Rabu, 23 Mei 2012

I'm Sorry Oppa (Part 6)

Annyeooong! Baru bikin foto buat FF ini hehe xD *plaaak* yaudah deh, silakan dibaca yaa :D









Author      : Ifa

Cast          : Yesung a.k.a Kim Jong Woon , Park Hye Mi

Genre       : Romance
***************
Sudah hampir setengah tahun Hye Mi dan Sungmin bertunangan, dan dua bulan lagi mereka akan segera menikah. Tapi selama itu pula, Hye Mi merasa ada yang hilang dari hatinya. Seperti puzzle, ia merasa ada satu kepingan yang hilang.
Sekarang yeoja itu sudah menjadi mahasiswi di fakultas kedokteran, sedangkan Sungmin memilih bisnis dengan dorongan dari ayahnya. Meski mereka kuliah di kampus yang sama, tapi Hye Mi jarang bertemu dengan orang itu. Malah hampir tidak pernah. Ya, orang itu. Siapa lagi kalau bukan Kim Jong Woon.

Sejak setengah tahun yang lalu, Jong Woon menghindari Hye Mi, gadis yang sudah meracuni pikirannya. Gadis yang sudah  berhasil membuatnya kehilangan separuh jiwanya, gadis yang menjadi kunci keselarasan hidupnya. Dan selama itu pula, kehidupan Jong Woon seperti tidak beraturan.
Jika bukan karena Jung Soo, mungkin sekarang Kim Jong Woon hanya tinggal nama. Ya, semenjak tahu Jong Woon sudah berubah menjadi namja setengah gila, Jung Soo selalu mengunjunginya di apartemennya. Ia yang menyemangati Jong Woon untuk terus melanjutkan hidupnya, dan perlahan membantu Jong Woon untuk melupakan adik sepupunya itu walaupun ia tahu bahwa itu hal yang mustahil.

Kembali lagi pada Hye Mi. Pertunangannya dengan Sungmin telah menyelamatkan bisnis ayahnya. Ayah dan ibunya kembali ke luar negeri untuk melanjutkan pekerjaan ayahnya. Sebagai tunangan yang baik, Sungmin berinisiatif untuk menginap di rumah Hye Mi. Ah tidak… mungkin lebih tepat disebut tinggal. Karena dalam seminggu Sungmin menginap di rumah Hye Mi lebih dari tiga kali. Alasannya? Ia mengaku takut terjadi apa-apa pada Hye Mi. Tapi Hye Mi tahu bahwa namja ini hanya ingin dekat dengannya.

****

Hye Mi masuk ke dalam kamar Sungminyang… sangat berantakan. Bagaimana bisa namja ini membuat salah satu kamar di rumah Hye Mi menjadi seperti kapal pecah? Padahal rasanya baru kemarin Hye Mi membersihkannya saat Sungmin pulang untuk mengambil baju ganti. Ia melangkahkan kakinya dengan hati-hati melewati buku-buku yang berserakan di lantai menuju tempat tidur, takut-takut langkahnya dapat membuat Sungmin terbangun.

Setelah berhasil sampai di samping tempat tidur, perlahan diguncangnya pundak Sungmin yang membelakanginya. Tidak berhasil. Sekali lagi diguncangnya pundak namja itu hingga posisi tubuhnya berubah menjadi terlentang. Masih belum berhasil. Oh tidak, apakah begini cara Sungmin tidur? Bagaimana caranya membangunkan orang ini?
Hye Mi masih mengguncang pundak Sungmin. “Ya, Lee Sung Min! Ayo bangun!”
Sungmin menggeliat dan mengerang pelan, namun kedua matanya itu masih tertutup. “Omma-ya, bangunkan aku setengah jam lagi!” ujarnya seraya membetulkan posisi tidurnya dan kembali memeluk guling.
Hye Mi terkekeh pelan. “Sungmin-oppa, apa aku terlihat seperti ibumu?” tanya Hye Mi.
Sungmin membuka matanya perlahan. Setelah kedua matanya terbuka dengan sempurna, ia menggosok-gosok kedua matanya. “Hye Mi?”
“Ya, aku. Memangnya siapa lagi yang ada di rumah ini selain aku?” sahut Hye Mi seraya mengambil buku-buku yang berserakan di lantai satu persatu. “Aigoo! Bagaimana bisa kau membuat kamar ini menjadi berantakan begini selama semalam?” omel Hye Mi sambil terus memunguti buku-buku itu. “Seperti kapal pecah!”
“Hey, jangan memarahiku seperti itu. Aku jadi ingat ibuku,” ujar Sungmin membuat Hye Mi menoleh ke arahnya dan memasang tatapan evil. Lalu yeoja itu kembali membereskan buku-buku yang berserakan di lantai. “Lagipula… jam berapa ini? Aigoo, ini baru jam enam!”
“Memangnya kau mau bangun jam berapa, hah? Astaga, aku baru sadar kau ini pemalas.”

Hye Mi menyusun buku-buku tersebut di meja sehingga kamar itu sudah terlihat lebih rapi sekarang. Baru saja hendak meraih engsel pintu, tangannya sudah ditarik Sungmin.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Hye Mi gugup saat sadar tubuhnya dan tubuh Sungmin hanya berjarak beberapa centi.
“Apa tidak boleh? Bukankah ini yang biasa kita lakukan?” kata Sungmin balik bertanya. Perlahan kedua tangannya melingkar di tubuh Hye Mi.
“Hmm… ya.” Sebelah tangan Hye Mi menyentuh punggung Sungmin pelan.
“Kau kira aku mau apa?” tanya Sungmin sambil terus memeluk Hye Mi.
“Ah… ani.”
“Atau kau kira aku akan melakukan sesuatu padamu?”
“Wajahmu sedikit yadong tadi.”
Sungmin terkekeh. Ia melepas pelukannya dan keluar dari kamar itu. Sebelum menutup pintu, dia menoleh pada Hye Mi dan berkata, “Kurasa kalau kau berpikiran begitu, kaulah yang lebih pantas disebut yadong.” Ia menutup pintu dan berjalan menuju kamar mandi sambil memperdengarkan suara tawanya.

Hye Mi duduk di tepi tempat tidur sambil memijit kepalanya. Ternyata begini rasanya begadang semalaman. Ini adalah pertama kalinya Hye Mi begadang selama hidupnya. Kalau bukan karena tugas yang hampir segunung itu, ia tidak akan menahan sakit kepala yang luar biasa ini. Ahh… Dosen itu benar-benar ingin membunuh mahasiswanya. Setelah kepalanya sudah sedikit membaik, gadis itu mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar. Di sini. Di sini tempat di mana ia biasa membangunkan Sungmin selama beberapa bulan terakhir.
Ia ingat pertama kali ia membangunkan Sungmin, dan pertama kali namja itu memeluknya di kamar ini. Dan sejak saat itu, setiap pagi Hye Mi selalu membangunkan Sungmin dan menyambut pelukannya–––walaupun tidak dengan sepenuh hati. Perlahan hatinya mulai bisa menerima Sungmin, tapi tetap saja hatinya sudah terkunci oleh Jong Woon. Sungmin berada di ruang hatinya yang lain. Ruang untuk menempatkan cintanya yang baru. Cinta? Bahkan ia sendiri tidak yakin ini adalah cinta. Ini hanya perasaan sayang. Ya… Hanya sayang.

Lamunan Hye Mi buyar ketika mendengar suara pintu terbuka. Ia menoleh ke arah sumber suara dan mendapati Sungmin yang sedang berdiri sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk dan menatapnya heran.
“Kau masih di sini?” tanya Sungmin. “Kupikir kau ada di kamarmu.”
“Ah, ani. Aku masih membereskan kamarmu tadi,” elak Hye Mi.
Arraseo… Kalau begitu biarkan aku mengganti bajuku.”
Hye Mi beranjak dan keluar dari kamar itu. Masa lalu… masa lalunya terlalu panjang untuk ia ingat kembali. Ia menggeleng. Tidak… tidak… sekarang bukan waktunya untuk mengingat masa lalu.  Sekarang waktunya untuk melanjutkan kehidupannya.
****

Jong Woon terbangun oleh suara bel pintu yang sedari tadi terus berbunyi. Ia mengerang dan menggeliat di sofa. Lagi-lagi ia tertidur di sofa dengan beberapa buku yang masih terbuka di atas meja di dekatnya. Ia memicingkan matanya mencoba untuk melihat jam berapa sekarang. “Siapa yang datang pagi-pagi begini?” gumamnya pada dirinya sendiri. Kini suara bel itu berubah menjadi suara ketukan pintu. “Ya! Tunggu sebentar!” teriak Jong Woon sambil berjalan ke arah pintu dan menggosok matanya. “Tidak bisakah kau sabar sebentar?!” teriaknya lagi ketika mendengar suara ketukan pintu makin keras, hingga ia merasa pintu itu hampir roboh.

“Ya!” teriak Jong Woon ketika membuka pintu. Ia mendapati Jung Soo sedang berdiri di depan pintunya dengan tampang tak berdosa. “Kurang pagi,” sindir Jong Woon mengingat ini baru jam enam pagi.
“Kenapa lama sekali membuka pintu?” tanya Jung Soo sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen Jong Woon tanpa dipersilahkan. “Kau begadang lagi?” tanya Jung Soo setelah melihat buku-buku yang tergeletak sembarang di atas meja.
“Menurutmu?” Jong Woon menghempaskan tubuhnya di sofa dengan kedua tangannya yang direntangkan.
“Mau sampai kapan kau begini terus? Kau mau jatuh sakit, hah?” omel Jung Soo seraya membuka kulkas dan mengambil sebotol minuman.
“Lama-lama kau semakin mirip dengan ibuku,” sindir Jong Woon acuh tak acuh.

Namja bernama Park Jung Soo itu duduk di sofa yang berada tepat di depan Jong Woon sambil meneguk minuman yang ada di tangannya.
“Aku bingung bagaimana kau menghabiskan waktumu selama setengah tahun terakhir seperti ini,” ujar Jung Soo sambil menatap temannya itu dalam.
“Tapi buktinya sampai sekarang pun aku masih seperti ini, kan?”
“Sampai kapan kau mau seperti ini? Sampai kapan kau tahan?”
“Berhenti menceramahiku!” seru Jong Woon membuat Jung Soo tersentak. “Sebenarnya aku sudah tidak tahan dengan semua ini! Aku benci ini! Kenapa… kenapa….”
“Jong Woon-ah, kau tidak bisa seperti ini terus. Kau harus melupa…”
“Kenapa kau terus mendorongku untuk melupakan dia?” tanya Jong Woon memotong ucapan Jung Soo. Nada bicaranya mulai turun, namun masih ada sedikit nada dingin di dalam suaranya. “Sementara kau sendiri tahu bahwa hal itu tidak mungkin terjadi.”
Jung Soo menelan ludah. Tenggorokannya seperti tercekat mendengar nada bicara namja di depannya itu. Ia menghela napas beratnya, mencoba untuk mencairkan suasana panas yang dirasakannya. “Apa yang akan kau lakukan hari ini?” tanyanya mengingat hari ini adalah hari libur.
“Entahlah,” jawab Jong Woon sambil mengangkat kedua bahunya.
“Temani aku jalan-jalan.”
“Yaks!” Jong Woon menatap Jung Soo dengan pandangan menolak. “Kau pikir aku yeojachingu-mu?!”
“Kau mau membusuk di apartemen ini?” ujar Jung Soo dengan nada datar namun berhasil membuat Jong Woon menyetujui ajakannya itu.
Arra arra. Aku mandi dulu.”
****

Jong Woon melangkahkan kakinya dengan malas mengikuti langkah Jung Soo yang sedari tadi bolak-balik di hadapannya. Dari rak sepatu, lalu ke meja kasir. Setelah itu, pandangannya kembali tertuju pada pakaian-pakaian yang sedang menggantung, dan tak lama kemudian kembali lagi ke kasir. Begitu seterusnya sampai ia tidak lagi tertarik untuk membeli barang di toko itu. Jong Woon sudah benar-benar merasa seperti ‘kekasih’ Jung Soo sekarang. Bagaimana tidak? Sejak tadi ia hanya mengikuti Jung Soo ke toko buku dan sekarang… ke toko baju?! Apa dia sudah tidak waras atau… jangan-jangan Park Jung Soo menderita depresi karena tidak pernah pacaran? Jong Woon terus mengumpulkan pertanyaan aneh di dalam pikirannya tentang Jung Soo.
“Hey, Jong Woon-ah! Ayo kita keluar, aku sudah selesai,” ujar Jung Soo tiba-tiba.
“Aiissh, kau ini! Kau benar-benar membuatku merasa seperti pacarmu, kau tahu?” ujar Jong Woon kesal.
Jung Soo tidak mempedulikan ucapan Jong Woon. Ia terus melangkah diikuti Jong Woon dari belakangnya. Hingga akhirnya langkahnya terhenti di sebuah taman.

“Taman?” tanya Jong Woon.
“Mm… wae?” Jung Soo balik bertanya.
“Ah, aniya.” Jong Woon mengikuti Jung Soo yang duduk di kursi panjang.
Ia memutar kembali memorinya. Di sini, tempat di mana ia biasa menghabiskan waktunya bersama yeoja itu. Tempat pertama kali ia mengajaknya pergi hanya untuk menghabiskan waktunya. Pertama kali ia mengambil gambar yeoja itu yang hingga kini masih di simpannya. Ia mengambil ponselnya yang ada di dalam sakunya dan membuka flapnya. Kemudian dia membuka sebuah folder dan menemukan satu file gambar. Gerakan jarinya terhenti. Ia ragu untuk membuka file itu. Ia ragu, jika ia melihatnya lagi, apa dia bisa menghentikan sesak di dadanya? Menghentikan rasa sakit yang tak kunjung sembuh itu? Apa dia akan tahan jika rasa sakit itu makin menjadi-jadi? Apa dia bisa? Tidak… ia ragu ia bisa melakukannya. Ia menutup flap ponselnya dan memasukkannya kembali ke dalam saku celananya. Ia menoleh ke arah kanannya. Ia bahkan tidak menyadari Jung Soo sudah pergi meninggalkannya sedari tadi. Ia terlalu asyik memutar memorinya. Memori yang manis dan pedih.

BRUK!
Jong Woon menoleh dan mendapati seorang anak kecil yang terjatuh tak jauh dari tempatnya duduk. Ia menghampiri anak kecil yang sedang menangis itu.
Gwenchanayo?” tanya Jong Woon seraya berjongkok untuk menyamai tinggi badan mereka.
“Mm… gwenchana. Tapi… balonku….” jawab anak kecil itu di sela tangisnya. Ia menengadahkan kepalanya menatap balon yang sudah terbang tinggi dan kemudian hilang dari pandangannya. “Terlepas saat aku terjatuh tadi.” Ia kembali menangis.
“Sudah... Yeoja yang manis tidak boleh menangis,” ujar Jong Woon seraya mengelus puncak kepala anak itu pelan dan tersenyum.
Gwenchanayo?”
Jong Woon menoleh pada sumber suara. Dan sedetik kemudian ia ingin dunia menelannya saat itu juga.
****

Hye Mi mungkin akan mati kebosanan di rumahnya jika Song Eun tidak mengajaknya pergi selagi temannya itu mengasuh keponakannya yang masih berusia empat tahun.
“Taman?” tanya Hye Mi saat mereka bertiga sampai di sebuah taman. Taman yang dipenuhi dengan kenangan yang manis… dan juga menyakitkan.
“Memangnya kita harus membawa Ri Ah ke mana?” Song Eun balik bertanya sembari memerhatikan anak yang sedang digendongnya itu. Ya, itu Jung Ri Ah, anak dari kakak Song Eun. “Memangnya kenapa?” tanya Song Eun lagi membuat Hye Mi yang sedari tadi melamunkan kenangannya tersentak.
“Ah, aniya….”
Immo, aku ingin main ke sana,” ujar Ri Ah seraya menggoyangkan kedua kakinya pelan meminta untuk diturunkan dari gendongan.
“Baiklah, tapi jangan terlalu jauh. Dan jaga balonmu jangan sampai terlepas,” sahut Song Eun sembari menurunkan anak di gendongannya itu.
“Kau sudah cocok menjadi omma-nya, Song Eun,” ledek Hye Mi.
“Ahh, bukankah kau yang akan menikah sebentar lagi, Hye Mi?”
“Ahh, Song Eun.” Hye Mi menunduk. Ia malu.

Setelah beberapa menit, Ri Ah belum kembali. Song Eun menjadi khawatir dibuatnya.
“Ke mana anak itu? Kalau terjadi apa-apa padanya, aku bisa dibunuh eonni-ku!” ujar Song Eun panik.
“Biar aku yang mencarinya. Kau tunggu di sini saja,” kata Hye Mi.
“Maaf merepotkanmu, Hye Mi-ah,” ujar Song Eun yang hanya direspon dengan anggukan dari Hye Mi.

Hye Mi melangkahkan kakinya sambil mengedarkan pandangannya untuk mencari Ri Ah. Sesekali yeoja itu memanggil nama anak itu. Tak lama kemudian, pandangannya tertuju pada anak kecil yang sedang menangis dan pria yang mengelus kepala anak itu lembut. Ia menghampiri anak itu dan mulai membuka suaranya.
Gwenchanayo?” tanyanya. Namun napasnya seperti tercekat ketika melihat siapa namja yang bersama anak itu.
Dilihatnya namja itu juga membelalakkan mata.  Ingin sekali kakinya berlari menghindari namja ini, tapi kakinya seperti mati rasa. Ia hanya bisa berdiri mematung dengan mata yang terbelalak dan mulut yang sedikit terbuka.
“Park Hye Mi?” ucap namja itu.
Sudah lama sekali ia tidak mendengar suara itu, dan sekarang pemilik suara itu berdiri di hadapannya dan menyebut namanya.
“Ri Ah, ke mana saja kau? Imo-mu sedang mengkhawatirkanmu. Kajja,” ujar Hye Mi pada Ri Ah yang sudah bisa berdiri.

Anak itu pergi dengan setengah berlari sehingga Hye Mi hampir tertinggal jauh. Hye Mi melangkahkan kakinya dengan cepat seperti hendak berlari. Tapi langkahnya terhenti ketika namja itu meraih pergelangan tangannya. Hye Mi meronta untuk melepaskan tangan namja itu yang mencengkeram kuat tangannya.
“Lepaskan!” seru Hye Mi walau suaranya hampir seperti memohon.
Andwae,” jawab namja itu dingin.

Jong Woon tidak mengalihkan pandangannya dari Hye Mi. Tatapannya tajam. Kerinduannya telah mengalahkan akal sehat dan perasaannya. Jika kemarin ia menghindari gadis ini dengan alasan tidak ingin hatinya makin terluka, kini ia sangat merindukan sosoknya. Ia sangat merindukan setiap detail dari sosok gadis itu hingga ia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk tetap menangkap sosok itu.
Setelah cengkeraman tangan Jong Woon mulai mengendur, Hye Mi kembali menarik tangannya hingga genggaman namja itu terlepas. Dengan cepat ia mengambil langkah untuk lari. Tapi Jong Woon mengejarnya. Kenapa di saat seperti ini dia harus muncul di hadapanku? Hye Mi terus menanyakan pertanyaan yang sama dalam hatinya sambil terus berlari. Kenapa di saat hatinya mulai bisa menerima Sungmin, ia harus bertemu kembali dengan Kim Jong Woon? Dan di saat hari pernikahannya sudah semakin dekat, namja itu muncul di hadapannya. Tidak, Hye Mi belum siap. Ia tidak siap bertemu dengan namja ini.
“Hye Mi-ah! Tunggu aku!” teriak Jong Woon berharap gadis itu menghentikan langkahnya.

Jong Woon terus mengejar gadis itu hingga posisi mereka sudah tidak terlalu jauh. Kesempatan ini Jong Woon gunakan sebaik-baiknya untuk kembali meraih tangan gadis itu. Ia meraih lengan Hye Mi dan menggenggamnya kuat sehingga langkah gadis itu terhenti dan meringis kesakitan.
“Lepaskan aku!”
Andwae!” Jong Woon memegang kedua lengan Hye Mi kasar agar gadis itu menatapnya. “Kenapa kau lari?” tanyanya masih dengan suara yang terdengar kasar dan penuh tanya.
“Kumohon, lepaskan aku…” pinta Hye Mi memelas. Ia menundukkan kepalanya, tidak berani menatap Jong Woon.
“Jawab aku, Park Hye Mi! Kenapa kau lari?” tanyanya lagi dengan sedikit mengguncang tubuh kecil gadis itu. “Jawab aku!” teriaknya lagi, dan dengan nada yang lebih tinggi membuat gadis itu tak berkutik.
“Karena aku tidak mau bertemu denganmu!!” teriak Hye Mi membalas teriakan Jong Woon. Tidak terasa air matanya sudah mengalir.

Hati Jong Woon seperti dicabik-cabik mendengar gadis yang sangat ia cintai mengatakan hal yang sangat menyakitkan. Tubuhnya melemas, tapi kedua tangannya masih memegang bahu Hye Mi. “Sebegitu bencinya kau padaku?” tanya Jong Woon pelan sambil mencari-cari wajah Hye Mi dibalik rambutnya yang tergerai dan menutupi sebagian wajahnya.
“Aku… aku…”
“Begitu cepatnya kau melupakanku?” tanya Jong Woon dengan suara yang lebih lirih. “Apa hanya aku yang begitu mencintaimu, hingga hanya aku yang sampai detik ini masih belum bisa melupakanmu?”
Astaga, namja ini benar-benar ingin membunuh Hye Mi dengan pertanyaannya yang sangat menyakitkan. Hye Mi terus menundukkan kepalanya, sampai akhirnya namja itu merengkuh kedua belah pipinya agar Hye Mi mengangkat kepalanya.
“Tatap aku.”
Hye Mi menggeleng. Kedua bola matanya itu sudah digenangi air mata. Ia membuang pandangannya. Tapi lagi-lagi kedua tangan Jong Woon kembali membuat Hye Mi menatapnya.
“Sudah, hentikan…”
“Apa tempatku di hatimu sudah digantikan oleh… Sungmin?”
“CUKUP, OPPA! KUBILANG HENTIKAN!!!”
Teriakan Hye Mi terngiang di telinga Jong Woon. Tapi hal itu tidak membuatnya melepaskan tangannya dari wajah gadis itu.
“Hentikan….” Hye Mi memegang dadanya, mencoba meredam perih yang sekarang merambat masuk ke dalam hatinya.
“Aku… aku tidak bisa berhenti untuk mencintaimu…” ucap Jong Woon lirih, mencoba untuk memberi pengertian kenapa ia masih tidak mau melepaskan gadis itu. “Maaf, aku tidak bisa menuruti keadaan untuk berhenti mencintaimu….”

Perlahan bibirnya mendarat di bibir Hye Mi. Ciumannya begitu kaku, ia begitu hati-hati, karena ia takut gadis itu akan kembali menghilang. Mereka hanya bisa membeku dan mematung di posisi mereka masing-masing.
Saranghae…” bisik Jong Woon di sela-sela ciumannya.
Nado…”
Jong Woon tersentak. Matanya membuka dan menatap gadis di depannya itu dengan tatapan kaget. Tapi bibirnya masih menyentuh bibir gadis itu. Seakan ia bisa mati jika ia melepaskan ciumannya. Hanya satu kata yang keluar dari mulut Hye Mi, tapi kata itu bisa meyakinkan Jong Woon bahwa seorang Park Hye Mi masih sangat mencintainya seperti dulu.
Perlahan ia melepaskan ciumannya dan menarik Hye Mi ke dalam pelukannya. Hye Mi membalas pelukan Jong Woon, ia melingkarkan tangannya di tubuh namja itu dan membenamkan wajahnya di dada Jong Woon.
Seperti déjà vu, mereka bisa merasakan kehangatan yang sudah lama mereka tidak rasakan. Mereka mulai merasa kepingan hati mereka kembali utuh seperti semula. Tapi ada satu rasa aneh yang menyelinap ke dalam hati mereka masing-masing. Keraguan. Keraguan apakah mereka masih bisa saling memiliki seperti dulu.
“Tuhan, ijinkan aku memiliki seorang Park Hye Mi,” ujar Jong Woon lantang seakan memohon agar ucapannya dapat dikabulkan.

Dari kejauhan, Sungmin bisa melihat gadis yang sangat ia cintai sedang membenamkan tubuhnya di pelukan namja lain. Ya, namja itu. Namja yang dulu pernah memiliki hati gadis itu. Dan bahkan ia rasa namja itu masih memiliki hati Hye Mi sekarang. Ia tahu, di hati gadis itu pasti masih tersimpan sebuah nama. Kim Jong Woon.
****

“Sungmin-oppa, kau ada di sini?” tanya Hye Mi saat melihat Sungmin yang sedang duduk dan mengobrol dengan Song Eun di bangku taman.
Ne, urusanku sudah selesai,” jawab Sungmin sambil mengeluarkan senyumnya, seakan tidak terjadi apa-apa sebelumnya.
“Hye Mi, kenapa kau lama sekali kembali? Padahal Ri Ah sudah kembali sejak tadi,” tanya Song Eun membuat Hye Mi tersentak.
Ia tergagap, bingung harus menjawab apa. “Aku… aku tadi….”
“Hey, Park Hye Mi!”
Sontak Hye Mi menoleh pada sumber suara. Ia mendapati Park Jung Soo sedang berlari ke arahnya sambil membawa sebuah kantong berisi botol minuman.
Oppa?”
“Hah… kebetulan sekali aku bertemu kalian di sini,” ujar Jung Soo. Ia mengelap keringat dengan sebelah tangannya, lalu mencoba berbicara dengan napas yang mulai teratur.
Oppa sedang apa di sini?” tanya Hye Mi lagi.
“Apa kalian melihat Jong Woon?” tanya Jung Soo.
Mata Hye Mi terbelalak. “Jong Woon?”
“Tadi aku mengajaknya ke sini, tapi dia menghilang entah ke mana. Hah, dasar anak itu!” kata Jung Soo kesal.
Sungmin hanya tersenyum samar. Perlahan Hye Mi melirik tunangannya itu. Ekspresi wajahnya biasa saja, sama seperti ekspresi yang biasa Sungmin tunjukkan padanya. Tapi entah kenapa justru raut wajah seperti itulah yang Hye Mi takutkan saat ini. Bagaimana kalau Sungmin melihatnya bersama Jong Woon tadi?
“Aku melihatnya.”
Hye Mi langsung menoleh pada Sungmin. Jadi… jadi dia melihat kejadian tadi?
“Aku melihatnya di sana. Sedang duduk sendirian,” lanjut Sungmin lagi. Jari telunjuknya menunjuk ke arah sebuah tempat yang agak jauh.
“Di sana? Sedang apa anak itu di sana?” tanya Jung Soo seraya mengalihkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Sungmin.
“Entahlah,” ujar Sungmin sambil mengangkat kedua bahunya. “Aku lihat dia sedang duduk sendirian di sana.”
“Oh, arraseo. Gomawo, Sungmin-ssi. Aku ke sana dulu, annyeong!”
Jung Soo setengah berlari menuju tempat yang tadi ditunjuk Sungmin. Sungmin masih terdiam dengan senyum kecil di bibirnya. Sementara Hye Mi masih terpaku di tempatnya. Sungmin bilang Jong Woon sendirian tadi. Apa masih ada harapan untuk Hye Mi bahwa Sungmin tidak melihat kejadian tadi? Ketika  Jong Woon memeluknya?
“Hye Mi, kenapa berdiri saja? Ayo duduk,” ujar Sungmin membuyarkan lamunan Hye Mi.
“Ah? Ne,” jawab Hye Mi seraya duduk di sebelah Sungmin.
Perlahan sebelah tangan namja itu merangkul Hye Mi. Ya… bukankah ini yang biasa dilakukan setiap pasangan? Apalagi mereka sudah bertunangan dan akan segera menikah.
Hah, mengingat fakta bahwa seorang Lee Sung Min adalah tunangannya dan sebentar lagi mereka akan menikah, membuat dada Hye Mi sesak. Ada sesuatu yang aneh di sana. Seperti… perasaan tidak rela. Tidak rela? Hye Mi mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri dalam benaknya, kenapa perasaan tidak rela itu muncul kembali setelah hampir setengah tahun menghilang? Kenapa perasaan tidak rela itu muncul setelah Hye Mi mulai bisa menerima kenyataan ini? Kenyataan bahwa Sungmin adalah tunangannya… Kenapa? Ternyata benar. Melihat wajah namja itu––Jong Woon––hanya akan membuat Hye Mi semakin menginginkannya. Menginginkannya kembali seperti dulu. Dada Hye Mi semakin sesak. Sangat sesak mengingat kenyataan yang menentang keinginan nuraninya itu. Hal itu… hal itu tidak mungkin bisa terjadi. Kim Jong Woon dan dirinya tidak mungkin bisa kembali seperti dulu.
****

“Aku… aku bertemu dengannya,” ujar Jong Woon tiba-tiba membuat Jung Soo tak mengerti.
Mwo? Kau ini bicara apa? Aku bertanya kenapa kau ada di sini sendirian, tapi kenapa kau menjawab hal lain?” Jung Soo balik bertanya sambil membuka botol minuman dan meneguk isinya.
“Tadi aku bertemu dengannya lagi... Park Hye Mi,” ujar Jong Woon lagi sambil terus menatap lurus rumput yang ada di bawah kakinya dengan pandangan kosong.
Jung Soo hampir saja menyemburkan air yang sudah ada di dalam mulutnya, jika ia tidak cepat-cepat menahan bibirnya mengeluarkan air itu kembali. Dengan susah payah ditelannya air itu. Masih dengan raut wajah terkejut, ia mulai bersuara. “M-mwo? Hye Mi?” tanyanya.
“Dialah penyebab aku pergi dari tempat kita tadi. Dia berlari saat melihatku, dia bilang dia tidak mau bertemu lagi denganku.” Jong Woon berbicara dengan nada merenung. Pandangannya masih kosong menatap rumput hijau di bawah kakinya. Pikirannya kembali menerawang kejadian tadi. Sakit. Sakit sekali mendengar gadis itu bilang tidak ingin bertemu dengan dirinya lagi.
“Lalu?”
“Aku mengejarnya.”
“Dan?”
“Aku berhasil menahannya dan mulai berbicara dengannya. Dan seperti yang kubilang tadi, dia bilang tidak ingin bertemu denganku.” Jong Woon mulai menampakkan raut wajah sedih bercampur putus asa dan pasrah.
“Hye Mi bilang begitu?” tanya Jung Soo yang hanya dijawab dengan sebuah anggukan pelan oleh Jong Woon.
“Tapi aku tahu dia masih mencintaiku.”
Mwo? Dari mana kau tahu? Bukankah kau bilang dia tidak mau bertemu denganmu lagi?”
“Itu karena… aku tadi… men…”
Jung Soo sedikit mendekatkan wajahnya pada wajah Jong Woon. Ia menunggu jawaban Jong Woon yang kelihatannya sangat susah untuk dijawab.
“Aku tadi…”
“Kau tadi kenapa?” tanya Jung Soo penasaran, menuntut sebuah jawaban.
“Aku… men… men….” Wajah Jong Woon langsung berubah. Kesadarannya kembali. “Ah! Sudahlah! Ini tidak penting!” ujarnya sambil mengalihkan pandangannya dari Jung Soo yang ada di sebelahnya.
“Aiishh! Kau ini! Beri tahu aku kenapa kau bisa tahu dia masih mencintaimu!”
“Karena aku bilang aku mencintainya, dan dia menjawabnya! Puas?” jawab Jong Woon meskipun dengan nada bicara yang tidak dengan sepenuh hati.
“Lalu, kau tadi mau bilang apa? Kau bilang kau tadi ‘men’? ‘Men’ apa? Kau mau melakukan apa pada adikku tadi?” tanya Jung Soo lagi membuat Jong Woon tak berkutik.
Jong Woon makin tergagap. Ia mencoba mencari-cari kalimat yang bisa menyangkal fakta bahwa ia mencium gadis itu tadi. Tapi hasilnya? Jalan buntu. “Bukan urusanmu, Park Jung Soo! Ayo pulang! Aku sudah tidak tahan berada di sini denganmu,” seru Jong Woon dengan tampang kesal agar dapat menutupi rasa gugupnya.
Mwo? Kenapa?” tanya Jung Soo tak terima.
“Karena aku merasa kau memperlakukanku seperti ‘pacar’mu dari tadi pagi,” jawab Jong Woon dengan nada sedatar-datarnya dan tatapan sinis.
“Aiiish! Jinjja! Aku masih normal, Jong Woon-ah!”
“Oh, begitu? Syukurlah,” sahut Jong Woon dengan nada mengejek mencoba untuk menghilangkan kegugupannya. “Tunggu apa lagi? Ayo pulang!”
****

“Sungmin-oppa, makan malamnya sudah siap,” ujar Hye Mi sambil mengetuk pintu kamar Sungmin.
Tak lama kemudian namja itu muncul di balik pintu dengan sweater abu-abu. “Kau sudah mau makan, ya?” tanya Sungmin yang langsung Hye Mi balas dengan sebuah anggukan.
Senyuman Sungmin melebar. Sebelah tangannya langsung merangkul pundak Hye Mi. “Ayo makan,” ujarnya.

Mereka makan dalam diam. Tidak ada yang memulai obrolan, hanya suara sendok dan garpu yang beradu di atas piring yang menghiasi ruangan itu. Sungmin terus memerhatikan Hye Mi. Akhirnya ia mulai membuka suaranya, “Bukankah Jung Ri Ah sangat manis?”
Hye Mi mengangkat kepalanya sehingga ia bisa memandang wajah Sungmin. “Mm… ne. Dia lucu,” jawab Hye Mi sambil memperlihatkan senyumnya.
Sungmin tidak lagi merespon ucapan Hye Mi, ia hanya tersenyum sambil terus menatap gadis itu. Memang inilah yang sangat ia inginkan. Obrolan ringan dengan makan malam yang tenang. Kehidupan seperti ini yang selalu ia idam-idamkan. Lalu, apa lagi yang dia inginkan? Kenapa hatinya bertambah sakit ketika melihat wajah gadis ini?
“Apa ada yang salah denganku?” tanya Hye Mi saat sadar Sungmin menatapnya.
“Tidak,” jawab Sungmin singkat. Ia kembali menyuapkan makanan ke dalam mulutnya.
“Bagaimana urusanmu tadi?” tanya Hye Mi lagi.
“Sudah selesai.” Sungmin kembali diam. Setelah beberapa menit terdiam dia mulai membuka suaranya kembali. “Besok aku akan pulang.”
Arraseo.”
“Jangan menungguku.”
Hye Mi menghentikan makannya. Ia mengangkat kepalanya dan menatap Sungmin. Apa dia tidak salah dengar?
Mwo?” tanya Hye Mi meminta penjelasan.
“Aku tidak akan kembali selama beberapa hari,” jawab Sungmin sambil tersenyum samar.
“Tapi… kenapa?”
“Hmm… entahlah.”
Entahlah? Dengan mudahnya dia mengucapkan itu?
“Mungkin aku akan memberimu waktu untuk berpikir,” kata Sungmin lagi.
“Berpikir? Apa maksudmu?”
“Kau masih mencintai dia, kan?” tanya Sungmin. “Kim Jong Woon?”
Hye Mi tersentak. Namja ini… kenapa namja ini bertanya seperti itu?
“Tapi…”
“Aku tahu kau masih mencintainya, Hye Mi.”
“Aku…”
“Aku melihatnya.”
Mwo?”
“Aku melihat semuanya,” kata Sungmin membuat Hye Mi ingin dunia menelannya saat itu juga.
“Se… semuanya?” kata Hye Mi dengan mata terbelalak.
Sungmin mengangguk pelan tanpa menghapus senyuman dari wajahnya. “Aku mengerti perasaanmu. Karena itu aku ingin kau menenangkan diri selama aku tidak ada. Kau pasti masih terkejut bertemu dengannya, kan?”
“Tapi, Sungmin-oppa….” kata Hye Mi pelan. “Aku mohon jangan pergi.”
Kali ini giliran Sungmin yang tersentak. Apa dia tidak salah dengar? Gadis ini mencegahnya pergi? “Apa?”
“Aku tidak ingin kau pergi,” kata Hye Mi mengulangi ucapannya. “Bagaimana aku bisa tenang jika kau pergi?”
Sungmin kembali tersenyum. Ia menggenggam tangan Hye Mi yang tergeletak di atas meja makan. “Baiklah, aku tidak akan pergi,” ujarnya sambil terus tersenyum.
Apa ini saatnya ia melepaskan Hye Mi? Melepaskan cinta yang sudah lama ia kejar? Hanya sesingkat inikah Tuhan mengijinkannya memiliki seorang Park Hye Mi? Kenapa… kenapa dirinya tidak boleh memiliki gadis ini lebih lama? Kenapa….
****
(to be continued)

1 komentar: