Title : Marry Him (My Last Dream After Story)
Author : Ifa Raneza
Cast :
Yesung (Kim Jong Woon), Kim Soon Hee (OC)
Genre : Romance, Marriage Life
Naaaah,
kita ketemu lagi nih. Kkkk xD
Masih
pada ingatkah sama couple ini? Kalo lupa sok atuh diinget-inget lagi.
Okelah,
langsung di baca aja yah.
Happy
reading ^^
***
(Jong Woon POV)
Aku
melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Entah ini sudah
yang keberapa kalinya dalam tiga puluh menit terakhir. Lagi-lagi aku menghela
nafas sambil menatap cemas pintu masuk gereja dari altar tempatku berdiri.
Begitu pula dengan para tamu undangan yang hadir, mereka tampak cemas sambil
sesekali membisikkan sesuatu pada satu sama lain. Pintu masuk itu masih tetap
sama, sepi. Tidak ada tanda-tanda bahwa calon istriku itu sudah hadir.
“Bagaimana?”
tanyaku pada Siwon yang berdiri tak jauh dari tempatku berdiri.
Namja
tinggi itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Lalu ia kembali menatap layar
ponselnya dengan tatapan frustasi. Ya Tuhan, apa yang terjadi pada yeoja itu? Apa jangan-jangan otaknya
kembali menjadi tidak waras dan meninggalkanku di upacara pernikahanku sendiri?
Aaaah, andwae!!
“Yaa,
Minsoo-ya… Kenapa Soon Hee belum sampai juga?” tanya ibuku pada ibu Soon Hee
yang juga sedang menatap layar ponselnya dengan frustasi.
“Mollayo… Suamiku juga tidak mengangkat
teleponnya. Aneh sekali,” jawab ibu Soon Hee tanpa membalas tatapan ibuku.
Aku
mengacak-acak rambutku frustasi. Ke mana yeoja
itu? Apa dia benar-benar meninggalkanku?
“Hyung-ah, jangan hancurkan tatanan
rambutmu,” ujar Siwon sambil menyodorkanku sebuah sisir kecil. Sejak kapan dia
membawa barang-barang seperti itu?
Kuambil
sisir yang ia sodorkan dan merapikan tatanan rambutku yang sudah tidak
beraturan karena terlalu lama menunggu. Kurasakan kedua telapak tanganku juga sudah
mulai berkeringat di dalam sarung tangan yang kupakai. Yaak, Soon Hee.. apa kau
mau meninggalkan calon suamimu yang tampan ini, hah??
“Apa
dia masih tidak menjawab teleponnya?” tanyaku pada Siwon sambil mengembalikan
sisirnya.
Namja
itu menggeleng pasrah. “Ada apa dengannya, ya?” gumam Siwon. “Apa jangan-jangan
dia kabur?”
Mwoya?
Kabur? Aaah, andwae!! Tanpa ba bi bu,
langsung kusambar ponselnya dan menekan-nekan tombol ponselnya sesuai dengan
angka yang sudah kuhapal di luar kepala dengan ganas.
“Hyung, kau mau menelepon Soon Hee?”
tanyanya polos.
“Bukan,
aku sedang menelepon ibuku.”
“Mwo? Buat apa? Ibumu ada di situ,”
katanya sambil menunjuk ke arah ibuku.
“Tentu
saja Soon Hee, pabo!”
Ayolah,
Soon Hee… Jawab teleponku!
***
(Soon Hee POV)
“Soon
Hee-ah, kau cantik sekali,” puji appa
sambil membelai rambutku yang tertutup hiasan kepala.
“Appa-ya, sudah berapa kali kau
mengatakan itu?” sahutku dengan menyembunyikan rona merah yang sudah muncul di
kedua pipiku.
Appa
terkekeh melihat tingkahku.
“Gugup?”
tanyanya yang hanya kujawab dengan sekali anggukan. “Itu wajar. Dulu Appa dan Omma-mu juga begitu. Kami…”
Aku
tidak mendengarkan celotehan appa
yang mulai menceritakan tentang pernikahannya dengan omma dulu. Aku hampir hapal dengan jalan ceritanya karena ia sudah
menceritakannya lebih dari lima kali hari ini. Kualihkan pandanganku ke jalanan
di luar kaca mobil yang sedang kunaiki.
Tanpa
sadar senyumku sudah mengembang. Jong Woon… namja
itu sedang menungguku di gereja, kan? Apa dia akan lebih tampan dari hari-hari
kemarin? Kkkk…
BRAK!
Tubuhku
sedikit terpental ke depan dan kepalaku dengan suksesnya menubruk jok depan.
Aiishh… ada apa ini?
“Kenapa
berhenti, Ahjussi?” tanyaku pada Kang
ahjussi, supir pribadi keluargaku.
“Molla..” jawabnya seraya keluar dari
mobil yang diikuti appa.
Mereka
mengecek keadaan mesin dan kulihat appa
menghela nafasnya dengan berat.
“Ada
apa, Appa?” tanyaku seraya keluar
dari mobil.
“Ada
masalah dengan mesinnya,” jawab appa
sambil memijit keningnya.
Mwo?
Masalah? Lalu bagaimana dengan pernikahanku???
“Kapan
akan selesai diperbaiki?” tanyaku cemas.
Appa
dan Kang ahjussi menggeleng pelan,
membuat bahuku lemas seketika. Kulirik jam di dalam ponselku. Bisa-bisa aku
terlambat sampai di gereja.
“Kau
masuklah ke mobil, nanti make upmu luntur karena kepanasan,” ujar appa seraya mendorong punggungku pelan
agar masuk ke mobil.
Aku
menurut saja dengan hatiku yang mencelos. Kenapa masalah tiba-tiba datang
padaku? Lagi-lagi aku menghela nafas saat pandanganku beralih pada wallpaper ponselku, fotoku dan Jong
Woon. Apa dia sedang mencemaskanku?
***
Entah
sudah yang keberapa kali, kulirik lagi jam di dalam ponselku. Aku sudah
terlambat hampir tiga puluh menit. Pasti omma
dan calon suamiku sudah mondar-mandir tidak jelas di dalam gereja. Huwaaa… eotteoke??
“Appa… Apa masalahnya belum selesai?”
tanyaku sambil melongokkan kepalaku keluar jendela mobil.
Appa
hanya menjawab pertanyaanku dengan menggeleng. Kulihat ada beberapa titik peluh
di dahinya. Kasihan, Appa…
“Apa
perlu kubantu?” tanyaku menawarkan jasa.
“Mwo? Kau membantu kami? Aniyo… aniyo… Tidak mungkin mempelai
wanita membantu kami menyelesaikan ini,” ujar Kang ahjussi sambil terus memainkan peralatan mekaniknya pada mesin mobil.
“Tapi…”
Belum
sempat kuselesaikan kalimatku, ponselku berdering. Perasaanku semakin
bergejolak saat melihat nama si penelepon.
“Yeoboseyo, Jong Woon-ah…” kataku setelah
menekan tombol hijau pada ponsel.
“Yaak,
Kim Soon Hee.. Ke mana saja kau? Kenapa lama sekali?” serunya dari seberang
telepon, membuatku mau tidak mau harus sedikit menjauhkan ponsel itu dari
telingaku. Kalau tidak, telingaku pasti sudah tuli.
“Mianhae, Jong Woon-ah. Aku…”
“Apa
kau berniat meninggalkanku di sini, heh?! Apa otakmu sudah tidak waras, hah?!
Jawab, Hee-ya! Kenapa diam saja?” potongnya lagi dengan nada bicara yang sama
seperti sebelumnya.
Aissh…
Kenapa dia berbicara seperti itu? Dia takut sekali aku akan meninggalkannya.
“Yaak,
Mr Kim! Jangan memotong ucapanku dulu! Ada masalah di sini,” ujarku kesal.
“Mwo? Masalah? Masalah apa?” tanyanya.
“Aaah,
sudahlah… Jangan banyak bertanya. Masalahnya akan semakin rumit kalau kau
berbicara terus,” ujarku seraya menekan tombol merah pada ponsel dan mengakhiri
percakapan kami.
Pandanganku
beralih pada appa dan Kang ahjussi yang masih kebingungan
memperbaiki mesin mobil. Akhirnya tanpa menunggu lebih lama lagi, aku segera
keluar dari mobil dan menghampiri mereka.
“Mau
apa kau, Soon Hee? Hei!” seru appa
kaget saat melihatku menyentuh salah-satu bagian di dalam mesin dan menariknya.
“Lihat?
Masalahnya ada di sini,” ujarku sambil menunjukkan sebatang tusuk gigi yang
kuambil dari dalam mesin mobil. Aku juga tidak mengerti kenapa bisa ada benda
seperti ini di sana.
Appa
dan Kang ahjussi hanya tercengang
melihatku. Sekarang sarung tanganku sedikit kotor karena hal tadi. Akhirnya
tanpa menunggu lebih lama lagi, kami segera meluncur menuju gereja dan menemui
calon suamiku di sana. Huwaaa… Appa, omma… Aku akan menikah!
***
(Jong Woon POV)
Kuseka
keringat dingin yang mulai membasahi dahiku dengan tissue yang ibu berikan
padaku. Entah sudah berapa lama aku menunggu kedatangan calon istriku, tapi yeoja itu belum juga muncul. Kim Soon
Hee… Apa dia baik-baik saja?
“Tenanglah…
Dia pasti akan segera datang,” ujar ibuku sambil menepuk bahuku pelan.
Aku
hanya menanggapinya dengan mengangguk pelan. Aku tahu dia pasti akan datang,
tapi kenapa lama sekali? Apa dia mau membuatku mati kesal karena terlalu lama
menunggunya? Atau jangan-jangan dia benar-benar mau kabur? Aaah, tidak!!!
“Hyung, itu dia sudah datang!” ujar Siwon
sambil menunjuk ke arah pintu depan.
Kulihat
ada sebuah mobil hitam dengan hiasan bunga berhenti di depan gereja, dan
sosoknya pun terlihat keluar dari mobil dengan dibantu appa-nya. Sekali lagi aku merasakan kekaguman luar biasa saat
melihatnya yang mulai berjalan ke arahku dengan didampingi appa-nya. Mataku tidak bisa berpaling dari sosoknya saat ini. Tanpa
sadar senyumku sudah mengembang melihatnya yang semakin lama semakin mendekat
padaku.
Sedikit
lagi, maka dia akan sampai kalau saja sepatu yang ia kenakan tidak tersandung
karpet. Untungnya dia tidak jatuh karena tangannya ditahan oleh appa-nya.
“Pfft…”
Pipiku mengencang saat tawaku yang hampir meledak kutahan.
Dia
memicingkan matanya saat menatapku dengan tatapan mematikan nan horror. Detik
itu juga senyumku langsung memudar. O ow… sepertinya ada yang marah di sini.
Perlahan
tapi pasti, akhirnya dia tiba di hadapanku. Appa-nya
yang sebentar lagi juga akan menjadi appa-ku
menyerahkan tangan kanan putrinya kepadaku. Saat kusambut tangannya barulah aku
sadar bahwa ujung sarung tangannya sedikit kotor.
“Ada
apa dengan tanganmu?” tanyaku dengan berbisik saat kami sudah berdiri berdampingan
di depan altar.
“Nanti
saja kujelaskan,” bisiknya.
“Bisa
kita mulai?” tanya pendeta yang sudah bersiap di depan kami.
Kami
serempak menganggukkan kepala menjawab ucapannya. Pendeta itu sedikit berdehem
dan memulai upacara pernikahan ini. Bisa kurasakan detak jantungku yang mulai
tidak beraturan serta keringat dingin yang perlahan menuruni dahiku.
“Kau,
Kim Jong Woon.. Apa kau bersedia untuk selalu setia mendampingi Kim Soon Hee
sebagai istrimu serta menyayanginya baik dalam keadaan senang, sedih, maupun
sakit?” ucap pendeta itu.
“Aku
bersedia,” jawabku lantang.
“Kau,
Kim Soon Hee.. Apa kau bersedia untuk selalu setia mendampingi Kim Jong Woon
sebagai suamimu serta menyayanginya baik dalam keadaan senang, sedih, maupun
sakit?” ucap pendeta itu sambil memandangi Soon Hee yang berdiri di sampingku.
Hening.
Tidak ada jawaban dari yeoja yang
berdiri di sampingku ini. Perlahan kulirik dia, dan apa yang kudapati? Dia
melamun! Yeoja bodoh ini, kenapa dia
melamun di saat-saat mendebarkan seperti ini?! Dasar pabo!
“Kim
Soon Hee?” panggil pendeta itu pelan, mencoba menyadarkan Soon Hee dari
lamunannya.
Dia
masih tidak menjawab, membuat tamu-tamu yang hadir kembali berbisik-bisik. Ya
Tuhaaan… dia ini kenapa??
“Yaak,
Kim Soon Hee!” bisikku sambil menyikut lengannya.
Dia
langsung tersentak dan menoleh padaku cepat.
“Ah?
Oh, eh…” Ia tersadar dan langsung celingukan, menatapku bingung.
Aku
membalas tatapannya dengan tatapan mematikan nan horror dan berkata tanpa
suara, “Cepat jawab, bodoh!”
Ia
buru-buru mengalihkan tatapannya pada si pendeta yang masih mengangkat sebelah
alisnya, bingung akan sikap Soon Hee. “A-aku bersedia,” jawabnya yang langsung
membuat helaan nafas lega terdengar di ruangan ini.
Kemudian
seorang gadis yang merupakan adik Siwon mengantarkan cincin kawin pada kami. Kuambil
satu cincin dan mengangkat sebelah tangan Soon Hee, lalu memasangkannya pada
jari manisnya. Lalu giliran yeoja
yang sudah sah menjadi istriku itu yang memasangkan cincin pada jari manisku.
“Hati-hati,
Eonnie,” bisik gadis itu pada Soon
Hee yang terlihat sangat gugup.
Soon
Hee mengangkat sebelah tanganku dan mulai memasangkan cincin kawinnya pada jari
manisku. Bisa kurasakan tangannya yang sedikit bergetar karena gugup, dan hal
itulah yang membuat yeoja bodoh ini
menjatuhkan cincin kawin itu.
TRING!
Semua
tamu yang hadir sontak melototkan matanya saat Soon Hee menjatuhkan benda
penting itu. Baik aku, dia, maupun orang tua kami langsung panik dan segera
mencari cincin itu.
“Mana
cincin itu?” bisik Soon Hee panik seraya merunduk untuk mencari cincinnya.
“Kenapa
kau jatuhkan cincin itu, pabo,”
geramku sambil menatapnya kesal.
“Mianhae…” bisiknya sambil membalas
tatapanku dengan takut-takut.
Ruangan
ini menjadi heboh karena kami semua sibuk mencari cincin yang jatuh itu, sampai
akhirnya…
“Ketemu!
Ini cincinnya!” seru Ryeowook sambil menunjukkan cincin kawin yang tadi Soon
Hee jatuhkan pada kami. Ia berlari-lari kecil menghampiri kami dan menyerahkan
cincin itu pada Soon Hee. “Hati-hati, Noona,”
bisik Ryeowook sambil tersenyum penuh arti, kata-kata yang sama dengan yang
adik Siwon ucapkan tadi.
Soon
Hee mengangguk pelan dan mulai mengangkat tanganku lagi.
“Jangan
jatuhkan cincin itu lagi,” gumamku sambil memandangnya datar.
“Ne, arraseo,” balasnya tak kalah datar.
Ia
mulai memasukkan cincin itu pada jari manisku. Dan akhirnya aku bisa bernafas
lega saat melihat cincin itu telah sukses terpasang pada jari manisku. Senyumku
mengembang saat menatap cincin yang sudah melingkar indah di jariku, lalu
tatapanku beralih pada yeoja yang ada
di hadapanku. Kulihat dia juga membalas senyumanku. Haaah… Betapa cantiknya yeoja ini. Tidak salah aku telah
memilihnya untuk menjadi istriku.
“Sekarang
mempelai pria boleh mencium mempelai wanitanya,” kata pendeta itu dan membuat
Soon Hee melototkan matanya. Ayolah, dia kenapa lagi sekarang?
Kuhadapkan
tubuhku padanya dan menyibak hiasan kepala yang menutupi wajahnya. Sekarang
bisa kulihat dengan jelas wajahnya yang terlihat mulai pucat. Kulingkarkan
kedua tanganku pada pinggangnya dan mulai mendekatkan wajahku padanya. Ini akan
menjadi momen paling indah kalau saja yeoja
yang sudah menjadi istriku itu tidak menghentikan gerakanku.
“Ck..
waeyo?” tanyaku dengan raut wajah
cemberut saat kubuka mataku dan mendapati wajah kami yang sudah sangat dekat.
“Tu..
tunggu sebentar. Aku belum siap,” bisiknya dengan kedua tangannya yang berada
di dadaku, menahan gerakanku untuk menciumnya.
“Bukannya
kita sudah sering berciuman sebelum ini? Kenapa kau belum siap?”
“Yaak,
itu karena kau yang mencuri ciumanku, tahu!” ucapnya lagi masih dengan
berbisik.
“Lalu?
Apa itu penting sekarang?” kataku sambil mencoba menarik pinggangnya agar bibir
kami bersentuhan.
“Yaak,
tunggu!” cegahnya sambil mendorong dadaku hingga gerakanku lagi-lagi terhenti.
“Hei…
Kenapa mereka tidak jadi berciuman?” Bisa kudengar bisikan ibuku pada ibu Soon
Hee.
Kulirik
tamu-tamu yang lain, dan ternyata semuanya sama, mereka saling berbisik dan menanyakan
hal yang sama. Begitu pula dengan pendeta yang ada di depan kami, ia
memerhatikan kami dengan tatapan bingung. Dasar, yeoja ini! Dia mau membuatku malu, hah?!
“Tidak
ada waktu lagi,” ucapku tidak sabaran.
“Yaak…
yaak… Tung––hmph!” Ucapannya terhenti saat dengan cepat kutarik pinggangnya
agar ia mendekat padaku dan segera menyerbu bibirnya. Bisa kudengar ruangan ini
menjadi sedikit riuh karena bibir kami sudah bertaut.
Awalnya
dia memberontak, tapi lama-kelamaan karena gerakannya kutahan, berontakannya
mulai berhenti. Aku berani bersumpah, ciumannya sangat memabukkan bagiku. Dan
hal itu membuatku semakin menarik tubuhnya dan memperdalam ciuman kami. Saat
bibirku mulai melumat bibirnya, ia kembali memberontak dan akhirnya tautan
bibir kami terlepas.
Nafas
kami sama-sama tersengal dan para tamu undangan semakin riuh karena melihat
kami. Aku hanya memamerkan senyum malu sambil menggaruk belakang kepalaku yang
sama sekali tidak gatal saat mendapatkan tatapan horrornya.
“Hyung-ah, tadi kau bernafsu sekali.
Hahaha…” goda Siwon saat ia menghampiri kami. Ia tertawa geli bersama dengan
Ryeowook yang juga tertawa di sebelahnya. Namun tawa mereka segera terhenti
saat Soon Hee lagi-lagi melemparkan tatapan horrornya pada mereka.
Ups…
Mereka mau mengganggu singa lapar ternyata.
***
(Soon Hee POV)
“Welcome home!” serunya riang saat kami
memasuki apartemennya.
Awalnya
aku bersikap biasa saja karena aku sudah terbiasa di apartemennya, tapi mataku
langsung membulat lebar saat mendapati ruangan itu sudah terlihat berbeda dari
apa yang kulihat sebelumnya, bahkan jauh berbeda. Di ruang tamu bisa kulihat
sofa-sofa dan meja ditata ulang. Lalu kakiku melangkah ke ruang tengah dan
mendapati dindingnya sudah tak lagi berwarna cokelat muda seperti terakhir kali
aku melihatnya. Kini ruangan itu sudah berwarna biru muda yang lembut, warna
kesukaanku.
“Kau
suka?” tanyanya saat sudah berdiri tepat di sebelahku.
“Jong
Woon.” Tatapanku beralih padanya dan memegang lengannya dengan antusias. “Kau
menata ulang apartemenmu?” tanyaku senang.
Dia
mengangguk. “Bagaimana? Kau suka?” tanyanya yang langsung kujawab dengan sekali
anggukan.
“Ini
bagus sekali,” ujarku dengan pandangan yang kembali tertuju pada ruangan ini.
“Ah, tidak! Ini indah, indah sekali!” ujarku antusias, membuat Jong Woon
terkekeh melihatku yang begitu senang dengan perubahan ruangan ini. Ah, tidak.
Mungkin saja dia sudah mengubah semua ruangan di apartemennya ini.
“Kau
mau melihat kamar kita?” tanyanya seraya menggamit tanganku dan membawaku ke
kamar sambil menyeret koperku.
Tunggu…
‘kamar kita’?
“A-apa
maksudmu?” tanyaku seraya menghentikan langkahku, membuat langkahnya juga ikut
terhenti.
Dia
menaikkan alisnya, bingung dengan pertanyaan yang kulemparkan padanya. “Apa ada
yang salah? Aku mau memperlihatkan kamar kita,” katanya bingung.
Lagi-lagi
dua kata terakhirnya membuat sebelah alisku terangkat.
“Maksudmu…
Kita tidur bersama?” tanyaku pelan.
Dia
hanya mengangguk sambil terus menatapku bingung. Omo…! Kami? Tidur bersama? Tidaaaaakkk!!
“Tidur
bersamaaaa??” ulangku lagi dengan nada yang lebih tinggi.
“Omo… Kau mau membuatku tuli, huh? Kau
ini kenapa? Kita sudah menikah dan bukankah sudah sewajarnya kita tidur
bersama? Kau aneh sekali,” ujarnya seraya melangkahkan kakinya ke kamar,
melewatiku yang masih berdiri di tempatku.
Yaa,
benar. Aku sudah menjadi istrinya sekarang. Tapi aku belum siap untuk … err…
tidur berdua dengannya di dalam satu kamar dan di atas satu ranjang. Selama ini
aku tidak pernah tidur dengan namja,
kecuali dengan appa-ku. Itu pun di
saat aku bermimpi buruk. Tapi sekarang…
“Kau
tidak mau mandi?” tanyanya dari dalam kamar, membuatku tersadar kembali dari
lamunanku.
Kulangkahkan
kakiku masuk ke dalam kamar bernuansa biru muda. Yaah, lagi-lagi pria itu
menatanya sesuai dengan warna kesukaanku. Dia benar-benar menyiapkan semuanya
untukku. Semuanya ia ubah untuk membuatku terasa nyaman di apartemennya yang
sudah menjadi rumah kami ini.
Terdengar
bunyi gemericik air dari dalam kamar mandi yang ada di sudut kamar. Sepertinya
dia sedang mandi. Kujatuhkan diriku di tepi tempat tidur. Lagi-lagi sprei-nya
berwarna biru muda. Haaahh… Jong Woon, dia baik sekali.
Ah,
iya! Di mana dia menyimpan kotak kosmetikku? Aku beranjak dari tempat tidur dan
mulai mencari-cari kotak kosmetikku di laci meja yang ada di samping tempat
tidur. Tidak ada. Di mana pria itu memindahkannya? Lalu pandanganku beralih
pada lemari bajunya yang juga akan menjadi lemari bajuku. Kubuka laci paling
bawah dan menemukan sebuah benda yang sedikit asing bagiku. Sebuah album foto.
Apa ini foto-fotonya saat kecil? Dengan perasaan yang masih penasaran, kubuka
album foto itu dan langsung tercengang saat melihat isinya. Hampir semuanya
fotoku! Fotoku saat SMP, fotoku saat SMA, sampai fotoku saat memasuki
universitas! Semuanya ada di sini. Dan mataku semakin melotot kaget saat
membaca tulisan kecil di bawah foto yang kuyakini adalah tulisan tangannya.
‘Kim Soon Hee, a girl I love.
Saranghae…’
Tulisan
ini ditulis sudah lama sekali, terlihat dari warna tintanya yang sudah hampir berwarna
kecoklatan. Jadi selama ini… dia menyukaiku? Dia menyukaiku sejak kami duduk di
bangku SMP? Dan perasaan itu masih bertahan hingga saat ini, sampai kami
menikah. Tanpa sadar sebulir air mata menuruni pipiku. Dengan cepat kuhapus air
mata itu dengan sebelah tanganku yang masih terbungkus sarung tangan. Yaah, aku
memang masih mengenakan gaun pengantin. Lalu kututup album foto itu dan
mengembalikannya ke dalam laci sebelum Jong Woon mengetahui kalau aku sudah
membuka rahasia terbesarnya. Dia pasti akan malu jika tahu itu.
Lebih
baik sekarang aku menyiapkan baju ganti untuk suamiku itu. Setelah menyiapkan
kaus dan celana selutut dan meletakkannya di atas tempat tidur, pandanganku
tertuju pada tuxedo dan kemeja yang
tadi pagi ia kenakan saat upacara pernikahan kami. Ckckck… Dia pemalas sekali.
Lihat saja, semuanya ia letakkan sembarangan. Tuxedo diletakkan di atas sofa yang ada di sudut kamar, kemejanya
diletakkan di atas tempat tidur, dan celana panjangnya dia biarkan tergeletak
di atas lantai. Sambil mendecak kesal karena sifat malasnya yang tidak pernah
hilang itu, kupunguti baju-bajunya yang bertebaran di lantai. Sepertinya akan
sedikit merepotkan dalam melaksanakan tugasku sebagai istri seorang Kim Jong
Woon sekaligus Yesung.
Oh,
iya. Pasti berita pernikahan kami sudah dimuat di beberapa media pemberitaan.
Tentu saja, karena suamiku itu adalah seorang Yesung, penyanyi yang dipuja-puja
dunia. Tapi sepertinya kehidupanku akan menjadi sedikit lebih rumit. Masih
ingat kejadian beberapa waktu lalu saat kami diserbu Clouds? (baca I’ll Marry
You, Kim Jong Woon). Kami hampir saja kehilangan nafas saat itu.
CKLEEK…
Terdengar
suara pintu kamar mandi terbuka. Pasti dia sudah selesai mandi.
“Jong
Woon, kau…”
Ucapanku
terputus saat mendapati sosok namja
itu berdiri di depanku sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan sebuah
handuk. Mungkin sekarang wajahku sudah terlihat bodoh dengan mulutku yang
setengah terbuka dan mataku yang membelalak kaget. Bagaimana tidak kaget? Dia
hanya mengenakan handuk untuk menutupi sebagian tubuhnya. Garis bawahi! Hanya
mengenakan handuk!!!
“Wae?” tanyanya dengan wajah polos tak
berdosa.
“Yaak,
Kim Jong Woon! Kenapa kau hanya mengenakan handuk, hah???!!!!” teriakku sambil
melemparnya dengan bantal yang kuambil dari atas tempat tidur.
“Yaak…
yaak… Ampun! Ampun! Jangan lempar aku dengan––aww!” serunya sambil menghindari
lemparan-lemparanku.
Dan
mungkin karena gerakannya yang terlalu cepat atau karena pertahanannya yang
kurang memadai, handuk yang menutupi tubuh bagian bawahnya terlepas. Membuat
mataku lagi-lagi melotot menatapnya.
Dia
menatapku lalu beralih pada tubuhnya. Lalu kembali lagi menatapku, lalu kembali
lagi menatap tubuhnya yang…
“AAA!!!”
“AAA!!!”
“KYAAAA!!!
JANGAN MELIHATKU, HEE! JANGAN MELIHATKU!!” teriaknya histeris sambil menutupi
tubuhnya dengan bantal yang tadi kulempar padanya.
“CEPAT
PAKAI BAJUMU, PABOOOO!!!” balasku
sambil menutup kedua mataku.
“TUTUP
MATAMU!!! TUTUP MATAMUUUUU!!!”
***
(Jong Woon POV)
“Hee-ya,
kau sudah selesai ganti baju?” tanyaku sambil mengetuk pintu kamar.
Meskipun
dia sudah menjadi istriku, tapi siapa yang bisa menjamin dia tidak akan
membunuhku jika aku masuk tanpa izin dan melihat tubuh polosnya? Eh, tubuh
polosnya? Memikirkannya saja sudah membuat wajahku memanas. Omo… ternyata begini ya rasanya sudah
menikah. Kkkk…
“Kau
kenapa?” tanyanya saat membuka pintu dan mendapati aku yang sedang terkikik
karena pikiranku tadi.
“Ah,
eh… Tidak…” jawabku sambil menggaruk belakang kepalaku yang sama sekali tidak
terasa gatal.
“Aneh
sekali,” gumamnya seraya berjalan melewatiku ke arah dapur. “Bahan makanan apa
yang kau punya?” tanyanya sambil membuka kulkas.
“Eobseo,” jawabku seraya mengikutinya ke
dapur.
“Mwo? Eobseo?”
ucapnya dengan mata yang tertuju pada kulkas yang hanya berisi beberapa buah
apel. “Jadi malam ini kita makan apa?” gumamnya sambil memutar otaknya,
berpikir keras.
“Aku
bisa membuat ramyun,” kataku bangga.
Dia
hanya menatapku dengan tatapan yang mungkin artinya ‘yang-benar-saja?’.
“Temani
aku ke supermarket,” katanya seraya berjalan ke kamar.
“Aku
lelah sekali, Hee-ya,” kataku sambil memijit lenganku yang rasanya mau putus.
“Kalau
begitu aku sendiri saja yang pergi.”
“Aiish…
Jangan!” cegahku sambil menahan tangannya. “Kita pesan makanan saja, ne?” usulku seraya mengeluarkan ponsel
dari dalam saku celana.
Ia
hanya mengangguk pasrah, membuatku mengembangkan senyuman puas.
“Kau
mau makan apa malam ini?”
***
“Makaaan!”
seruku riang sambil membuka sebungkus makanan yang baru saja diantarkan ke
apartemen kami.
Rasanya
senang sekali bisa makan malam berdua dengan orang yang kita sayangi. Tidak
seperti sebelum-sebelumnya, aku makan dan tidur sendirian karena harus tinggal
sendiri. Tapi sekarang tidak lagi, karena aku sudah memiliki istri.
“Enak
tidak?” tanyaku sambil menyuapkan mie yang tadi kupesan ke dalam mulutku.
Dia
mengangguk. “Tapi rasanya ada yang kurang,” ujarnya sambil mencari sesuatu di
dalam bungkusan.
“Kau
mencari apa? Saus, ya?” tebakku seraya menyodorkan plastik kecil berisi cairan
kemerahan yang kuyakini adalah saus.
Dia
mengangguk dan mengambil saus yang kusodorkan. Ia langsung memasukkan semua
saus ke dalam makanannya. Kemudian ia kembali menyuapkan makanan ke dalam
mulutnya. Awalnya biasa-biasa saja, tapi lama kelamaan sepertinya ada yang
janggal.
“Ada
apa?” tanyaku saat melihatnya yang perlahan-lahan memperlambat kunyahannya.
Dia
menggeleng, lalu tatapannya beralih pada mie yang ada di depannya.
“Jong
Woon…” panggilnya dengan sedikit desahan.
“Mwo?”
“Kenapa…
hhh… Sausnya pedas sekali?” tanyanya sambil menatapku ragu.
Mwo?
Pedas? Dengan cepat kuperiksa plastik kecil yang tadi kusodorkan padanya. Sepertinya
tidak ada yang salah, semuanya baik-baik saja. Dari dulu sampai sekarang saus
tomat itu warnanya memang merah, kan? Kucolek sedikit saus yang masih tersisa
di dalamnya dan memasukkannya ke dalam mulutku. Nggg… Sepertinya ada yang salah
di sini.
“Hee…”
panggilku ragu, lebih tepatnya takut.
“Mwo? Hhh…” katanya dengan sedikit
desahan pada akhir kalimat karena kepedasan.
“Sepertinya
aku salah memberimu saus,” kataku pelan.
“Maksudmu?”
“Itu
tadi… bukan saus. Tapi…” kataku terputus.
“Tapi
apa?” tanyanya dengan tatapan horror yang sedikit tertutupi karena matanya
mulai berair.
“Itu…
sambal,” lanjutku pelan.
Tidak
ada respon sedikitpun darinya dan aku pun terlalu takut untuk mengangkat
wajahku, menatapnya. Sebagai suami yang baik, kutuangkan air putih ke dalam
gelas dan menyodorkannya pada istriku itu. Dia mengambilnya dan meneguknya
tanpa sisa.
“Hhh…”
Bisa kudengar nafasnya yang mulai lega. Sepertinya dia sudah tidak kepedasan
lagi.
“Gwaenchana?” tanyaku setelah
memberanikan diri untuk menatapnya.
Ia
menatapku horror dan perlahan-lahan tubuhnya mencondong ke arahku, membuatku
mau tidak mau harus memundurkan tubuhku ke belakang hingga punggungku menyentuh
sandaran kursi. Astaga, aku sudah membuat ratu evil ini marah. Huwaaa… omma!!!
“Gwaenchana kau bilang??” katanya dengan
suara rendah, membuatku bergidik ngeri. “Kau tahu tidak bagaimana rasanya?!”
tanyanya dengan nada tinggi sambil menggebrak meja makan.
“A-aniyo,” jawabku dengan kepalaku yang kugelengkan
cepat.
“Aaah,
begitu…” gumamnya dengan sudut bibir yang tertarik ke satu arah, membentuk
sebuah seringai. Oh, tidak! Apa lagi yang akan dilakukannya padaku? “Suamiku
sayang… Kau tidak melanjutkan makanmu?” tanyanya lembut.
“A-aku…”
“Biar
aku suapi,” katanya masih dengan nada yang sama, namun aku dapat melihat aura
hitam yang ada di atas kepalanya. O ow…
“Bi-biar
ak––hmph!”
Ucapanku
terputus saat yeoja itu menyuapkan
sesendok penuh mie yang ada di mangkuknya dengan ganas ke dalam mulutku. Sedetik
kemudian rasa pedas langsung terasa di lidahku, membuat air mataku keluar
begitu saja. Demi Tuhan, apa orang yang membuat sambal ini mau membunuhku?
“Mmh…
Hentikan! Aku sudah kenyang,” ujarku mencegahnya untuk menyuapiku dengan mie super
pedasnya itu.
“Aiisshh…
Kau baru makan beberapa suapan, Sayang… Ayo, makan lagi,” ujarnya dengan
diiringi seringaian evil khasnya yang membuatku mau tidak mau harus menelan
semua mie yang ia suapkan.
Huwaaaa…
Omma~ Ini penyiksaan namanya!
***
“Ayo,
tidur!” ujarku sambil menarik selimut agar menutupi sebagian tubuh kami.
“Kau
tidur duluan saja, aku belum mengantuk,” katanya sambil menyibak selimut yang
sudah menutupi sebagian tubuhnya.
“Aku
tidak mau tidur sendirian,” kataku sambil menahan gerakannya dan kembali
menyelimuti tubuhnya.
“Aku
akan menyusulmu nanti,” ujarnya dengan lagi-lagi menyibak selimut yang sudah
kutarik.
“Yaak,
Kim Soon Hee!” seruku hingga membuatnya tidak bergerak lagi.
Tanpa
sadar aku menahan kedua tangannya terlalu keras. Dia menatapku bingung, bingung
dengan apa yang kulakukan saat ini. Bagaimana pun aku ingin merasakan bagaimana
rasanya menjadi pengantin baru. Jadi apa salahnya kalau aku ingin tidur dengan
ditemani istriku sendiri?
“Maaf,”
kataku sambil melepaskan genggamanku pada kedua tangannya, lalu beringsut ke
sisi di sebelahnya dan merebahkan tubuhku di sana.
“Gwaenchana,” ucapnya dengan tangannya
yang menarik selimut agar menutupi tubuhnya sampai bagian dada.
Aku
memandangnya bingung, sedangkan dia hanya membalas tatapanku dengan tatapan
biasa. Sepertinya dia mau menemaniku tidur sekarang.
“Kalau
kau belum mau tidur, biar aku tidur sendiri,” ucapku pelan. Entah kenapa kami
jadi merasa sedikit canggung begini.
Dia
menggeleng pelan. “Tidak apa-apa. Biar aku temani kau tidur,” katanya seraya
memejamkan kedua matanya.
Sedangkan
aku? Aku sama sekali tidak bisa memejamkan mataku. Padahal tadi aku yang
memaksanya untuk segera tidur. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari
wajahnya. Wajahnya begitu cantik, manis, dan… Yaah, aku begitu mengaguminya.
Wajahnya tidak berubah sejak belasan tahun yang lalu, saat pertemuan pertama
kami di bangku SMP. Walaupun ada sedikit perubahan pada wajahnya karena
pertumbuhan, tapi parasnya tetap indah di mataku.
Aku
masih ingat saat pertama kali aku bersaing dengan namja-namja lain untuk mendapatkan hatinya di bangku SMA. Dan pada
akhirnya dia memutuskan untuk tidak memilih salah satu di antara mereka. Aku
masih ingat dengan jelas bagaimana raut wajahnya saat ciuman pertamanya kurebut
ketika kami masih menjadi mahasiswa. Aku masih ingat bagaimana perasaanku saat
melihatnya dekat dengan Siwon yang ternyata adalah sepupunya sendiri. Dan aku
masih ingat saat… dia pergi meninggalkanku ke Amerika. Saat itu aku benar-benar
bodoh. Tapi aku berjanji tidak akan pernah melepaskannya lagi.
Jangan
pergi lagi, jangan tinggalkan aku lagi, Soon Hee..
Entah
mendapat dorongan dari mana, wajahku bergerak mendekati wajahnya. Dan saat
bibir kami hampir bersentuhan, tiba-tiba saja kedua matanya terbuka dan
menatapku intens. Sontak langsung kumundurkan wajahku menjauh darinya.
“Ada
sesuatu yang ingin kutanyakan,” katanya tanpa mengalihkan tatapannya dari
wajahku.
“Ne?” ucapku sedikit canggung.
Ia
bangun dari posisinya dan duduk menghadapku yang juga sudah mengubah posisi.
Kami duduk berhadapan dalam diam. Sampai akhirnya dia menghela nafasnya panjang
dan mulai mengeluarkan suaranya.
“Aku
menemukan album foto di laci lemarimu,” katanya pelan namun dengan raut wajah
yang serius, membuatku sedikit tersentak kaget saat otakku berhasil mencerna
ucapannya.
“Mwo?” ucapku dengan kedua mata yang
membelalak kaget.
Dia
mengangguk dan pandangannya menunduk, tak lagi menatapku. “Aku tidak sengaja
menemukannya, dan…” Sekali lagi dia menghela nafasnya perlahan, kemudian
tatapannya kembali beralih pada wajahku. “Kenapa kau tidak bilang dari dulu?”
tanyanya pelan, seakan ada sedikit kejengkelan bercampur penyesalan yang
terlihat dari sorot matanya.
“Apanya?”
tanyaku berpura-pura tidak mengerti maksud dari ucapannya.
Dia
mendecak kesal. “Jong Woon-ah, jangan berlagak bodoh di hadapanku. Album foto
itu… Kenapa semua fotonya adalah fotoku?” tanyanya dengan nada bicara yang
menuntut jawaban.
“Itu
karena…”
“You’re my secret admirer?” ucapnya
memotong ucapanku.
Aku
hanya mengangguk perlahan, dan itu membuatnya kembali menghembuskan nafasnya
dengan berat.
“Jong
Woon-ah…”
“Aku
takut…” gumamku tanpa menatapnya. “Aku takut kau akan menjauhiku kalau kau tahu
perasaanku yang sebenarnya. Dan aku juga takut… kau akan lebih memilih namja lain,” lanjutku yang membuat
tubuhnya sedikit membeku. Dari sorot matanya terlihat sangat jelas bahwa dia
terkejut mendengar pernyataanku. “Benar. Aku menyukaimu. Dari dulu sampai
sekarang, aku tetap menyukaimu,” ujarku lagi.
“Bagaimana
bisa?” tanyanya pelan dan lirih, bahkan terdengar hampir seperti bisikan.
“Aku
tidak tahu,” jawabku sambil menggelengkan kepalaku. “Yang aku tahu… aku tidak
bisa berpaling darimu. Karena itu… aku sangat bahagia karena telah menjadi
suamimu.”
“Jong
Woon…” ucapnya menggantung. “Seandainya kau tahu perasaanku dulu,” ucapnya lagi
yang membuatku langsung menatapnya kaget.
“Mwo?”
“Seandainya
dulu kau menyatakan perasaanmu padaku, mungkin kau akan tahu bagaimana
perasaanku padamu.”
“Ma…
maksudmu?”
“Aku
juga… menyukaimu…” ucapnya pelan seraya menundukkan kepalanya, menyembunyikan
semburat merah yang sudah menghiasi kedua pipinya di balik rambut panjangnya
yang tergerai indah.
“Jadi
selama ini…” ucapku terputus.
Kuraih
dagunya, memaksanya untuk menatapku. Kini bisa kulihat dengan jelas pipinya
yang sudah merona merah akibat kata-katanya barusan. Kurapikan helaian-helaian
rambut yang masih menutupi sebagian wajahnya dengan jemariku. Lagi-lagi
kesadaranku melayang entah ke mana saat melihat wajahnya dengan jarak sedekat
ini. Aku memang sering memerhatikannya dari dekat atau menciumnya secara
tiba-tiba, tapi kali ini berbeda. Seperti ada sesuatu yang memberontak untuk
keluar dari dalam diriku. Entah perasaan apa itu, tapi kini aku ingin sekali
menyapu bibirnya dengan bibirku.
Perlahan
bibirku mendarat ke keningnya, mengecupnya perlahan dan lembut, membuat matanya
ikut menutup saat merasakan bibirku yang menyentuh kulit wajahnya. Lalu
ciumanku turun pada kedua matanya, kedua pipinya secara bergantian, dan
terakhir pada bagian yang lebih sensitif––bibirnya. Perlahan kedua tangan
lembutnya mendorong dadaku saat bibirku mulai melumat bibirnya lembut.
“Aku
tahu resiko menjadi istrimu, tapi…” ucapnya menggantung.
Aku
tersenyum mendengar ucapannya. Mengerti maksud ucapan istri tercintaku itu, aku
langsung memotong ucapannya yang bahkan belum selesai.
“Aku
akan mengatur supaya kau tidak terekspos di dunia pemberitaan,” ujarku sambil
melemparkan senyumku padanya.
Ia
membalas senyuman yang kulemparkan dengan senyumnya yang manis, bahkan lebih
manis dari senyuman yang pernah ia berikan padaku atau untuk namja lain. Sekali lagi perasaan aneh
itu muncul dan membuatku terdorong untuk menyentuh tempat lengkungan indah itu
muncul. Perlahan bibir kami kembali bertaut. Berbeda dengan tadi, kali ini dia
tidak memberontak atau menahan gerakanku untuk menciumnya. Dia membalas
ciumanku dan itu membuatku memperdalam ciuman kami.
“Saranghae…” bisikku pelan setelah tautan
bibir kami terlepas.
Dia
tersenyum dengan senyuman yang lagi-lagi membuatku terpesona. “Nado.”
Bibirku
kembali mendarat pada keningnya lembut. Lalu kutarik selimut hingga menutupi
sebagian tubuh kami, memeluknya, dan memejamkan mata untuk mengantarkan kami
kepada mimpi, menunggu hari esok untuk datang.
-END-
Fuuuh…
Ternyata susah juga ya bikin scene pas pernikahan. Apalagi saya kan emang gak
tahu gimana prosesi pernikahan secara Kristiani, jadi maaf kalo ada yang
salah-salah.
Dan
nggak bosan-bosannya saya mohon buat readers yang udah baca, leave comment
please ^^
Gomawo
loh udah baca^^
Oke,
sampai jumpa di cerita Jong Woon-Soon Hee berikutnya
Annyeong
! *bow*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar