Minggu, 19 Agustus 2012

Marry Him (My Last Dream After Story)







Title    : Marry Him (My Last Dream After Story)
Author : Ifa Raneza
Cast    : Yesung (Kim Jong Woon), Kim Soon Hee (OC)
Genre : Romance, Marriage Life

Naaaah, kita ketemu lagi nih. Kkkk xD
Masih pada ingatkah sama couple ini? Kalo lupa sok atuh diinget-inget lagi.
Okelah, langsung di baca aja yah.
Happy reading ^^

***


(Jong Woon POV)

Aku melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Entah ini sudah yang keberapa kalinya dalam tiga puluh menit terakhir. Lagi-lagi aku menghela nafas sambil menatap cemas pintu masuk gereja dari altar tempatku berdiri. Begitu pula dengan para tamu undangan yang hadir, mereka tampak cemas sambil sesekali membisikkan sesuatu pada satu sama lain. Pintu masuk itu masih tetap sama, sepi. Tidak ada tanda-tanda bahwa calon istriku itu sudah hadir.
“Bagaimana?” tanyaku pada Siwon yang berdiri tak jauh dari tempatku berdiri.
Namja tinggi itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu ia kembali menatap layar ponselnya dengan tatapan frustasi. Ya Tuhan, apa yang terjadi pada yeoja itu? Apa jangan-jangan otaknya kembali menjadi tidak waras dan meninggalkanku di upacara pernikahanku sendiri? Aaaah, andwae!!
“Yaa, Minsoo-ya… Kenapa Soon Hee belum sampai juga?” tanya ibuku pada ibu Soon Hee yang juga sedang menatap layar ponselnya dengan frustasi.
Mollayo… Suamiku juga tidak mengangkat teleponnya. Aneh sekali,” jawab ibu Soon Hee tanpa membalas tatapan ibuku.

Aku mengacak-acak rambutku frustasi. Ke mana yeoja itu? Apa dia benar-benar meninggalkanku?
Hyung-ah, jangan hancurkan tatanan rambutmu,” ujar Siwon sambil menyodorkanku sebuah sisir kecil. Sejak kapan dia membawa barang-barang seperti itu?
Kuambil sisir yang ia sodorkan dan merapikan tatanan rambutku yang sudah tidak beraturan karena terlalu lama menunggu. Kurasakan kedua telapak tanganku juga sudah mulai berkeringat di dalam sarung tangan yang kupakai. Yaak, Soon Hee.. apa kau mau meninggalkan calon suamimu yang tampan ini, hah??
“Apa dia masih tidak menjawab teleponnya?” tanyaku pada Siwon sambil mengembalikan sisirnya.
Namja itu menggeleng pasrah. “Ada apa dengannya, ya?” gumam Siwon. “Apa jangan-jangan dia kabur?”
Mwoya? Kabur? Aaah, andwae!! Tanpa ba bi bu, langsung kusambar ponselnya dan menekan-nekan tombol ponselnya sesuai dengan angka yang sudah kuhapal di luar kepala dengan ganas.
Hyung, kau mau menelepon Soon Hee?” tanyanya polos.
“Bukan, aku sedang menelepon ibuku.”
Mwo? Buat apa? Ibumu ada di situ,” katanya sambil menunjuk ke arah ibuku.
“Tentu saja Soon Hee, pabo!”
Ayolah, Soon Hee… Jawab teleponku!


***


(Soon Hee POV)

“Soon Hee-ah, kau cantik sekali,” puji appa sambil membelai rambutku yang tertutup hiasan kepala.
Appa-ya, sudah berapa kali kau mengatakan itu?” sahutku dengan menyembunyikan rona merah yang sudah muncul di kedua pipiku.
Appa terkekeh melihat tingkahku.
“Gugup?” tanyanya yang hanya kujawab dengan sekali anggukan. “Itu wajar. Dulu Appa dan Omma-mu juga begitu. Kami…”
Aku tidak mendengarkan celotehan appa yang mulai menceritakan tentang pernikahannya dengan omma dulu. Aku hampir hapal dengan jalan ceritanya karena ia sudah menceritakannya lebih dari lima kali hari ini. Kualihkan pandanganku ke jalanan di luar kaca mobil yang sedang kunaiki.
Tanpa sadar senyumku sudah mengembang. Jong Woon… namja itu sedang menungguku di gereja, kan? Apa dia akan lebih tampan dari hari-hari kemarin? Kkkk…

BRAK!
Tubuhku sedikit terpental ke depan dan kepalaku dengan suksesnya menubruk jok depan. Aiishh… ada apa ini?
“Kenapa berhenti, Ahjussi?” tanyaku pada Kang ahjussi, supir pribadi keluargaku.
Molla..” jawabnya seraya keluar dari mobil yang diikuti appa.
Mereka mengecek keadaan mesin dan kulihat appa menghela nafasnya dengan berat.
“Ada apa, Appa?” tanyaku seraya keluar dari mobil.
“Ada masalah dengan mesinnya,” jawab appa sambil memijit keningnya.
Mwo? Masalah? Lalu bagaimana dengan pernikahanku???
“Kapan akan selesai diperbaiki?” tanyaku cemas.
Appa dan Kang ahjussi menggeleng pelan, membuat bahuku lemas seketika. Kulirik jam di dalam ponselku. Bisa-bisa aku terlambat sampai di gereja.
“Kau masuklah ke mobil, nanti make upmu luntur karena kepanasan,” ujar appa seraya mendorong punggungku pelan agar masuk ke mobil.
Aku menurut saja dengan hatiku yang mencelos. Kenapa masalah tiba-tiba datang padaku? Lagi-lagi aku menghela nafas saat pandanganku beralih pada wallpaper ponselku, fotoku dan Jong Woon. Apa dia sedang mencemaskanku?

***

Entah sudah yang keberapa kali, kulirik lagi jam di dalam ponselku. Aku sudah terlambat hampir tiga puluh menit. Pasti omma dan calon suamiku sudah mondar-mandir tidak jelas di dalam gereja. Huwaaa… eotteoke??
Appa… Apa masalahnya belum selesai?” tanyaku sambil melongokkan kepalaku keluar jendela mobil.
Appa hanya menjawab pertanyaanku dengan menggeleng. Kulihat ada beberapa titik peluh di dahinya. Kasihan, Appa
“Apa perlu kubantu?” tanyaku menawarkan jasa.
Mwo? Kau membantu kami? Aniyo… aniyo… Tidak mungkin mempelai wanita membantu kami menyelesaikan ini,” ujar Kang ahjussi sambil terus memainkan peralatan mekaniknya pada mesin  mobil.
“Tapi…”
Belum sempat kuselesaikan kalimatku, ponselku berdering. Perasaanku semakin bergejolak saat melihat nama si penelepon.

Yeoboseyo, Jong Woon-ah…” kataku setelah menekan tombol hijau pada ponsel.
“Yaak, Kim Soon Hee.. Ke mana saja kau? Kenapa lama sekali?” serunya dari seberang telepon, membuatku mau tidak mau harus sedikit menjauhkan ponsel itu dari telingaku. Kalau tidak, telingaku pasti sudah tuli.
Mianhae, Jong Woon-ah. Aku…”
“Apa kau berniat meninggalkanku di sini, heh?! Apa otakmu sudah tidak waras, hah?! Jawab, Hee-ya! Kenapa diam saja?” potongnya lagi dengan nada bicara yang sama seperti sebelumnya.
Aissh… Kenapa dia berbicara seperti itu? Dia takut sekali aku akan meninggalkannya.
“Yaak, Mr Kim! Jangan memotong ucapanku dulu! Ada masalah di sini,” ujarku kesal.
Mwo? Masalah? Masalah apa?” tanyanya.
“Aaah, sudahlah… Jangan banyak bertanya. Masalahnya akan semakin rumit kalau kau berbicara terus,” ujarku seraya menekan tombol merah pada ponsel dan mengakhiri percakapan kami.

Pandanganku beralih pada appa dan Kang ahjussi yang masih kebingungan memperbaiki mesin mobil. Akhirnya tanpa menunggu lebih lama lagi, aku segera keluar dari mobil dan menghampiri mereka.
“Mau apa kau, Soon Hee? Hei!” seru appa kaget saat melihatku menyentuh salah-satu bagian di dalam mesin dan menariknya.
“Lihat? Masalahnya ada di sini,” ujarku sambil menunjukkan sebatang tusuk gigi yang kuambil dari dalam mesin mobil. Aku juga tidak mengerti kenapa bisa ada benda seperti ini di sana.
Appa dan Kang ahjussi hanya tercengang melihatku. Sekarang sarung tanganku sedikit kotor karena hal tadi. Akhirnya tanpa menunggu lebih lama lagi, kami segera meluncur menuju gereja dan menemui calon suamiku di sana. Huwaaa… Appa, omma… Aku akan menikah!


***


(Jong Woon POV)

Kuseka keringat dingin yang mulai membasahi dahiku dengan tissue yang ibu berikan padaku. Entah sudah berapa lama aku menunggu kedatangan calon istriku, tapi yeoja itu belum juga muncul. Kim Soon Hee… Apa dia baik-baik saja?
“Tenanglah… Dia pasti akan segera datang,” ujar ibuku sambil menepuk bahuku pelan.
Aku hanya menanggapinya dengan mengangguk pelan. Aku tahu dia pasti akan datang, tapi kenapa lama sekali? Apa dia mau membuatku mati kesal karena terlalu lama menunggunya? Atau jangan-jangan dia benar-benar mau kabur? Aaah, tidak!!!
Hyung, itu dia sudah datang!” ujar Siwon sambil menunjuk ke arah pintu depan.
Kulihat ada sebuah mobil hitam dengan hiasan bunga berhenti di depan gereja, dan sosoknya pun terlihat keluar dari mobil dengan dibantu appa-nya. Sekali lagi aku merasakan kekaguman luar biasa saat melihatnya yang mulai berjalan ke arahku dengan didampingi appa-nya. Mataku tidak bisa berpaling dari sosoknya saat ini. Tanpa sadar senyumku sudah mengembang melihatnya yang semakin lama semakin mendekat padaku.
Sedikit lagi, maka dia akan sampai kalau saja sepatu yang ia kenakan tidak tersandung karpet. Untungnya dia tidak jatuh karena tangannya ditahan oleh appa-nya.
“Pfft…” Pipiku mengencang saat tawaku yang hampir meledak kutahan.
Dia memicingkan matanya saat menatapku dengan tatapan mematikan nan horror. Detik itu juga senyumku langsung memudar. O ow… sepertinya ada yang marah di sini.
Perlahan tapi pasti, akhirnya dia tiba di hadapanku. Appa-nya yang sebentar lagi juga akan menjadi appa-ku menyerahkan tangan kanan putrinya kepadaku. Saat kusambut tangannya barulah aku sadar bahwa ujung sarung tangannya sedikit kotor.
“Ada apa dengan tanganmu?” tanyaku dengan berbisik saat kami sudah berdiri berdampingan di depan altar.
“Nanti saja kujelaskan,” bisiknya.
“Bisa kita mulai?” tanya pendeta yang sudah bersiap di depan kami.
Kami serempak menganggukkan kepala menjawab ucapannya. Pendeta itu sedikit berdehem dan memulai upacara pernikahan ini. Bisa kurasakan detak jantungku yang mulai tidak beraturan serta keringat dingin yang perlahan menuruni dahiku.
“Kau, Kim Jong Woon.. Apa kau bersedia untuk selalu setia mendampingi Kim Soon Hee sebagai istrimu serta menyayanginya baik dalam keadaan senang, sedih, maupun sakit?” ucap pendeta itu.
“Aku bersedia,” jawabku lantang.
“Kau, Kim Soon Hee.. Apa kau bersedia untuk selalu setia mendampingi Kim Jong Woon sebagai suamimu serta menyayanginya baik dalam keadaan senang, sedih, maupun sakit?” ucap pendeta itu sambil memandangi Soon Hee yang berdiri di sampingku.
Hening. Tidak ada jawaban dari yeoja yang berdiri di sampingku ini. Perlahan kulirik dia, dan apa yang kudapati? Dia melamun! Yeoja bodoh ini, kenapa dia melamun di saat-saat mendebarkan seperti ini?! Dasar pabo!
“Kim Soon Hee?” panggil pendeta itu pelan, mencoba menyadarkan Soon Hee dari lamunannya.
Dia masih tidak menjawab, membuat tamu-tamu yang hadir kembali berbisik-bisik. Ya Tuhaaan… dia ini kenapa??
“Yaak, Kim Soon Hee!” bisikku sambil menyikut lengannya.
Dia langsung tersentak dan menoleh padaku cepat.
“Ah? Oh, eh…” Ia tersadar dan langsung celingukan, menatapku bingung.
Aku membalas tatapannya dengan tatapan mematikan nan horror dan berkata tanpa suara, “Cepat jawab, bodoh!”
Ia buru-buru mengalihkan tatapannya pada si pendeta yang masih mengangkat sebelah alisnya, bingung akan sikap Soon Hee. “A-aku bersedia,” jawabnya yang langsung membuat helaan nafas lega terdengar di ruangan ini.

Kemudian seorang gadis yang merupakan adik Siwon mengantarkan cincin kawin pada kami. Kuambil satu cincin dan mengangkat sebelah tangan Soon Hee, lalu memasangkannya pada jari manisnya. Lalu giliran yeoja yang sudah sah menjadi istriku itu yang memasangkan cincin pada jari manisku.
“Hati-hati, Eonnie,” bisik gadis itu pada Soon Hee yang terlihat sangat gugup.
Soon Hee mengangkat sebelah tanganku dan mulai memasangkan cincin kawinnya pada jari manisku. Bisa kurasakan tangannya yang sedikit bergetar karena gugup, dan hal itulah yang membuat yeoja bodoh ini menjatuhkan cincin kawin itu.
TRING!
Semua tamu yang hadir sontak melototkan matanya saat Soon Hee menjatuhkan benda penting itu. Baik aku, dia, maupun orang tua kami langsung panik dan segera mencari cincin itu.
“Mana cincin itu?” bisik Soon Hee panik seraya merunduk untuk mencari cincinnya.
“Kenapa kau jatuhkan cincin itu, pabo,” geramku sambil menatapnya kesal.
Mianhae…” bisiknya sambil membalas tatapanku dengan takut-takut.
Ruangan ini menjadi heboh karena kami semua sibuk mencari cincin yang jatuh itu, sampai akhirnya…
“Ketemu! Ini cincinnya!” seru Ryeowook sambil menunjukkan cincin kawin yang tadi Soon Hee jatuhkan pada kami. Ia berlari-lari kecil menghampiri kami dan menyerahkan cincin itu pada Soon Hee. “Hati-hati, Noona,” bisik Ryeowook sambil tersenyum penuh arti, kata-kata yang sama dengan yang adik Siwon ucapkan tadi.
Soon Hee mengangguk pelan dan mulai mengangkat tanganku lagi.
“Jangan jatuhkan cincin itu lagi,” gumamku sambil memandangnya datar.
Ne, arraseo,” balasnya tak kalah datar.
Ia mulai memasukkan cincin itu pada jari manisku. Dan akhirnya aku bisa bernafas lega saat melihat cincin itu telah sukses terpasang pada jari manisku. Senyumku mengembang saat menatap cincin yang sudah melingkar indah di jariku, lalu tatapanku beralih pada yeoja yang ada di hadapanku. Kulihat dia juga membalas senyumanku. Haaah… Betapa cantiknya yeoja ini. Tidak salah aku telah memilihnya untuk menjadi istriku.

“Sekarang mempelai pria boleh mencium mempelai wanitanya,” kata pendeta itu dan membuat Soon Hee melototkan matanya. Ayolah, dia kenapa lagi sekarang?
Kuhadapkan tubuhku padanya dan menyibak hiasan kepala yang menutupi wajahnya. Sekarang bisa kulihat dengan jelas wajahnya yang terlihat mulai pucat. Kulingkarkan kedua tanganku pada pinggangnya dan mulai mendekatkan wajahku padanya. Ini akan menjadi momen paling indah kalau saja yeoja yang sudah menjadi istriku itu tidak menghentikan gerakanku.
“Ck.. waeyo?” tanyaku dengan raut wajah cemberut saat kubuka mataku dan mendapati wajah kami yang sudah sangat dekat.
“Tu.. tunggu sebentar. Aku belum siap,” bisiknya dengan kedua tangannya yang berada di dadaku, menahan gerakanku untuk menciumnya.
“Bukannya kita sudah sering berciuman sebelum ini? Kenapa kau belum siap?”
“Yaak, itu karena kau yang mencuri ciumanku, tahu!” ucapnya lagi masih dengan berbisik.
“Lalu? Apa itu penting sekarang?” kataku sambil mencoba menarik pinggangnya agar bibir kami bersentuhan.
“Yaak, tunggu!” cegahnya sambil mendorong dadaku hingga gerakanku lagi-lagi terhenti.

“Hei… Kenapa mereka tidak jadi berciuman?” Bisa kudengar bisikan ibuku pada ibu Soon Hee.
Kulirik tamu-tamu yang lain, dan ternyata semuanya sama, mereka saling berbisik dan menanyakan hal yang sama. Begitu pula dengan pendeta yang ada di depan kami, ia memerhatikan kami dengan tatapan bingung. Dasar, yeoja ini! Dia mau membuatku malu, hah?!
“Tidak ada waktu lagi,” ucapku tidak sabaran.
“Yaak… yaak… Tung––hmph!” Ucapannya terhenti saat dengan cepat kutarik pinggangnya agar ia mendekat padaku dan segera menyerbu bibirnya. Bisa kudengar ruangan ini menjadi sedikit riuh karena bibir kami sudah bertaut.
Awalnya dia memberontak, tapi lama-kelamaan karena gerakannya kutahan, berontakannya mulai berhenti. Aku berani bersumpah, ciumannya sangat memabukkan bagiku. Dan hal itu membuatku semakin menarik tubuhnya dan memperdalam ciuman kami. Saat bibirku mulai melumat bibirnya, ia kembali memberontak dan akhirnya tautan bibir kami terlepas.
Nafas kami sama-sama tersengal dan para tamu undangan semakin riuh karena melihat kami. Aku hanya memamerkan senyum malu sambil menggaruk belakang kepalaku yang sama sekali tidak gatal saat mendapatkan tatapan horrornya.
Hyung-ah, tadi kau bernafsu sekali. Hahaha…” goda Siwon saat ia menghampiri kami. Ia tertawa geli bersama dengan Ryeowook yang juga tertawa di sebelahnya. Namun tawa mereka segera terhenti saat Soon Hee lagi-lagi melemparkan tatapan horrornya pada mereka.
Ups… Mereka mau mengganggu singa lapar ternyata.


***


(Soon Hee POV)

Welcome home!” serunya riang saat kami memasuki apartemennya.
Awalnya aku bersikap biasa saja karena aku sudah terbiasa di apartemennya, tapi mataku langsung membulat lebar saat mendapati ruangan itu sudah terlihat berbeda dari apa yang kulihat sebelumnya, bahkan jauh berbeda. Di ruang tamu bisa kulihat sofa-sofa dan meja ditata ulang. Lalu kakiku melangkah ke ruang tengah dan mendapati dindingnya sudah tak lagi berwarna cokelat muda seperti terakhir kali aku melihatnya. Kini ruangan itu sudah berwarna biru muda yang lembut, warna kesukaanku.
“Kau suka?” tanyanya saat sudah berdiri tepat di sebelahku.
“Jong Woon.” Tatapanku beralih padanya dan memegang lengannya dengan antusias. “Kau menata ulang apartemenmu?” tanyaku senang.
Dia mengangguk. “Bagaimana? Kau suka?” tanyanya yang langsung kujawab dengan sekali anggukan.
“Ini bagus sekali,” ujarku dengan pandangan yang kembali tertuju pada ruangan ini. “Ah, tidak! Ini indah, indah sekali!” ujarku antusias, membuat Jong Woon terkekeh melihatku yang begitu senang dengan perubahan ruangan ini. Ah, tidak. Mungkin saja dia sudah mengubah semua ruangan di apartemennya ini.
“Kau mau melihat kamar kita?” tanyanya seraya menggamit tanganku dan membawaku ke kamar sambil menyeret koperku.
Tunggu… ‘kamar kita’?
“A-apa maksudmu?” tanyaku seraya menghentikan langkahku, membuat langkahnya juga ikut terhenti.
Dia menaikkan alisnya, bingung dengan pertanyaan yang kulemparkan padanya. “Apa ada yang salah? Aku mau memperlihatkan kamar kita,” katanya bingung.
Lagi-lagi dua kata terakhirnya membuat sebelah alisku terangkat.
“Maksudmu… Kita tidur bersama?” tanyaku pelan.
Dia hanya mengangguk sambil terus menatapku bingung. Omo…! Kami? Tidur bersama? Tidaaaaakkk!!
“Tidur bersamaaaa??” ulangku lagi dengan nada yang lebih tinggi.
Omo… Kau mau membuatku tuli, huh? Kau ini kenapa? Kita sudah menikah dan bukankah sudah sewajarnya kita tidur bersama? Kau aneh sekali,” ujarnya seraya melangkahkan kakinya ke kamar, melewatiku yang masih berdiri di tempatku.

Yaa, benar. Aku sudah menjadi istrinya sekarang. Tapi aku belum siap untuk … err… tidur berdua dengannya di dalam satu kamar dan di atas satu ranjang. Selama ini aku tidak pernah tidur dengan namja, kecuali dengan appa-ku. Itu pun di saat aku bermimpi buruk. Tapi sekarang…
“Kau tidak mau mandi?” tanyanya dari dalam kamar, membuatku tersadar kembali dari lamunanku.
Kulangkahkan kakiku masuk ke dalam kamar bernuansa biru muda. Yaah, lagi-lagi pria itu menatanya sesuai dengan warna kesukaanku. Dia benar-benar menyiapkan semuanya untukku. Semuanya ia ubah untuk membuatku terasa nyaman di apartemennya yang sudah menjadi rumah kami ini.
Terdengar bunyi gemericik air dari dalam kamar mandi yang ada di sudut kamar. Sepertinya dia sedang mandi. Kujatuhkan diriku di tepi tempat tidur. Lagi-lagi sprei-nya berwarna biru muda. Haaahh… Jong Woon, dia baik sekali.
Ah, iya! Di mana dia menyimpan kotak kosmetikku? Aku beranjak dari tempat tidur dan mulai mencari-cari kotak kosmetikku di laci meja yang ada di samping tempat tidur. Tidak ada. Di mana pria itu memindahkannya? Lalu pandanganku beralih pada lemari bajunya yang juga akan menjadi lemari bajuku. Kubuka laci paling bawah dan menemukan sebuah benda yang sedikit asing bagiku. Sebuah album foto. Apa ini foto-fotonya saat kecil? Dengan perasaan yang masih penasaran, kubuka album foto itu dan langsung tercengang saat melihat isinya. Hampir semuanya fotoku! Fotoku saat SMP, fotoku saat SMA, sampai fotoku saat memasuki universitas! Semuanya ada di sini. Dan mataku semakin melotot kaget saat membaca tulisan kecil di bawah foto yang kuyakini adalah tulisan tangannya.
‘Kim Soon Hee, a girl I love. Saranghae…’
Tulisan ini ditulis sudah lama sekali, terlihat dari warna tintanya yang sudah hampir berwarna kecoklatan. Jadi selama ini… dia menyukaiku? Dia menyukaiku sejak kami duduk di bangku SMP? Dan perasaan itu masih bertahan hingga saat ini, sampai kami menikah. Tanpa sadar sebulir air mata menuruni pipiku. Dengan cepat kuhapus air mata itu dengan sebelah tanganku yang masih terbungkus sarung tangan. Yaah, aku memang masih mengenakan gaun pengantin. Lalu kututup album foto itu dan mengembalikannya ke dalam laci sebelum Jong Woon mengetahui kalau aku sudah membuka rahasia terbesarnya. Dia pasti akan malu jika tahu itu.

Lebih baik sekarang aku menyiapkan baju ganti untuk suamiku itu. Setelah menyiapkan kaus dan celana selutut dan meletakkannya di atas tempat tidur, pandanganku tertuju pada tuxedo dan kemeja yang tadi pagi ia kenakan saat upacara pernikahan kami. Ckckck… Dia pemalas sekali. Lihat saja, semuanya ia letakkan sembarangan. Tuxedo diletakkan di atas sofa yang ada di sudut kamar, kemejanya diletakkan di atas tempat tidur, dan celana panjangnya dia biarkan tergeletak di atas lantai. Sambil mendecak kesal karena sifat malasnya yang tidak pernah hilang itu, kupunguti baju-bajunya yang bertebaran di lantai. Sepertinya akan sedikit merepotkan dalam melaksanakan tugasku sebagai istri seorang Kim Jong Woon sekaligus Yesung.
Oh, iya. Pasti berita pernikahan kami sudah dimuat di beberapa media pemberitaan. Tentu saja, karena suamiku itu adalah seorang Yesung, penyanyi yang dipuja-puja dunia. Tapi sepertinya kehidupanku akan menjadi sedikit lebih rumit. Masih ingat kejadian beberapa waktu lalu saat kami diserbu Clouds? (baca I’ll Marry You, Kim Jong Woon). Kami hampir saja kehilangan nafas saat itu.

CKLEEK…
Terdengar suara pintu kamar mandi terbuka. Pasti dia sudah selesai mandi.
“Jong Woon, kau…”
Ucapanku terputus saat mendapati sosok namja itu berdiri di depanku sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan sebuah handuk. Mungkin sekarang wajahku sudah terlihat bodoh dengan mulutku yang setengah terbuka dan mataku yang membelalak kaget. Bagaimana tidak kaget? Dia hanya mengenakan handuk untuk menutupi sebagian tubuhnya. Garis bawahi! Hanya mengenakan handuk!!!
Wae?” tanyanya dengan wajah polos tak berdosa.
“Yaak, Kim Jong Woon! Kenapa kau hanya mengenakan handuk, hah???!!!!” teriakku sambil melemparnya dengan bantal yang kuambil dari atas tempat tidur.
“Yaak… yaak… Ampun! Ampun! Jangan lempar aku dengan––aww!” serunya sambil menghindari lemparan-lemparanku.
Dan mungkin karena gerakannya yang terlalu cepat atau karena pertahanannya yang kurang memadai, handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya terlepas. Membuat mataku lagi-lagi melotot menatapnya.
Dia menatapku lalu beralih pada tubuhnya. Lalu kembali lagi menatapku, lalu kembali lagi menatap tubuhnya yang…
“AAA!!!”
“AAA!!!”
“KYAAAA!!! JANGAN MELIHATKU, HEE! JANGAN MELIHATKU!!” teriaknya histeris sambil menutupi tubuhnya dengan bantal yang tadi kulempar padanya.
“CEPAT PAKAI BAJUMU, PABOOOO!!!” balasku sambil menutup kedua mataku.
“TUTUP MATAMU!!! TUTUP MATAMUUUUU!!!”


***


(Jong Woon POV)

“Hee-ya, kau sudah selesai ganti baju?” tanyaku sambil mengetuk pintu kamar.
Meskipun dia sudah menjadi istriku, tapi siapa yang bisa menjamin dia tidak akan membunuhku jika aku masuk tanpa izin dan melihat tubuh polosnya? Eh, tubuh polosnya? Memikirkannya saja sudah membuat wajahku memanas. Omo… ternyata begini ya rasanya sudah menikah. Kkkk…
“Kau kenapa?” tanyanya saat membuka pintu dan mendapati aku yang sedang terkikik karena pikiranku tadi.
“Ah, eh… Tidak…” jawabku sambil menggaruk belakang kepalaku yang sama sekali tidak terasa gatal.
“Aneh sekali,” gumamnya seraya berjalan melewatiku ke arah dapur. “Bahan makanan apa yang kau punya?” tanyanya sambil membuka kulkas.
Eobseo,” jawabku seraya mengikutinya ke dapur.
Mwo? Eobseo?” ucapnya dengan mata yang tertuju pada kulkas yang hanya berisi beberapa buah apel. “Jadi malam ini kita makan apa?” gumamnya sambil memutar otaknya, berpikir keras.
“Aku bisa membuat ramyun,” kataku bangga.
Dia hanya menatapku dengan tatapan yang mungkin artinya ‘yang-benar-saja?’.
“Temani aku ke supermarket,” katanya seraya berjalan ke kamar.
“Aku lelah sekali, Hee-ya,” kataku sambil memijit lenganku yang rasanya mau putus.
“Kalau begitu aku sendiri saja yang pergi.”
“Aiish… Jangan!” cegahku sambil menahan tangannya. “Kita pesan makanan saja, ne?” usulku seraya mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana.
Ia hanya mengangguk pasrah, membuatku mengembangkan senyuman puas.
“Kau mau makan apa malam ini?”

***

“Makaaan!” seruku riang sambil membuka sebungkus makanan yang baru saja diantarkan ke apartemen kami.
Rasanya senang sekali bisa makan malam berdua dengan orang yang kita sayangi. Tidak seperti sebelum-sebelumnya, aku makan dan tidur sendirian karena harus tinggal sendiri. Tapi sekarang tidak lagi, karena aku sudah memiliki istri.
“Enak tidak?” tanyaku sambil menyuapkan mie yang tadi kupesan ke dalam mulutku.
Dia mengangguk. “Tapi rasanya ada yang kurang,” ujarnya sambil mencari sesuatu di dalam bungkusan.
“Kau mencari apa? Saus, ya?” tebakku seraya menyodorkan plastik kecil berisi cairan kemerahan yang kuyakini adalah saus.
Dia mengangguk dan mengambil saus yang kusodorkan. Ia langsung memasukkan semua saus ke dalam makanannya. Kemudian ia kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Awalnya biasa-biasa saja, tapi lama kelamaan sepertinya ada yang janggal.
“Ada apa?” tanyaku saat melihatnya yang perlahan-lahan memperlambat kunyahannya.
Dia menggeleng, lalu tatapannya beralih pada mie yang ada di depannya.
“Jong Woon…” panggilnya dengan sedikit desahan.
Mwo?”
“Kenapa… hhh… Sausnya pedas sekali?” tanyanya sambil menatapku ragu.
Mwo? Pedas? Dengan cepat kuperiksa plastik kecil yang tadi kusodorkan padanya. Sepertinya tidak ada yang salah, semuanya baik-baik saja. Dari dulu sampai sekarang saus tomat itu warnanya memang merah, kan? Kucolek sedikit saus yang masih tersisa di dalamnya dan memasukkannya ke dalam mulutku. Nggg… Sepertinya ada yang salah di sini.
“Hee…” panggilku ragu, lebih tepatnya takut.
Mwo? Hhh…” katanya dengan sedikit desahan pada akhir kalimat karena kepedasan.
“Sepertinya aku salah memberimu saus,” kataku pelan.
“Maksudmu?”
“Itu tadi… bukan saus. Tapi…” kataku terputus.
“Tapi apa?” tanyanya dengan tatapan horror yang sedikit tertutupi karena matanya mulai berair.
“Itu… sambal,” lanjutku pelan.
Tidak ada respon sedikitpun darinya dan aku pun terlalu takut untuk mengangkat wajahku, menatapnya. Sebagai suami yang baik, kutuangkan air putih ke dalam gelas dan menyodorkannya pada istriku itu. Dia mengambilnya dan meneguknya tanpa sisa.
“Hhh…” Bisa kudengar nafasnya yang mulai lega. Sepertinya dia sudah tidak kepedasan lagi.
Gwaenchana?” tanyaku setelah memberanikan diri untuk menatapnya.
Ia menatapku horror dan perlahan-lahan tubuhnya mencondong ke arahku, membuatku mau tidak mau harus memundurkan tubuhku ke belakang hingga punggungku menyentuh sandaran kursi. Astaga, aku sudah membuat ratu evil ini marah. Huwaaa… omma!!!
Gwaenchana kau bilang??” katanya dengan suara rendah, membuatku bergidik ngeri. “Kau tahu tidak bagaimana rasanya?!” tanyanya dengan nada tinggi sambil menggebrak meja makan.
A-aniyo,” jawabku dengan kepalaku yang kugelengkan cepat.
“Aaah, begitu…” gumamnya dengan sudut bibir yang tertarik ke satu arah, membentuk sebuah seringai. Oh, tidak! Apa lagi yang akan dilakukannya padaku? “Suamiku sayang… Kau tidak melanjutkan makanmu?” tanyanya lembut.
“A-aku…”
“Biar aku suapi,” katanya masih dengan nada yang sama, namun aku dapat melihat aura hitam yang ada di atas kepalanya. O ow…
“Bi-biar ak––hmph!”
Ucapanku terputus saat yeoja itu menyuapkan sesendok penuh mie yang ada di mangkuknya dengan ganas ke dalam mulutku. Sedetik kemudian rasa pedas langsung terasa di lidahku, membuat air mataku keluar begitu saja. Demi Tuhan, apa orang yang membuat sambal ini mau membunuhku?
“Mmh… Hentikan! Aku sudah kenyang,” ujarku mencegahnya untuk menyuapiku dengan mie super pedasnya itu.
“Aiisshh… Kau baru makan beberapa suapan, Sayang… Ayo, makan lagi,” ujarnya dengan diiringi seringaian evil khasnya yang membuatku mau tidak mau harus menelan semua mie yang ia suapkan.
Huwaaaa… Omma~ Ini penyiksaan namanya!


***


“Ayo, tidur!” ujarku sambil menarik selimut agar menutupi sebagian tubuh kami.
“Kau tidur duluan saja, aku belum mengantuk,” katanya sambil menyibak selimut yang sudah menutupi sebagian tubuhnya.
“Aku tidak mau tidur sendirian,” kataku sambil menahan gerakannya dan kembali menyelimuti tubuhnya.
“Aku akan menyusulmu nanti,” ujarnya dengan lagi-lagi menyibak selimut yang sudah kutarik.
“Yaak, Kim Soon Hee!” seruku hingga membuatnya tidak bergerak lagi.
Tanpa sadar aku menahan kedua tangannya terlalu keras. Dia menatapku bingung, bingung dengan apa yang kulakukan saat ini. Bagaimana pun aku ingin merasakan bagaimana rasanya menjadi pengantin baru. Jadi apa salahnya kalau aku ingin tidur dengan ditemani istriku sendiri?
“Maaf,” kataku sambil melepaskan genggamanku pada kedua tangannya, lalu beringsut ke sisi di sebelahnya dan merebahkan tubuhku di sana.
Gwaenchana,” ucapnya dengan tangannya yang menarik selimut agar menutupi tubuhnya sampai bagian dada.
Aku memandangnya bingung, sedangkan dia hanya membalas tatapanku dengan tatapan biasa. Sepertinya dia mau menemaniku tidur sekarang.
“Kalau kau belum mau tidur, biar aku tidur sendiri,” ucapku pelan. Entah kenapa kami jadi merasa sedikit canggung begini.
Dia menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Biar aku temani kau tidur,” katanya seraya memejamkan kedua matanya.
Sedangkan aku? Aku sama sekali tidak bisa memejamkan mataku. Padahal tadi aku yang memaksanya untuk segera tidur. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari wajahnya. Wajahnya begitu cantik, manis, dan… Yaah, aku begitu mengaguminya. Wajahnya tidak berubah sejak belasan tahun yang lalu, saat pertemuan pertama kami di bangku SMP. Walaupun ada sedikit perubahan pada wajahnya karena pertumbuhan, tapi parasnya tetap indah di mataku.

Aku masih ingat saat pertama kali aku bersaing dengan namja-namja lain untuk mendapatkan hatinya di bangku SMA. Dan pada akhirnya dia memutuskan untuk tidak memilih salah satu di antara mereka. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana raut wajahnya saat ciuman pertamanya kurebut ketika kami masih menjadi mahasiswa. Aku masih ingat bagaimana perasaanku saat melihatnya dekat dengan Siwon yang ternyata adalah sepupunya sendiri. Dan aku masih ingat saat… dia pergi meninggalkanku ke Amerika. Saat itu aku benar-benar bodoh. Tapi aku berjanji tidak akan pernah melepaskannya lagi.
Jangan pergi lagi, jangan tinggalkan aku lagi, Soon Hee..
Entah mendapat dorongan dari mana, wajahku bergerak mendekati wajahnya. Dan saat bibir kami hampir bersentuhan, tiba-tiba saja kedua matanya terbuka dan menatapku intens. Sontak langsung kumundurkan wajahku menjauh darinya.
“Ada sesuatu yang ingin kutanyakan,” katanya tanpa mengalihkan tatapannya dari wajahku.
Ne?” ucapku sedikit canggung.
Ia bangun dari posisinya dan duduk menghadapku yang juga sudah mengubah posisi. Kami duduk berhadapan dalam diam. Sampai akhirnya dia menghela nafasnya panjang dan mulai mengeluarkan suaranya.
“Aku menemukan album foto di laci lemarimu,” katanya pelan namun dengan raut wajah yang serius, membuatku sedikit tersentak kaget saat otakku berhasil mencerna ucapannya.
Mwo?” ucapku dengan kedua mata yang membelalak kaget.
Dia mengangguk dan pandangannya menunduk, tak lagi menatapku. “Aku tidak sengaja menemukannya, dan…” Sekali lagi dia menghela nafasnya perlahan, kemudian tatapannya kembali beralih pada wajahku. “Kenapa kau tidak bilang dari dulu?” tanyanya pelan, seakan ada sedikit kejengkelan bercampur penyesalan yang terlihat dari sorot matanya.
“Apanya?” tanyaku berpura-pura tidak mengerti maksud dari ucapannya.
Dia mendecak kesal. “Jong Woon-ah, jangan berlagak bodoh di hadapanku. Album foto itu… Kenapa semua fotonya adalah fotoku?” tanyanya dengan nada bicara yang menuntut jawaban.
“Itu karena…”
You’re my secret admirer?” ucapnya memotong ucapanku.
Aku hanya mengangguk perlahan, dan itu membuatnya kembali menghembuskan nafasnya dengan berat.
“Jong Woon-ah…”
“Aku takut…” gumamku tanpa menatapnya. “Aku takut kau akan menjauhiku kalau kau tahu perasaanku yang sebenarnya. Dan aku juga takut… kau akan lebih memilih namja lain,” lanjutku yang membuat tubuhnya sedikit membeku. Dari sorot matanya terlihat sangat jelas bahwa dia terkejut mendengar pernyataanku. “Benar. Aku menyukaimu. Dari dulu sampai sekarang, aku tetap menyukaimu,” ujarku lagi.
“Bagaimana bisa?” tanyanya pelan dan lirih, bahkan terdengar hampir seperti bisikan.
“Aku tidak tahu,” jawabku sambil menggelengkan kepalaku. “Yang aku tahu… aku tidak bisa berpaling darimu. Karena itu… aku sangat bahagia karena telah menjadi suamimu.”
“Jong Woon…” ucapnya menggantung. “Seandainya kau tahu perasaanku dulu,” ucapnya lagi yang membuatku langsung menatapnya kaget.
Mwo?”
“Seandainya dulu kau menyatakan perasaanmu padaku, mungkin kau akan tahu bagaimana perasaanku padamu.”
“Ma… maksudmu?”
“Aku juga… menyukaimu…” ucapnya pelan seraya menundukkan kepalanya, menyembunyikan semburat merah yang sudah menghiasi kedua pipinya di balik rambut panjangnya yang tergerai indah.
“Jadi selama ini…” ucapku terputus.

Kuraih dagunya, memaksanya untuk menatapku. Kini bisa kulihat dengan jelas pipinya yang sudah merona merah akibat kata-katanya barusan. Kurapikan helaian-helaian rambut yang masih menutupi sebagian wajahnya dengan jemariku. Lagi-lagi kesadaranku melayang entah ke mana saat melihat wajahnya dengan jarak sedekat ini. Aku memang sering memerhatikannya dari dekat atau menciumnya secara tiba-tiba, tapi kali ini berbeda. Seperti ada sesuatu yang memberontak untuk keluar dari dalam diriku. Entah perasaan apa itu, tapi kini aku ingin sekali menyapu bibirnya dengan bibirku.
Perlahan bibirku mendarat ke keningnya, mengecupnya perlahan dan lembut, membuat matanya ikut menutup saat merasakan bibirku yang menyentuh kulit wajahnya. Lalu ciumanku turun pada kedua matanya, kedua pipinya secara bergantian, dan terakhir pada bagian yang lebih sensitif––bibirnya. Perlahan kedua tangan lembutnya mendorong dadaku saat bibirku mulai melumat bibirnya lembut.
“Aku tahu resiko menjadi istrimu, tapi…” ucapnya menggantung.
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Mengerti maksud ucapan istri tercintaku itu, aku langsung memotong ucapannya yang bahkan belum selesai.
“Aku akan mengatur supaya kau tidak terekspos di dunia pemberitaan,” ujarku sambil melemparkan senyumku padanya.
Ia membalas senyuman yang kulemparkan dengan senyumnya yang manis, bahkan lebih manis dari senyuman yang pernah ia berikan padaku atau untuk namja lain. Sekali lagi perasaan aneh itu muncul dan membuatku terdorong untuk menyentuh tempat lengkungan indah itu muncul. Perlahan bibir kami kembali bertaut. Berbeda dengan tadi, kali ini dia tidak memberontak atau menahan gerakanku untuk menciumnya. Dia membalas ciumanku dan itu membuatku memperdalam ciuman kami.

Saranghae…” bisikku pelan setelah tautan bibir kami terlepas.
Dia tersenyum dengan senyuman yang lagi-lagi membuatku terpesona. “Nado.”
Bibirku kembali mendarat pada keningnya lembut. Lalu kutarik selimut hingga menutupi sebagian tubuh kami, memeluknya, dan memejamkan mata untuk mengantarkan kami kepada mimpi, menunggu hari esok untuk datang.


-END-



Fuuuh… Ternyata susah juga ya bikin scene pas pernikahan. Apalagi saya kan emang gak tahu gimana prosesi pernikahan secara Kristiani, jadi maaf kalo ada yang salah-salah.
Dan nggak bosan-bosannya saya mohon buat readers yang udah baca, leave comment please ^^
Gomawo loh udah baca^^
Oke, sampai jumpa di cerita Jong Woon-Soon Hee berikutnya
Annyeong ! *bow*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar