Author : Ifa
Cast : Yesung a.k.a Kim
Jong Woon , Park Hye Mi
Genre : Romance
***************
Sudah hampir setengah tahun Hye
Mi dan Sungmin bertunangan, dan dua bulan lagi mereka akan segera menikah. Tapi
selama itu pula, Hye Mi merasa ada yang hilang dari hatinya. Seperti puzzle, ia
merasa ada satu kepingan yang hilang.
Sekarang yeoja itu sudah menjadi mahasiswi di fakultas kedokteran, sedangkan
Sungmin memilih bisnis dengan dorongan dari ayahnya. Meski mereka kuliah di
kampus yang sama, tapi Hye Mi jarang bertemu dengan orang itu. Malah hampir
tidak pernah. Ya, orang itu. Siapa lagi kalau bukan Kim Jong Woon.
Sejak setengah tahun yang lalu,
Jong Woon menghindari Hye Mi, gadis yang sudah meracuni pikirannya. Gadis yang
sudah berhasil membuatnya kehilangan
separuh jiwanya, gadis yang menjadi kunci keselarasan hidupnya. Dan selama itu
pula, kehidupan Jong Woon seperti tidak beraturan.
Jika bukan karena Jung Soo,
mungkin sekarang Kim Jong Woon hanya tinggal nama. Ya, semenjak tahu Jong Woon
sudah berubah menjadi namja setengah
gila, Jung Soo selalu mengunjunginya di apartemennya. Ia yang menyemangati Jong
Woon untuk terus melanjutkan hidupnya, dan perlahan membantu Jong Woon untuk
melupakan adik sepupunya itu walaupun ia tahu bahwa itu hal yang mustahil.
Kembali lagi pada Hye Mi.
Pertunangannya dengan Sungmin telah menyelamatkan bisnis ayahnya. Ayah dan
ibunya kembali ke luar negeri untuk melanjutkan pekerjaan ayahnya. Sebagai
tunangan yang baik, Sungmin berinisiatif untuk menginap di rumah Hye Mi. Ah
tidak… mungkin lebih tepat disebut tinggal. Karena dalam seminggu Sungmin
menginap di rumah Hye Mi lebih dari tiga kali. Alasannya? Ia mengaku takut
terjadi apa-apa pada Hye Mi. Tapi Hye Mi tahu bahwa namja ini hanya ingin dekat dengannya.
****
Hye Mi masuk ke dalam kamar
Sungminyang… sangat berantakan. Bagaimana bisa namja ini membuat salah satu kamar di rumah Hye Mi menjadi seperti
kapal pecah? Padahal rasanya baru kemarin Hye Mi membersihkannya saat Sungmin
pulang untuk mengambil baju ganti. Ia melangkahkan kakinya dengan hati-hati melewati
buku-buku yang berserakan di lantai menuju tempat tidur, takut-takut langkahnya
dapat membuat Sungmin terbangun.
Setelah berhasil sampai di
samping tempat tidur, perlahan diguncangnya pundak Sungmin yang
membelakanginya. Tidak berhasil. Sekali lagi diguncangnya pundak namja itu hingga posisi tubuhnya berubah
menjadi terlentang. Masih belum berhasil. Oh tidak, apakah begini cara Sungmin
tidur? Bagaimana caranya membangunkan orang ini?
Hye Mi masih mengguncang pundak
Sungmin. “Ya, Lee Sung Min! Ayo bangun!”
Sungmin menggeliat dan mengerang
pelan, namun kedua matanya itu masih tertutup. “Omma-ya, bangunkan aku setengah jam lagi!” ujarnya seraya
membetulkan posisi tidurnya dan kembali memeluk guling.
Hye Mi terkekeh pelan. “Sungmin-oppa, apa aku terlihat seperti ibumu?”
tanya Hye Mi.
Sungmin membuka matanya perlahan.
Setelah kedua matanya terbuka dengan sempurna, ia menggosok-gosok kedua
matanya. “Hye Mi?”
“Ya, aku. Memangnya siapa lagi
yang ada di rumah ini selain aku?” sahut Hye Mi seraya mengambil buku-buku yang
berserakan di lantai satu persatu. “Aigoo!
Bagaimana bisa kau membuat kamar ini menjadi berantakan begini selama semalam?”
omel Hye Mi sambil terus memunguti buku-buku itu. “Seperti kapal pecah!”
“Hey, jangan memarahiku seperti
itu. Aku jadi ingat ibuku,” ujar Sungmin membuat Hye Mi menoleh ke arahnya dan
memasang tatapan evil. Lalu yeoja itu
kembali membereskan buku-buku yang berserakan di lantai. “Lagipula… jam berapa
ini? Aigoo, ini baru jam enam!”
“Memangnya kau mau bangun jam
berapa, hah? Astaga, aku baru sadar kau ini pemalas.”
Hye Mi menyusun buku-buku
tersebut di meja sehingga kamar itu sudah terlihat lebih rapi sekarang. Baru
saja hendak meraih engsel pintu, tangannya sudah ditarik Sungmin.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Hye
Mi gugup saat sadar tubuhnya dan tubuh Sungmin hanya berjarak beberapa centi.
“Apa tidak boleh? Bukankah ini
yang biasa kita lakukan?” kata Sungmin balik bertanya. Perlahan kedua tangannya
melingkar di tubuh Hye Mi.
“Hmm… ya.” Sebelah tangan Hye Mi
menyentuh punggung Sungmin pelan.
“Kau kira aku mau apa?” tanya
Sungmin sambil terus memeluk Hye Mi.
“Ah… ani.”
“Atau kau kira aku akan melakukan
sesuatu padamu?”
“Wajahmu sedikit yadong tadi.”
Sungmin terkekeh. Ia melepas
pelukannya dan keluar dari kamar itu. Sebelum menutup pintu, dia menoleh pada
Hye Mi dan berkata, “Kurasa kalau kau berpikiran begitu, kaulah yang lebih
pantas disebut yadong.” Ia menutup pintu dan berjalan menuju kamar mandi sambil
memperdengarkan suara tawanya.
Hye Mi duduk di tepi tempat tidur
sambil memijit kepalanya. Ternyata begini rasanya begadang semalaman. Ini
adalah pertama kalinya Hye Mi begadang selama hidupnya. Kalau bukan karena
tugas yang hampir segunung itu, ia tidak akan menahan sakit kepala yang luar
biasa ini. Ahh… Dosen itu benar-benar ingin membunuh mahasiswanya. Setelah
kepalanya sudah sedikit membaik, gadis itu mengedarkan pandangannya ke seluruh
penjuru kamar. Di sini. Di sini tempat di mana ia biasa membangunkan Sungmin
selama beberapa bulan terakhir.
Ia ingat pertama kali ia membangunkan
Sungmin, dan pertama kali namja itu
memeluknya di kamar ini. Dan sejak saat itu, setiap pagi Hye Mi selalu
membangunkan Sungmin dan menyambut pelukannya–––walaupun tidak dengan sepenuh
hati. Perlahan hatinya mulai bisa menerima Sungmin, tapi tetap saja hatinya
sudah terkunci oleh Jong Woon. Sungmin berada di ruang hatinya yang lain. Ruang
untuk menempatkan cintanya yang baru. Cinta? Bahkan ia sendiri tidak yakin ini
adalah cinta. Ini hanya perasaan sayang. Ya… Hanya sayang.
Lamunan Hye Mi buyar ketika
mendengar suara pintu terbuka. Ia menoleh ke arah sumber suara dan mendapati
Sungmin yang sedang berdiri sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk dan
menatapnya heran.
“Kau masih di sini?” tanya
Sungmin. “Kupikir kau ada di kamarmu.”
“Ah, ani. Aku masih membereskan kamarmu tadi,” elak Hye Mi.
“Arraseo… Kalau begitu biarkan aku mengganti bajuku.”
Hye Mi beranjak dan keluar dari
kamar itu. Masa lalu… masa lalunya terlalu panjang untuk ia ingat kembali. Ia
menggeleng. Tidak… tidak… sekarang bukan waktunya untuk mengingat masa lalu. Sekarang waktunya untuk melanjutkan
kehidupannya.
****
Jong Woon terbangun oleh suara
bel pintu yang sedari tadi terus berbunyi. Ia mengerang dan menggeliat di sofa.
Lagi-lagi ia tertidur di sofa dengan beberapa buku yang masih terbuka di atas
meja di dekatnya. Ia memicingkan matanya mencoba untuk melihat jam berapa
sekarang. “Siapa yang datang pagi-pagi begini?” gumamnya pada dirinya sendiri.
Kini suara bel itu berubah menjadi suara ketukan pintu. “Ya! Tunggu sebentar!”
teriak Jong Woon sambil berjalan ke arah pintu dan menggosok matanya. “Tidak
bisakah kau sabar sebentar?!” teriaknya lagi ketika mendengar suara ketukan
pintu makin keras, hingga ia merasa pintu itu hampir roboh.
“Ya!” teriak Jong Woon ketika
membuka pintu. Ia mendapati Jung Soo sedang berdiri di depan pintunya dengan
tampang tak berdosa. “Kurang pagi,” sindir Jong Woon mengingat ini baru jam
enam pagi.
“Kenapa lama sekali membuka
pintu?” tanya Jung Soo sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen
Jong Woon tanpa dipersilahkan. “Kau begadang lagi?” tanya Jung Soo setelah
melihat buku-buku yang tergeletak sembarang di atas meja.
“Menurutmu?” Jong Woon
menghempaskan tubuhnya di sofa dengan kedua tangannya yang direntangkan.
“Mau sampai kapan kau begini
terus? Kau mau jatuh sakit, hah?” omel Jung Soo seraya membuka kulkas dan
mengambil sebotol minuman.
“Lama-lama kau semakin mirip
dengan ibuku,” sindir Jong Woon acuh tak acuh.
Namja bernama Park Jung Soo itu duduk di sofa yang berada tepat di
depan Jong Woon sambil meneguk minuman yang ada di tangannya.
“Aku bingung bagaimana kau
menghabiskan waktumu selama setengah tahun terakhir seperti ini,” ujar Jung Soo
sambil menatap temannya itu dalam.
“Tapi buktinya sampai sekarang
pun aku masih seperti ini, kan?”
“Sampai kapan kau mau seperti
ini? Sampai kapan kau tahan?”
“Berhenti menceramahiku!” seru
Jong Woon membuat Jung Soo tersentak. “Sebenarnya aku sudah tidak tahan dengan
semua ini! Aku benci ini! Kenapa… kenapa….”
“Jong Woon-ah, kau tidak bisa
seperti ini terus. Kau harus melupa…”
“Kenapa kau terus mendorongku
untuk melupakan dia?” tanya Jong Woon memotong ucapan Jung Soo. Nada bicaranya
mulai turun, namun masih ada sedikit nada dingin di dalam suaranya. “Sementara
kau sendiri tahu bahwa hal itu tidak mungkin terjadi.”
Jung Soo menelan ludah. Tenggorokannya
seperti tercekat mendengar nada bicara namja
di depannya itu. Ia menghela napas beratnya, mencoba untuk mencairkan suasana
panas yang dirasakannya. “Apa yang akan kau lakukan hari ini?” tanyanya
mengingat hari ini adalah hari libur.
“Entahlah,” jawab Jong Woon
sambil mengangkat kedua bahunya.
“Temani aku jalan-jalan.”
“Yaks!” Jong Woon menatap Jung
Soo dengan pandangan menolak. “Kau pikir aku yeojachingu-mu?!”
“Kau mau membusuk di apartemen
ini?” ujar Jung Soo dengan nada datar namun berhasil membuat Jong Woon
menyetujui ajakannya itu.
“Arra arra. Aku mandi dulu.”
****
Jong Woon melangkahkan kakinya
dengan malas mengikuti langkah Jung Soo yang sedari tadi bolak-balik di
hadapannya. Dari rak sepatu, lalu ke meja kasir. Setelah itu, pandangannya kembali
tertuju pada pakaian-pakaian yang sedang menggantung, dan tak lama kemudian
kembali lagi ke kasir. Begitu seterusnya sampai ia tidak lagi tertarik untuk
membeli barang di toko itu. Jong Woon sudah benar-benar merasa seperti
‘kekasih’ Jung Soo sekarang. Bagaimana tidak? Sejak tadi ia hanya mengikuti
Jung Soo ke toko buku dan sekarang… ke toko baju?! Apa dia sudah tidak waras
atau… jangan-jangan Park Jung Soo menderita depresi karena tidak pernah
pacaran? Jong Woon terus mengumpulkan pertanyaan aneh di dalam pikirannya
tentang Jung Soo.
“Hey, Jong Woon-ah! Ayo kita
keluar, aku sudah selesai,” ujar Jung Soo tiba-tiba.
“Aiissh, kau ini! Kau benar-benar
membuatku merasa seperti pacarmu, kau tahu?” ujar Jong Woon kesal.
Jung Soo tidak mempedulikan ucapan
Jong Woon. Ia terus melangkah diikuti Jong Woon dari belakangnya. Hingga
akhirnya langkahnya terhenti di sebuah taman.
“Taman?” tanya Jong Woon.
“Mm… wae?” Jung Soo balik bertanya.
“Ah, aniya.” Jong Woon mengikuti Jung Soo yang duduk di kursi panjang.
Ia memutar kembali memorinya. Di sini,
tempat di mana ia biasa menghabiskan waktunya bersama yeoja itu. Tempat pertama kali ia mengajaknya pergi hanya untuk
menghabiskan waktunya. Pertama kali ia mengambil gambar yeoja itu yang hingga kini masih di simpannya. Ia mengambil
ponselnya yang ada di dalam sakunya dan membuka flapnya. Kemudian dia membuka
sebuah folder dan menemukan satu file gambar. Gerakan jarinya terhenti. Ia ragu
untuk membuka file itu. Ia ragu, jika ia melihatnya lagi, apa dia bisa
menghentikan sesak di dadanya? Menghentikan rasa sakit yang tak kunjung sembuh
itu? Apa dia akan tahan jika rasa sakit itu makin menjadi-jadi? Apa dia bisa?
Tidak… ia ragu ia bisa melakukannya. Ia menutup flap ponselnya dan
memasukkannya kembali ke dalam saku celananya. Ia menoleh ke arah kanannya. Ia
bahkan tidak menyadari Jung Soo sudah pergi meninggalkannya sedari tadi. Ia
terlalu asyik memutar memorinya. Memori yang manis dan pedih.
BRUK!
Jong Woon menoleh dan mendapati
seorang anak kecil yang terjatuh tak jauh dari tempatnya duduk. Ia menghampiri
anak kecil yang sedang menangis itu.
“Gwenchanayo?” tanya Jong Woon seraya berjongkok untuk menyamai
tinggi badan mereka.
“Mm… gwenchana. Tapi… balonku….” jawab anak kecil itu di sela tangisnya.
Ia menengadahkan kepalanya menatap balon yang sudah terbang tinggi dan kemudian
hilang dari pandangannya. “Terlepas saat aku terjatuh tadi.” Ia kembali
menangis.
“Sudah... Yeoja yang manis tidak boleh menangis,” ujar Jong Woon seraya
mengelus puncak kepala anak itu pelan dan tersenyum.
“Gwenchanayo?”
Jong Woon menoleh pada sumber
suara. Dan sedetik kemudian ia ingin dunia menelannya saat itu juga.
****
Hye Mi mungkin akan mati
kebosanan di rumahnya jika Song Eun tidak mengajaknya pergi selagi temannya itu
mengasuh keponakannya yang masih berusia empat tahun.
“Taman?” tanya Hye Mi saat mereka
bertiga sampai di sebuah taman. Taman yang dipenuhi dengan kenangan yang manis…
dan juga menyakitkan.
“Memangnya kita harus membawa Ri
Ah ke mana?” Song Eun balik bertanya sembari memerhatikan anak yang sedang
digendongnya itu. Ya, itu Jung Ri Ah, anak dari kakak Song Eun. “Memangnya
kenapa?” tanya Song Eun lagi membuat Hye Mi yang sedari tadi melamunkan
kenangannya tersentak.
“Ah, aniya….”
“Immo, aku ingin main ke sana,” ujar Ri Ah seraya menggoyangkan
kedua kakinya pelan meminta untuk diturunkan dari gendongan.
“Baiklah, tapi jangan terlalu
jauh. Dan jaga balonmu jangan sampai terlepas,” sahut Song Eun sembari
menurunkan anak di gendongannya itu.
“Kau sudah cocok menjadi omma-nya, Song Eun,” ledek Hye Mi.
“Ahh, bukankah kau yang akan
menikah sebentar lagi, Hye Mi?”
“Ahh, Song Eun.” Hye Mi menunduk.
Ia malu.
Setelah beberapa menit, Ri Ah
belum kembali. Song Eun menjadi khawatir dibuatnya.
“Ke mana anak itu? Kalau terjadi
apa-apa padanya, aku bisa dibunuh eonni-ku!”
ujar Song Eun panik.
“Biar aku yang mencarinya. Kau
tunggu di sini saja,” kata Hye Mi.
“Maaf merepotkanmu, Hye Mi-ah,”
ujar Song Eun yang hanya direspon dengan anggukan dari Hye Mi.
Hye Mi melangkahkan kakinya
sambil mengedarkan pandangannya untuk mencari Ri Ah. Sesekali yeoja itu memanggil nama anak itu. Tak
lama kemudian, pandangannya tertuju pada anak kecil yang sedang menangis dan
pria yang mengelus kepala anak itu lembut. Ia menghampiri anak itu dan mulai
membuka suaranya.
“Gwenchanayo?” tanyanya. Namun napasnya seperti tercekat ketika
melihat siapa namja yang bersama anak
itu.
Dilihatnya namja itu juga membelalakkan mata.
Ingin sekali kakinya berlari menghindari namja ini, tapi kakinya seperti mati rasa. Ia hanya bisa berdiri
mematung dengan mata yang terbelalak dan mulut yang sedikit terbuka.
“Park Hye Mi?” ucap namja itu.
Sudah lama sekali ia tidak
mendengar suara itu, dan sekarang pemilik suara itu berdiri di hadapannya dan
menyebut namanya.
“Ri Ah, ke mana saja kau? Imo-mu sedang mengkhawatirkanmu. Kajja,” ujar Hye Mi pada Ri Ah yang
sudah bisa berdiri.
Anak itu pergi dengan setengah
berlari sehingga Hye Mi hampir tertinggal jauh. Hye Mi melangkahkan kakinya
dengan cepat seperti hendak berlari. Tapi langkahnya terhenti ketika namja itu meraih pergelangan tangannya.
Hye Mi meronta untuk melepaskan tangan namja
itu yang mencengkeram kuat tangannya.
“Lepaskan!” seru Hye Mi walau
suaranya hampir seperti memohon.
“Andwae,” jawab namja itu
dingin.
Jong Woon tidak mengalihkan
pandangannya dari Hye Mi. Tatapannya tajam. Kerinduannya telah mengalahkan akal
sehat dan perasaannya. Jika kemarin ia menghindari gadis ini dengan alasan
tidak ingin hatinya makin terluka, kini ia sangat merindukan sosoknya. Ia
sangat merindukan setiap detail dari sosok gadis itu hingga ia tidak ingin
kehilangan kesempatan untuk tetap menangkap sosok itu.
Setelah cengkeraman tangan Jong
Woon mulai mengendur, Hye Mi kembali menarik tangannya hingga genggaman namja itu terlepas. Dengan cepat ia
mengambil langkah untuk lari. Tapi Jong Woon mengejarnya. Kenapa di saat seperti ini dia harus muncul di hadapanku? Hye Mi
terus menanyakan pertanyaan yang sama dalam hatinya sambil terus berlari.
Kenapa di saat hatinya mulai bisa menerima Sungmin, ia harus bertemu kembali
dengan Kim Jong Woon? Dan di saat hari pernikahannya sudah semakin dekat, namja itu muncul di hadapannya. Tidak,
Hye Mi belum siap. Ia tidak siap bertemu dengan namja ini.
“Hye Mi-ah! Tunggu aku!” teriak
Jong Woon berharap gadis itu menghentikan langkahnya.
Jong Woon terus mengejar gadis
itu hingga posisi mereka sudah tidak terlalu jauh. Kesempatan ini Jong Woon
gunakan sebaik-baiknya untuk kembali meraih tangan gadis itu. Ia meraih lengan
Hye Mi dan menggenggamnya kuat sehingga langkah gadis itu terhenti dan meringis
kesakitan.
“Lepaskan aku!”
“Andwae!” Jong Woon memegang kedua lengan Hye Mi kasar agar gadis
itu menatapnya. “Kenapa kau lari?” tanyanya masih dengan suara yang terdengar
kasar dan penuh tanya.
“Kumohon, lepaskan aku…” pinta
Hye Mi memelas. Ia menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Jong Woon.
“Jawab aku, Park Hye Mi! Kenapa
kau lari?” tanyanya lagi dengan sedikit mengguncang tubuh kecil gadis itu.
“Jawab aku!” teriaknya lagi, dan dengan nada yang lebih tinggi membuat gadis
itu tak berkutik.
“Karena aku tidak mau bertemu
denganmu!!” teriak Hye Mi membalas teriakan Jong Woon. Tidak terasa air matanya
sudah mengalir.
Hati Jong Woon seperti
dicabik-cabik mendengar gadis yang sangat ia cintai mengatakan hal yang sangat menyakitkan.
Tubuhnya melemas, tapi kedua tangannya masih memegang bahu Hye Mi. “Sebegitu
bencinya kau padaku?” tanya Jong Woon pelan sambil mencari-cari wajah Hye Mi
dibalik rambutnya yang tergerai dan menutupi sebagian wajahnya.
“Aku… aku…”
“Begitu cepatnya kau
melupakanku?” tanya Jong Woon dengan suara yang lebih lirih. “Apa hanya aku
yang begitu mencintaimu, hingga hanya aku yang sampai detik ini masih belum
bisa melupakanmu?”
Astaga, namja ini benar-benar ingin membunuh Hye Mi dengan pertanyaannya
yang sangat menyakitkan. Hye Mi terus menundukkan kepalanya, sampai akhirnya namja itu merengkuh kedua belah pipinya
agar Hye Mi mengangkat kepalanya.
“Tatap aku.”
Hye Mi menggeleng. Kedua bola
matanya itu sudah digenangi air mata. Ia membuang pandangannya. Tapi lagi-lagi
kedua tangan Jong Woon kembali membuat Hye Mi menatapnya.
“Sudah, hentikan…”
“Apa tempatku di hatimu sudah
digantikan oleh… Sungmin?”
“CUKUP, OPPA! KUBILANG HENTIKAN!!!”
Teriakan Hye Mi terngiang di
telinga Jong Woon. Tapi hal itu tidak membuatnya melepaskan tangannya dari
wajah gadis itu.
“Hentikan….” Hye Mi memegang
dadanya, mencoba meredam perih yang sekarang merambat masuk ke dalam hatinya.
“Aku… aku tidak bisa berhenti
untuk mencintaimu…” ucap Jong Woon lirih, mencoba untuk memberi pengertian
kenapa ia masih tidak mau melepaskan gadis itu. “Maaf, aku tidak bisa menuruti
keadaan untuk berhenti mencintaimu….”
Perlahan bibirnya mendarat di
bibir Hye Mi. Ciumannya begitu kaku, ia begitu hati-hati, karena ia takut gadis
itu akan kembali menghilang. Mereka hanya bisa membeku dan mematung di posisi
mereka masing-masing.
“Saranghae…” bisik Jong Woon di sela-sela ciumannya.
“Nado…”
Jong Woon tersentak. Matanya
membuka dan menatap gadis di depannya itu dengan tatapan kaget. Tapi bibirnya
masih menyentuh bibir gadis itu. Seakan ia bisa mati jika ia melepaskan
ciumannya. Hanya satu kata yang keluar dari mulut Hye Mi, tapi kata itu bisa
meyakinkan Jong Woon bahwa seorang Park Hye Mi masih sangat mencintainya
seperti dulu.
Perlahan ia melepaskan ciumannya
dan menarik Hye Mi ke dalam pelukannya. Hye Mi membalas pelukan Jong Woon, ia
melingkarkan tangannya di tubuh namja
itu dan membenamkan wajahnya di dada Jong Woon.
Seperti déjà vu, mereka bisa merasakan kehangatan yang sudah lama mereka
tidak rasakan. Mereka mulai merasa kepingan hati mereka kembali utuh seperti
semula. Tapi ada satu rasa aneh yang menyelinap ke dalam hati mereka
masing-masing. Keraguan. Keraguan apakah mereka masih bisa saling memiliki
seperti dulu.
“Tuhan, ijinkan aku memiliki
seorang Park Hye Mi,” ujar Jong Woon lantang seakan memohon agar ucapannya dapat
dikabulkan.
Dari kejauhan, Sungmin bisa
melihat gadis yang sangat ia cintai sedang membenamkan tubuhnya di pelukan namja lain. Ya, namja itu. Namja yang
dulu pernah memiliki hati gadis itu. Dan bahkan ia rasa namja itu masih memiliki hati Hye Mi sekarang. Ia tahu, di hati
gadis itu pasti masih tersimpan sebuah nama. Kim Jong Woon.
****
“Sungmin-oppa, kau ada di sini?” tanya Hye Mi saat melihat Sungmin yang
sedang duduk dan mengobrol dengan Song Eun di bangku taman.
“Ne, urusanku sudah selesai,” jawab Sungmin sambil mengeluarkan
senyumnya, seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
“Hye Mi, kenapa kau lama sekali
kembali? Padahal Ri Ah sudah kembali sejak tadi,” tanya Song Eun membuat Hye Mi
tersentak.
Ia tergagap, bingung harus
menjawab apa. “Aku… aku tadi….”
“Hey, Park Hye Mi!”
Sontak Hye Mi menoleh pada sumber
suara. Ia mendapati Park Jung Soo sedang berlari ke arahnya sambil membawa
sebuah kantong berisi botol minuman.
“Oppa?”
“Hah… kebetulan sekali aku
bertemu kalian di sini,” ujar Jung Soo. Ia mengelap keringat dengan sebelah
tangannya, lalu mencoba berbicara dengan napas yang mulai teratur.
“Oppa sedang apa di sini?” tanya Hye Mi lagi.
“Apa kalian melihat Jong Woon?”
tanya Jung Soo.
Mata Hye Mi terbelalak. “Jong
Woon?”
“Tadi aku mengajaknya ke sini,
tapi dia menghilang entah ke mana. Hah, dasar anak itu!” kata Jung Soo kesal.
Sungmin hanya tersenyum samar.
Perlahan Hye Mi melirik tunangannya itu. Ekspresi wajahnya biasa saja, sama
seperti ekspresi yang biasa Sungmin tunjukkan padanya. Tapi entah kenapa justru
raut wajah seperti itulah yang Hye Mi takutkan saat ini. Bagaimana kalau
Sungmin melihatnya bersama Jong Woon tadi?
“Aku melihatnya.”
Hye Mi langsung menoleh pada
Sungmin. Jadi… jadi dia melihat kejadian tadi?
“Aku melihatnya di sana. Sedang
duduk sendirian,” lanjut Sungmin lagi. Jari telunjuknya menunjuk ke arah sebuah
tempat yang agak jauh.
“Di sana? Sedang apa anak itu di
sana?” tanya Jung Soo seraya mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk
Sungmin.
“Entahlah,” ujar Sungmin sambil
mengangkat kedua bahunya. “Aku lihat dia sedang duduk sendirian di sana.”
“Oh, arraseo. Gomawo, Sungmin-ssi. Aku ke sana dulu, annyeong!”
Jung Soo setengah berlari menuju
tempat yang tadi ditunjuk Sungmin. Sungmin masih terdiam dengan senyum kecil di
bibirnya. Sementara Hye Mi masih terpaku di tempatnya. Sungmin bilang Jong Woon
sendirian tadi. Apa masih ada harapan untuk Hye Mi bahwa Sungmin tidak melihat
kejadian tadi? Ketika Jong Woon
memeluknya?
“Hye Mi, kenapa berdiri saja? Ayo
duduk,” ujar Sungmin membuyarkan lamunan Hye Mi.
“Ah? Ne,” jawab Hye Mi seraya duduk di sebelah Sungmin.
Perlahan sebelah tangan namja itu merangkul Hye Mi. Ya… bukankah
ini yang biasa dilakukan setiap pasangan? Apalagi mereka sudah bertunangan dan
akan segera menikah.
Hah, mengingat fakta bahwa
seorang Lee Sung Min adalah tunangannya dan sebentar lagi mereka akan menikah,
membuat dada Hye Mi sesak. Ada sesuatu yang aneh di sana. Seperti… perasaan
tidak rela. Tidak rela? Hye Mi mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri dalam
benaknya, kenapa perasaan tidak rela itu muncul kembali setelah hampir setengah
tahun menghilang? Kenapa perasaan tidak rela itu muncul setelah Hye Mi mulai
bisa menerima kenyataan ini? Kenyataan bahwa Sungmin adalah tunangannya…
Kenapa? Ternyata benar. Melihat wajah namja
itu––Jong Woon––hanya akan membuat Hye Mi semakin menginginkannya.
Menginginkannya kembali seperti dulu. Dada Hye Mi semakin sesak. Sangat sesak
mengingat kenyataan yang menentang keinginan nuraninya itu. Hal itu… hal itu
tidak mungkin bisa terjadi. Kim Jong Woon dan dirinya tidak mungkin bisa
kembali seperti dulu.
****
“Aku… aku bertemu dengannya,”
ujar Jong Woon tiba-tiba membuat Jung Soo tak mengerti.
“Mwo? Kau ini bicara apa? Aku bertanya kenapa kau ada di sini
sendirian, tapi kenapa kau menjawab hal lain?” Jung Soo balik bertanya sambil
membuka botol minuman dan meneguk isinya.
“Tadi aku bertemu dengannya lagi...
Park Hye Mi,” ujar Jong Woon lagi sambil terus menatap lurus rumput yang ada di
bawah kakinya dengan pandangan kosong.
Jung Soo hampir saja menyemburkan
air yang sudah ada di dalam mulutnya, jika ia tidak cepat-cepat menahan
bibirnya mengeluarkan air itu kembali. Dengan susah payah ditelannya air itu.
Masih dengan raut wajah terkejut, ia mulai bersuara. “M-mwo? Hye Mi?” tanyanya.
“Dialah penyebab aku pergi dari
tempat kita tadi. Dia berlari saat melihatku, dia bilang dia tidak mau bertemu lagi
denganku.” Jong Woon berbicara dengan nada merenung. Pandangannya masih kosong
menatap rumput hijau di bawah kakinya. Pikirannya kembali menerawang kejadian
tadi. Sakit. Sakit sekali mendengar gadis itu bilang tidak ingin bertemu dengan
dirinya lagi.
“Lalu?”
“Aku mengejarnya.”
“Dan?”
“Aku berhasil menahannya dan
mulai berbicara dengannya. Dan seperti yang kubilang tadi, dia bilang tidak
ingin bertemu denganku.” Jong Woon mulai menampakkan raut wajah sedih bercampur
putus asa dan pasrah.
“Hye Mi bilang begitu?” tanya
Jung Soo yang hanya dijawab dengan sebuah anggukan pelan oleh Jong Woon.
“Tapi aku tahu dia masih
mencintaiku.”
“Mwo? Dari mana kau tahu? Bukankah kau bilang dia tidak mau bertemu denganmu
lagi?”
“Itu karena… aku tadi… men…”
Jung Soo sedikit mendekatkan
wajahnya pada wajah Jong Woon. Ia menunggu jawaban Jong Woon yang kelihatannya
sangat susah untuk dijawab.
“Aku tadi…”
“Kau tadi kenapa?” tanya Jung Soo
penasaran, menuntut sebuah jawaban.
“Aku… men… men….” Wajah Jong Woon
langsung berubah. Kesadarannya kembali. “Ah! Sudahlah! Ini tidak penting!”
ujarnya sambil mengalihkan pandangannya dari Jung Soo yang ada di sebelahnya.
“Aiishh! Kau ini! Beri tahu aku
kenapa kau bisa tahu dia masih mencintaimu!”
“Karena aku bilang aku
mencintainya, dan dia menjawabnya! Puas?” jawab Jong Woon meskipun dengan nada
bicara yang tidak dengan sepenuh hati.
“Lalu, kau tadi mau bilang apa?
Kau bilang kau tadi ‘men’? ‘Men’ apa? Kau mau melakukan apa pada adikku tadi?”
tanya Jung Soo lagi membuat Jong Woon tak berkutik.
Jong Woon makin tergagap. Ia
mencoba mencari-cari kalimat yang bisa menyangkal fakta bahwa ia mencium gadis
itu tadi. Tapi hasilnya? Jalan buntu. “Bukan urusanmu, Park Jung Soo! Ayo
pulang! Aku sudah tidak tahan berada di sini denganmu,” seru Jong Woon dengan
tampang kesal agar dapat menutupi rasa gugupnya.
“Mwo? Kenapa?” tanya Jung Soo tak terima.
“Karena aku merasa kau
memperlakukanku seperti ‘pacar’mu dari tadi pagi,” jawab Jong Woon dengan nada sedatar-datarnya
dan tatapan sinis.
“Aiiish! Jinjja! Aku masih normal, Jong Woon-ah!”
“Oh, begitu? Syukurlah,” sahut
Jong Woon dengan nada mengejek mencoba untuk menghilangkan kegugupannya. “Tunggu
apa lagi? Ayo pulang!”
****
“Sungmin-oppa, makan malamnya sudah siap,” ujar Hye Mi sambil mengetuk pintu
kamar Sungmin.
Tak lama kemudian namja itu muncul di balik pintu dengan
sweater abu-abu. “Kau sudah mau makan, ya?” tanya Sungmin yang langsung Hye Mi balas
dengan sebuah anggukan.
Senyuman Sungmin melebar. Sebelah
tangannya langsung merangkul pundak Hye Mi. “Ayo makan,” ujarnya.
Mereka makan dalam diam. Tidak ada
yang memulai obrolan, hanya suara sendok dan garpu yang beradu di atas piring
yang menghiasi ruangan itu. Sungmin terus memerhatikan Hye Mi. Akhirnya ia
mulai membuka suaranya, “Bukankah Jung Ri Ah sangat manis?”
Hye Mi mengangkat kepalanya
sehingga ia bisa memandang wajah Sungmin. “Mm… ne. Dia lucu,” jawab Hye Mi sambil memperlihatkan senyumnya.
Sungmin tidak lagi merespon
ucapan Hye Mi, ia hanya tersenyum sambil terus menatap gadis itu. Memang inilah
yang sangat ia inginkan. Obrolan ringan dengan makan malam yang tenang. Kehidupan
seperti ini yang selalu ia idam-idamkan. Lalu, apa lagi yang dia inginkan? Kenapa
hatinya bertambah sakit ketika melihat wajah gadis ini?
“Apa ada yang salah denganku?”
tanya Hye Mi saat sadar Sungmin menatapnya.
“Tidak,” jawab Sungmin singkat. Ia
kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
“Bagaimana urusanmu tadi?” tanya
Hye Mi lagi.
“Sudah selesai.” Sungmin kembali
diam. Setelah beberapa menit terdiam dia mulai membuka suaranya kembali. “Besok
aku akan pulang.”
“Arraseo.”
“Jangan menungguku.”
Hye Mi menghentikan makannya. Ia mengangkat
kepalanya dan menatap Sungmin. Apa dia tidak salah dengar?
“Mwo?” tanya Hye Mi meminta penjelasan.
“Aku tidak akan kembali selama
beberapa hari,” jawab Sungmin sambil tersenyum samar.
“Tapi… kenapa?”
“Hmm… entahlah.”
Entahlah? Dengan mudahnya dia
mengucapkan itu?
“Mungkin aku akan memberimu waktu
untuk berpikir,” kata Sungmin lagi.
“Berpikir? Apa maksudmu?”
“Kau masih mencintai dia, kan?”
tanya Sungmin. “Kim Jong Woon?”
Hye Mi tersentak. Namja ini… kenapa namja ini bertanya seperti itu?
“Tapi…”
“Aku tahu kau masih mencintainya,
Hye Mi.”
“Aku…”
“Aku melihatnya.”
“Mwo?”
“Aku melihat semuanya,” kata
Sungmin membuat Hye Mi ingin dunia menelannya saat itu juga.
“Se… semuanya?” kata Hye Mi
dengan mata terbelalak.
Sungmin mengangguk pelan tanpa
menghapus senyuman dari wajahnya. “Aku mengerti perasaanmu. Karena itu aku
ingin kau menenangkan diri selama aku tidak ada. Kau pasti masih terkejut
bertemu dengannya, kan?”
“Tapi, Sungmin-oppa….” kata Hye Mi pelan. “Aku mohon
jangan pergi.”
Kali ini giliran Sungmin yang
tersentak. Apa dia tidak salah dengar? Gadis ini mencegahnya pergi? “Apa?”
“Aku tidak ingin kau pergi,” kata
Hye Mi mengulangi ucapannya. “Bagaimana aku bisa tenang jika kau pergi?”
Sungmin kembali tersenyum. Ia menggenggam
tangan Hye Mi yang tergeletak di atas meja makan. “Baiklah, aku tidak akan
pergi,” ujarnya sambil terus tersenyum.
Apa ini saatnya ia melepaskan Hye
Mi? Melepaskan cinta yang sudah lama ia kejar? Hanya sesingkat inikah Tuhan
mengijinkannya memiliki seorang Park Hye Mi? Kenapa… kenapa dirinya tidak boleh
memiliki gadis ini lebih lama? Kenapa….
****
(to be continued)
wuidih, panjang ye mah u.u
BalasHapusLanjutkan,wkwkw ;p
Mian baru komen xD