Anyeonghaseyo, readers! :)
Ceritanya di part 4 ini ada pemunculan masalah atau ancang2 (?) buat klimaksnya. hahaha apalah itu pokoknya di sini ceritanya makin seru (amin). Yuk lah langsung dibaca ^^
*********************************
Author : Ifa
Cast : Yesung a.k.a Kim
Jong Woon , Park Hye Mi
Genre : Romance
***********
Jong Woon berjalan sedikit gontai,
sementara Hye Mi berjalan pelan sambil menggenggam tangannya dan berjaga-jaga
agar Jong Woon tidak jatuh. Bagaimana pun perasaan Jong Woon masih gundah.
Pikirannya melayang, antara ibunya dan Hye Mi. Banyak logika yang bertentangan
di otaknya sekarang. Ibunya sangat membutuhkannya saat ini, tapi bisakah?
Bisakah ia membiarkan Hye Mi jauh dari pandangannya? Bisakah? Bisakah ia
merasakan setengah hatinya hilang untuk beberapa hari?
“Oppa,”
panggil Hye Mi dengan sedikit menggucang lengan Jong Woon.
Jong Woon tersadar dari lamunannya.
Ia menoleh pada Hye Mi yang sedang berdiri di sampingnya. “Ne?”
“Kita sudah sampai,” ujar Hye Mi.
Jong Woon memerhatikan sekelilingnya.
Mereka sudah sampai di ruang tunggu. Mereka berjalan ke arah bangku yang berada
di sudut ruangan. Pandangan Jong Woon masih nanar. Ia belum fokus. Pikirannya
masih saja melayang. Genggaman tangannya semakin erat.
“Hye Mi…” panggilnya lirih. Hye Mi
menoleh. “Apa kau bisa menungguku kembali?” tanyanya sambil menatap mata Hye Mi
yang gelap.
Ada sedikit sinar di sana. Sinar yang
merupakan harapan. Harapan Jong Woon akan kembali padanya. Kembali ke hadapannya.
Kembali tersenyum padanya. Kembali memeluknya. Dan kembali memanggil namanya.
“Ne,
tentu saja aku akan menunggumu,” jawab Hye Mi. “Sampai kapanpun aku akan
menunggumu.”
Jong Woon merasa kebimbangan di
hatinya hilang sedikit demi sedikit. Ia tersenyum kecil. Tapi senyumnya tidak
tampak dipaksakan seperti kemarin.
“Apa kau lupa janjimu padaku?” tanya
Hye Mi dengan sorot mata mengejek.
“Mwo?”
Jong Woon tampak berpikir. Ia mencoba mengingat apa janji yang pernah
dikatakannya.
“Kau akan membuatku mencintaimu dan
jatuh dalam pelukanmu. Kau lupa? Kau belum menepatinya,” ujar Hye Mi lagi
membuat senyum Jong Woon mengembang.
“Ya, aku ingat,” ucapnya pelan.
“Kupikir kau sudah mulai mencintaiku,” ujarnya lagi.
“Tapi belum sepenuhnya,” sahut Hye Mi
cepat.
Hye Mi mengatakan kebohongan.
Kebohongan terbesarnya. Ia terpaksa berbohong. Karena ia menginginkan lebih
dari Jong Woon. Jika ia mengatakan ia sudah mencinta namja itu sepenuhnya, ia takut Jong Woon akan pergi untuk selamanya
karena janjinya sudah ditepati. Ya… lebih baik begini saja. Membuat misi Jong
Woon tidak pernah selesai.
“Jika aku tidak kembali, apa kau akan
berpaling pada Sungmin?” tanya Jong Woon.
Hye Mi kaget, matanya membulat lebar.
“Ya! Kau ini bicara apa?” serunya kesal. “Apa aku terlihat seperti gadis yang
suka mempermainkan laki-laki?” ujarnya dengan nada tinggi.
Jong Woon tertawa pelan. “Ani… ani… hahaha…. Aku hanya
memastikan…” ujarnya sambil terus tertawa.
“Ya! Kau ini memang menyebalkan!”
ujar Hye Mi sambil memasang wajah kesal. Ia cemberut. Ia tidak mau menatap Jong
Woon. Tapi Jong Woon memutar paksa wajah Hye Mi agar menatapnya.
“Dengar, aku tidak suka kau melihat namja lain. Harusnya di matamu hanya ada
aku. Dengar? Hanya aku!” ujarnya dengan menekankan kata ‘hanya aku’.
Tak lama setelahnya terdengar suara
yang menandakan kereta akan tiba sebentar lagi dan semua penumpang diharapkan bersiap-siap
untuk naik ke kereta. Jong Woon berdiri, begitu pula dengan Hye Mi. Jong Woon
memeluk Hye Mi, erat sekali seakan ia akan mati jika ia melepaskan pelukannya.
Ia mencium kepala Hye Mi. Bau rambut gadis ini akan selalu diingatnya. Irama
detak jantungnya akan selalu diingatnya. Kehangatan saat ia memeluk gadis itu
akan selalu tersimpan di dalam pikirannya. Ya, Jong Woon tidak akan membiarkan
semua itu hilang di dalam memorinya.
“Oppa…
Jangan lupakan aku,” ucap Hye Mi. Ia bahkan tidak tahu kenapa bibirnya
mengeluarkan kata-kata itu. Hati kecilnyalah yang mendesaknya. Jadi salahkan
saja hati kecilnya.
Jong Woon tersenyum. “Ya… bagaimana
kau bisa berpikiran aku akan melupakanmu?” sahut Jong Woon seraya melepaskan
pelukannya. Ditatapnya mata gadis itu dalam-dalam. “Pabo yeoja,” lanjutnya.
Hye Mi memukul lengannya keras. “Ya!”
“Akh! Sakit!” rintih Jong Woon. Tapi
sedetik kemudian senyumannya mengembang. “Katakan padaku,” ujarnya. “Katakan
padaku apa yang membuatmu memilihku?”
“Karena aku memilihmu,” jawab Hye Mi
membuat Jong Woon bingung tapi bisa menangkap maknanya.
“Jika aku memintamu melepaskanku, apa
kau akan melakukannya?”
Mata Hye Mi menyipit. Ia terdiam sebentar
lalu mulai membuka mulutnya. “Aku sudah memilihmu, Oppa. Aku sudah memilihmu masuk ke dalam kehidupanku yang
sekarang.”
Jong Woon makin tidak mengerti
maksudnya. “Aku tidak mengerti kehidupanmu,” katanya.
Hye Mi menghela napas. “Aku tidak
tahu harus berkata apa padamu agar kau mengerti kehidupanku, karena aku tahu
kau juga tidak akan mengerti kehidupanku, hahaha….” Hye Mi tertawa getir. Lalu
melanjutkan, “Selama ini kau terus bertanya kenapa aku memilih kehidupanku yang
sekarang, yah… karena aku telah memilihnya. Dan sekarang yang kupilih adalah
menjauhimu… karena aku takut aku akan tersakiti dengan perasaanku dan kenyataan
ini. Mianhaeyo, Oppa….”
Jong Woon membuka sedikit mulutnya.
Menjauhinya? Apa yang dibicarakan gadis ini?
Hye Mi menggeleng pelan. “Mianhaeyo, ternyata aku salah. Pilihanku
bukan menjauhimu tapi bersamamu. Mianhaeyo,
Oppa…. Aku tidak bisa mengabulkan permintaanmu untuk melepaskanmu. Aku
tidak bisa… aku tidak bisa melepaskanmu begitu saja,” lanjutnya membuat Jong
Woon mengerti.
“Aku tidak bisa melepaskan seseorang
yang sudah berjanji padaku,” ujarnya lagi.
Jong Woon kembali memeluk Hye Mi dan
kali ini lebih erat. “Aku ingin sekali menepati janji itu,” katanya pelan
hampir seperti bisikan, tapi Hye Mi masih dapat mendengarnya.
Sejujurnya, Hye Mi sulit bernapas
karena pelukan Jong Woon yang terlalu erat. Tapi Hye Mi membiarkannya.
Membiarkan kehangatan menjalar di tubuhnya. Ia rela sulit bernapas bahkan harus
dibawa ke UGD. Biarkan saja.
“Jaga dirimu, Oppa,” ujar Hye Mi dengan susah payah.
Mendengar suara Hye Mi yang berat,
Jong Woon melepaskan pelukannya perlahan. Lalu ia tersenyum lebar sambil
menatap mata gadis itu dalam-dalam. Ya, di dalam sana ia dapat melihat dirinya
sendiri.
Lagi-lagi terdengar suara yang
menandakan kereta sudah tiba dan semua penumpang diharap segera naik ke kereta.
Ia mengambil tasnya dan membelai
rambut Hye Mi. Setelah itu ia berjalan menuju pintu kereta. Hye Mi menatap
kepergian laki-laki itu. Tapi baru beberapa langkah, Jong Woon menoleh ke
belakang dan tersenyum kecil. Senyuman yang getir. “Hye Mi, mungkin aku salah,”
ucapnya ringan. Hye Mi mengerutkan alisnya. “Jangan menungguku. Jika aku tidak
kembali padamu, jangan menungguku. Karena aku takut kau tenggelam dalam sebuah
penantian tanpa akhir,” lanjutnya membuat hati Hye Mi perih. “Saranghaeyo….” Setelah berkata begitu,
ia masuk ke dalam kereta.
Mungkin hati Hye Mi terluka sekarang.
Lukanya memang kecil, tapi dalam. Sangat dalam sehingga hatinya sangat perih.
Apa maksud perkataan Jong Woon? Jangan menunggunya? Apa ini artinya ia tidak
akan kembali? Hye Mi menggeleng. Jong Woon bukan laki-laki seperti itu.
Walaupun ia sering mengatai Jong Woon dengan sebutan ‘pabo namja’, tapi… dia bukan laki-laki seperti itu. Dia akan
kembali. Kembali tersenyum dan memeluk Hye Mi.
****
Hye Mi menjalani hari-harinya seperti
biasa. Seperti dulu, sedingin dulu, tanpa tawa, kecuali jika Song Eun
membuatnya tertawa. Tapi tawanya tidak seindah jika ia bersama Jong Woon. Ia
merasa setengah hatinya hilang, tapi masih bisa merasakan kehangatannya. Jong
Woon… kira-kira sedang apa dia?
“Hei, Park Hye Mi!” panggil Song Eun
sambil menepuk bahu Hye Mi.
Hye Mi tersentak. “Aaah!” jeritnya.
“W…
wae? Apa aku menepuk bahumu terlalu keras?” tanya Song Eun.
“Ah… ani, aku hanya…”
“Kau terkejut. Dan kau melamunkan apa
lagi sekarang?” tanyanya.
“Tanpa kujawab pun kau sudah tahu
jawabannya,” jawab Hye Mi setengah hati sambil meneguk jusnya.
“Ya! Sekarang kau sudah berpikir aku
ini cenayang,” ujar Song Eun kesal namun dengan raut wajah datar.
“Ayolah, Song Eun! Kau sudah tahu
jawabannya. Jawabannya akan tetap sama seperti hari-hari kemarin dan akan
selalu sama sampai kapanpun,” sahut Hye Mi dengan wajah datar tanpa ekspresi.
Song Eun memperhatikan wajah
sahabatnya itu. Coba ia pikirkan. Ini sudah hari ketiga sejak Jong Woon pergi
dan sudah dua jam mereka duduk di café. Ah! Benar saja! Jong Woon! Bagaimana ia
tidak kepikiran namja itu?
“Mau sampai kapan kau begini terus?”
tanya Song Eun. “Ayolah, Hye Mi! Aku tidak suka kau begini! Aku seperti tidak
mengenalimu.”
“Tidak mengenaliku? Aku sama seperti
dulu.”
“Ya, dulu sebelum kau bertemu Jong
Woon!” hardik Song Eun kesal. Ia sudah tidak tahan lagi dengan sikap Hye Mi.
Beberapa kali ia menyuruh Hye Mi
menelepon Jong Woon, tapi ia menolaknya. Ia bilang ia tidak mau mengganggu Jong
Woon. Tapi sekarang? Hye Mi berhasil mengganggu pandangan dan suasana hati Song Eun dengan sikapnya yang langsung
berubah dingin, lebih dingin dari yang dulu.
“Kalau kau tidak mau mengganggunya,
jangan menggangguku dengan sikapmu yang seperti ini,” ujar Song Eun lagi,
berharap Hye Mi mengerti kata-katanya.
“Kau terganggu? Mianhae, Chingu,” sahut Hye Mi sambil tersenyum mengejek.
“Ya! Sekarang kau mengejekku!”
Song Eun memutar ingatannya ke hari
itu. Tiga hari yang lalu. Hari di mana Jong Woon pergi.
******
Song Eun bergegas menuju pintu depan
ketika bel pintu berbunyi. Bel itu berbunyi lebih dari lima kali. Padahal Song
Eun sudah berteriak.
“Ya! Ya! Cukup sekali saja!”
teriaknya berharap orang yang ada di luar sana mendengar ucapannya.
Tapi raut wajah kesalnya langsung
berubah terkejut ketika melihat orang yang ada di depan pintunya.
“Park Hye Mi!” Ia melihat Hye Mi
sesenggukan sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Ia memeluk Song
Eun. Ia menyerbu pelukan Song Eun dengan membabi buta. Ia tidak peduli sebasah
apa baju Song Eun akibat air matanya yang terus mengalir.
“Ya, ya… kita masuk dulu. Tenangkan
pikiranmu,” ujar Song Eun sambil menggiring Hye Mi masuk ke dalam rumahnya.
Setelah Hye Mi tenang, Song Eun mulai
menanyainya dengan hati-hati.
“Ada apa?” tanyanya pelan.
Takut-takut suaranya membuat Hye Mi menangis lagi.
“Dia….”
Song Eun mengerutkan alisnya. ‘Dia’
siapa?
“Pergi…”
“Ya… ya, Park Hye Mi. Jelaskan padaku
pelan-pelan. Dia siapa? Siapa yang pergi?”
Hye Mi masih sesenggukan. “Oppa….”
“Oppa
siapa? Oppa kan banyak, Hye Mi! Jung
Soo-oppa?”
Hye Mi masih terdiam. Hanya suara
isakan yang terdengar.
“Aigoo…
baru kali ini aku melihatmu menangis karena Jung Soo-oppa pergi. Kau begitu menyayangi sepupumu itu?” tanya Song Eun.
Hye Mi menggeleng. “Bukan… bukan Oppa yang itu. Oppa….”
Song Eun berpikir. Ia mencoba
mengingat-ingat. Oppa? Mata Song Eun
makin terbuka lebar. Mulutnya terbuka, tapi tidak berkata apa-apa. Ia lalu
menenangkan dirinya sendiri.
“Kim Jong Woon?” tanyanya memastikan.
Hye Mi mengangguk lemah. “Kim Jong Woon!?” ulang Song Eun dengan nada yang
lebih tinggi dan volume yang lebih besar. “Omo,
kau sudah sangat mencintai dia, ya?”
Hye Mi makin sesenggukan. Tangisannya
makin pecah. Emosinya meledak-ledak. Tubuhnya hampir kehilangan keseimbangan.
Dan kepalanya mendadak sangat pusing. Entah bagaimana caranya menenangkan diri.
Setelahnya ia menceritakan semua yang terjadi pada Song Eun. Mulai dari Jong
Woon yang tidak menjemputnya kemarin, ibu Jong Woon yang mendadak masuk RS dan
tak sadarkan diri, kemudian Jong Woon yang pergi dan berpesan agar Hye Mi tidak
usah menunggunya kembali. Ia bingung harus bagaimana. Bagaimana mungkin ia bisa
mengabaikan Jong Woon? Tidak usah menunggunya? Itu hal tersulit untuk Hye Mi
lakukan.
*****
“Hei, kalian sedang apa?”
Suara itu menyadarkan Song Eun dari
lamunannya. Lee Sung Min. Laki-laki itu sudah duduk berhadapan dengan Song Eun
dan Hye Mi di bangku café.
“Ani,
kami sedang menghabiskan waktu bersama,” jawab Song Eun. “Dan kau bisa
melihat Hye Mi sedang berkutat dengan buku-bukunya itu.”
Hye Mi mendelik Song Eun. “Dan minum
jus,” ujarnya menambahkan. Lalu kembali hanyut dalam pelajaran.
Seperti biasa tawa Sungmin terdengar
jelas. “Boleh aku gabung?” tanyanya.
“Oh, Tuhan. Lee Sung Min, tidak ada
yang melarangmu, kan? Bergabunglah,” ujar Song Eun. Lalu ia merasa kurang
nyaman duduk di sana dan beranjak dari bangkunya. “Aku ke toilet dulu
sebentar,” ujarnya sebelum ia berjalan ke arah toilet.
Sungmin menatap Hye Mi yang masih
membaca buku. Ayo Sungmin! Ayo! Katakan sesuatu! Sedang ada peluang besar di
depanmu! Kemudian Sungmin mulai bersuara. “Aku dengar, Kim Jong Woon sedang
pulang menemui ibunya yang sakit?” katanya.
Hye Mi masih tidak mengalihkan
pandangannya pada Sungmin. “Kau tahu dari mana?” tanyanya dingin.
“Aku bertemu Park Jung Soo-hyung hari ini,” jawabnya tanpa
menghapus senyumnya. “Wae?”
Hye Mi mengerutkan alisnya. Ia
mengalihkan pada Sungmin sekilas. “Apa maksudmu?” tanyanya.
“Wae…
wae kau sangat mencintai dia?” tanya
Sungmin. Kini senyumnya sudah hilang diganti dengan raut wajah sedih.
“Kau bertanya seperti orang konyol,”
kata Hye Mi membuat hati Sungmin semakin pilu. “Pernah mendengar istilah ‘mencintai tanpa syarat’? Cinta itu
datang dan diam di dalam hati seseorang tanpa harus ada alasan,” lanjutnya.
“Tapi apa kau pernah dengar ‘belajar mencintai’? Kenapa kau tidak
mencoba hal itu padaku?”
“Aku sudah melakukannya dulu. Tapi
tidak berhasil. Dan beberapa waktu lalu aku melakukannya lagi pada orang itu,
dan tidak kusangka aku tidak bisa lepas darinya.”
Sungmin menunduk, ia tentu tahu siapa
yang dimaksud dengan ‘orang itu’.
“Kenapa?” Sungmin menatap Hye Mi
lekat-lekat. “Tidak bisakah? Tidak bisakah kau berbohong sedikit untuk
mengatakan kau mencintaiku? Berbohong untuk menjaga perasaanku? Menjaganya agar
tidak hancur seperti ini.”
“Tidak bisa,” sahut Hye Mi tanpa
mengalihkan pandangannya pada buku. “Aku tidak bisa melakukan itu. Karena itu
bisa menyakitiku dan menyiksa batinmu.”
Hye Mi tidak menatap Sungmin.
Percuma, jika ia menatap namja itu,
ia tidak bisa menahan rasa muaknya. Kenapa Sungmin begini? Sungmin sudah
berubah menjadi pengemis cinta.
“Hati ini sudah hancur sejak
bertahun-tahun dulu. Tapi makin hancur hampir tak bersisa sekarang, ketika
melihatmu sudah bisa mencintai orang lain. Dan itu bukan aku,” lanjut Sungmin.
Hye Mi menutup bukunya dengan kasar. Lalu
ia menatap Sungmin tajam. Jika tatapan bisa membunuh, mungkin Sungmin sudah
mati sekarang. “Kau tahu cintamu padaku tidak akan pernah terbalas. Kau tahu
cintaku sudah kuberikan pada orang lain. Dan kau tahu perasaanku sulit berubah
dan tidak akan pernah bisa berubah. Tapi kau masih mengatakan hal ini?” ujar
Hye Mi panjang lebar membuat Sungmin tak dapat berkata-kata lagi. “Kau tidak
kecewa pada dirimu? Masih banyak yeoja
di luar sana yang lebih pantas kaucintai dibanding menjadi ‘pengemis cinta’
untukku seperti sekarang ini. Kau mengubah pandanganku padamu dulu. Kau
sekarang berubah menjadi seorang namja
yang putus asa–––dan itu memuakkan bagiku. Mungkin kata-kataku menyakitimu,
tapi jujur ini kukatakan agar kau bisa mencari gadis lain yang bisa mencintaimu
dengan tulus.”
Sungmin menunduk. Hye Mi memasukkan
bukunya ke dalam tas. Lalu beranjak pergi meninggalkan Sungmin sendirian di
sana.
****
Seperti biasa, jam istirahat Hye Mi
isi dengan membaca buku pelajaran. Konsentrasinya buyar ketika ponselnya
bergetar. SMS? Dari siapa? Hye Mi membuka pesan itu dan matanya terbelalak
ketika melihat nama pengirimnya. Jong Woon!
“Ya, Chagi! Apa kabar? Aku di sini baik-baik saja dan keadaan ommaku sudah
semakin membaik. Aku menceritakan tentang kita pada omma, dan keluargaku sangat
ingin bertemu denganmu. Bagaimana? Kau senang?”
Senyum Hye Mi mengembang. Senyum yang
beberapa hari terakhir hilang dari wajahnya kini kembali lagi. Dengan cepat
jari-jarinya menari mengetikkan balasan untuk Jong Woon. Yak! Terkirim! Hye Mi
menggenggam ponselnya seakan sedang menggenggam tangan Jong Woon.
“Hye Mi!” seru Song Eun mengejutkan
Hye Mi.
“Ya! Lee Song Eun! Kau selalu saja
mengejutkanku!” ujar Hye Mi kesal.
“Hahaha! Mian,” kata Song Eun sambil tertawa singkat. “Kenapa dengan
wajahmu? Sepertinya senang sekali.” Song Eun menyeletuk.
“Hm? Ah, tidak.”
“Sudah, Hye Mi! Mengaku saja! Apa
yang membuatmu begitu ceria? Apa Jong Woon-oppa
sudah menghubungimu?”
Hye Mi mengangguk semangat. Sinar di
matanya dan senyumnya kembali seperti dulu. Senyum hangat dirindukan Song Eun.
“Jadi, jadi?”
Belum sempat Hye Mi menyahut ucapan
Song Eun, ponselnya kembali bergetar. Dengan antusias dibukanya SMS yang baru
masuk. “Syukurlah kalau kau baik. Wae?
Kau malu? Hahaha, kenapa malu bertemu dengan calon mertuamu sendiri? Aah… aku
merindukan suaramu. Apa kau juga merindukanku?”
“Bagaimana?” tanya Song Eun. Ia tahu
itu pasti pesan dari Jong Woon.
Hye Mi mengangkat bahunya sambil
tersenyum.
“Ya! Kau tidak mau membagi
kebahagiaanmu pada chingu-mu ini?”
omel Song Eun kesal.
Hye Mi ingin sekali menyahut ucapan
temannya itu, tapi ponselnya kembali bergetar. Telepon?
“Yoboseyo?”
“Ya!
Chagi! Kenapa lama sekali membalas pesanku?” omel suara di seberang
telepon.
Hye Mi terkekeh. “Pesanmu saja baru
masuk,” katanya.
“Oh, benarkah?”
tanya suara di seberang telepon. “Aku
rasa sudah kukirim dari tadi,” lanjutnya lagi.
“Siapa?” bisik Song Eun, takut
mengganggu percakapan mereka. “Jong Woon?” tanyanya lagi memastikan dan hanya
dijawab Hye Mi dengan anggukan.
“Benarkah? Sudah berapa lama?” tanya
Hye Mi ringan.
“Hmm…
sekitar dua menit yang lalu,” jawab Jong Woon.
“Ya! Itu kan baru dua menit!”
“Tapi
bagiku itu sudah sangat lama! Kau ini tidak peka, ya?”
Hye Mi hanya tertawa pelan. Ia
benar-benar merindukan ini. Merindukan perdebatannya dengan Jong Woon.
“Kau merindukanku?” tanyanya setelah terdiam beberapa detik.
Hye Mi mengangguk meskipun ia tahu
Jong Woon tidak dapat melihat anggukannya. “Menurutmu bagaimana?” tanyanya
bercanda.
“Baiklah, aku rasa kau sangat merindukanku sampai-sampai ingin aku segera
pulang ke sana. Dan saat kau melihatku, kau akan langsung memelukku dan
menciumku.”
Hye Mi tertawa singkat. “Aku tidak
seperti itu. Berlebihan,” ujarnya protes. “Jadi kapan Oppa akan kembali?”
“Besok
aku akan kembali. Aku tidak mau meninggalkan kuliahku lama-lama,” jawab
Jong Woon.
“Oooh….”
“Dan aku tidak tahan meninggalkanmu lama-lama. Aku sudah sangat
merindukanmu,”
lanjutnya lagi.
Pipi Hye Mi memanas. Lidahnya kaku.
“Ya… kurasa Jung Soo-oppa sudah
sangat merindukanmu,” ujarnya bercanda.
“Mwo? Jung Soo? Aiishh! Kau ini mengatakannya seolah kami ini pasangan
gay. Bukannya kau yang rindu padaku?” sahut Jong Woon kesal.
“Hahaha…. Ya ya, baiklah. Aku memang
merindukanmu. Puas?”
“Puas
sekali.”
“Aku rindu untuk memukulmu.”
“Ya! Kau ini galak sekali!” sahut Jong Woon dengan nada tinggi. “Tapi aku akan tetap kembali,” lanjutnya.
Hye Mi merasa damai mendengar
kata-kata Jong Woon yang terakhir. “Baiklah, Oppa. Aku harus masuk kelas sekarang.”
“Oh? Baiklah. Sampai jumpa!”
“Sampai jumpa!” Hye Mi menunggu
beberapa detik, tapi sambungan telepon belum juga ditutup. “Kenapa belum
ditutup?”
“Mana kisseu-nya?”
“Ya!” hardik Hye Mi kesal. Tidak
mungkin kan, ia mengucapkan suara ciuman seperti yang dilakukan kebanyakan
pasangan di depan Song Eun? Apa namja
ini mau Hye Mi diejek Song Eun habis-habisan?
“Hahaha… mian…mian. Sampai jumpa, muuaah!”
KLIK! Hye Mi menutup flap ponsel dan
memasukkannya ke dalam saku bajunya.
“Masuk? Ya, Hye Mi! Bel masuk baru
akan berbunyi sepuluh menit lagi,” ujar Song Eun sambil menopang dagu dengan
tangan kanannya.
“Mm… ya, aku tahu.” Hye Mi mengangguk.
“Lalu? Kenapa kau cepat sekali
menutup teleponnya? Bukankah kau sudah sangat merindukannya?” tanya Song Eun
lagi.
Haah… anak ini ingin tahu sekali. Hye
Mi menatap Song Eun tajam. Entah apa yang harus dijawabnya. ‘Aku takut semakin merindukannya dengan
mendengar suaranya.’
“Atau kau takut semakin
merindukannya?” tanya Song Eun memastikan.
Jleb! Tepat sasaran! Entah kenapa Hye
mi merasa kalau sahabatnya ini berbakat menjadi cenayang. Hye Mi hanya diam dan
memutar kedua bola matanya. Lalu ia kembali membuka buku pelajarannya.
“Yaah…. Back to be ‘Mrs Book Maniac’ again,” kata Song Eun dengan raut
wajah datar melihat tingkah sahabatnya itu. “Ngomong-ngomong, Hye Mi. Apa yang
kau katakan pada Sungmin kemarin?”
“Hm? Aku mengatakan apa memangnya?”
“Haah, kau ini jangan pura-pura
amnesia! Kemarin kau mengatakan apa padanya saat di café?” desak Song Eun. Ia
tahu pasti Hye Mi tidak mungkin lupa dengan kata-katanya kemarin.
“Haah… aku benar-benar lupa.”
“Kau tahu? Sekembalinya aku dari
toilet kemarin, aku melihat Sungmin menangis.”
Hye Mi mengangkat kepalanya menatap
Song Eun. “Menangis?”
“Ne,
aku tidak yakin ia menangis–––yaah kau tahu dia kan namja–––tapi ada air mata di pipinya. Matanya sembab dan merah,”
jawab Song Eun sambil menunjuk bagian wajahnya. “Memangnya kau mengatakan apa
sih?”
“Aku katakan padanya kalau dia sudah
berubah menjadi laki-laki yang memuakkan.”
“Mwo?!”
jerit Song Eun tidak percaya. “Ya! Kau ini bodoh atau apa?! Kenapa kau tega
sekali mengatakan hal itu?”
“Aku kesal padanya. Aku kesal dia
mengejarku terus. Padahal dia tahu aku sudah bersama Jong Woon sekarang.”
“Haah… kau ini benar-benar tidak
punya perasaan.”
“Hei, kalau aku tidak punya perasaan,
aku tidak akan punya pacar sekarang,” protes Hye Mi tanpa mengalihkan
pandangannya dari buku.
“Ya ya ya, jangan membuatku iri.”
****
“Bagaimana? Kau sudah
memberitahunya?”
Jong Woon menoleh pada seorang wanita
yang duduk di kursi roda. “Ne, Omma.
Aku sudah bilang padanya aku akan kembali besok.” Jong Woon menghampiri wanita
tersebut dan duduk di bangku taman yang ada di sebelah kursi rodanya.
“Kau sudah bilang kami ingin bertemu
dengannya? Apa dia keberatan?” tanya wanita itu lagi sambil menepuk pundak Jong
Woon pelan.
“Ne,
Omma. Sudah kukatakan,” jawabnya lagi. “Dan dia setuju untuk bertemu kalian
kapan-kapan.”
“Kelihatannya dia yeoja yang baik,” ujar omma sambil tersenyum lembut.
“Tentu saja, tidak mungkin aku
mencari yeoja yang tidak baik-baik.”
“Apa dia cantik?” tanya gadis yang
duduk di sebelah omma.
“Tentu saja,” jawab Jong Woon sambil
menampakkan senyum puas.
“Aku kecewa kalau dia sangat cantik
dan baik,” ujar gadis itu lagi sambil menyuapkan potongan apel pada omma.
Jong Woon langsung memasang wajah
kesal. “Ya, Kim Soon Hee! Wae?”
“Sayang sekali kalau gadis secantik
dan sebaik dia mendapatkan namja
seperti kau, Oppa,” jawab Soon Hee.
“Tunggu… apa dia pabo?” tanyanya lagi
membuat hati Jong Woon panas.
“Ya! Kau ini menyebalkan sekali! Yang
pabo itu kau! Tidak bisa menyadari
kebaikan dan ketampanan oppa-mu
sendiri!” balas Jong Woon dengan nada tinggi.
“Hah! Lihat, Omma, dia memuji dirinya sendiri!”
“Ya! Kau itu….”
“Sudah! Sudah! Kalian ini tidak
pernah akur ya,” ujar omma menengahi
perdebatan kedua anaknya itu.
“Dia yang memulai duluan, Omma,” kata Jong Woon mengadu pada omma-nya itu.
“Hah, lihat dirimu sekarang, Oppa! Kau seperti anak kecil saja
mengadu pada Omma,” sindir Soon Hee.
“Ya!”
“Sudah, sudah! Omma mau kembali ke kamar,” kata omma.
“Ne,
Omma.” Soon Hee beranjak dari tempat duduknya. Lalu ia mendorong kursi roda
omma masuk ke dalam rumah sakit dan diikuti
Jong Woon yang berjalan di belakangnya.
****
“Jadi Jong Woon akan kembali besok?”
tanya Jung Soo memastikan ucapan adik sepupunya yang sedang membaca buku di
depannya itu.
Hye Mi mengangguk tanpa mengalihkan
perhatiannya dari buku yang dipegangnya. Mulutnya masih sibuk mengunyah
biskuit, dan telinganya sibuk mendengarkan musik lewat headset putih–––meskipun ia masih bisa mendengar suara Jung Soo.
“Jadi, eottheoke?” tanya Jung Soo lagi.
Hye Mi mengangkat kepalanya untuk
memerhatikan raut wajah oppa-nya yang
sedang mengunyah cemilan itu. Ia sedikit memiringkan kepalanya dan membuka
sebelah headset yang menempel di
telinga kirinya.
“Kau bilang apa tadi?” tanyanya
mengharapkan pengulangan.
Jung Soo memutar kedua bola matanya.
“Kau ini tidak mendengarkanku? Aku bilang eottheoke?”
Jung Soo sangat benci kata-katanya tidak digubris, disimak, atau malah disuruh
mengulang.
“Apanya yang bagaimana?” Hye Mi balik
bertanya, membuat Jung Soo semakin kesal.
“Kau akan menjemputnya atau tidak?”
tanya Jung Soo. Ia mencoba meredam kekesalannya, meskipun masih terdengar
sedikit kekesalan di dalam suaranya tadi.
“Hmm… entahlah,” jawab Hye Mi
mengangkat kedua bahunya.
“Kau ini bukan yeojachingu yang baik,” sindir Jung Soo.
“Ya! Seperti kau punya yeojachingu saja!” Hye Mi balik
menyindir Jung Soo dingin.
“Hah! Jangan membalikkan
pernyataanku!” ujarnya kesal.
“Kau yang mulai duluan.”
“Baiklah… baiklah…. Namja yang baik akan mengalah duluan.”
Hye Mi terkekeh mendengar ucapan oppa-nya barusan. Ia teringat pada Jong
Woon. Namja itu tidak pernah mau
mengalah. Ia akan mengalah jika perdebatan mereka sudah panjang dan susah
diakhiri. Tapi Hye Mi menyukainya. Dia suka perdebatan itu.
“Ahjumma
lama sekali perginya. Sudah empat jam aku menemanimu di sini,” ujar Jung
Soo seraya melihat jam tangannya. “Ini sudah hampir malam.”
“Kau bisa menginap di sini kalau kau
mau. Lagipula di apartemenmu tidak ada apa-apa, kan?” sahut Hye Mi,
pandangannya masih tertuju pada buku.
“Hhh… kau mengingatkanku pada
kulkasku yang kosong melompong.” Jung Soo memakan satu biskuit lagi dan meneguk
jusnya. Ia beranjak dari tempat duduknya, lalu mengambil sesuatu dari dalam tas
ranselnya. Kemudian ia memasang headset
di kedua telinganya dan mulai hanyut dalam lagu yang sedang diputar.
Ini sudah hari kedua sejak appa kembali ke luar negeri untuk
menyelesaikan pekerjaannya yang menumpuk. Sementara omma sengaja tetap tinggal untuk mengurus Hye Mi dan menyuruh Jung
Soo mengunjungi rumah mereka sesering mungkin. Omma memang sangat ingin mempunyai anak laki-laki, karena itu Jung
Soo menjadi keponakan kesayangannya. Dan selama itu pula Jung Soo terus-terusan
membicarakan Jong Woon sehingga membuat Hye Mi semakin merindukan namja itu.
Hye Mi baru menyadari perutnya
keroncongan setelah melihat piring yang tadinya berisi biskuit sudah kosong.
Hhh… pasti namja itu yang
menghabiskannya. Hye Mi melirik Jung Soo yang sedang membaca majalah sambil
mengenakan headset di telinganya.
Lalu pandangannya beralih pada jam dinding yang sudah menunjukkan angka enam.
Ke mana omma? Benar kata Jung Soo,
sudah empat jam omma pergi.
Hye Mi meraih remote yang tergeletak di lantai. Ia menekan tombol on dan TV pun menyala. Ia memerhatikan
berita yang sedang dibacakan pembawa berita. Kecelakaan lalu lintas.
Akhir-akhir sering terjadi kecelakaan seperti itu yang disebabkan oleh supir
yang mengantuk atau mabuk. Lalu lintas? Jong Woon akan kembali besok. Hhh…
kenapa Hye Mi memikirkan hal itu? Apa hubungannya? Tidak… tidak. Jong Woon akan
pulang dengan selamat.
Tak lama setelah itu, terdengar pintu
depan dibuka dan langkah kaki seseorang.
“Omma
pulang! Apa kalian sudah lapar?”
****
Hari libur. Hye Mi benci hari libur.
Tidak ada aktivitas. Dan semua hal yang membuatnya bosan. Lagi-lagi tangannya
meraih remote yang tergeletak di atas
meja di sebelah tumpukan majalah. Dinyalakannya TV sementara Jung Soo sedang
asyik membaca majalah sambil mendengarkan musik lewat headset. Berita. Kecelakaan lalu lintas lagi.
Dan… siapa ini? Mata Hye Mi membesar.
Mulutnya sedikit terbuka. Detak jantungnya berdetak tiga kali lebih cepat dan
seluruh tubuhnya kaku. Entah bagaimana ia sudah berada di hadapan Jung Soo dan
melepas sebelah headset yang sedang
menempel di telinga namja itu.
“Ya!” teriak Jung Soo kesal. Tapi
kekesalannya langsung berubah menjadi kepanikan setelah melihat wajah shock Hye
Mi. “W… wae?” tanyanya pelan.
Hye Mi tidak menjawab, tapi dengan
cepat tangan kanannya menunjuk ke arah TV. Tertulis di sana berita kecelakaan
beberapa puluh menit yang lalu dan nama korban kecelakaan mengenaskan itu. Jung
Soo ikut-ikutan membelalakkan matanya dan spontan melempar headset dan majalah yang sedang dipegangnya.
“Kita harus ke rumah sakit, Oppa! Sekarang!” jerit Hye Mi. Suaranya
bergetar. Napasnya tak beraturan.
“N…
ne. Ahjumma, kami pergi dulu!” teriak Jung Soo berharap omma mendengar ucapannya.
“Kalian mau ke mana? Ini masih jam
11,” tanya omma yang sedang mencuci
piring di dapur.
“Tidak ada waktu untuk
menjelaskannya, Ahjumma! Mian, kami pergi dulu!”
Jung Soo dan Hye Mi sudah berada di
pintu depan dan siap-siap pergi dengan mobil Jung Soo yang terparkir di halaman
rumah. Dengan cepat mobil tersebut melaju di jalan raya menuju rumah sakit.
****
Jung Soo tidak mampu menahan berat
tubuhnya sendiri. Badannya lemas. Ia hanya terduduk di kursi yang ada di
sebelah tempat tidur. Ia tidak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya
sekarang. Begitu juga dengan Hye Mi. Tangannya yang gemetar masih menggenggam
erat tangan seorang namja yang tengah
terbaring tak berdaya di atas tempat tidur. Sebelah tangannya diberi infus dan
terdapat alat untuk bernapas di hidungnya. Terdengar suara pendeteksi jantung
di sebelah tempat tidur. Suaranya lemah sekali. Seakan mengisyaratkan tubuh namja itu sangat rentan dan lemah.
Hye Mi merapikan poni namja itu dengan jari-jari kecilnya.
Terlihat perban dengan noda merah di kepalanya. Wajahnya dipenuhi luka-luka.
Begitu pula dengan tangan kanannya. Kecelakaan itu benar-benar parah.
*****
Jong Woon lega ketika kakinya sudah
menapak di stasiun. Kota ini, kota di mana yeoja
yang sangat dirindukannya berada. Ia tidak sabar untuk melihat bagaimana
kondisi yeoja itu. Ia menghampiri
sebuah taksi dan masuk ke dalamnya. Ia mengatakan sesuatu pada supir yang duduk
di kursi depan. Setelah itu, taksi tersebut melaju di jalan raya menuju
apartemen Jong Woon.
“Kenapa macet sekali hari ini?” tanya
Jong Woon sambil mengedarkan pandangannya ke luar jendela.
“Akhir-akhir ini banyak kecelakaan
lalu lintas, Tuan,” jawab si supir sambil mengendarai taksinya dengan kecepatan
normal. “Banyak supir yang mabuk atau mengantuk dan pengendara yang
ugal-ugalan.”
Jong Woon mengangguk. Beberapa menit
kemudian telinganya menangkap suara mesin mobil dengan kecepatan yang sudah
tidak wajar semakin mendekat. Sebelum ia dapat menoleh pada sumber suara, taksi
yang ditumpanginya sudah dihantam oleh mobil hitam dari arah kanan. Mobil itu
langsung menghantam bagian mobil di mana Jong Woon duduk. Kaca mobilnya pecah,
tapi tidak dengan kaca mobil bagian depan. Untungnya si supir masih sadar dan
hanya mengalami luka ringan di tangan kirinya. Sementara Jong Woon? Namja itu tergeletak di jok belakang
dengan kepala bersimbah darah. Ia tak sadarkan diri. Bajunya bagian atas sudah
berubah warna menjadi merah. Sebagian rambut yang menutupi wajahnya basah
dengan darah.
Orang-orang yang ada di sekitar
lokasi kejadian termasuk si supir taksi langsung membawa Jong Woon ke rumah
sakit dengan sebuah mobil putih. Untungnya masih ada ahjussi baik yang berinisiatif untuk membawa Jong Woon ke rumah sakit.
****
Bibir Hye Mi bergetar. Matanya
semakin berat menahan air mata yang sejak tadi mendesak untuk keluar. Jung Soo
menyentuh pundak Hye Mi, berharap bisa menenangkannya. Tapi itu percuma. Air
mata Hye Mi akhirnya tetap keluar juga.
“Kenapa jadi begini?” ucapnya lirih
sementara air matanya sudah berlinang di pipinya. Sementara tangannya terus
menggenggam tangan Jong Woon. “Kenapa kau harus seperti ini, Oppa?” Hye Mi masih terus menangis
hingga Jung Soo tidak tahan lagi melihatnya.
Jung Soo mengelus lengan Hye Mi untuk
menenangkannya. Berharap air matanya berhenti mengalir meski ia tahu itu hanya
percuma.
Emosi Hye Mi meledak-ledak. Ia hampir
lupa dengan kesadarannya. Lupa bahwa di belakangnya ada Jung Soo yang sedang
menyentuh lengannya. Tapi Hye Mi sudah tidak tahan lagi. Emosinya memuncak.
“Bangun, Oppa!” jeritnya. “Buka matamu! Lihatlah aku di sini! Buat aku marah
dengan tingkah anehmu, Oppa! Kau tahu
betapa aku merindukanmu selama kau pergi? Dan sekarang kau seperti ini. Aku
tidak mau kau benar-benar pergi dariku.” Air mata Hye Mi terus berjatuhan. Jung
Soo yang tadinya duduk, sekarang sudah berdiri di samping Hye Mi dan merangkul
adik sepupunya itu.
“Kau lupa janjimu padaku? Kau lupa
kau akan membuatku menyukaimu, jatuh dalam pelukanmu? Dengarlah baik-baik… Kim
Jong Woon, saranghaeyo! Kau dengar? Saranghaeyo!”
Tangis Hye Mi menjadi-jadi. Air
matanya mengalir deras. Hatinya benar-benar hancur.
“Park Hye Mi! Tenanglah!”
“Ya, sekarang kau berhasil
mendapatkan hatiku. Kau puas? Kau senang? Kau ingin memelukku sekarang?”
Jung Soo memeluk Hye Mi dari samping.
Ia tidak tahan melihat sikap adiknya yang meledak-ledak. Air matanya bisa
jatuh. Temannya… temannya yang selalu membuatnya tertawa sedang terbaring tak
berdaya.
“Kenapa kau diam saja, Oppa? Kau berhasil membuatku menjadi
milikmu sekarang. Dan kau berhasil membuatku menjadi gila sekarang. Aku
benar-benar gila karenamu, Oppa….”
Tangis Hye Mi meledak. Hanya
tangisannya yang terdengar di dalam ruangan itu. Sementara Jung Soo membenamkan
wajahnya di lengan Hye Mi yang terbungkus jaket. Ia menyeka air matanya di
jaket Hye Mi.
Mereka benar-benar kacau sekarang.
Mereka sudah tidak tahan melihat Jong Woon yang begitu tak berdaya. Luka di
mana-mana dan untuk bernapas pun ia harus dibantu dengan alat. Mereka belum siap
melihat Jong Woon seperti itu. Mereka belum siap melihat senyum Jong Woon
sirna.
(to be continued)
****************
Gimana? Leave comment ya :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar