Unspoken
Love [1/2]
Author
:
Ifa Raneza
Cast
:
-Kai (Kim
Jong In)
-Kris
-Shin Nara
-Jang Young
Hee
-Oh Sehun
-Jung Jae Rin
Genre
:
Horror, Comedy(?), Angst, Romance
** ** **
I love you..
But I can’t say it on time.
“Nara!”
Jong-in menoleh ke arah yeoja yang baru saja meneriakkan nama paling berpengaruh dalam
sistem kerja otaknya. Ia menatap yeoja
yang berlari kecil itu hingga tatapannya berhenti pada yeoja berambut pendek sebahu yang dihampiri yeoja itu.
“Waeyo?”
tanya Nara dengan suara khasnya yang langsung membuat Jong-in menahan nafasnya.
“Jang songsaenim
menyuruhmu untuk menemuinya sepulang sekolah nanti,” jawab yeoja itu dengan nafasnya yang masih
sedikit tersengal.
“Oh.. Kukira ada apa.. Ne, gomawo infonya,” ujar
Nara sembari mengukir senyumnya sebelum ia membalikkan badannya dan
meninggalkan tempat itu.
Pada saat itu juga, Jong-in merasa seluruh
melemas. Ia merasa sangat berterima kasih kepada Tuhan yang sudah memberinya
garis takdir untuk hidup pada zaman yang sama dengan Nara. Ia merasa seluruh
tubuhnya mati rasa, terbukti ia tidak menyadari Sehun sudah berada di
sebelahnya saat namja itu menepuk
bahunya.
“Hey, kau tahu tidak? Aku rasa akhir-akhir ini
aku sedikit kesepian,” ujar Sehun setelah ia menepuk bahu temannya itu sambil
menatap orang-orang yang berlalu lalang di koridor dengan tatapan murung. “Kau
mau tahu penyebabnya? Eoh? Kau pasti
mau, ya? Yaah… Itu karena Jaerin sedang pergi ke luar kota,” ujar Sehun yang
mulai bercerita sebelum diminta.
Sehun menghela nafas beratnya, lalu tatapannya
beralih pada Jong-in yang ternyata belum sadar dari keterpesonaannya akan sosok
Nara yang telah berlalu. Sehun sedikit bergidik ngeri melihat wajah bodoh
temannya itu yang lebih terlihat seperti mayat hidup. Bayangkan saja, ditepuk
berapa kali pun, Jong-in tetap belum sadar bahwa di sebelahnya kini telah
berdiri teman seperjuangannya, Oh Sehun.
“Yaak, Jong-in! Kau kenapa?” tanya Sehun yang
mulai khawatir pada temannya yang satu ini. Ia mulai berpikir bahwa Jong-in
sedang dirasuki roh jahat, seperti yang sering Jaerin katakan padanya.
“KIM JONG IIIIIN, JANGAN BILANG KAU SEDANG
KERASUKAN SEKARANG!!!” teriak Sehun tepat di telinga kanan Jong-in ditambah
dengan ia mengguncang keras tubuh Jong-in yang tampak lemah itu. Yup, Jong-in
langsung melonjak kaget, bahkan saking kagetnya ia sampai hampir terjatuh ke
belakang kalau saja ia tidak berpegangan pada Sehun.
“Yaak! Kau mau membuatku tuli!?” omel Jong-in
sambil menggosok-gosok telinga kanannya.
“Salahmu sendiri melamun seperti orang bodoh
begitu,” ujar Sehun santai dengan tampang tak berdosanya.
“Mwo?!
Kau pikir kau itu pintar, hah? Kalau tidak karena aku, kau tidak akan lulus
saat tes Bahasa Inggris kemarin!” ujar Jong-in kesal sambil menoyor kepala
Sehun secara bertubi-tubi.
“Issh… Nilaiku yang kau bantu itu hanya nilai
pas-pasan!” sahut Sehun setelah menyingkirkan tangan Jong-in yang menoyor
kepalanya, lalu merapikan tatanan rambutnya yang ia anggap sebagai rambut
terindah sepanjang masa(?). “Aku malah mengira kau sedang kerasukan.”
Jong-in memutar kedua bola matanya jengah. “Sudah
kubilang jangan terlalu sering bergaul dengan Jaerin, sekarang kau malah
pacaran dengannya,” komentar Jong-in seraya berbalik dan berjalan santai menuju
kelasnya.
“Mwo?!”
ucap Sehun tak terima. Ia berbalik dan menyusul langkah Jong-in, lalu
bersikeras membela pacar kesayangannya itu. “Memangnya kau kira Jaerin itu apa,
hah? Dia adalah belahan jiwa yang sudah lama aku cari,” ujarnya sambil
merentangkan tangannya serta mengubah mimik wajahnya menjadi seperti wajah
telenovela.
“Apa kemampuan indera keenamnya itu tidak
membuatnya risih, heh?” tanya Jong-in sambil bersandar pada ambang pintu.
Sehun mengerjapkan matanya, lalu menggeleng
dengan polosnya. “Memangnya kenapa?” ia balik bertanya.
“Kau mau tahu?” ucap Jong-in dengan suara sok
misteriusnya.
Dan sekali lagi dengan polosnya Sehun mengangguk.
Jong-in memajukan kepalanya perlahan, membuat
Sehun sedikit berjengit ke belakang karena merasa risih dengan sikap namja abnormal itu. “Bisa saja roh-roh
jahat yang sering pacarmu usir itu malah mengikutimu. Mereka ingin balas dendam
karena telah diusir secara tidak hormat oleh Jung Jae Rin, belahan jiwamu itu,”
ujarnya masih dengan suara sok misterius yang dibuat-buat, membuat Sehun
langsung membulatkan matanya dan dengan reflek menampar pipi mulus temannya
itu.
PLAK!
“Auuww…” ringis Jong-in karena pipi tak
berdosanya baru saja ditampar oleh Tuan Oh Sehun yang bodoh ini.
“Yaak! Kau pikir Jaerin kesayanganku itu apa,
hah? Pemburu hantu? Dia hanya mengusir roh jahat yang sering mengganggu orang
lain! Dasar kau ini!” omel Sehun dengan wajah telenovelanya yang dibuat-buat,
membuat Jong-in ingin segera menelannya hidup-hidup kalau saja bel masuk tidak
segera berbunyi.
“Awas kau, Oh Sehun…”
** ** **
Jong-in memandang resah Sehun yang dengan
sukacita mengangkat telepon dari Jaerin secara sembunyi-sembunyi saat Jang songsaenim, guru killer yang mampu
menelan berpuluh-puluh siswa di depannya sekaligus itu menjelaskan sejarah
peradaban manusia di jaman purba. Sungguh Jong-in ingin sekali memukul kepala
temannya itu dengan palu sehingga bisa menormalkan cara kerja otaknya yang
sangat tidak memperhitungkan apa yang bisa terjadi jika guru killer itu
memergokinya sedang asyik mengobrol melalui ponsel.
“Kau tahu? Aku sangat merindukanmu, chagiya~”
Jong-in hampir saja memuntahkan isi perutnya jika
ia tidak menahannya dengan sekuat tenaga saat kalimat paling menjijikkan itu
keluar dari mulut Sehun. Ditambah lagi gestur Sehun yang sangat menyerupai
laki-laki setengah jantan(?). Ternyata benar, apapun bisa mengubah seseorang
jika hal itu berhubungan dengan cinta.
Hal itu juga terjadi pada Jong-in, tepat saat ia
pergi ke perpustakaan dengan terpaksa karena tugasnya yang menumpuk dan
mempertemukannya dengan yeoja yang ia
anggap sebagai malaikat penyelaras hidupnya, Shin Nara. Sejak saat itu semuanya
berubah, mulai dari cara makan, cara tidur, cara belajar, sampai cara mandi.
Semuanya dimulai dengan memikirkan yeoja
bernama Shin Nara itu, yang membuat semua aktifitas Jong-in menjadi berjalan
lebih lambat dari biasanya.
“Kau tahu, Jaerin-ah? Sepertinya tadi Jong-in
kerasukan roh jahat seperti yang kau katakan padaku.. Mwo? Aniyo, sepertinya
dia kerasukan hantu bodoh. Dia sama sekali tidak mau berbicara dan hanya
melamun seperti orang bodoh. Aneh sekali, bukan?” ucap Sehun dengan tampang tak
bersalahnya dan tidak memperhitungkan keberadaan orang yang bersangkutan di
sebelahnya.
“Yaak… Kau mau mati, Sehun-ah?!” bisik Jong-in
dengan penuh dendam. Pensil yang ada di dalam genggamannya hampir saja patah
karena menahan emosi. “Berikan padaku!” ujarnya sembari merebut ponsel Sehun
secara paksa.
“Mwo? Aniyo, hey!” Sehun berusaha merebut
kembali ponselnya itu dengan wajah ketidakrelaannya. “Hey, kembalikan!”
“Dengar, Jaerin-ah,” ujar Jong-in serius. “Jangan
racuni pikiran temanku yang sudah bodoh ini dengan kemampuan indera keenammu.
Dan oh, satu lagi. Aku sama sekali tidak kerasukan, jangan percaya dengan
ucapan pacar anehmu ini. Arraseo?”
KLIK!
Dengan kejam Jong-in menekan tombol merah pada
ponsel Sehun yang langsung membuat kedua matanya membulat dan bibirnya
membentuk O besar. Ia menatap Jong-in yang tengah tertawa setan dengan tatapan
tak percayanya.
“Kau–– Apa yang kau lakukan???” tanya Sehun
dengan gaya histeris khasnya yang selalu membuat Jong-in tertawa puas.
Jong-in hanya tertawa setan menanggapi ucapan
temannya, ia mereka tidak menyadari kehadiran seseorang yang akan membuat tawa
maupun tangisan histeris mereka terhenti seketika.
TEP..
Jong-in merasakan sebuah tangan menepuk
pundaknya. Mereka berdua menoleh ke belakang secara perlahan. Dan saat
mendapati Jang songsaenim sedang
berdiri menatap mereka dengan mata elangnya yang siap untuk menelan mereka
sekaligus.
“Kalian berdua ikut saya ke kantor!!!” teriaknya
yang langsung membuat Jong-in dan Sehun mengangguk serempak.
“Masalah lagi…” bisik mereka yang lebih ditujukan
pada diri mereka sendiri.
** ** **
“Kim Jong In, Oh Sehun, kalian dihukum
membersihkan toilet saat pulang sekolah!”
Jong-in rasanya ingin menjambak rambut indah
Sehun yang berwarna cokelat cerah itu saat ia mengingat titah Jang songsaenim yang membuatnya harus
mengorbankan rencana yang sudah ia susun sejak seminggu yang lalu, rencana
menguntit Shin Nara demi mendapatkan alamat rumahnya.
Mengingat gagalnya rencana yang sudah ia susun
rapi, Jong-in semakin jengkel hingga tanpa sadar ia menyikat lantai toilet
dengan ganas. Ini semua karena Sehun! Jika saja ia tidak mengganggu konsentrasi
Jong-in, pastilah mereka tidak akan berakhir di tempat ini dengan hukuman
mematikan(?) dari Jang songsaenim.
“OH SEHUN, KUBUNUH KAU!!!” teriak Jong-in yang terdengar
jelas di seluruh penjuru toilet itu.
“Hei, jangan berteriak…” ujar Sehun dengan
suaranya yang terdengar bergetar.
Jong-in menyembulkan kepalanya di pintu toilet
untuk melihat apa yang terjadi pada teman seperjuangannya itu. Sehun tampak
menjatuhkan sikat yang tadi ia pegang untuk membersihkan lantai toilet. Dari
wajahnya terlihat ia tengah menahan sakit dengan sebelah tangannya yang
memegangi perutnya. Dia terlihat sangat kesakitan.
“Kau kenapa, Sehun-ah? Gwaenchanayo?” tanya Jong-in cemas dengan tetap bertahan dalam
posisinya.
“Perutku sakit…” jawab Sehun dengan sesekali
meringis menahan sakit yang menyerang perutnya. “Aku belum makan siang,” akunya
yang membuat Jong-in panik.
“Mwo?
La..lalu…”
Belum sempat Jong-in berkata-kata, Sehun bangkit
dari lantai dan bergegas pergi dari toilet itu, meninggalkan Jong-in yang masih
terpaku di tempatnya.
“Aku pulang dulu! Aku akan mati di sini jika aku
tidak segera pulang. Dan semoga Tuhan membalas jasamu yang sudah mau
menyelesaikan hukuman ini sampai akhir tanpaku. Gomawo, Jong-in ah!”ujar
Sehun sebelum ia benar-benar kabur dari hadapan Jong-in yang bisa saja
menelannya sewaktu-waktu.
Sepeninggalan Sehun, Jong-in hanya bisa meremas
sikat yang ada di tangannya sambil mendesis pelan. Lalu yang terdengar hanyalah
teriakan Jong-in yang menggelegar.
“KAU AKAN KUBUNUH, OH SEHUN!!! KUBUNUUUUUHHHH!!!”
** ** **
“Akh, sial..” gumam Nara saat ia menyadari bahwa
sekarang tidak lagi siang melainkan sudah menjelang sore. Dan jika ia tidak
segera pulang awan gelap akan segera menurunkan titik-titik hujan yang
membuatnya kesulitan untuk pulang.
Ini semua karena ia harus menghadap Jang songsaenim sebelum pulang untuk
membicarakan olimpiade Fisika yang akan ia ikuti pada akhir tahun ini. Hah..
andai saja ia bisa membuang jauh-jauh kemampuannya dalam Fisika itu, ia akan
segera melakukannya sejak dulu. Tapi dengan kinerja yang menurutnya biasa saja
itu, otaknya selalu bisa mencerna soal-soal Fisika tersulit sekalipun dengan
cepat. Bakat alami mungkin.
Gadis itu semakin mempercepat langkah kakinya
saat ia menyadari bahwa ia sudah banyak membiarkan waktu berlalu sebelum hujan
benar-benar turun. Namun usahanya itu hanya membuatnya menabrak seseorang yang
lebih tinggi darinya karena terlalu sibuk mengamati jam tangan yang melingkari
pergelangan tangannya.
Ia sedikit meringis saat merasakan nyeri pada
hidungnya karena wajahnya yang menubruk dada orang itu hingga mereka berdua
terjatuh di lantai.
“Mianhae…
Aku tidak sengaja,” ujar namja itu
sambil bangkit dan hendak mengulurkan tangannya pada Nara.
Tapi saat pandangan mereka bertemu tatapan namja itu menjadi begitu aneh. Ia
seperti menatap hantu, ia terlihat begitu terkejut dengan apa yang ia lihat
saat ini. Dan yang harus ia simpan dalam memorinya saat ini adalah.. ia baru
saja bertabrakan dengan Shin Nara! Bukankah itu bagus? Dengan begitu ia bisa
mulai berbicara dengan gadis populer ini.
“Aku yang harusnya minta maaf..” sahut Nara
sambil memunguti tasnya yang ikut terjatuh.
Namja itu menggaruk belakang kepalanya yang tidak
gatal, terlihat seperti salah tingkah saat mendengar suara Nara untuk pertama
kali ditujukan padanya.
Nara melirik tangan kanan yang tadinya namja ulurkan namun kini berada di
belakang kepalanya.
“Tolong bantu aku berdiri,” pinta Nara tanpa mengurangi
kesopanan dalam suaranya.
Namja itu tampak sedikit tersentak dengan permintaan Nara.
Namun dengan cepat ia segera mengulurkan tangan kanannya untuk Nara dan
membantu gadis iu berdiri.
“Gomawo,”
ujar Nara sambil membersihkan seragamnya yang sedikit kotor terkena debu. “Aku
rasa kita sering bertemu. Tapi di mana, ya?” ucap Nara sambil memerhatikan
wajah namja itu.
Di saat yang bersamaan wajah namja itu terlihat sedikit merona yang Nara tidak tahu apa
penyebabnya. Namja itu menundukkan
kepalanya, seperti takut kedua mata Nara akan mengeluarkan sinar mematikan jika
ia menatapnya.
“Ah, benar. Kita memang sering bertemu,” gumam
Nara tanpa bosan memerhatikan setiap inci wajah namja itu.
Namja itu menatap Nara dengan tatapan tak percayanya.
“Di..di mana?” tanyanya sedikit gugup.
Nara mengendikkan bahunya. “Entahlah, aku juga
lupa,” jawabnya yang membuat bahu namja
itu sedikit turun, melemas. Kecewa mungkin?
“Namaku Shin Nara,” ujar Nara sambil mengulurkan
tangan kanannya.
Namja itu tidak langsung menjabat tangan Nara, ia
sedikit berpikir lalu mulai membalas uluran tangan Nara. “Jong-in… Kim Jong
In,” sahutnya sambil menjabat tangan Nara pelan.
“Ah, jadi namamu Jong-in..” gumam Nara sambil
memperlihatkan lengkungan indah di bibirnya yang membuat Jong-in tersipu malu.
Belum sempat namja
itu menikmati waktu bersama Nara, gadis itu kembali tersadar dengan waktu yang
berjalan maju dan awan gelap yang sebentar lagi akan memuntahkan hujannya.
“Akh.. Aku harus pulang sekarang. Sampai jumpa
lagi, Jong-in ah! Maaf aku sudah
menabrakmu tadi,” ujar Nara cepat seraya berlari meninggalkan Jong-in yang
masih terdiam mematung di tempatnya.
Tak lama setelah sosok Nara tak terlihat lagi
dalam jangkauan pandang Jong-in, ia terjatuh dengan kesadarannya yang tidak
terkumpul sepenuhnya. Kebahagiannya saat ini adalah perkenalan langsungnya
dengan Nara. Yaah, harus ia akui, ia harus berterima kasih pada Sehun sekarang.
** ** **
“Sial…” gerutu pria berparas nyaris tanpa cela itu
saat titik-titik hujan berhasil membasahi kemeja kerjanya yang hampir kusut.
Ia sudah berlari secepat yang ia bisa sampai di
halte bus, tapi sayangnya hujan turun lebih cepat dari kecepatan larinya yang
bisa dibilang di atas rata-rata. Kini sebagian kemeja birunya basah dan membuat
tubuhnya sedikit menggigil saat dirasakannya angin sore yang bertiup di
sekitarnya.
“Sudah jam berapa ini?” gumamnya gusar.
Ia takut adiknya akan tiba lebih dulu di rumah
sementara kuncinya ada bersamanya. Bagaimana kalau adiknya kedinginan karena
menunggunya di teras rumah? Pria itu semakin gusar memikirkan keadaan adiknya
di tengah hujan deras seperti ini. Ia mengacak rambutnya yang sedikit lepek
karena air hujan dengan kasar, tepat saat bus baru saja tiba dan ia tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Ia langsung melompat ke dalam bus dan mencari bangku paling
nyaman untuk menunggu bus ini tiba di halte berikutnya.
Masih dengan pikirannya yang sedikit kacau
memikirkan adiknya yang juga sedang berusaha pulang dengan menembus hujan deras
ini, ia merasakan suatu kejanggalan dalam dirinya. Ia seperti melewati sesuatu,
tapi apa? Ia berpikir keras sampai akhirnya ia sendiri lelah karena tidak juga
menemukan jawabannya. Pria itu mengendikkan bahunya dan memilih untuk
menenangkan pikirannya, melupakan masalah yang membebankan pikirannya saat ini.
** ** **
“Rumahmu di mana?” tanya Jong-in dengan sedikit
berteriak sambil terus mengayuh sepedanya dengan kecepatan di atas rata-rata.
“Mwo?” yeoja yang diboncengnya itu balik
bertanya, jelas sekali ia tidak mendengar ucapan Jong-in dengan jelas di tengah
hujan lebat seperti ini.
“Aku bilang rumahmu di mana?” teriak Jong-in
mengulangi pertanyaannya.
“Rumahku jauh dari sini,” jawab yeoja itu dengan rasa penyesalan dalam
nada bicaranya.
“Bagaimana kau pulang?”
“Mollayo…”
Jong-in memutar otaknya untuk membantu yeoja pujaan hatinya ini agar tidak
terus-terusan terguyur hujan lebat yang bisa membuatnya sakit seperti ini.
Akhirnya ia menemukan ide yang menurutnya baik tapi tidak terlalu baik untuk yeoja itu. Tapi setidaknya hal ini bisa
membantunya agar tidak kehujanan lebih lama lagi.
“Rumahku di dekat sini. Bagaimana kalau kau
mampir ke rumahku dulu? Aku janji tidak akan berbuat macam-macam,” ujar Jong-in
sambil terus mengayuh sepedanya dengan kencang.
Yeoja bernama Nara itu mengangguk walaupun ia tahu
Jong-in tidak bisa melihatnya. Kemudian ia melingkarkan kedua tangannya di
pinggang Jong-in dengan erat, membuat Jong-in sedikit terperangah dengan sikap yeoja ini. Bagaimana pun Nara tidak
terbiasa dengan kecepatan sepeda Jong-in seperti sekarang.
“Arraseo,
aku tidak punya pilihan lain lagi!” ujar Nara yang hampir tenggelam dalam suara
hujan yang tidak memiliki rasa toleransi ini.
Sekali lagi Jong-in merasa ia perlu mengucapkan
beribu kata terima kasih pada Sehun yang membuatnya bisa dikenal oleh Nara.
Betapa membahagiakannya ini.
“Hyuuuuuuunggg!!!”
teriak Jong-in memanggil kakaknya dari teras rumah yang membuat Nara langsung
menutup kedua telinganya jika ia belum ingin tuli di usianya yang kurang dari
20 tahun.
“Ngg… Jong-in
ssi, aku rasa kakakmu akan mendengarmu walaupun kau tidak berteriak sekeras
itu,” komentar Nara dengan sedikit terkekeh yang lagi-lagi membuat kedua pipi
Jong-in merona merah, persis seperti anak perempuan yang baru saja ditembak
oleh seorang namja.
“Ah, ne..
Maaf..” ucap Jong-in sambil tersenyum malu.
Nara menggeleng. “Kau tidak salah.”
Lalu keduanya sama-sama terkekeh saat suasana
canggung mulai menyelimuti mereka.
“Kau kedinginan?” tanya Jong-in saat menyadari
bibir Nara mulai gemetar.
Nara hanya mengangguk menjawab pertanyaan
Jong-in, yang kemudian membuat Jong-in kembali meneriakkan nama hyung-nya dengan kejam.
“Aish, Jong-in ah, aku tidak tuli,” omel seorang pria muda yang membukakan pintu
untuk mereka.
Jong-in memicingkan matanya menatap kakaknya yang
ia anggap bodoh itu.
“Kalau tidak tuli kenapa baru membuka pintunya
sekarang?” cibirnya yang tidak kakaknya itu pedulikan.
“Kau membawa siapa?” tanya kakaknya sambil
mempersilakan Nara masuk dan segera membawakan mereka handuk untuk mengeringkan
diri mereka masing-masing.
“Ini temanku,” jawab Jong-in sembari mengeringkan
rambutnya dengan handuk. “Nara-ssi,
ini kakakku, Kris-hyung.”
“Shin Nara imnida,”
ujar Nara sambil membungkukkan badannya pada pria bernama Kris itu.
“Kris imnida.”
“Hey, kau mau pinjam bajuku? Seragammu basah,”
ujar Jong-in sambil menarik tangan Nara pelan menuju kamarnya yang terletak di
sudut ruangan itu.
“Apa tidak apa-apa?” tanya Nara sedikit sungkan
dengan tawaran Jong-in yang sebenarnya baik.
Jong-in menggeleng. “Pakailah. Nanti kau sakit,”
ujarnya sambil menyodorkan jeans dan T-shirt pada Nara.
Lalu ia keluar dari kamar itu dengan membawa
pakaian ganti untuk dirinya sendiri.
Perlahan sudut bibir Nara tertarik ke atas dan
kembali membuat lengkungan indah itu muncul di garis bibirnya.
“Baik sekali,” bisiknya pada dirinya sendiri
sambil menatap pakaian yang Jong-in berikan padanya.
** ** **
“Hhh…”
Untuk kesekian kalinya Kris menghela nafasnya
dengan lelah. Ia tidak tahu kenapa ia merasa kurang nyaman. Dia memang sudah
biasa dengan perasaan anehnya ini sejak lama. Tapi entah kenapa hari ini ada
yang berbeda, entah apa. Tapi Kris berharap itu bukan sesuatu yang aneh ataupun
buruk.
“Wae, Hyung? Kau sudah hampir lima kali
menghela nafas,” tanya Jong-in yang baru saja keluar dari kamar hyung-nya itu saat mendapati Kris dengan
tatapan murungnya mengaduk teh yang dibuatnya.
Kris menoleh ke arah Jong-in dengan senyuman
tidak-apa-apa-nya.
“Aku baik-baik saja,” ujarnya menenangkan
Jong-in.
“Tapi sikapmu itu tidak menandakan dirimu sedang
tidak apa-apa, Hyung. Kau sakit?”
kata Jong-in seraya dengan cueknya mengambil teh yang baru Kris buat dan
meneguknya. “Oh iya, teh ini buatku, kan?” tanyanya polos setelah meneguk teh
itu hampir setengahnya.
Kris mengacak rambut basah adiknya dengan gemas.
“Seharusnya kau tanyakan itu sebelum meminumnya, Jong-in ah,” ujarnya. “Benar, itu untukmu. Dan berikan cangkir yang itu
pada temanmu, dia pasti kedinginan.”
“Ne, Hyung. Astaga, kau baik sekali,” ujar
Jong-in seraya membawa secangkir teh untuk Nara yang masih berada di kamarnya
sambil tertawa lepas. Namja yang
aneh.
Kris memejamkan matanya saat hawa dingin menyapu
kulit tengkuknya. Ia sedikit merinding saat hawa aneh itu terasa begitu nyata
pada kulit putihnya. Ia mengatur nafasnya saat ia mulai merasa tidak nyaman
dengan hawa dingin itu. Kemudian ia membuka matanya dan kembali menghela nafas
lega saat hawa dingin itu tidak lagi terasa pada kulitnya.
“Ini pasti efek hujan tadi,” gumamnya. Lalu ia
berjalan masuk ke dalam kamarnya sambil membawa secangkir teh yang ia buat
untuk dirinya sendiri.
** ** **
“Aissh… Kenapa hujannya belum juga berhenti?”
tanya Nara pada dirinya sendiri. Ia sedikit kesal karena sampai malam begini
pun hujan masih saja begitu lebat. Bagaimana bisa ia pulang?
Ia memandangi jalanan yang basah karena hujan
dari jendela kamar Jong-in sambil memeluk lututnya. Ia memang sudah mengirimkan
pesan untuk orang tuanya agar tidak mengkhawatirkan dirinya karena belum juga
pulang di jam segini, tapi tetap saja ia merasa kurang nyaman jika harus
‘menumpang’ di rumah Jong-in terlalu lama.
“Kau kenapa?” tanya Jong-in yang sejak entah
kapan sudah duduk di sebelahnya.
Nara menoleh sekilas pada Jong-in dan menggeleng
lemah. “Aku tidak apa-apa,” jawabnya pelan. Ia menghela nafasnya pelan, lalu
kembali memandangi jalanan yang basah akibat hujan yang belum juga berhenti.
“Apa kau masih kedinginan?” tanya Jong-in lagi
tanpa mengurangi rasa cemasnya.
“Aku tidak apa-apa, Jong-in ah,” jawab Nara sambil tersenyum menenangkan. Yah, senyuman
kesukaan Jong-in.
Jong-in terpaku menatap senyuman Nara yang begitu
menghipnotisnya. Baginya tidak ada ilmu hipnotis yang lebih membahayakan
dibandingkan senyuman Nara. Senyuman gadis itu mampu membuatnya melupakan
segalanya.
“Jong-in, kenapa menatapku seperti itu?” tanya
Nara saat ia merasa bingung karena namja
itu belum juga bosan menatapnya sejak semenit yang lalu.
Jong-in mengerjapkan matanya saat Nara menarik
kesadarannya kembali ke dunia nyata. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak
gatal seraya mengalihkan perhatiannya pada jalanan di luar sana. Gaya khasnya
saat sedang gugup.
“Aku..” ucap Jong-in pelan. “Aku mengagumimu,”
akunya.
“Hm?” gumam Nara memancing Jong-in untuk
bercerita lebih banyak.
“Kau sangat cantik, pintar, dan baik. Aku rasa
tidak ada alasan untuk tidak mengagumimu,” ucap Jong-in dengan senyum tipisnya tanpa
mau membalas tatapan Nara, tatapannya tetap lurus menatap langit gelap yang
masih menurunkan titik-titik hujan di luar sana. Senyuman pertama yang membuat Nara
terpaku.
“Kau.. sangat mengagumkan, Nara-ah… Tidak ada
alasan untukku tidak mengagumimu,” gumam Jong-in mengulangi ucapannya sendiri.
Ia menundukkan kepalanya sebentar, lalu menatap
Nara masih dengan senyum tipisnya. Kini ia mendapati kedua bola mata Nara
tertuju tepat pada kedua manik matanya, membuatnya perlahan-lahan menghapus
senyumannya dan merasakan betapa cepatnya jantungnya berpacu.
“Aku tidak merasa begitu,” ucap Nara setelah
beberapa detik membuat Jong-in menahan nafanya. Ia menunduk sambil tersenyum
getir. “Aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan. Apa yang bisa kuandalkan
dalam hidupku. Entahlah, tapi aku rasa aku tidak melakukan sesuatu yang
berlebihan di dalam hidupku. Aku bahkan tidak menyadari kelebihan yang ada di
dalam diriku,” ucapnya kemudian.
Jong-in mengerjapkan matanya mendengar ucapan
Nara. Ia tidak menyangka kepribadian Nara yang sesungguhnya adalah seperti ini.
Selalu merendah.
“Tapi bagiku kau sangat mengagumkan,” ujar
Jong-in pelan.
“Gomawo…”
sahut Nara sambil menarik sudut bibirnya ke atas, membentuk seulas senyuman
tulus. “Kau namja yang baik,” ucap
Nara tanpa menghapus senyumannya.
Jong-in kembali mengerjapkan matanya yang tampak
membulat lebar. Ia tidak menyangka gadis di hadapannya kini memuji dirinya.
Mencap dirinya sebagai namja yang
baik termasuk salah satu pujian yang menurutnya paling membahagiakan dari Nara.
Kali ini ia malah sekuat tenaga menahan dirinya untuk tidak meloncat kegirangan
dan bersujud pada saat itu juga. Ia terlalu bahagia untuk saat ini.
“Jong-in ah,
makan malam sudah siap!” ujar Kris dari luar kamar.
Jong-in tersadar dari pikirannya sendiri, lalu
beranjak keluar kamar.
“Makan malam sudah siap. Ayo, bergabung bersama
kami. Kita makan malam bersama,” ujar Jong-in sebelum ia menutup pintu
kamarnya. Ia sekuat tenaga menahan dirinya untuk tidak membiarkan rona merah
menghiasi pipinya saat ia mengatakan kalimat itu. Ia merasa ia sedang mengajak
Nara untuk berkencan.
“Ah, ne.”
Nara beranjak dan menghampiri Jong-in, lalu
mereka berjalan menuju ruang makan, menyusul Kris yang sudah duduk di sana dan
bersiap untuk melahap makan malamnya.
“Waah… Kris-oppa
yang memasak semuanya?” tanya Nara sambil menatap kagum makanan yang terhidang
di atas meja.
Kris tersenyum mendengar pujian Nara, dan
menjawab. “Tentu saja. Mana mau Jong-in yang pemalas ini memasak untukku.” Ia
melirik Jong-in yang tengah mendelik kesal ke arahnya yang dengan seenaknya
menjelek-jelekkan dirinya di depan Nara.
“Ah, sudahlah. Ayo, makan,” ujar Jong-in dengan
moodnya yang mendadak menurun.
Baru saja Nara hendak duduk di hadapan Kris,
Jong-in dengan hebohnya buru-buru menarik kursi itu dan mengambilkan nasi serta
lauk yang Nara inginkan. Tapi hasilnya yang makanan yang ia ambil malah terlalu
banyak dan membuat Nara dan Kris menatapnya aneh.
“Kau kenapa? Tidak biasanya kau seperti ini,”
tanya Kris masih dengan wajah melongonya menatap Jong-in yang bersikap aneh.
“M..mwo?
Aku tidak aneh. Kau saja yang aneh, enak saja mengataiku aneh,” elak Jong-in
seraya mengambil makanannya sendiri, lalu melahapnya tanpa ampun.
Kris sekali lagi terpaku menatap adiknya yang
tengah berusaha mengunyah makanan dengan kasar. Ia sedikit bergidik ngeri
melihat cara makan Jong-in yang semakin aneh. Perlahan ia mengusap dadanya
sendiri sambil menelan ludahnya dengan susah payah, merasa ngeri dengan
pemandangan di depannya. Sementara Nara hanya diam sambil menikmati makan
malamnya, tidak mau ambil pusing dengan cara makan Jong-in.
TING… TONG…
“Aissh.. Siapa yang datang malam-malam begini?”
gumam Kris seraya bangkit dari duduknya dan hendak beranjak ke pintu depan.
Tapi Jong-in mencegahnya dan menyuruhnya untuk
tetap duduk.
“Biar aku saja,” ujarnya seraya bergegas berjalan
menuju pintu depan dan membukakan pintu untuk si tamu tak diundang itu.
“Jong-in
aaaah…!”
Jong-in langsung menyipitkan matanya menatap
orang di depannya dengan malas, sementara orang itu tetap mengembangkan
senyuman tak berdosanya. Belum sempat Jong-in mempersilakannya masuk, orang itu
langsung melewatinya dan berjalan ke ruang tamu.
“Yaa,
untuk apa kau kemari?” tanya Jong-in jengah.
Baru saja ia hendak meloncat kegirangan karena di
rumahnya ada seorang Nara, si aneh Sehun malah datang menghancurkan makan
malamnya yang indah.
“Wae?
Kau tidak suka aku datang? Aku hanya ingin melihat keadaanmu. Aku kira kau pingsan
di toilet karena kelelahan membersihkan semuanya,” jawabnya polos sambil
membuka jas hujannya dan mengukir senyum permintaan maafnya yang membuat
Jong-in ingin segera menendangnya keluar.
“Hey, apa ada tamu lain selain aku?” tanya Sehun
heboh saat melihat sepasang sepatu di depan pintu.
Jong-in menggumam tidak jelas mengiyakan
pertanyaan Sehun.
“Aish, siapa?”
“Shin Nara.”
Sehun membulatkan kedua matanya mendengar jawaban
Jong-in, dan ia langsung meloncat ke arah Jong-in dan menjabat tangannya dengan
ganas.
“Chukkaeyo,
Chingu! Akhirnya keinginanmu
terkabul! Aku turut bahagia jika kau bahagia,” ucapnya sambil terus menjabat
tangan Jong-in dengan berlebihan.
“Yaak, hentikan!” sungut Jong-in sambil menyentak
tangan Sehun yang terus menjabat tangannya dengan ganas hingga membuat
tangannya sedikit pegal.
Tapi beberapa detik kemudian ia dan Sehun segera
berpelukan, lalu meloncat kegirangan ke kiri dan kanan sambil bersenandung.
“Aku sedang sangat bahagia~” senandungnya yang
dibalas Sehun dengan tawa kebahagiaan.
Sekali lagi Sehun memeluknya dan mereka
berputar-putar sambil terus berpelukan, sampai akhirnya terdengar bunyi gaduh
dari ruang makan.
Aktifitas mereka terhenti. Jong-in menatap tangan
Sehun yang masih melingkar di tubuhnya dengan sinis. Lalu ia bergumam menyuruh
makhluk aneh itu untuk segera melepaskannya. Sehun segera mengambil langkah
mundur, lalu tersenyum aneh sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya
menunjukkan tanda ‘peace’.
“Ada apa? Apa hyung-mu
melakukan kekerasan pada Nara?” bisik Sehun paranoid dengan nada bicara khas
telenovelanya yang membuat Jong-in benar-benar ingin menendangnya sejauh
mungkin.
“Auww…” ringis Sehun sambil mengusap kepalanya
yang terkena jitakan maut dari Jong-in.
“Kau kira kakakku berani melakukan hal itu pada yeoja?” ucap Jong-in sinis seraya
berjalan menuju ruang makan yang diikuti Sehun dari belakang.
Dengan gestur ketakutan, Sehun mengekor di
belakang Jong-in. Dan…
“Yaa!!!
Nara ssi, apa yang kau lakukan pada
Kris-hyung? Ka..kau mau apaaa???!!!”
teriak Sehun kaget bercampur ketakutan saat melihat Nara dengan brutalnya naik
ke atas kursi dan menatap Kris dengan tajam.
Keadaan sekeliling ruang makan sangat berantakan.
Gelas-gelas dan piring berjatuhan dari tempatnya. Rambut Nara juga tidak serapi
tadi, beberapa helainya menutupi sebagian wajahnya yang tampak ganas.
Sementara itu Jong-in terpaku menatap Nara yang
berdiri lebih tinggi darinya. Ia menganga lebar, tidak percaya dengan apa yang
dilihatnya.
“Jong-in ah…
Jong-in ah! Apa yang kau lakukan?
Kenapa diam saja?” tanya Sehun panik sambil mengguncang pundak Jong-in dengan
keras.
Jong-in tersentak, lalu berjalan ke arah Nara dan
hendak menarik tangannya agar segera turun dari kursi.
“Nara-ah,
ayo tu–– AAARRGGHH!!!”
Jong-in berteriak sekuat tenaga saat tangan Nara
menyentak tangannya dan menjambak rambutnya tanpa ampun. Kris dan Sehun semakin
membulatkan kedua mata mereka menatap pemandangan menakjubkan(?) di hadapan
mereka.
“Jangan coba-coba menghentikan aku!!!” teriak
Nara dengan suaranya yang sedikit menakutkan.
Sementara itu sebelah tangannya masih menjambak
rambut Jong-in yang lebih rendah darinya, membuat Jong-in semakin berteriak
dengan suaranya yang hampir menyerupai wanita. Lain halnya dengan Sehun, ia
malah berniat memeluk Kris saking takutnya, tapi itu tidak mungkin karena ia
takut Kris akan mencapnya sebagai gay dan melaporkannya pada Jaerin.
“Hyung,
tolong aku!!!” teriak Jong-in dengan wajah memelas yang menurut Sehun sangat
menjijikkan.
Kris memutar otaknya, ia tidak bisa berpikir
jernih sekarang. Sebelum ia menemukan ide untuk menghentikan aksi brutal Nara,
Sehun maju dan menghempas tangan Nara yang menjambak rambut Jong-in. Lalu ia
menarik tangan Nara dengan kasar agar turun dari kursi dan segera menampar pipi
kirinya dengan cukup keras.
Jong-in yang masih kaget dengan sikap Sehun
menangkap tubuh Nara yang ambruk karena tiba-tiba kehilangan kesadarannya
setelah mendapatkan tamparan dari Sehun.
“Bawa dia ke kamar,” ujar Kris dengan tampang
paniknya dan segera membantu Jong-in membawa Nara ke kamar.
“OH SEHUN, BERANINYA KAU MENYAKITI NARA-KU!!!!”
jerit Jong-in murka seraya mencekik Sehun dengan kejam.
“Argh… Dengarkan aku dulu.. Arghh… Aku tidak
bermaksud .. begitu…” ucap Sehun membela diri dengan terputus-putus karena lehernya
masih berada dalam cengkeraman tangan Jong-in.
“Kau sungguh sangat berani, Oh Sehun…” desis
Jong-in tanpa mau melepaskan leher Sehun.
“Hey, jangan berisik,” ujar Kris yang membuat
Jong-in segera melepaskan Sehun dan membuat Sehun terbatuk karenanya.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Hyung?” tanya Jong-in pada Kris yang
duduk di pinggir ranjang, di sisi tubuh Nara yang terbaring lemas.
“Aku juga tidak tahu pasti. Tiba-tiba saja dia
menjatuhkan sumpitnya dan saat aku ingin memberinya sumpit yang baru, dia menatapku
dengan tajam. Aku bahkan bergidik ngeri melihat tatapannya,” jelas Kris sambil
membayangkan tatapan mengerikan Nara yang ia lihat tadi.
“Apa sangat mengerikan, Hyung?” tanya Sehun yang langsung mendapat jitakan dari Jong-in.
“Yaa!”
jerit Jong-in tak terima.
Kris mengangguk mengiyakan ucapan Sehun.
Sehun menjetikkan jarinya bak seorang detektif.
“Sudah kuduga,” gumamnya serius.
“Apanya?” tanya Jong-in dan Kris bersamaan.
“Nara kerasukan roh jahat,” jawab Sehun dengan
tampang seriusnya yang membuat Jong-in ingin sekali memukulnya, tapi ditahan
oleh Kris.
“Hentikan pikiran paranoidmu, Sehun-ah!” ujar
Jong-in jengah dengan sikap paranoid temannya yang satu ini.
Sehun menggeleng pelan.
“Biarpun aku masih kurang mengerti, tapi aku tahu
ciri-ciri orang yang kerasukan. Apalagi apa kau tidak sadar sikap Nara tadi
sangat aneh?” ujar Sehun sambil menatap Jong-in dengan serius.
Jong-in mengangguk pelan. “Tapi hantu mana yang
merasuki Nara? Apa hantu itu punya dendam pada Nara?” tanya Jong-in bingung.
“Mollayo,
aku juga kurang tahu.”
“Sudah kubilang jangan bergaul dengan Jaerin,
tapi kini hantu jahat itu malah mendekatimu dan akhirnya mendekati Nara,” gumam
Jong-in yang membuat wajah telenovela Sehun kembali terlihat.
“Mwo?”
“Coba kau pikir, Nara kerasukan tepat saat kau
datang. Apalagi kalau bukan karena kau adalah penyebabnya?” ujar Jong-in sambil
menjulurkan lidahnya pada Sehun yang menatapnya dengan tatapan memelas.
“Kau jahat sekali,” gumam Sehun sambil mencebikkan
bibirnya.
“Hantu, ya…” gumam Kris seraya memandang wajah
lesu Nara yang masih tertidur di sampingnya.
-To be
continued-
Yap!
Ini FF request dari temen aku yang ngefans bgt sama EXO..
Shin
Nara di sini itu Dhea Isti (seneng kan lu name lu disebut? -____-)
Awalnya
aku kirain dia bakal marah kalo genre nya Horror, tapi tak disangka dia malah
kesenengan -___-
okelah,
tunggu aja Part 2 nya ya :D :D
Gomawoooo~!
^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar