Title : BACK [Part 1 of 2]
[I’m Sorry Oppa After Story]
Author : Ifa Raneza
Cast : Yesung (Kim Jong Woon) , Park Hye Mi
Genre : Romance, Family, Marriage Life
Remember Kim Jong Woon and Park Hyemi in my first fanfiction (I'm Sorry Oppa) ?
Yup! This is sequel of that story.
Happy reading all ^^
** ** **
Ada banyak
pertanyaan yang muncul di otakku sekarang.
Apa aku masih bisa
menatapmu?
Apa aku masih bisa
menggenggam tanganmu?
Apa aku masih bisa
menggantungkan hidupku padamu?
Apa aku masih bisa
merasakan hembusan nafasmu yang menyapu kulitku?
Dan…
Apa aku masih bisa
menyebut diriku sendiri sebagai orang yang paling berarti dalam hidupmu?
Park Hye Mi,
saranghamnida…
~** ** ** ** **
**~
“Aku
pulang!” seru seorang pria saat memasuki apartemennya, tempat yang menaungi
keluarga kecilnya.
“Yeobo-ya?” panggilnya saat merasa tidak
mendapatkan respon yang biasa ia terima seperti hari-hari sebelumnya.
Ia
berjalan ke arah sebuah sofa dan menghempaskan tubuhnya di sana, mencoba untuk
meregangkan otot-ototnya yang sudah terasa kaku. Kemudian ia melepaskan jaketnya
dan melemparkannya ke sembarang arah.
Ia
tidak seperti kebanyakan pria dewasa yang akan mengenakan pakaian formal saat
bekerja. Tidak, karena ia tidak bekerja di depan komputer yang mengharuskannya
duduk dengan berbagai file yang harus dikerjakan selama berjam-jam. Untuk
menafkahi keluarga kecilnya, ia hanya diharuskan untuk melatih beberapa
penyanyi dengan alat musik. Ya, dia adalah seorang trainer di salah satu
manajemen ternama, Kim Jong Woon.
Pria
itu mengangkat tangan kirinya dan melihat jam tangan yang melingkar di
pergelangan tangannya sekilas. Jam lima sore. Seharusnya anae-nya itu sudah pulang dari rumah sakit tempatnya praktek satu
jam yang lalu. Dan lagi, ke mana anaknya?
Ia
langsung beranjak dari sofa dan bergegas menuju kamar putrinya. Kosong.
Lalu
ia segera keluar dari kamar bernuansa putih-kuning itu dan setengah berlari ke
kamarnya sendiri. Tapi sayang, tidak ada siapapun yang bisa ia temukan di sana.
Kemudian
saat teringat akan sesuatu, ia segera merogoh kantong celananya dan
mengeluarkan benda berwarna putih. Ia menekan-nekan tombol pada benda itu
sesuai dengan nomor yang sudah ia hapal di luar kepala.
Setelah
nada tunggu kelima, barulah telinganya mendengar suara yang sangat ia kenal.
“Yoboseyo?”
“YA!
Yeobo-ya, kau di mana? Kau membawa
Hyejin? Ke mana? Kenapa tidak memberitahuku kalau mau pergi?” tanyanya cepat
tanpa memberikan kesempatan pada anae-nya
itu untuk menjawab.
“Oppa, ak--”
“Mana
Hyejin? Aku mau bicara dengannya! Dan lagi, kenapa tidak menjawab
pertanyaanku?”
“Yaak,
Kim Jong Woon! Bagaimana aku bisa menjawab kalau kau tidak memberikanku
kesempatan untuk menjawab?!” ujar anae-nya
kesal dari seberang telepon. “Aku sedang di jalan, Oppa,” katanya lagi dengan nada bicara dan volume yang lebih lembut
dari sebelumnya.
“Oooh…”
Jong Woon ber-oh panjang.
“Yaak,
Hyejin-ah! Rambutku jangan ditarik-tarik seperti ini! Neomu apayo!”
Jong
Woon mengerutkan dahinya. Suara laki-laki? Siapa itu?
“Suara
siapa itu?” tanyanya curiga.
Tidak
ada jawaban. Ia hanya bisa mendengar istrinya membujuk anak mereka agar
melepaskan rambut laki-laki itu.
“Kenapa
kau tidak menjawabku?! Yeobo! Yeobo-ya!”
seru Jong Woon dengan tangan kanannya yang sudah mengepal sempurna.
“Ngg…
Oppa, mian. Teleponnya kututup dulu. Kami sedang di jalan. Sebentar lagi
kami akan sampai di rumah. Annyeong!”
KLIK!
“YA!
Park Hye Mi!” seru Jong Woon geram.
Ia
melempar ponselnya ke atas sofa yang tadi ia duduki. Kesal, tentu saja. Oh ya,
satu lagi, cemburu. Ia benar-benar penasaran siapa namja yang sedang bersama istrinya itu. Terlebih lagi ia membawa
anak mereka. Cih, Jong Woon ingin sekali menggigit sesuatu sekarang (?).
Merasa
emosinya sudah hampir memuncak, Jong Woon berjalan ke dapur dan mengambil
beberapa potong roti dari kulkas. Tanpa ba bi bu lagi, ia langsung melahap roti
itu dengan brutal tanpa ampun (?).
~** ** ** ** **
**~
“Aku
pulang!” seru Hye Mi saat memasuki apartemennya sambil menggendong Hyejin,
anaknya yang masih berusia satu tahun.
Ia
melirik sepatu hitam yang diletakkan asal di depan pintu masuk. Ia sudah hapal
betul kelakuan suaminya. Setelah mengganti sepatu dengan sandal rumah dan
meletakkan sepatu suaminya itu di rak sepatu, ia melangkah masuk ke ruang
tengah.
“YAAK!
Oppa, apa yang kaulakukan dengan
ruangan ini?!” tanyanya kaget saat mendapati ruang tengah yang biasanya bersih
dan rapi penuh dengan botol-botol minuman dingin, beberapa bungkus snack, dan jaket suaminya yang
diletakkan sembarangan.
Jong
Woon menoleh dengan memperlihatkan raut wajah datar yang menurut Hye Mi sangat
menakutkan. Persis seperti mayat hidup yang sering ia lihat di film-film.
“Dari
mana saja?” tanya Jong Woon datar. “Bersama siapa kau?”
“Aku
dari supermarket,” jawab Hye Mi seraya melangkah masuk ke dalam kamar anaknya
dan membaringkan tubuh anaknya yang tertidur itu di atas tempat tidur.
“Bersama
siapa?” tanya Jong Woon lagi, mengulangi pertanyaannya yang belum sempat Hye Mi
jawab.
“Soon
Hee.”
Jong
Woon mengikuti langkah istrinya itu ke ruang tengah untuk membersihkan
kekacauan yang Jong Woon ciptakan dalam waktu singkat.
“Dongsaeng-ku yeoja bukan namja,” ujar
Jong Woon sambil melemparkan tatapan tajam pada anae-nya itu.
“Tapi
aku benar-benar pergi bersama Soon Hee, Oppa,”
sahut Hye Mi tanpa membalas tatapan Jong Woon sedikitpun. Tangannya masih sibuk
membersihkan beberapa bungkus snack
yang berserakan di lantai.
Jong
Woon menghela napas mendengar ucapan istrinya. Ia tak habis pikir. Sudah
ketahuan, masih berani berbohong?
Namja itu menarik tangan Hye Mi yang
masih sibuk membereskan ruang tengah apartemen mereka, memaksanya agar menatap
matanya.
“Jangan
berbohong,” katanya.
Hye
Mi mendengus. “Aku tidak berbohong!” ujarnya kesal dengan bola matanya yang
menatap langsung ke mata Jong Woon, tajam.
Inilah
salah satu ‘penyakit’ di keluarga mereka. Hye Mi dan Jong Woon sama-sama tidak
pernah mau mengalah. Dan hal itulah yang sering menimbulkan pertengkaran kecil
di antara mereka.
Jong
Woon menarik sudut bibirnya sehingga membentuk seringai. “Masih mau berbohong?”
tanyanya memojokkan Hye Mi.
Hye
Mi menghembuskan nafasnya perlahan, mencoba menenangkan diri agar tidak
terpancing dengan kata-kata Jong Woon. Ia harus bersabar menghadapi suaminya
yang masih terlihat seperti anak kecil ini.
“Aku
sedang tidak ingin bertengkar,” katanya sambil melepaskan tangan Jong Woon yang
masih mencengkram pergelangan tangannya. “Nanti Hyejin terbangun. Sepertinya
dia kelelahan.”
“Ne! Dia pasti lelah sudah menjambak
rambut orang!” sahut seorang yeoja
yang baru saja menutup pintu depan apartemen mereka. “Anakmu nakal sekali, Oppa. Persis sepertimu,” ujarnya lagi
dengan menunjukkan tampang tak berdosa.
“Oh,
jadi kau yang ‘menculik’ anak dan istriku, heh?!” Jong Woon menghampiri yeoja itu dan memberikannya ‘salam
sayang’ berupa cubitan di pipi kirinya.
“Aaah!
Sakit, Oppa!! Lepaskan! Eonnie-ya, tolong aku!” rintihnya sambil
memegangi tangan Jong Woon yang masih mencubit pipinya dengan ganas.
“Ini
balasan untuk anak nakal sepertimu, Kim Soon Hee!” ujar Jong Woon seraya
melepaskan cubitannya dengan sedikit kasar.
“Aiisshh…”
ringis yeoja bernama Soon Hee itu
sambil mengelus pipinya yang sudah memerah akibat cubitan Jong Woon. “Tidak
bisakah kau ramah sedikit pada yeodongsaeng-mu
ini, Oppa? Misalnya kau bisa
memberikanku sedikit uang saku tambahan,” ujar Soon Hee, masih dengan tatapan
kesal.
Jong
Woon hanya menyeringai dan membalas tatapan adiknya itu dengan tatapan ‘jangan harap’.
“Benar
kan, aku tidak berbohong? Aku pergi bersama Soon Hee tadi,” ujar Hye Mi seraya
melipat jaket yang biasa suaminya kenakan itu.
Jong
Woon mengalihkan pandangannya pada Hye Mi, lalu kembali lagi pada Soon Hee yang
sudah duduk di sofa.
“Siapa
namja itu?” tanyanya menyelidik.
“Namja?” kata Soon Hee balik bertanya.
“Aaah… Lee Donghae?”
“Ooh,
jadi kau bersama ikan asin itu sekarang?” ejek Jong Woon seraya duduk di sofa
yang berhadapan dengan sofa yang Soon Hee duduki.
“Aiissh…”desis
Soon Hee tak terima. “Namanya Donghae, Oppa!
Lee Donghae!” serunya kesal.
Jong
Woon hanya tertawa melihat tingkah adiknya yang tidak terima dengan ejekan Jong
Woon pada namjachingu barunya itu.
“Dan
lagi, kenapa kau masih minta uang saku padaku kalau kau bisa memoroti uang
hasil penjualan albumnya, heh?” ujar Jong Woon dengan nada menyindir, mengingat
Donghae adalah salah satu penyanyi yang pernah ia latih.
“Tenang
saja. Beberapa tahun lagi margaku akan berubah menjadi Lee,” sahut Soon Hee
sambil menepuk dadanya bangga.
Jong
Woon terkekeh mendengar jawaban Soon Hee.
Tak
lama kemudian Hye Mi datang membawa dua gelas minuman dingin dan ikut duduk di
sebelah Jong Woon.
“Apa
yang kalian bicarakan?” tanyanya.
Jong
Woon mengendikkan bahunya seraya mengambil minuman dingin yang istrinya bawa. “Membicarakan
Kim Soon Hee yang akan menjadi nyonya Lee ini dan Lee Donghae,” jawabnya
ringan.
“Tapi
tunggu dulu… Kau pikir aku yeoja yang
suka memoroti pacarku sendiri, hah?! Kau jahat!” seru Soon Hee seraya
melemparkan bantal yang ada di sofa ke arah kakaknya yang sedang meneguk minumannya.
Bantal
itu mendarat tepat di wajah Jong Woon, membuatnya tersedak dan terbatuk hebat.
“YA!
Kau mau membunuhku!” seru Jong Woon di sela-sela batuknya.
Soon
Hee tidak menjawab, ia hanya membersihkan kuku-kukunya dengan tampang polos,
tidak menghiraukan ucapan Jong Woon sedikitpun.
“Issh…
Adik macam apa kau?” gumam Jong Woon geram seraya bangkit dari duduknya dan
berjalan ke dalam kamar untuk mengganti bajunya yang basah akibat ulah adiknya
tadi.
Hye
Mi memandangi Jong Woon yang berjalan masuk ke dalam kamar, hingga sosoknya
benar-benar hilang di balik pintu.
“Kau
lihat, Eonnie? Dia sama sekali tidak
dewasa,” bisik Soon Hee sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Hye Mi.
Hye
Mi hanya tersenyum mendengar ucapan adik iparnya itu. “Tapi dia suami yang
baik,” ujarnya.
Soon
Hee hanya memutar kedua bola matanya dan meminum minuman dingin yang tadi Hye
Mi bawakan untuknya dan Jong Woon.
“Aku
tidak tahu kenapa kau bisa berakhir dengan kakakku itu di depan altar,” cibir
Soon Hee yang hanya Hye Mi respon dengan kekehan.
“Yeobo-ya?” panggil Jong Woon dari dalam
kamar.
“Ne?”
“Bisa
bantu aku sebentar?” ujar Jong Woon setengah berteriak. “Tolong gantikan
bajuku!”
Soon
Hee lagi-lagi memutar kedua bola matanya dan menghela napas lelah.
“Kau
lihat, Eonnie? Aku benar-benar
prihatin padamu.”
** ** ** **
“Mulai
malam ini aku akan menumpang di sini!” ujar Soon Hee riang sambil memamerkan
senyum lebar khasnya.
Jong
Woon yang melihat kedatangan adiknya yang tiba-tiba itu hanya bisa melongo. Ia
mengerjap matanya berkali-kali, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang sudah
melayang entah ke mana.
“Kau…
mau tinggal di sini?” tanya Jong Woon ragu sambil memerhatikan koper yang ada
di belakang Soon Hee.
Soon
Hee mengangguk mantap. “Hanya untuk sementara waktu sampai apartemenku selesai
direnovasi,” ujarnya lagi.
“Tapi
tidak ada kamar kosong, Soon Hee-ah,” kata Hye Mi ringan sambil menyuapi putri
kecilnya. Tidak seperti Jong Woon yang kelihatannya shock melihat kedatangan
adiknya itu.
“Gwaenchana. Aku bisa tidur di kamar
Hyejin. Eonnie tidak keberatan, kan?”
Hye
Mi menggeleng menjawab pertanyaan Soon Hee.
Soon
Hee tersenyum puas, lalu menyeret kopernya ke dalam kamar Hyejin.
“Oppa, gwaenchana? Kau kenapa?” tanya Hye
Mi sambil mendekati suaminya yang masih terlihat terkejut itu.
“Eh?”
Jong Woon mengalihkan tatapannya pada Hye Mi. “Ani,” jawabnya singkat.
“Kalau
kau tidak apa-apa, kenapa wajahmu begitu?” tanya Hye Mi lagi.
“Aku
hanya terkejut saja. Anak gila itu datang tiba-tiba dan langsung minta izin
menginap di sini,” jawab Jong Woon sambil meminum minumannya lagi.
“YAA!
Jong Woon-oppa, aku mendengarmu! Aku
tidak gilaaaaa!!!” teriak Soon Hee dari dalam kamar, membuat Jong Woon melonjak
kaget sehingga minuman yang ia minum menyembur keluar.
“Hati-hati,
Oppa,” ujar Hye Mi sambil
menepuk-nepuk punggung Jong Woon pelan.
“Aiisshh...
Anak itu…” desis Jong Woon geram.
~** ** ** ** **
**~
“Kau
jadi pergi?” tanya Jong Woon sambil memerhatikan kegiatan istrinya dari atas
tempat tidur.
“Tentu
saja,” jawab Hye Mi sambil terus memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam
sebuah koper. “Ini tugas dari rumah sakit,” tambahnya lagi.
Jong
Woon menghampiri istrinya yang sudah selesai berkemas dan menggelanyut manja di
lengannya.
“Hanya
tiga hari kan?” tanyanya sambil memamerkan puppy
eyes yang ia miliki.
Hye
Mi mengangguk. “Hanya tiga hari, tidak lebih.”
“Jangan
lupa makan tepat waktu, arra?” kata
Jong Woon, mengingatkan sifat buruk Hye Mi yang sering terlambat makan.
“Arra.”
“Minum
vitaminmu.”
“Arra.”
“Jangan
lupa hubungi aku tiap tiga jam sekali.”
Hye
Mi mengerutkan dahinya mendengar ucapan Jong Woon.
“Kau
pikir aku tidak sibuk, huh? Aku pergi ke sana untuk bekerja, bukan berlibur!”
“Aiish…
Kau tidak memikirkanku, huh? Aku pasti bisa mati karena terlalu merindukanmu di
sini.”
Hye
Mi tertawa pelan, lalu tangan kanannya memukul pelan kepala suaminya itu.
“Kau
berlebihan,” ujarnya di sela-sela tawanya.
“Jangan
dekati laki-laki lain di sana, arraseo?”
kata Jong Woon lagi sambil menatap Hye Mi intens.
Hye
Mi kembali mengerutkan dahinya.
“Kau
pikir aku wanita semacam itu, hah?” tanyanya kesal seraya melepaskan tangan
Jong Woon yang masih melingkar di lengan kirinya dan beranjak menuju kasur.
“YA!
YA! Hye Mi-ah.”
Jong
Woon ikut bangkit dari duduknya, dan menghampiri Hye Mi yang sudah merebahkan
tubuhnya di atas tempat tidur.
“Kau
marah?” tanyanya pelan sambil mendekatkan wajahnya pada wajah Hye Mi.
Hye
Mi tidak menjawab. Ia menggerakkan badannya memunggungi Jong Woon dan menutup
wajahnya dengan bantal.
“Yaa,
Park Hye Mi,” panggil Jong Woon seraya menggoyang-goyangkan lengan istrinya itu
agar berbalik menghadapnya. “Jangan marah, Chagiya.
Aku tidak serius mengatakannya,” katanya lagi sambil terus menggoyangkan
lengan Hye Mi.
Hye
Mi tetap tidak bergeming.
Jong
Woon hanya bisa menghela napas. Ia hafal betul sifat istrinya ini. Ya, sifat
mereka memang tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama keras kepala, tidak pernah
mau mengalah, dan selalu kesal dengan hal-hal sepele seperti saat ini. Ia hanya
bisa memaklumi beberapa persamaan mereka ini. Terlebih lagi mood Hye Mi selalu berubah-ubah.
Jong
Woon memiringkan tubuhnya dan merapat ke arah Hye Mi, mendekatkan wajahnya pada
punggung istrinya itu.
“Yeobo-ya, jebalyo… Jangan marah. Jangan mendiamiku seperti ini, jebal,” bisik Jong Woon sambil mengelus
puncak kepala Hye Mi lembut.
Masih
tetap sama, Hye Mi masih tidak bergeming sedikit pun.
“Yeobo?”
Jong
Woon menarik pundak Hye Mi agar tubuhnya berbalik menghadap ke arahnya.
Pria
itu tersenyum geli saat melihat kedua mata istrinya sudah tertutup rapat, ia
tertidur.
“Aigo, anae-ku ini lucu sekali saat tidur,” gumamnya sambil terus
memerhatikan lekuk wajah Hye Mi yang sedang tertidur itu, lalu mengecup pipinya
sekilas.
Tepat
saat Jong Woon menarik kembali bibirnya dari pipi Hye Mi, wanita itu membuka
matanya dan langsung memposisikan tubuhnya menjadi duduk.
“Omona! Aku tertidur! Aku belum memasak
untuk makan malam!” serunya sambil menepuk dahinya sendiri.
Hye
Mi beranjak dari tempat tidur dan bergegas keluar kamar, menuju dapur.
“Oppa, kau mau makan apa?” teriak Hye Mi
dari luar kamar.
Jong
Woon tersenyum tipis mendengar teriakan istrinya yang bisa memecahkan gendang
telinganya itu. Lihat? Mood-nya
berubah menjadi lebih baik sekarang––setelah bangun tidur tentunya. Haha…
“Apa
saja!” sahut Jong Woon dengan setengah berteriak dari dalam kamar.
~** ** ** ** **
**~
“Bagaimana
rasanya ditinggal istri, Oppa?” tanya
Soon Hee dengan nada mengejek saat mereka makan siang bersama di restoran di
tempat Jong Woon bekerja.
Jong
Woon hanya menggembungkan pipinya, kesal. “Aku hampir mati karena
merindukannya,” jawab Jong Woon sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
Soon
Hee hanya tertawa pelan mendengar jawaban kakaknya. Sedikit berlebihan
menurutnya.
“Ini
baru lima jam sejak keberangkatannya. Kau berlebihan.”
“Terserah
apa katamu, yang jelas aku sudah sangat merindukannya,” sahut Jong Woon sambil
memutar kedua bola matanya.
Soon
Hee tidak menyahut kata-kata Jong Woon. Bisa panjang urusannya kalau mereka
terus sahut-menyahut.
Setelah
piring mereka kosong, Jong Woon mengambil tas ranselnya dan beranjak dari
kursi, hendak pergi.
“Aku
akan pulang terlambat hari ini, jadi tolong kau jemput Hyejin di rumah ommonim,” kata Jong Woon sebelum ia
benar-benar pergi meninggalkan adiknya di restoran itu.
“Berapa
bayaran yang akan kuterima?” tanya Soon Hee menantang.
Jong
Woon hanya mendengus, lalu pergi meninggalkan Soon Hee. Ia yakin adiknya itu
hanya bercanda dengan ucapannya. Ia sangat mengenal adiknya. Kalau saja yeodongsaeng-nya itu berani tidak
menjemput putrinya, bisa dipastikan akan ada badai besar yang menerjang Soon
Hee.
** ** ** **
“Hyung, apa nada ini tidak terlalu
tinggi?” tanya Donghae sambil menunjukkan sebuah kertas yang berisikan
nada-nada lagu pada Jong Woon, pelatih vokalnya.
Jong
Woon tak bergeming, ia hanya menatap lantai dengan pandangan kosong sementara
tangan kanannya terus memainkan pulpen.
“Hyung?” panggil Donghae seraya
mengguncang lengan Jong Woon, mencoba menyadarkannya dari lamunannya.
Jong
Woon tersentak dan langsung menatap Donghae. “Ne?”
“Apa
nada ini tidak terlalu tinggi?” tanya Donghae lagi, mengulangi pertanyaan yang
sama.
“Begitu?
Kalau begitu nadanya diturunkan saja,” ujar Jong Woon sambil menuliskan sesuatu
pada kertas yang Donghae sodorkan padanya. “Kita cek dulu nadanya.”
Donghae
mengambil sebuah gitar yang tergeletak di dekat kursinya dan mulai
memainkannya. Kemudian setelah merasa ada yang janggal, Jong Woon menepuk
tangannya dua kali, mengisyaratkan kepada namja
yang ada di depannya itu untuk menghentikan permainannya.
“Kau
salah satu nada,” koreksinya seraya mengambil gitar yang ada di tangan Donghae
dan mulai memainkannya.
Tapi
baru beberapa nada ia mainkan, salah satu senar gitar itu putus, membuat
dirinya maupun Donghae tersentak kaget.
“Kenapa
senarnya putus? Padahal senarnya baru diganti dua hari yang lalu,” ujar Donghae
heran.
Jong
Woon hanya diam memandangi gitar yang ada di tangannya. “Mungkin aku terlalu
kuat memetiknya. Mianhae,” ujarnya
seraya meletakkan gitar itu ke lantai.
“Kau
kenapa, Hyung? Kurang enak badan?”
tanya Donghae sembari menyodorkan sebotol minuman pada pelatih vokalnya itu.
Jong
Woon menggeleng pelan sambil meneguk minuman yang Donghae berikan padanya.
Ini
bukan kejadian yang baru terjadi. Sudah tiga kali Jong Woon tidak
berkonsentrasi pada pekerjaannya. Entah kenapa pikirannya melayang jauh.
Park
Hye Mi. Hanya nama itu yang ia pikirkan. Sedang apa istrinya itu sekarang? Apa
dia sudah sampai di tempat tujuannya? Tapi kenapa anae-nya itu belum meneleponnya sama sekali?
Dada
Jong Woon terasa sesak memikirkan nama Hye Mi dengan segala macam pertanyaan
yang berkecamuk di otaknya. Jong Woon menghela napasnya perlahan, terdengar
lelah dan berat. Membuat Donghae kembali bertanya-tanya apa yang terjadi pada
pelatihnya itu. Tidak biasanya Jong Woon seperti ini.
Jong
Woon tersentak saat merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam saku
celananya. Ia merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya dari sana.
Ia
sedikit mengerutkan dahi melihat nomor yang tertera di layar ponsel. Ia sama
sekali tidak mengenal nomor ini.
“Yeoboseyo?” ucapnya setelah menekan
tombol hijau pada ponselnya.
Donghae
melihat kakak dari yeojachingu-nya
itu sedikit menaikkan sebelah alisnya saat mendengar ucapan si penelepon. Lalu
beberapa saat kemudian raut wajah Jong Woon berubah menjadi terkejut bercampur
panik.
“M-mwo?” seru Jong Woon. Ia tidak
memerdulikan Donghae yang sedikit melonjak kaget mendengar seruannya. “Aku
tidak suka mendengar kebohongan tentang istriku,” ucapnya datar dengan raut
wajah serius.
Di
detik berikutnya kepanikan Jong Woon semakin menjadi. Ia langsung memasukkan
ponselnya ke dalam saku celana dan bangkit dari duduknya.
“Hyung, ada apa? Apa yang terjadi?” tanya
Donghae bingung melihat sikap Jong Woon.
“Maaf,
aku tidak bisa melatihmu hari ini,” jawab Jong Woon, bukan jawaban yang Donghae
harapkan.
Jong
Woon, tanpa mengambil tas ranselnya, langsung berlari ke luar ruangan secepat
yang ia bisa. Kemudian saat sampai di depan pintu lift, ia menekan-nekan tombol
lift agar pintunya segera terbuka. Tapi sayang, lift itu tidak juga terbuka,
membuat Jong Woon kehabisan kesabaran dan akhirnya memilih untuk menggunakan
tangga.
Sesampainya
di lapangan parkir, ia langsung berlari ke arah mobilnya dan masuk ke dalamnya,
tidak peduli berapa banyak orang yang memandang bingung ke arahnya. Tanpa
mengenakan sabuk pengaman terlebih dahulu, pria itu langsung menyalakan mesin
dan menginjak gas dalam-dalam, berharap segera sampai di tempat tujuannya.
** ** ** **
Jong
Woon berlari masuk ke dalam sebuah ruangan bernuansa putih dengan aroma obat
yang sedikit menyengat. Dengan cepat ia memeriksa satu persatu pasien korban
kecelakaan yang sedang terbaring lemah di atas tempat tidur yang merupakan
dokter-dokter yang ditugaskan ke luar kota bersama istrinya.
Ia
hanya berdiri di tempatnya dengan nafas yang masih memburu saat tidak
mendapatkan sosok istrinya di ruangan itu.
Tiba-tiba
ia merasakan sesuatu yang menyentuh pundaknya. Ia berbalik dan mendapati sosok
seorang dokter laki-laki yang usianya sekitar 40 tahun.
“Tuan
Kim?” tanya dokter itu yang hanya Jong Woon jawab dengan sekali anggukan.
“Di
mana istriku?” tanyanya cepat.
Dokter
itu hanya menghela napas berat, lalu kembali menepuk bahu Jong Woon. “Mianhae,” ucap dokter itu.
“Bukan
itu jawaban yang kuinginkan sekarang. Aku tanya, di mana istriku?!” serunya
pada dokter itu dengan jantung yang masih berpacu cepat.
“Mobil
yang Dokter Park dan dokter-dokter lain gunakan untuk pergi menjalankan tugas
mengalami kecelakaan besar,” jelas dokter itu. “Semua korban kecelakaan
langsung dilarikan ke rumah sakit ini untuk mendapatkan penanganan, kecuali
Dokter Park.”
Dahi
Jong Woon berkerut samar.
“Apa
maksud Anda?”
“Dokter
Park tidak dapat ditemukan di lokasi kecelakaan,” kata dokter itu, membuat
kepala Jong Woon semakin terasa berputar-putar.
Ia
merasa dadanya semakin terhimpit, sesak sekali. Detak jantungnya melambat,
lebih pelan dari detak jantung normal. Semua ini terlalu mustahil baginya.
Tidak. Park Hye Mi, ia pasti akan baik-baik saja.
“Ini
tidak mungkin,” gumamnya.
“Kami
sudah mengerahkan tim untuk mencari Dokter Park,” ujar dokter itu seraya
menepuk bahu Jong Woon dan pergi meninggalkannya yang masih mematung.
Saat
ini, Jong Woon merasa ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya. Sesuatu yang
sangat berharga dan berpengaruh pada kelangsungan hidupnya. Park Hye Mi. Jong
Woon kehilangan salah satu kepingan dari hatinya.
~** ** ** ** **
**~
TING…
TONG…!
Soon
Hee bergegas melangkahkan kakinya ke pintu depan apartemen kakaknya, tempatnya
tinggal untuk sementara waktu. Ia membuka pintu dan sedikit kaget melihat siapa
yang ada di depan pintu.
“Annyeong, Chagiya. Apa aku mengganggu?”
ujar seorang namja denga senyum
simpul yang sangat khas.
“Tidak,
kau tidak mengganggu. Ayo masuk,” ujar Soon Hee seraya menarik tangan namja itu pelan agar mengikuti
langkahnya ke ruang tengah.
“Sedang
apa?” tanya namja itu saat
mendudukkan dirinya di sofa.
“Apa
lagi? Menjalankan tugasku sebagai ‘babysitter’,”
jawab Soon Hee, merujuk pada Hyejin yang sedang sibuk memainkan bonekanya.
“Kalau kau ke sini untuk mencari Jong Woon-oppa,
ia belum pulang, Hae,” kata Soon Hee lagi.
Donghae
menyodorkan sebuah tas ransel pada Soon Hee. “Aku hanya ingin mengantarkan ini.
Kakakmu meninggalkannya di ruang latihan,” ujar Donghae.
“Tas?”
Soon Hee memerhatikan tas ransel yang Donghae sodorkan padanya dengan sebelah
alisnya yang terangkat. “Tidak biasanya oppa
meninggalkan barang penting seperti ini,” gumamnya sambil meraih tas itu dan
meletakkannya di samping tempat duduknya.
“Mollayo, Jong Woon-hyung pergi dengan tergesa-gesa,” sahut Donghae sambil mengendikkan
bahunya. “Mungkin ada sesuatu yang penting.”
CKLEK…
Keduanya
langsung menoleh ke arah pintu, dan langsung membelalakkan mata mereka saat
mendapati sosok yang sedang melangkah masuk.
“Oppa, gwaenchana?” tanya Soon Hee
khawatir sambil menghampiri kakaknya yang baru pulang itu dan menyentuh
pundaknya.
Jong
Woon tak menjawab, ia hanya menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Ia terlihat
sangat tidak bersemangat, lebih tepatnya kehilangan semangatnya. Pandangannya
kosong menatap apa yang ada di depannya, membuat Donghae dan Soon Hee yang
melihatnya semakin khawatir.
“Hyung, kau kenapa? Ada masalah? Kau
sakit?” tanya Donghae sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Jong Woon.
Jong
Woon menggeleng. Lalu sebelah tangannya bergerak menyentuh dadanya. “Di sini…
rasanya sakit sekali,” ucapnya lirih.
“Kau
kenapa, Oppa? Ceritakan pada kami,” ujar Soon Hee seraya
mengambil tempat kosong di sebelah kakaknya itu.
“Hye
Mi… dia mengalami kecelakaan saat di perjalanan. Dan dia…” ucapan Jong Woon
terputus, ia menarik napasnya dalam-dalam untuk mengumpulkan tenaga agar bisa melanjutkan
kalimatnya. “Aku… Bahkan semua orang tidak tahu di mana dia sekarang.”
Soon
Hee menutup mulutnya yang sedikit terbuka dengan telapak tangannya. “Hye Mi-eonnie hilang?” tanya Soon Hee pelan,
hampir seperti bisikan.
Jong
Woon hanya mengangguk lemah dengan kedua mata yang tertutup, mencoba menekan
rasa sakit yang sekarang sudah menjalar ke dalam hatinya. Tapi gagal, sekuat
apapun ia mencoba menghilangkan perih itu, pada akhirnya ia hanya akan merasa
semakin sakit.
Jong
Woon menggerakkan kepalanya ke samping kiri. Indera penglihatannya mendapati
sosok gadis kecil sedang menatapnya dengan mata polosnya, mata yang sama dengan
yang dimiliki wanita yang sudah mempengaruhi hidupnya.
Gadis
kecil itu menarik lengan baju Jong Woon dan bergumam dengan suara kecilnya, “Appa…”
Dengan
rasa perih yang masih bersarang di dalam dadanya, Jong Woon mengangkat tubuh gadis
kecil itu ke pangkuannya dan memeluknya erat dengan sesekali mencium pipinya,
membuat pipi anak itu basah karena buliran-buliran air mata yang turun dari
pelupuk mata Jong Woon.
“Anak
appa…” bisik Jong Woon bersamaan
dengan tangisannya yang semakin menjadi-jadi. “Anakku…”
~** ** ** ** **
**~
“Oppa, kau tidak makan?” tanya Soon Hee
sambil melongokkan kepalanya ke dalam kamar kakaknya itu.
“Aku
sedang tidak nafsu makan,” sahut Jong Woon dari dalam kamar, masih sibuk dengan
segala partitur-partitur yang ada di hadapannya.
Soon
Hee menghela napas lelah mendengar jawaban kakaknya yang sama seperti
jawaban-jawaban yang ia terima sebelumnya. Lalu yeoja berambut panjang itu menghampiri Jong Woon yang masih sibuk
dengan pekerjaannya, dan duduk di tepi kasur.
“Lalu
kapan nafsu makanmu kembali?” tanya Soon Hee sambil menatap kakaknya yang masih
sibuk itu intens. “Apa kau menunggu ia kembali baru kau akan mendapatkan nafsu
makanmu kembali? Semangat hidupmu kembali?”
Soon
Hee kembali menghela napas lelah melihat Jong Woon yang menganggap ucapannya
barusan hanya sebagai angin lalu.
“Ini
sudah hampir sebulan, Oppa. Apa kau
tidak memikirkan kehidupanmu?!” ujar Soon Hee dengan nada bicara yang meninggi.
Ia
sudah tidak tahan lagi melihat kehidupan kakaknya yang menurutnya sudah tidak
berjalan normal, bekerja sampai larut malam tanpa memerdulikan kesehatannya
sendiri. Semua itu membuat Soon Hee tertekan.
“Ia
kembali atau tidak, kau tetap harus melanjutkan hidupmu, Oppa.”
Jong
Woon masih tidak menjawab. Ia melirik adiknya itu dari sudut matanya, tajam.
“Kau
tidak sedih melihat Hyejin yang sudah menjalani hari-harinya selama sebulan
tanpa ibunya? Dan sekarang kau membiarkannya hidup seperti tanpa ayah,” kata
Soon Hee saat menyadari tatapan yang dilemparkan kakaknya itu. “Putrimu masih
terlalu kecil untuk mengerti semua yang terjadi saat ini. Bukankah seorang ayah
harus menjaga anaknya?” lanjutnya.
Jong
Woon tidak menyahut, ia hanya membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas
tempat tidurnya dan menyimpannya di dalam laci meja kerjanya.
Kemudian
pria berambut kemerahan itu berjalan keluar kamar, menuju ruang makan.
Soon
Hee yang melihat sikap kakaknya yang sudah mulai menandakan kemajuan itu hanya
menarik sudut-sudut bibirnya, tersenyum tipis. Setidaknya Jong Woon sudah mulai
menemukan semangatnya sekarang. Ya, putrinya. Bagaimana pun juga ia harus tetap
hidup untuk putrinya, bukan?
~** ** ** ** **
**~
“Annyeonghaseyo, Ommonim,” sapa Jong Woon
saat memasuki rumah mertuanya itu sambil menggendong anaknya.
Wanita
yang usianya sudah hampir 50 tahun itu menyambut kedatangan menantu dan cucunya
dengan senyuman dan pelukan hangat.
“Aigo… Sudah lama tidak kemari, kau
semakin besar saja, Hyejin-ah,” ujar wanita itu sambil mengambil Hyejin dari
gendongan Jong Woon dan menciumi pipi cucunya itu. “Kabarmu baik, Jong
Woon-ah?” tanyanya pada Jong Woon sambil melangkah ke dalam ruang tengah.
“Aku
baik-baik saja, Ommonim,” jawab Jong
Woon.
“Masuklah.
Ada Jung Soo di dalam,” kata wanita itu tanpa menoleh pada Jong Woon.
** ** ** **
“Bagaimana?
Ada kabar tentang Hye Mi?” tanya Jung Soo saat mereka duduk berdua di ruang
tengah, sementara ibu Hye Mi dan Hyejin sibuk bermain bersama di taman belakang
rumah.
Jong
Woon menggeleng lemah dengan tatapannya yang terus tertuju pada mertua dan
anaknya lewat jendela yang ada di sebelahnya.
Ia
bisa mendengar helaan nafas Jung Soo yang terdengar berat dan lelah.
“Dongsaeng-ku itu sepertinya tidak
harapan lagi,” ucap Jung Soo putus asa. “Apa aku masih boleh berharap Hye Mi
kita akan kembali?” tanyanya lirih sambil mengikuti arah pandang Jong Woon.
“Tidak
ada yang bisa melarang kita untuk terus berharap, Jung Soo-ya.” Jong Woon
mengalihkan pandangannya kepada Jung Soo dengan sudut bibir yang tertarik
membentuk senyum tipis, namun ada kesedihan yang tersirat dari senyumannya.
“Apapun
yang terjadi ia pasti akan tetap kembali suatu saat nanti. Dengan atau tanpa
nyawa di dalam raganya,” lanjutnya dengan suara yang semakin melirih pada akhir
kalimatnya.
Jung
Soo menatap Jong Woon dengan tatapan sendu. “Jong Woon-ah.”
“Aku
tidak apa-apa, Jung Soo,” kata Jong Woon, masih dengan senyuman yang sama saat
menyadari tatapan khawatir dari sahabat sekaligus kakak sepupu iparnya itu.
“Kau
masih belum merelakannya, tapi kau bersikap seakan-akan kau tegar menghadapi
ini semua. Benar, kan?” tebak Jung Soo yang langsung menusuk ke dalam hati Jong
Woon. Tepat sasaran.
Jong
Woon menarik sudut bibirnya dengan perasaan miris menanggapi ucapan Jung Soo.
“Ada
satu hal yang harus kujaga untuk tetap melanjutkan hidupku. Kim Hyejin.
Bagaimana pun juga dia adalah setengah jiwaku dan jiwa Hye Mi,” ucap Jong Woon
seraya melemparkan pandangannya kembali keluar jendela, menatap seorang wanita
paruh baya yang sedang bermain bersama seorang anak kecil dengan riang.
“Jika
Hye Mi kita tidak kembali, setidaknya aku harus tetap menjaga ‘harta’ yang ia
tinggalkan padaku. Bukan begitu?” ucapnya lagi sambil terus memusatkan
perhatiannya pada Hyejin, hartanya yang paling berharga.
“Ne, kau benar,” sahut Jung Soo.
“Jadi,”
Jong Woon beralih menatap Jung Soo dengan senyum khasnya. “Kapan kau akan
memberiku keponakan?”
Jung
Soo hanya tersenyum menanggapi godaan lawan bicaranya itu. “Anae-ku belum siap untuk melakukannya,
Jong Woon-ah,” ujarnya pelan dengan rona merah yang muncul di kedua pipinya.
Pria
berambut kemerahan itu memperdengarkan tawanya saat mendengar jawaban Jung Soo.
“Berikan
Hyejin sepupu secepatnya agar Donghae tidak perlu terus-terusan menjadi objek
permainannya,” kekehnya.
“Objek
permainan?”
Jong
Woon mengangguk. “Sepertinya rambut ikan itu terlalu indah, sehingga membuat
Hyejin sangat tertarik untuk menjambak-jambaknya,” ujarnya sambil kembali
memperdengarkan tawanya.
** ** ** **
“Makan
malamlah di sini,” kata nyonya Park sambil melangkah ke pintu depan,
mengantarkan kepergian menantu dan cucunya.
“Tidak
usah, Ommonim. Soon Hee sudah
menungguku di apartemen,” sahut Jong Woon, menolak tawaran mertuanya itu dengan
halus.
Nyonya
Park hanya menganggukkan kepalanya pelan, memaklumi penolakan Jong Woon.
“Sering-seringlah
mengunjungiku,” ujar nyonya Park saat Jong Woon melangkah ke luar rumah dengan
Hyejin yang berada di dalam gendongannya.
Jong
Woon menoleh, ia mengamati wajah mertuanya itu. Sudah terlihat cukup jelas
kerutan di wajahnya yang menandakan usianya tak lagi muda. Namun di usianya
kini, ia malah harus hidup sendiri di dalam sebuah rumah yang dulu ditempati
putrinya yang kini berada entah di mana.
“Ommonim,” kata Jong Woon. “Aku tidak
mungkin akan sesering Jung Soo mengunjungimu karena pekerjaanku lebih padat
darinya. Jadi, bisakah Ommonim tinggal
di apartemenku untuk beberapa hari?”
Senyum
Nyonya Park mengembang mendengar tawaran menantunya itu.
“Bagaimana
mungkin aku bisa menolak?” ucapnya dengan sorot mata yang menandakan
perasaannya saat ini, senang.
-To
be continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar