Tamparan panas yang mendarat di sebelah pipi Sungmin berhasil memotong ucapannya dan membuatnya terpaku sesaat. Ia menatap Song Eun dengan tatapan terkejut, terlebih lagi saat melihat wajah Song Eun yang sudah memerah karena emosi dan air mata yang sudah menggenangi pelupuk matanya. Ini pertama kalinya Sungmin melihat yeoja itu mengeluarkan air matanya.

“Kau pikir aku mau menikah denganmu karena apa, hah?! Karena aku mencintaimu? Cih, omong kosong!” teriak Song Eun tepat di depan wajah Sungmin.

Lagi-lagi Sungmin membuka matanya lebar-lebar saat kedua telinganya mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Song Eun. Jadi selama ini Song Eun tidak mencintainya?

“Aku kasihan padamu! Ya, karena itulah aku mau menikah denganmu. Dan kau…” Ucapan Song Eun terhenti saat ia rasakan cairan hangat sudah menuruni pipi mulusnya. Ia menarik nafasnya dalam, mengumpulkan kekuatan untuk kembali melanjutkan ucapannya yang menyayat hati. “Kau.. menikahiku bukan karena cinta, kan?” ucapnya lirih bersamaan dengan buliran-buliran air mata lainnya yang menyusul buliran pertama.

Sungmin menggeleng. “Eun-ah… Aku tidak…”

“Berhenti memanggilku dengan sebutan itu! Aku muak!!” jerit Song Eun, membuat Sungmin lagi-lagi tertegun mendengarnya. “Kau menikah denganku karena kau mau menjadikanku sebagai pelarian. Kau menjadikanku sebagai alat untuk melupakan Hyemi. Benar, kan…?” ucapnya lagi dengan suara yang semakin lirih karena air matanya yang turun semakin deras.

“Bukan… Bukan begitu…”

Geumanhaeyo…” Song Eun menghapus air matanya dan meraih tasnya yang tergeletak di atas kursi. “Lebih baik hentikan semua ini,” ucapnya yang kembali membuat Sungmin tersentak. Hentikan? Ia ingin menghentikan rencana pernikahan ini?

Sungmin menggeleng cepat, tidak rela dengan pernyataan Song Eun. “Andwae,” ujarnya. Bagaimana pun juga tidak ada namja yang ingin gagal untuk kedua kalinya. Apalagi hari pernikahan mereka tinggal dua minggu lagi, dan harus dibatalkan? Tidak, tidak. Sungmin tidak rela.

“Aku ingin berhenti sampai di sini saja,” ujar Song Eun sebelum ia melangkahkan kakinya melewati Sungmin yang masih bertahan pada tempatnya, terpaku.

Beberapa detik setelahnya, ia berbalik dan mendapati Song Eun sudah berjalan jauh di depan sana. Ini pertama kalinya Sungmin melihat air mata Song Eun, dan dialah penyebab air mata itu runtuh.



-To be continued-