Jumat, 13 Juli 2012

BACK [Part 1 of 2]




Title   : BACK [Part 1 of 2]
      [I’m Sorry Oppa After Story]

Author         : Ifa Raneza

Cast   : Yesung (Kim Jong Woon) , Park Hye Mi

Genre : Romance, Family, Marriage Life




Remember Kim Jong Woon and Park Hyemi in my first fanfiction (I'm Sorry Oppa) ?
Yup! This is sequel of that story.

Happy reading all ^^



** ** **



Ada banyak pertanyaan yang muncul di otakku sekarang.
Apa aku masih bisa menatapmu?
Apa aku masih bisa menggenggam tanganmu?
Apa aku masih bisa menggantungkan hidupku padamu?
Apa aku masih bisa merasakan hembusan nafasmu yang menyapu kulitku?
Dan…
Apa aku masih bisa menyebut diriku sendiri sebagai orang yang paling berarti dalam hidupmu?


Park Hye Mi, saranghamnida…



~** ** ** ** ** **~



“Aku pulang!” seru seorang pria saat memasuki apartemennya, tempat yang menaungi keluarga kecilnya.

Yeobo-ya?” panggilnya saat merasa tidak mendapatkan respon yang biasa ia terima seperti hari-hari sebelumnya.

Ia berjalan ke arah sebuah sofa dan menghempaskan tubuhnya di sana, mencoba untuk meregangkan otot-ototnya yang sudah terasa kaku. Kemudian ia melepaskan jaketnya dan melemparkannya ke sembarang arah.

Ia tidak seperti kebanyakan pria dewasa yang akan mengenakan pakaian formal saat bekerja. Tidak, karena ia tidak bekerja di depan komputer yang mengharuskannya duduk dengan berbagai file yang harus dikerjakan selama berjam-jam. Untuk menafkahi keluarga kecilnya, ia hanya diharuskan untuk melatih beberapa penyanyi dengan alat musik. Ya, dia adalah seorang trainer di salah satu manajemen ternama, Kim Jong Woon.

Pria itu mengangkat tangan kirinya dan melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya sekilas. Jam lima sore. Seharusnya anae-nya itu sudah pulang dari rumah sakit tempatnya praktek satu jam yang lalu. Dan lagi, ke mana anaknya?

Ia langsung beranjak dari sofa dan bergegas menuju kamar putrinya. Kosong.
Lalu ia segera keluar dari kamar bernuansa putih-kuning itu dan setengah berlari ke kamarnya sendiri. Tapi sayang, tidak ada siapapun yang bisa ia temukan di sana.

Kemudian saat teringat akan sesuatu, ia segera merogoh kantong celananya dan mengeluarkan benda berwarna putih. Ia menekan-nekan tombol pada benda itu sesuai dengan nomor yang sudah ia hapal di luar kepala.

Setelah nada tunggu kelima, barulah telinganya mendengar suara yang sangat ia kenal.
“Yoboseyo?”

“YA! Yeobo-ya, kau di mana? Kau membawa Hyejin? Ke mana? Kenapa tidak memberitahuku kalau mau pergi?” tanyanya cepat tanpa memberikan kesempatan pada anae-nya itu untuk menjawab.

Oppa, ak--”

“Mana Hyejin? Aku mau bicara dengannya! Dan lagi, kenapa tidak menjawab pertanyaanku?”

“Yaak, Kim Jong Woon! Bagaimana aku bisa menjawab kalau kau tidak memberikanku kesempatan untuk menjawab?!” ujar anae-nya kesal dari seberang telepon. “Aku sedang di jalan, Oppa,” katanya lagi dengan nada bicara dan volume yang lebih lembut dari sebelumnya.

“Oooh…” Jong Woon ber-oh panjang.

“Yaak, Hyejin-ah! Rambutku jangan ditarik-tarik seperti ini! Neomu apayo!”

Jong Woon mengerutkan dahinya. Suara laki-laki? Siapa itu?
“Suara siapa itu?” tanyanya curiga.

Tidak ada jawaban. Ia hanya bisa mendengar istrinya membujuk anak mereka agar melepaskan rambut laki-laki itu.

“Kenapa kau tidak menjawabku?! Yeobo! Yeobo-ya!” seru Jong Woon dengan tangan kanannya yang sudah mengepal sempurna.

“Ngg… Oppa, mian. Teleponnya kututup dulu. Kami sedang di jalan. Sebentar lagi kami akan sampai di rumah. Annyeong!”

KLIK!

“YA! Park Hye Mi!” seru Jong Woon geram.

Ia melempar ponselnya ke atas sofa yang tadi ia duduki. Kesal, tentu saja. Oh ya, satu lagi, cemburu. Ia benar-benar penasaran siapa namja yang sedang bersama istrinya itu. Terlebih lagi ia membawa anak mereka. Cih, Jong Woon ingin sekali menggigit sesuatu sekarang (?).

Merasa emosinya sudah hampir memuncak, Jong Woon berjalan ke dapur dan mengambil beberapa potong roti dari kulkas. Tanpa ba bi bu lagi, ia langsung melahap roti itu dengan brutal tanpa ampun (?).


~** ** ** ** ** **~


“Aku pulang!” seru Hye Mi saat memasuki apartemennya sambil menggendong Hyejin, anaknya yang masih berusia satu tahun.

Ia melirik sepatu hitam yang diletakkan asal di depan pintu masuk. Ia sudah hapal betul kelakuan suaminya. Setelah mengganti sepatu dengan sandal rumah dan meletakkan sepatu suaminya itu di rak sepatu, ia melangkah masuk ke ruang tengah.

“YAAK! Oppa, apa yang kaulakukan dengan ruangan ini?!” tanyanya kaget saat mendapati ruang tengah yang biasanya bersih dan rapi penuh dengan botol-botol minuman dingin, beberapa bungkus snack, dan jaket suaminya yang diletakkan sembarangan.

Jong Woon menoleh dengan memperlihatkan raut wajah datar yang menurut Hye Mi sangat menakutkan. Persis seperti mayat hidup yang sering ia lihat di film-film.

“Dari mana saja?” tanya Jong Woon datar. “Bersama siapa kau?”

“Aku dari supermarket,” jawab Hye Mi seraya melangkah masuk ke dalam kamar anaknya dan membaringkan tubuh anaknya yang tertidur itu di atas tempat tidur.

“Bersama siapa?” tanya Jong Woon lagi, mengulangi pertanyaannya yang belum sempat Hye Mi jawab.

“Soon Hee.”

Jong Woon mengikuti langkah istrinya itu ke ruang tengah untuk membersihkan kekacauan yang Jong Woon ciptakan dalam waktu singkat.

Dongsaeng-ku yeoja bukan namja,” ujar Jong Woon sambil melemparkan tatapan tajam pada anae-nya itu.

“Tapi aku benar-benar pergi bersama Soon Hee, Oppa,” sahut Hye Mi tanpa membalas tatapan Jong Woon sedikitpun. Tangannya masih sibuk membersihkan beberapa bungkus snack yang berserakan di lantai.

Jong Woon menghela napas mendengar ucapan istrinya. Ia tak habis pikir. Sudah ketahuan, masih berani berbohong?

Namja itu menarik tangan Hye Mi yang masih sibuk membereskan ruang tengah apartemen mereka, memaksanya agar menatap matanya.

“Jangan berbohong,” katanya.

Hye Mi mendengus. “Aku tidak berbohong!” ujarnya kesal dengan bola matanya yang menatap langsung ke mata Jong Woon, tajam.

Inilah salah satu ‘penyakit’ di keluarga mereka. Hye Mi dan Jong Woon sama-sama tidak pernah mau mengalah. Dan hal itulah yang sering menimbulkan pertengkaran kecil di antara mereka.

Jong Woon menarik sudut bibirnya sehingga membentuk seringai. “Masih mau berbohong?” tanyanya memojokkan Hye Mi.

Hye Mi menghembuskan nafasnya perlahan, mencoba menenangkan diri agar tidak terpancing dengan kata-kata Jong Woon. Ia harus bersabar menghadapi suaminya yang masih terlihat seperti anak kecil ini.

“Aku sedang tidak ingin bertengkar,” katanya sambil melepaskan tangan Jong Woon yang masih mencengkram pergelangan tangannya. “Nanti Hyejin terbangun. Sepertinya dia kelelahan.”

Ne! Dia pasti lelah sudah menjambak rambut orang!” sahut seorang yeoja yang baru saja menutup pintu depan apartemen mereka. “Anakmu nakal sekali, Oppa. Persis sepertimu,” ujarnya lagi dengan menunjukkan tampang tak berdosa.

“Oh, jadi kau yang ‘menculik’ anak dan istriku, heh?!” Jong Woon menghampiri yeoja itu dan memberikannya ‘salam sayang’ berupa cubitan di pipi kirinya.

“Aaah! Sakit, Oppa!! Lepaskan! Eonnie-ya, tolong aku!” rintihnya sambil memegangi tangan Jong Woon yang masih mencubit pipinya dengan ganas.

“Ini balasan untuk anak nakal sepertimu, Kim Soon Hee!” ujar Jong Woon seraya melepaskan cubitannya dengan sedikit kasar.

“Aiisshh…” ringis yeoja bernama Soon Hee itu sambil mengelus pipinya yang sudah memerah akibat cubitan Jong Woon. “Tidak bisakah kau ramah sedikit pada yeodongsaeng-mu ini, Oppa? Misalnya kau bisa memberikanku sedikit uang saku tambahan,” ujar Soon Hee, masih dengan tatapan kesal.

Jong Woon hanya menyeringai dan membalas tatapan adiknya itu dengan tatapan ‘jangan harap’.

“Benar kan, aku tidak berbohong? Aku pergi bersama Soon Hee tadi,” ujar Hye Mi seraya melipat jaket yang biasa suaminya kenakan itu.

Jong Woon mengalihkan pandangannya pada Hye Mi, lalu kembali lagi pada Soon Hee yang sudah duduk di sofa.

“Siapa namja itu?” tanyanya menyelidik.

Namja?” kata Soon Hee balik bertanya. “Aaah… Lee Donghae?”

“Ooh, jadi kau bersama ikan asin itu sekarang?” ejek Jong Woon seraya duduk di sofa yang berhadapan dengan sofa yang Soon Hee duduki.

“Aiissh…”desis Soon Hee tak terima. “Namanya Donghae, Oppa! Lee Donghae!” serunya kesal.

Jong Woon hanya tertawa melihat tingkah adiknya yang tidak terima dengan ejekan Jong Woon pada namjachingu barunya itu.

“Dan lagi, kenapa kau masih minta uang saku padaku kalau kau bisa memoroti uang hasil penjualan albumnya, heh?” ujar Jong Woon dengan nada menyindir, mengingat Donghae adalah salah satu penyanyi yang pernah ia latih.

“Tenang saja. Beberapa tahun lagi margaku akan berubah menjadi Lee,” sahut Soon Hee sambil menepuk dadanya bangga.

Jong Woon terkekeh mendengar jawaban Soon Hee.

Tak lama kemudian Hye Mi datang membawa dua gelas minuman dingin dan ikut duduk di sebelah Jong Woon.

“Apa yang kalian bicarakan?” tanyanya.

Jong Woon mengendikkan bahunya seraya mengambil minuman dingin yang istrinya bawa. “Membicarakan Kim Soon Hee yang akan menjadi nyonya Lee ini dan Lee Donghae,” jawabnya ringan.

“Tapi tunggu dulu… Kau pikir aku yeoja yang suka memoroti pacarku sendiri, hah?! Kau jahat!” seru Soon Hee seraya melemparkan bantal yang ada di sofa ke arah kakaknya yang sedang meneguk minumannya.

Bantal itu mendarat tepat di wajah Jong Woon, membuatnya tersedak dan terbatuk hebat.

“YA! Kau mau membunuhku!” seru Jong Woon di sela-sela batuknya.

Soon Hee tidak menjawab, ia hanya membersihkan kuku-kukunya dengan tampang polos, tidak menghiraukan ucapan Jong Woon sedikitpun.

“Issh… Adik macam apa kau?” gumam Jong Woon geram seraya bangkit dari duduknya dan berjalan ke dalam kamar untuk mengganti bajunya yang basah akibat ulah adiknya tadi.

Hye Mi memandangi Jong Woon yang berjalan masuk ke dalam kamar, hingga sosoknya benar-benar hilang di balik pintu.

“Kau lihat, Eonnie? Dia sama sekali tidak dewasa,” bisik Soon Hee sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Hye Mi.

Hye Mi hanya tersenyum mendengar ucapan adik iparnya itu. “Tapi dia suami yang baik,” ujarnya.

Soon Hee hanya memutar kedua bola matanya dan meminum minuman dingin yang tadi Hye Mi bawakan untuknya dan Jong Woon.

“Aku tidak tahu kenapa kau bisa berakhir dengan kakakku itu di depan altar,” cibir Soon Hee yang hanya Hye Mi respon dengan kekehan.

Yeobo-ya?” panggil Jong Woon dari dalam kamar.

Ne?”

“Bisa bantu aku sebentar?” ujar Jong Woon setengah berteriak. “Tolong gantikan bajuku!”

Soon Hee lagi-lagi memutar kedua bola matanya dan menghela napas lelah.
“Kau lihat, Eonnie? Aku benar-benar prihatin padamu.”

** ** ** **

“Mulai malam ini aku akan menumpang di sini!” ujar Soon Hee riang sambil memamerkan senyum lebar khasnya.

Jong Woon yang melihat kedatangan adiknya yang tiba-tiba itu hanya bisa melongo. Ia mengerjap matanya berkali-kali, mencoba mengumpulkan kesadarannya yang sudah melayang entah ke mana.

“Kau… mau tinggal di sini?” tanya Jong Woon ragu sambil memerhatikan koper yang ada di belakang Soon Hee.

Soon Hee mengangguk mantap. “Hanya untuk sementara waktu sampai apartemenku selesai direnovasi,” ujarnya lagi.

“Tapi tidak ada kamar kosong, Soon Hee-ah,” kata Hye Mi ringan sambil menyuapi putri kecilnya. Tidak seperti Jong Woon yang kelihatannya shock melihat kedatangan adiknya itu.

Gwaenchana. Aku bisa tidur di kamar Hyejin. Eonnie tidak keberatan, kan?”

Hye Mi menggeleng menjawab pertanyaan Soon Hee.
Soon Hee tersenyum puas, lalu menyeret kopernya ke dalam kamar Hyejin.

Oppa, gwaenchana? Kau kenapa?” tanya Hye Mi sambil mendekati suaminya yang masih terlihat terkejut itu.

“Eh?” Jong Woon mengalihkan tatapannya pada Hye Mi. “Ani,” jawabnya singkat.

“Kalau kau tidak apa-apa, kenapa wajahmu begitu?” tanya Hye Mi lagi.

“Aku hanya terkejut saja. Anak gila itu datang tiba-tiba dan langsung minta izin menginap di sini,” jawab Jong Woon sambil meminum minumannya lagi.

“YAA! Jong Woon-oppa, aku mendengarmu! Aku tidak gilaaaaa!!!” teriak Soon Hee dari dalam kamar, membuat Jong Woon melonjak kaget sehingga minuman yang ia minum menyembur keluar.

“Hati-hati, Oppa,” ujar Hye Mi sambil menepuk-nepuk punggung Jong Woon pelan.

“Aiisshh... Anak itu…” desis Jong Woon geram.


~** ** ** ** ** **~


“Kau jadi pergi?” tanya Jong Woon sambil memerhatikan kegiatan istrinya dari atas tempat tidur.

“Tentu saja,” jawab Hye Mi sambil terus memasukkan beberapa helai pakaian ke dalam sebuah koper. “Ini tugas dari rumah sakit,” tambahnya lagi.

Jong Woon menghampiri istrinya yang sudah selesai berkemas dan menggelanyut manja di lengannya.
“Hanya tiga hari kan?” tanyanya sambil memamerkan puppy eyes yang ia miliki.

Hye Mi mengangguk. “Hanya tiga hari, tidak lebih.”

“Jangan lupa makan tepat waktu, arra?” kata Jong Woon, mengingatkan sifat buruk Hye Mi yang sering terlambat makan.

Arra.”

“Minum vitaminmu.”

Arra.”

“Jangan lupa hubungi aku tiap tiga jam sekali.”

Hye Mi mengerutkan dahinya mendengar ucapan Jong Woon.
“Kau pikir aku tidak sibuk, huh? Aku pergi ke sana untuk bekerja, bukan berlibur!”

“Aiish… Kau tidak memikirkanku, huh? Aku pasti bisa mati karena terlalu merindukanmu di sini.”

Hye Mi tertawa pelan, lalu tangan kanannya memukul pelan kepala suaminya itu.
“Kau berlebihan,” ujarnya di sela-sela tawanya.

“Jangan dekati laki-laki lain di sana, arraseo?” kata Jong Woon lagi sambil menatap Hye Mi intens.

Hye Mi kembali mengerutkan dahinya.
“Kau pikir aku wanita semacam itu, hah?” tanyanya kesal seraya melepaskan tangan Jong Woon yang masih melingkar di lengan kirinya dan beranjak menuju kasur.

“YA! YA! Hye Mi-ah.”

Jong Woon ikut bangkit dari duduknya, dan menghampiri Hye Mi yang sudah merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.

“Kau marah?” tanyanya pelan sambil mendekatkan wajahnya pada wajah Hye Mi.

Hye Mi tidak menjawab. Ia menggerakkan badannya memunggungi Jong Woon dan menutup wajahnya dengan bantal.

“Yaa, Park Hye Mi,” panggil Jong Woon seraya menggoyang-goyangkan lengan istrinya itu agar berbalik menghadapnya. “Jangan marah, Chagiya. Aku tidak serius mengatakannya,” katanya lagi sambil terus menggoyangkan lengan Hye Mi.

Hye Mi tetap tidak bergeming.

Jong Woon hanya bisa menghela napas. Ia hafal betul sifat istrinya ini. Ya, sifat mereka memang tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama keras kepala, tidak pernah mau mengalah, dan selalu kesal dengan hal-hal sepele seperti saat ini. Ia hanya bisa memaklumi beberapa persamaan mereka ini. Terlebih lagi mood Hye Mi selalu berubah-ubah.

Jong Woon memiringkan tubuhnya dan merapat ke arah Hye Mi, mendekatkan wajahnya pada punggung istrinya itu.

Yeobo-ya, jebalyo… Jangan marah. Jangan mendiamiku seperti ini, jebal,” bisik Jong Woon sambil mengelus puncak kepala Hye Mi lembut.

Masih tetap sama, Hye Mi masih tidak bergeming sedikit pun.

Yeobo?”

Jong Woon menarik pundak Hye Mi agar tubuhnya berbalik menghadap ke arahnya.
Pria itu tersenyum geli saat melihat kedua mata istrinya sudah tertutup rapat, ia tertidur.

Aigo, anae-ku ini lucu sekali saat tidur,” gumamnya sambil terus memerhatikan lekuk wajah Hye Mi yang sedang tertidur itu, lalu mengecup pipinya sekilas.

Tepat saat Jong Woon menarik kembali bibirnya dari pipi Hye Mi, wanita itu membuka matanya dan langsung memposisikan tubuhnya menjadi duduk.

Omona! Aku tertidur! Aku belum memasak untuk makan malam!” serunya sambil menepuk dahinya sendiri.

Hye Mi beranjak dari tempat tidur dan bergegas keluar kamar, menuju dapur.

Oppa, kau mau makan apa?” teriak Hye Mi dari luar kamar.

Jong Woon tersenyum tipis mendengar teriakan istrinya yang bisa memecahkan gendang telinganya itu. Lihat? Mood-nya berubah menjadi lebih baik sekarang––setelah bangun tidur tentunya. Haha…

“Apa saja!” sahut Jong Woon dengan setengah berteriak dari dalam kamar.


~** ** ** ** ** **~


“Bagaimana rasanya ditinggal istri, Oppa?” tanya Soon Hee dengan nada mengejek saat mereka makan siang bersama di restoran di tempat Jong Woon bekerja.

Jong Woon hanya menggembungkan pipinya, kesal. “Aku hampir mati karena merindukannya,” jawab Jong Woon sambil menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.

Soon Hee hanya tertawa pelan mendengar jawaban kakaknya. Sedikit berlebihan menurutnya.

“Ini baru lima jam sejak keberangkatannya. Kau berlebihan.”

“Terserah apa katamu, yang jelas aku sudah sangat merindukannya,” sahut Jong Woon sambil memutar kedua bola matanya.

Soon Hee tidak menyahut kata-kata Jong Woon. Bisa panjang urusannya kalau mereka terus sahut-menyahut.

Setelah piring mereka kosong, Jong Woon mengambil tas ranselnya dan beranjak dari kursi, hendak pergi.

“Aku akan pulang terlambat hari ini, jadi tolong kau jemput Hyejin di rumah ommonim,” kata Jong Woon sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan adiknya di restoran itu.

“Berapa bayaran yang akan kuterima?” tanya Soon Hee menantang.

Jong Woon hanya mendengus, lalu pergi meninggalkan Soon Hee. Ia yakin adiknya itu hanya bercanda dengan ucapannya. Ia sangat mengenal adiknya. Kalau saja yeodongsaeng-nya itu berani tidak menjemput putrinya, bisa dipastikan akan ada badai besar yang menerjang Soon Hee.

** ** ** **

Hyung, apa nada ini tidak terlalu tinggi?” tanya Donghae sambil menunjukkan sebuah kertas yang berisikan nada-nada lagu pada Jong Woon, pelatih vokalnya.

Jong Woon tak bergeming, ia hanya menatap lantai dengan pandangan kosong sementara tangan kanannya terus memainkan pulpen.

Hyung?” panggil Donghae seraya mengguncang lengan Jong Woon, mencoba menyadarkannya dari lamunannya.

Jong Woon tersentak dan langsung menatap Donghae. “Ne?”

“Apa nada ini tidak terlalu tinggi?” tanya Donghae lagi, mengulangi pertanyaan yang sama.

“Begitu? Kalau begitu nadanya diturunkan saja,” ujar Jong Woon sambil menuliskan sesuatu pada kertas yang Donghae sodorkan padanya. “Kita cek dulu nadanya.”

Donghae mengambil sebuah gitar yang tergeletak di dekat kursinya dan mulai memainkannya. Kemudian setelah merasa ada yang janggal, Jong Woon menepuk tangannya dua kali, mengisyaratkan kepada namja yang ada di depannya itu untuk menghentikan permainannya.

“Kau salah satu nada,” koreksinya seraya mengambil gitar yang ada di tangan Donghae dan mulai memainkannya.

Tapi baru beberapa nada ia mainkan, salah satu senar gitar itu putus, membuat dirinya maupun Donghae tersentak kaget.

“Kenapa senarnya putus? Padahal senarnya baru diganti dua hari yang lalu,” ujar Donghae heran.

Jong Woon hanya diam memandangi gitar yang ada di tangannya. “Mungkin aku terlalu kuat memetiknya. Mianhae,” ujarnya seraya meletakkan gitar itu ke lantai.

“Kau kenapa, Hyung? Kurang enak badan?” tanya Donghae sembari menyodorkan sebotol minuman pada pelatih vokalnya itu.

Jong Woon menggeleng pelan sambil meneguk minuman yang Donghae berikan padanya.

Ini bukan kejadian yang baru terjadi. Sudah tiga kali Jong Woon tidak berkonsentrasi pada pekerjaannya. Entah kenapa pikirannya melayang jauh.

Park Hye Mi. Hanya nama itu yang ia pikirkan. Sedang apa istrinya itu sekarang? Apa dia sudah sampai di tempat tujuannya? Tapi kenapa anae-nya itu belum meneleponnya sama sekali?

Dada Jong Woon terasa sesak memikirkan nama Hye Mi dengan segala macam pertanyaan yang berkecamuk di otaknya. Jong Woon menghela napasnya perlahan, terdengar lelah dan berat. Membuat Donghae kembali bertanya-tanya apa yang terjadi pada pelatihnya itu. Tidak biasanya Jong Woon seperti ini.

Jong Woon tersentak saat merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam saku celananya. Ia merogoh saku celana dan mengeluarkan ponselnya dari sana.

Ia sedikit mengerutkan dahi melihat nomor yang tertera di layar ponsel. Ia sama sekali tidak mengenal nomor ini.

Yeoboseyo?” ucapnya setelah menekan tombol hijau pada ponselnya.

Donghae melihat kakak dari yeojachingu-nya itu sedikit menaikkan sebelah alisnya saat mendengar ucapan si penelepon. Lalu beberapa saat kemudian raut wajah Jong Woon berubah menjadi terkejut bercampur panik.

M-mwo?” seru Jong Woon. Ia tidak memerdulikan Donghae yang sedikit melonjak kaget mendengar seruannya. “Aku tidak suka mendengar kebohongan tentang istriku,” ucapnya datar dengan raut wajah serius.

Di detik berikutnya kepanikan Jong Woon semakin menjadi. Ia langsung memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dan bangkit dari duduknya.

Hyung, ada apa? Apa yang terjadi?” tanya Donghae bingung melihat sikap Jong Woon.
“Maaf, aku tidak bisa melatihmu hari ini,” jawab Jong Woon, bukan jawaban yang Donghae harapkan.

Jong Woon, tanpa mengambil tas ranselnya, langsung berlari ke luar ruangan secepat yang ia bisa. Kemudian saat sampai di depan pintu lift, ia menekan-nekan tombol lift agar pintunya segera terbuka. Tapi sayang, lift itu tidak juga terbuka, membuat Jong Woon kehabisan kesabaran dan akhirnya memilih untuk menggunakan tangga.

Sesampainya di lapangan parkir, ia langsung berlari ke arah mobilnya dan masuk ke dalamnya, tidak peduli berapa banyak orang yang memandang bingung ke arahnya. Tanpa mengenakan sabuk pengaman terlebih dahulu, pria itu langsung menyalakan mesin dan menginjak gas dalam-dalam, berharap segera sampai di tempat tujuannya.

** ** ** **

Jong Woon berlari masuk ke dalam sebuah ruangan bernuansa putih dengan aroma obat yang sedikit menyengat. Dengan cepat ia memeriksa satu persatu pasien korban kecelakaan yang sedang terbaring lemah di atas tempat tidur yang merupakan dokter-dokter yang ditugaskan ke luar kota bersama istrinya.

Ia hanya berdiri di tempatnya dengan nafas yang masih memburu saat tidak mendapatkan sosok istrinya di ruangan itu.

Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang menyentuh pundaknya. Ia berbalik dan mendapati sosok seorang dokter laki-laki yang usianya sekitar 40 tahun.

“Tuan Kim?” tanya dokter itu yang hanya Jong Woon jawab dengan sekali anggukan.

“Di mana istriku?” tanyanya cepat.

Dokter itu hanya menghela napas berat, lalu kembali menepuk bahu Jong Woon. “Mianhae,” ucap dokter itu.

“Bukan itu jawaban yang kuinginkan sekarang. Aku tanya, di mana istriku?!” serunya pada dokter itu dengan jantung yang masih berpacu cepat.

“Mobil yang Dokter Park dan dokter-dokter lain gunakan untuk pergi menjalankan tugas mengalami kecelakaan besar,” jelas dokter itu. “Semua korban kecelakaan langsung dilarikan ke rumah sakit ini untuk mendapatkan penanganan, kecuali Dokter Park.”

Dahi Jong Woon berkerut samar.
“Apa maksud Anda?”

“Dokter Park tidak dapat ditemukan di lokasi kecelakaan,” kata dokter itu, membuat kepala Jong Woon semakin terasa berputar-putar.

Ia merasa dadanya semakin terhimpit, sesak sekali. Detak jantungnya melambat, lebih pelan dari detak jantung normal. Semua ini terlalu mustahil baginya. Tidak. Park Hye Mi, ia pasti akan baik-baik saja.

“Ini tidak mungkin,” gumamnya.

“Kami sudah mengerahkan tim untuk mencari Dokter Park,” ujar dokter itu seraya menepuk bahu Jong Woon dan pergi meninggalkannya yang masih mematung.

Saat ini, Jong Woon merasa ada sesuatu yang hilang dari dalam dirinya. Sesuatu yang sangat berharga dan berpengaruh pada kelangsungan hidupnya. Park Hye Mi. Jong Woon kehilangan salah satu kepingan dari hatinya.


~** ** ** ** ** **~


TING… TONG…!

Soon Hee bergegas melangkahkan kakinya ke pintu depan apartemen kakaknya, tempatnya tinggal untuk sementara waktu. Ia membuka pintu dan sedikit kaget melihat siapa yang ada di depan pintu.

Annyeong, Chagiya. Apa aku mengganggu?” ujar seorang namja denga senyum simpul yang sangat khas.

“Tidak, kau tidak mengganggu. Ayo masuk,” ujar Soon Hee seraya menarik tangan namja itu pelan agar mengikuti langkahnya ke ruang tengah.

“Sedang apa?” tanya namja itu saat mendudukkan dirinya di sofa.

“Apa lagi? Menjalankan tugasku sebagai ‘babysitter’,” jawab Soon Hee, merujuk pada Hyejin yang sedang sibuk memainkan bonekanya. “Kalau kau ke sini untuk mencari Jong Woon-oppa, ia belum pulang, Hae,” kata Soon Hee lagi.

Donghae menyodorkan sebuah tas ransel pada Soon Hee. “Aku hanya ingin mengantarkan ini. Kakakmu meninggalkannya di ruang latihan,” ujar Donghae.

“Tas?” Soon Hee memerhatikan tas ransel yang Donghae sodorkan padanya dengan sebelah alisnya yang terangkat. “Tidak biasanya oppa meninggalkan barang penting seperti ini,” gumamnya sambil meraih tas itu dan meletakkannya di samping tempat duduknya.

Mollayo, Jong Woon-hyung pergi dengan tergesa-gesa,” sahut Donghae sambil mengendikkan bahunya. “Mungkin ada sesuatu yang penting.”

CKLEK…
Keduanya langsung menoleh ke arah pintu, dan langsung membelalakkan mata mereka saat mendapati sosok yang sedang melangkah masuk.

Oppa, gwaenchana?” tanya Soon Hee khawatir sambil menghampiri kakaknya yang baru pulang itu dan menyentuh pundaknya.

Jong Woon tak menjawab, ia hanya menghempaskan tubuhnya ke atas sofa. Ia terlihat sangat tidak bersemangat, lebih tepatnya kehilangan semangatnya. Pandangannya kosong menatap apa yang ada di depannya, membuat Donghae dan Soon Hee yang melihatnya semakin khawatir.

Hyung, kau kenapa? Ada masalah? Kau sakit?” tanya Donghae sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Jong Woon.

Jong Woon menggeleng. Lalu sebelah tangannya bergerak menyentuh dadanya. “Di sini… rasanya sakit sekali,” ucapnya lirih.

“Kau kenapa, Oppa?  Ceritakan pada kami,” ujar Soon Hee seraya mengambil tempat kosong di sebelah kakaknya itu.

“Hye Mi… dia mengalami kecelakaan saat di perjalanan. Dan dia…” ucapan Jong Woon terputus, ia menarik napasnya dalam-dalam untuk mengumpulkan tenaga agar bisa melanjutkan kalimatnya. “Aku… Bahkan semua orang tidak tahu di mana dia sekarang.”

Soon Hee menutup mulutnya yang sedikit terbuka dengan telapak tangannya. “Hye Mi-eonnie hilang?” tanya Soon Hee pelan, hampir seperti bisikan.

Jong Woon hanya mengangguk lemah dengan kedua mata yang tertutup, mencoba menekan rasa sakit yang sekarang sudah menjalar ke dalam hatinya. Tapi gagal, sekuat apapun ia mencoba menghilangkan perih itu, pada akhirnya ia hanya akan merasa semakin sakit.

Jong Woon menggerakkan kepalanya ke samping kiri. Indera penglihatannya mendapati sosok gadis kecil sedang menatapnya dengan mata polosnya, mata yang sama dengan yang dimiliki wanita yang sudah mempengaruhi hidupnya.

Gadis kecil itu menarik lengan baju Jong Woon dan bergumam dengan suara kecilnya, “Appa…”

Dengan rasa perih yang masih bersarang di dalam dadanya, Jong Woon mengangkat tubuh gadis kecil itu ke pangkuannya dan memeluknya erat dengan sesekali mencium pipinya, membuat pipi anak itu basah karena buliran-buliran air mata yang turun dari pelupuk mata Jong Woon.

“Anak appa…” bisik Jong Woon bersamaan dengan tangisannya yang semakin menjadi-jadi. “Anakku…”


~** ** ** ** ** **~


Oppa, kau tidak makan?” tanya Soon Hee sambil melongokkan kepalanya ke dalam kamar kakaknya itu.

“Aku sedang tidak nafsu makan,” sahut Jong Woon dari dalam kamar, masih sibuk dengan segala partitur-partitur yang ada di hadapannya.

Soon Hee menghela napas lelah mendengar jawaban kakaknya yang sama seperti jawaban-jawaban yang ia terima sebelumnya. Lalu yeoja berambut panjang itu menghampiri Jong Woon yang masih sibuk dengan pekerjaannya, dan duduk di tepi kasur.

“Lalu kapan nafsu makanmu kembali?” tanya Soon Hee sambil menatap kakaknya yang masih sibuk itu intens. “Apa kau menunggu ia kembali baru kau akan mendapatkan nafsu makanmu kembali? Semangat hidupmu kembali?”

Soon Hee kembali menghela napas lelah melihat Jong Woon yang menganggap ucapannya barusan hanya sebagai angin lalu.

“Ini sudah hampir sebulan, Oppa. Apa kau tidak memikirkan kehidupanmu?!” ujar Soon Hee dengan nada bicara yang meninggi.

Ia sudah tidak tahan lagi melihat kehidupan kakaknya yang menurutnya sudah tidak berjalan normal, bekerja sampai larut malam tanpa memerdulikan kesehatannya sendiri. Semua itu membuat Soon Hee tertekan.

“Ia kembali atau tidak, kau tetap harus melanjutkan hidupmu, Oppa.”

Jong Woon masih tidak menjawab. Ia melirik adiknya itu dari sudut matanya, tajam.

“Kau tidak sedih melihat Hyejin yang sudah menjalani hari-harinya selama sebulan tanpa ibunya? Dan sekarang kau membiarkannya hidup seperti tanpa ayah,” kata Soon Hee saat menyadari tatapan yang dilemparkan kakaknya itu. “Putrimu masih terlalu kecil untuk mengerti semua yang terjadi saat ini. Bukankah seorang ayah harus menjaga anaknya?” lanjutnya.

Jong Woon tidak menyahut, ia hanya membereskan kertas-kertas yang berserakan di atas tempat tidurnya dan menyimpannya di dalam laci meja kerjanya.

Kemudian pria berambut kemerahan itu berjalan keluar kamar, menuju ruang makan.

Soon Hee yang melihat sikap kakaknya yang sudah mulai menandakan kemajuan itu hanya menarik sudut-sudut bibirnya, tersenyum tipis. Setidaknya Jong Woon sudah mulai menemukan semangatnya sekarang. Ya, putrinya. Bagaimana pun juga ia harus tetap hidup untuk putrinya, bukan?


~** ** ** ** ** **~


Annyeonghaseyo, Ommonim,” sapa Jong Woon saat memasuki rumah mertuanya itu sambil menggendong anaknya.

Wanita yang usianya sudah hampir 50 tahun itu menyambut kedatangan menantu dan cucunya dengan senyuman dan pelukan hangat.

Aigo… Sudah lama tidak kemari, kau semakin besar saja, Hyejin-ah,” ujar wanita itu sambil mengambil Hyejin dari gendongan Jong Woon dan menciumi pipi cucunya itu. “Kabarmu baik, Jong Woon-ah?” tanyanya pada Jong Woon sambil melangkah ke dalam ruang tengah.

“Aku baik-baik saja, Ommonim,” jawab Jong Woon.

“Masuklah. Ada Jung Soo di dalam,” kata wanita itu tanpa menoleh pada Jong Woon.

** ** ** **

“Bagaimana? Ada kabar tentang Hye Mi?” tanya Jung Soo saat mereka duduk berdua di ruang tengah, sementara ibu Hye Mi dan Hyejin sibuk bermain bersama di taman belakang rumah.

Jong Woon menggeleng lemah dengan tatapannya yang terus tertuju pada mertua dan anaknya lewat jendela yang ada di sebelahnya.

Ia bisa mendengar helaan nafas Jung Soo yang terdengar berat dan lelah.

Dongsaeng-ku itu sepertinya tidak harapan lagi,” ucap Jung Soo putus asa. “Apa aku masih boleh berharap Hye Mi kita akan kembali?” tanyanya lirih sambil mengikuti arah pandang Jong Woon.

“Tidak ada yang bisa melarang kita untuk terus berharap, Jung Soo-ya.” Jong Woon mengalihkan pandangannya kepada Jung Soo dengan sudut bibir yang tertarik membentuk senyum tipis, namun ada kesedihan yang tersirat dari senyumannya.
“Apapun yang terjadi ia pasti akan tetap kembali suatu saat nanti. Dengan atau tanpa nyawa di dalam raganya,” lanjutnya dengan suara yang semakin melirih pada akhir kalimatnya.

Jung Soo menatap Jong Woon dengan tatapan sendu. “Jong Woon-ah.”

“Aku tidak apa-apa, Jung Soo,” kata Jong Woon, masih dengan senyuman yang sama saat menyadari tatapan khawatir dari sahabat sekaligus kakak sepupu iparnya itu.

“Kau masih belum merelakannya, tapi kau bersikap seakan-akan kau tegar menghadapi ini semua. Benar, kan?” tebak Jung Soo yang langsung menusuk ke dalam hati Jong Woon. Tepat sasaran.

Jong Woon menarik sudut bibirnya dengan perasaan miris menanggapi ucapan Jung Soo.

“Ada satu hal yang harus kujaga untuk tetap melanjutkan hidupku. Kim Hyejin. Bagaimana pun juga dia adalah setengah jiwaku dan jiwa Hye Mi,” ucap Jong Woon seraya melemparkan pandangannya kembali keluar jendela, menatap seorang wanita paruh baya yang sedang bermain bersama seorang anak kecil dengan riang.

“Jika Hye Mi kita tidak kembali, setidaknya aku harus tetap menjaga ‘harta’ yang ia tinggalkan padaku. Bukan begitu?” ucapnya lagi sambil terus memusatkan perhatiannya pada Hyejin, hartanya yang paling berharga.

Ne, kau benar,” sahut Jung Soo.

“Jadi,” Jong Woon beralih menatap Jung Soo dengan senyum khasnya. “Kapan kau akan memberiku keponakan?”

Jung Soo hanya tersenyum menanggapi godaan lawan bicaranya itu. “Anae-ku belum siap untuk melakukannya, Jong Woon-ah,” ujarnya pelan dengan rona merah yang muncul di kedua pipinya.

Pria berambut kemerahan itu memperdengarkan tawanya saat mendengar jawaban Jung Soo.
“Berikan Hyejin sepupu secepatnya agar Donghae tidak perlu terus-terusan menjadi objek permainannya,” kekehnya.

“Objek permainan?”

Jong Woon mengangguk. “Sepertinya rambut ikan itu terlalu indah, sehingga membuat Hyejin sangat tertarik untuk menjambak-jambaknya,” ujarnya sambil kembali memperdengarkan tawanya.

** ** ** **

“Makan malamlah di sini,” kata nyonya Park sambil melangkah ke pintu depan, mengantarkan kepergian menantu dan cucunya.

“Tidak usah, Ommonim. Soon Hee sudah menungguku di apartemen,” sahut Jong Woon, menolak tawaran mertuanya itu dengan halus.

Nyonya Park hanya menganggukkan kepalanya pelan, memaklumi penolakan Jong Woon.
“Sering-seringlah mengunjungiku,” ujar nyonya Park saat Jong Woon melangkah ke luar rumah dengan Hyejin yang berada di dalam gendongannya.

Jong Woon menoleh, ia mengamati wajah mertuanya itu. Sudah terlihat cukup jelas kerutan di wajahnya yang menandakan usianya tak lagi muda. Namun di usianya kini, ia malah harus hidup sendiri di dalam sebuah rumah yang dulu ditempati putrinya yang kini berada entah di mana.

Ommonim,” kata Jong Woon. “Aku tidak mungkin akan sesering Jung Soo mengunjungimu karena pekerjaanku lebih padat darinya. Jadi, bisakah Ommonim tinggal di apartemenku untuk beberapa hari?”

Senyum Nyonya Park mengembang mendengar tawaran menantunya itu.
“Bagaimana mungkin aku bisa menolak?” ucapnya dengan sorot mata yang menandakan perasaannya saat ini, senang.



-To be continued-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar