Minggu, 16 Desember 2012

Unspoken Love [1/2]




Unspoken Love [1/2]


Author : Ifa Raneza

Cast :
-Kai (Kim Jong In)
-Kris
-Shin Nara
-Jang Young Hee
-Oh Sehun
-Jung Jae Rin

Genre : Horror, Comedy(?), Angst, Romance

** ** **

I love you..
But I can’t say it on time.





“Nara!”
Jong-in menoleh ke arah yeoja yang baru saja meneriakkan nama paling berpengaruh dalam sistem kerja otaknya. Ia menatap yeoja yang berlari kecil itu hingga tatapannya berhenti pada yeoja berambut pendek sebahu yang dihampiri yeoja itu.
Waeyo?” tanya Nara dengan suara khasnya yang langsung membuat Jong-in menahan nafasnya.
“Jang songsaenim menyuruhmu untuk menemuinya sepulang sekolah nanti,” jawab yeoja itu dengan nafasnya yang masih sedikit tersengal.
“Oh.. Kukira ada apa.. Ne, gomawo infonya,” ujar Nara sembari mengukir senyumnya sebelum ia membalikkan badannya dan meninggalkan tempat itu.
Pada saat itu juga, Jong-in merasa seluruh melemas. Ia merasa sangat berterima kasih kepada Tuhan yang sudah memberinya garis takdir untuk hidup pada zaman yang sama dengan Nara. Ia merasa seluruh tubuhnya mati rasa, terbukti ia tidak menyadari Sehun sudah berada di sebelahnya saat namja itu menepuk bahunya.
“Hey, kau tahu tidak? Aku rasa akhir-akhir ini aku sedikit kesepian,” ujar Sehun setelah ia menepuk bahu temannya itu sambil menatap orang-orang yang berlalu lalang di koridor dengan tatapan murung. “Kau mau tahu penyebabnya? Eoh? Kau pasti mau, ya? Yaah… Itu karena Jaerin sedang pergi ke luar kota,” ujar Sehun yang mulai bercerita sebelum diminta.
Sehun menghela nafas beratnya, lalu tatapannya beralih pada Jong-in yang ternyata belum sadar dari keterpesonaannya akan sosok Nara yang telah berlalu. Sehun sedikit bergidik ngeri melihat wajah bodoh temannya itu yang lebih terlihat seperti mayat hidup. Bayangkan saja, ditepuk berapa kali pun, Jong-in tetap belum sadar bahwa di sebelahnya kini telah berdiri teman seperjuangannya, Oh Sehun.
“Yaak, Jong-in! Kau kenapa?” tanya Sehun yang mulai khawatir pada temannya yang satu ini. Ia mulai berpikir bahwa Jong-in sedang dirasuki roh jahat, seperti yang sering Jaerin katakan padanya.
“KIM JONG IIIIIN, JANGAN BILANG KAU SEDANG KERASUKAN SEKARANG!!!” teriak Sehun tepat di telinga kanan Jong-in ditambah dengan ia mengguncang keras tubuh Jong-in yang tampak lemah itu. Yup, Jong-in langsung melonjak kaget, bahkan saking kagetnya ia sampai hampir terjatuh ke belakang kalau saja ia tidak berpegangan pada Sehun.
“Yaak! Kau mau membuatku tuli!?” omel Jong-in sambil menggosok-gosok telinga kanannya.
“Salahmu sendiri melamun seperti orang bodoh begitu,” ujar Sehun santai dengan tampang tak berdosanya.
Mwo?! Kau pikir kau itu pintar, hah? Kalau tidak karena aku, kau tidak akan lulus saat tes Bahasa Inggris kemarin!” ujar Jong-in kesal sambil menoyor kepala Sehun secara bertubi-tubi.
“Issh… Nilaiku yang kau bantu itu hanya nilai pas-pasan!” sahut Sehun setelah menyingkirkan tangan Jong-in yang menoyor kepalanya, lalu merapikan tatanan rambutnya yang ia anggap sebagai rambut terindah sepanjang masa(?). “Aku malah mengira kau sedang kerasukan.”
Jong-in memutar kedua bola matanya jengah. “Sudah kubilang jangan terlalu sering bergaul dengan Jaerin, sekarang kau malah pacaran dengannya,” komentar Jong-in seraya berbalik dan berjalan santai menuju kelasnya.
Mwo?!” ucap Sehun tak terima. Ia berbalik dan menyusul langkah Jong-in, lalu bersikeras membela pacar kesayangannya itu. “Memangnya kau kira Jaerin itu apa, hah? Dia adalah belahan jiwa yang sudah lama aku cari,” ujarnya sambil merentangkan tangannya serta mengubah mimik wajahnya menjadi seperti wajah telenovela.
“Apa kemampuan indera keenamnya itu tidak membuatnya risih, heh?” tanya Jong-in sambil bersandar pada ambang pintu.
Sehun mengerjapkan matanya, lalu menggeleng dengan polosnya. “Memangnya kenapa?” ia balik bertanya.
“Kau mau tahu?” ucap Jong-in dengan suara sok misteriusnya.
Dan sekali lagi dengan polosnya Sehun mengangguk.
Jong-in memajukan kepalanya perlahan, membuat Sehun sedikit berjengit ke belakang karena merasa risih dengan sikap namja abnormal itu. “Bisa saja roh-roh jahat yang sering pacarmu usir itu malah mengikutimu. Mereka ingin balas dendam karena telah diusir secara tidak hormat oleh Jung Jae Rin, belahan jiwamu itu,” ujarnya masih dengan suara sok misterius yang dibuat-buat, membuat Sehun langsung membulatkan matanya dan dengan reflek menampar pipi mulus temannya itu.
PLAK!
“Auuww…” ringis Jong-in karena pipi tak berdosanya baru saja ditampar oleh Tuan Oh Sehun yang bodoh ini.
“Yaak! Kau pikir Jaerin kesayanganku itu apa, hah? Pemburu hantu? Dia hanya mengusir roh jahat yang sering mengganggu orang lain! Dasar kau ini!” omel Sehun dengan wajah telenovelanya yang dibuat-buat, membuat Jong-in ingin segera menelannya hidup-hidup kalau saja bel masuk tidak segera berbunyi.
“Awas kau, Oh Sehun…”

** ** **

Jong-in memandang resah Sehun yang dengan sukacita mengangkat telepon dari Jaerin secara sembunyi-sembunyi saat Jang songsaenim, guru killer yang mampu menelan berpuluh-puluh siswa di depannya sekaligus itu menjelaskan sejarah peradaban manusia di jaman purba. Sungguh Jong-in ingin sekali memukul kepala temannya itu dengan palu sehingga bisa menormalkan cara kerja otaknya yang sangat tidak memperhitungkan apa yang bisa terjadi jika guru killer itu memergokinya sedang asyik mengobrol melalui ponsel.
“Kau tahu? Aku sangat merindukanmu, chagiya~”
Jong-in hampir saja memuntahkan isi perutnya jika ia tidak menahannya dengan sekuat tenaga saat kalimat paling menjijikkan itu keluar dari mulut Sehun. Ditambah lagi gestur Sehun yang sangat menyerupai laki-laki setengah jantan(?). Ternyata benar, apapun bisa mengubah seseorang jika hal itu berhubungan dengan cinta.
Hal itu juga terjadi pada Jong-in, tepat saat ia pergi ke perpustakaan dengan terpaksa karena tugasnya yang menumpuk dan mempertemukannya dengan yeoja yang ia anggap sebagai malaikat penyelaras hidupnya, Shin Nara. Sejak saat itu semuanya berubah, mulai dari cara makan, cara tidur, cara belajar, sampai cara mandi. Semuanya dimulai dengan memikirkan yeoja bernama Shin Nara itu, yang membuat semua aktifitas Jong-in menjadi berjalan lebih lambat dari biasanya.
“Kau tahu, Jaerin-ah? Sepertinya tadi Jong-in kerasukan roh jahat seperti yang kau katakan padaku.. Mwo? Aniyo, sepertinya dia kerasukan hantu bodoh. Dia sama sekali tidak mau berbicara dan hanya melamun seperti orang bodoh. Aneh sekali, bukan?” ucap Sehun dengan tampang tak bersalahnya dan tidak memperhitungkan keberadaan orang yang bersangkutan di sebelahnya.
“Yaak… Kau mau mati, Sehun-ah?!” bisik Jong-in dengan penuh dendam. Pensil yang ada di dalam genggamannya hampir saja patah karena menahan emosi. “Berikan padaku!” ujarnya sembari merebut ponsel Sehun secara paksa.
Mwo? Aniyo, hey!” Sehun berusaha merebut kembali ponselnya itu dengan wajah ketidakrelaannya. “Hey, kembalikan!”
“Dengar, Jaerin-ah,” ujar Jong-in serius. “Jangan racuni pikiran temanku yang sudah bodoh ini dengan kemampuan indera keenammu. Dan oh, satu lagi. Aku sama sekali tidak kerasukan, jangan percaya dengan ucapan pacar anehmu ini. Arraseo?”
KLIK!
Dengan kejam Jong-in menekan tombol merah pada ponsel Sehun yang langsung membuat kedua matanya membulat dan bibirnya membentuk O besar. Ia menatap Jong-in yang tengah tertawa setan dengan tatapan tak percayanya.
“Kau–– Apa yang kau lakukan???” tanya Sehun dengan gaya histeris khasnya yang selalu membuat Jong-in tertawa puas.
Jong-in hanya tertawa setan menanggapi ucapan temannya, ia mereka tidak menyadari kehadiran seseorang yang akan membuat tawa maupun tangisan histeris mereka terhenti seketika.
TEP..
Jong-in merasakan sebuah tangan menepuk pundaknya. Mereka berdua menoleh ke belakang secara perlahan. Dan saat mendapati Jang songsaenim sedang berdiri menatap mereka dengan mata elangnya yang siap untuk menelan mereka sekaligus.
“Kalian berdua ikut saya ke kantor!!!” teriaknya yang langsung membuat Jong-in dan Sehun mengangguk serempak.
“Masalah lagi…” bisik mereka yang lebih ditujukan pada diri mereka sendiri.

** ** **

“Kim Jong In, Oh Sehun, kalian dihukum membersihkan toilet saat pulang sekolah!”


Jong-in rasanya ingin menjambak rambut indah Sehun yang berwarna cokelat cerah itu saat ia mengingat titah Jang songsaenim yang membuatnya harus mengorbankan rencana yang sudah ia susun sejak seminggu yang lalu, rencana menguntit Shin Nara demi mendapatkan alamat rumahnya.
Mengingat gagalnya rencana yang sudah ia susun rapi, Jong-in semakin jengkel hingga tanpa sadar ia menyikat lantai toilet dengan ganas. Ini semua karena Sehun! Jika saja ia tidak mengganggu konsentrasi Jong-in, pastilah mereka tidak akan berakhir di tempat ini dengan hukuman mematikan(?) dari Jang songsaenim.
“OH SEHUN, KUBUNUH KAU!!!” teriak Jong-in yang terdengar jelas di seluruh penjuru toilet itu.
“Hei, jangan berteriak…” ujar Sehun dengan suaranya yang terdengar bergetar.
Jong-in menyembulkan kepalanya di pintu toilet untuk melihat apa yang terjadi pada teman seperjuangannya itu. Sehun tampak menjatuhkan sikat yang tadi ia pegang untuk membersihkan lantai toilet. Dari wajahnya terlihat ia tengah menahan sakit dengan sebelah tangannya yang memegangi perutnya. Dia terlihat sangat kesakitan.
“Kau kenapa, Sehun-ah? Gwaenchanayo?” tanya Jong-in cemas dengan tetap bertahan dalam posisinya.
“Perutku sakit…” jawab Sehun dengan sesekali meringis menahan sakit yang menyerang perutnya. “Aku belum makan siang,” akunya yang membuat Jong-in panik.
Mwo? La..lalu…”
Belum sempat Jong-in berkata-kata, Sehun bangkit dari lantai dan bergegas pergi dari toilet itu, meninggalkan Jong-in yang masih terpaku di tempatnya.
“Aku pulang dulu! Aku akan mati di sini jika aku tidak segera pulang. Dan semoga Tuhan membalas jasamu yang sudah mau menyelesaikan hukuman ini sampai akhir tanpaku. Gomawo, Jong-in ah!”ujar Sehun sebelum ia benar-benar kabur dari hadapan Jong-in yang bisa saja menelannya sewaktu-waktu.
Sepeninggalan Sehun, Jong-in hanya bisa meremas sikat yang ada di tangannya sambil mendesis pelan. Lalu yang terdengar hanyalah teriakan Jong-in yang menggelegar.
“KAU AKAN KUBUNUH, OH SEHUN!!! KUBUNUUUUUHHHH!!!”

** ** **

“Akh, sial..” gumam Nara saat ia menyadari bahwa sekarang tidak lagi siang melainkan sudah menjelang sore. Dan jika ia tidak segera pulang awan gelap akan segera menurunkan titik-titik hujan yang membuatnya kesulitan untuk pulang.
Ini semua karena ia harus menghadap Jang songsaenim sebelum pulang untuk membicarakan olimpiade Fisika yang akan ia ikuti pada akhir tahun ini. Hah.. andai saja ia bisa membuang jauh-jauh kemampuannya dalam Fisika itu, ia akan segera melakukannya sejak dulu. Tapi dengan kinerja yang menurutnya biasa saja itu, otaknya selalu bisa mencerna soal-soal Fisika tersulit sekalipun dengan cepat. Bakat alami mungkin.
Gadis itu semakin mempercepat langkah kakinya saat ia menyadari bahwa ia sudah banyak membiarkan waktu berlalu sebelum hujan benar-benar turun. Namun usahanya itu hanya membuatnya menabrak seseorang yang lebih tinggi darinya karena terlalu sibuk mengamati jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya.
Ia sedikit meringis saat merasakan nyeri pada hidungnya karena wajahnya yang menubruk dada orang itu hingga mereka berdua terjatuh di lantai.

Mianhae… Aku tidak sengaja,” ujar namja itu sambil bangkit dan hendak mengulurkan tangannya pada Nara.
Tapi saat pandangan mereka bertemu tatapan namja itu menjadi begitu aneh. Ia seperti menatap hantu, ia terlihat begitu terkejut dengan apa yang ia lihat saat ini. Dan yang harus ia simpan dalam memorinya saat ini adalah.. ia baru saja bertabrakan dengan Shin Nara! Bukankah itu bagus? Dengan begitu ia bisa mulai berbicara dengan gadis populer ini.
“Aku yang harusnya minta maaf..” sahut Nara sambil memunguti tasnya yang ikut terjatuh.
Namja itu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, terlihat seperti salah tingkah saat mendengar suara Nara untuk pertama kali ditujukan padanya.
Nara melirik tangan kanan yang tadinya namja ulurkan namun kini berada di belakang kepalanya.
“Tolong bantu aku berdiri,” pinta Nara tanpa mengurangi kesopanan dalam suaranya.
Namja itu tampak sedikit tersentak dengan permintaan Nara. Namun dengan cepat ia segera mengulurkan tangan kanannya untuk Nara dan membantu gadis iu berdiri.
Gomawo,” ujar Nara sambil membersihkan seragamnya yang sedikit kotor terkena debu. “Aku rasa kita sering bertemu. Tapi di mana, ya?” ucap Nara sambil memerhatikan wajah namja itu.
Di saat yang bersamaan wajah namja itu terlihat sedikit merona yang Nara tidak tahu apa penyebabnya. Namja itu menundukkan kepalanya, seperti takut kedua mata Nara akan mengeluarkan sinar mematikan jika ia menatapnya.
“Ah, benar. Kita memang sering bertemu,” gumam Nara tanpa bosan memerhatikan setiap inci wajah namja itu.
Namja itu menatap Nara dengan tatapan tak percayanya. “Di..di mana?” tanyanya sedikit gugup.
Nara mengendikkan bahunya. “Entahlah, aku juga lupa,” jawabnya yang membuat bahu namja itu sedikit turun, melemas. Kecewa mungkin?
“Namaku Shin Nara,” ujar Nara sambil mengulurkan tangan kanannya.
Namja itu tidak langsung menjabat tangan Nara, ia sedikit berpikir lalu mulai membalas uluran tangan Nara. “Jong-in… Kim Jong In,” sahutnya sambil menjabat tangan Nara pelan.
“Ah, jadi namamu Jong-in..” gumam Nara sambil memperlihatkan lengkungan indah di bibirnya yang membuat Jong-in tersipu malu.
Belum sempat namja itu menikmati waktu bersama Nara, gadis itu kembali tersadar dengan waktu yang berjalan maju dan awan gelap yang sebentar lagi akan memuntahkan hujannya.
“Akh.. Aku harus pulang sekarang. Sampai jumpa lagi, Jong-in ah! Maaf aku sudah menabrakmu tadi,” ujar Nara cepat seraya berlari meninggalkan Jong-in yang masih terdiam mematung di tempatnya.
Tak lama setelah sosok Nara tak terlihat lagi dalam jangkauan pandang Jong-in, ia terjatuh dengan kesadarannya yang tidak terkumpul sepenuhnya. Kebahagiannya saat ini adalah perkenalan langsungnya dengan Nara. Yaah, harus ia akui, ia harus berterima kasih pada Sehun sekarang.

** ** **

“Sial…” gerutu pria berparas nyaris tanpa cela itu saat titik-titik hujan berhasil membasahi kemeja kerjanya yang hampir kusut.
Ia sudah berlari secepat yang ia bisa sampai di halte bus, tapi sayangnya hujan turun lebih cepat dari kecepatan larinya yang bisa dibilang di atas rata-rata. Kini sebagian kemeja birunya basah dan membuat tubuhnya sedikit menggigil saat dirasakannya angin sore yang bertiup di sekitarnya.
“Sudah jam berapa ini?” gumamnya gusar.
Ia takut adiknya akan tiba lebih dulu di rumah sementara kuncinya ada bersamanya. Bagaimana kalau adiknya kedinginan karena menunggunya di teras rumah? Pria itu semakin gusar memikirkan keadaan adiknya di tengah hujan deras seperti ini. Ia mengacak rambutnya yang sedikit lepek karena air hujan dengan kasar, tepat saat bus baru saja tiba dan ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia langsung melompat ke dalam bus dan mencari bangku paling nyaman untuk menunggu bus ini tiba di halte berikutnya.
Masih dengan pikirannya yang sedikit kacau memikirkan adiknya yang juga sedang berusaha pulang dengan menembus hujan deras ini, ia merasakan suatu kejanggalan dalam dirinya. Ia seperti melewati sesuatu, tapi apa? Ia berpikir keras sampai akhirnya ia sendiri lelah karena tidak juga menemukan jawabannya. Pria itu mengendikkan bahunya dan memilih untuk menenangkan pikirannya, melupakan masalah yang membebankan pikirannya saat ini.

** ** **

“Rumahmu di mana?” tanya Jong-in dengan sedikit berteriak sambil terus mengayuh sepedanya dengan kecepatan di atas rata-rata.
Mwo?” yeoja yang diboncengnya itu balik bertanya, jelas sekali ia tidak mendengar ucapan Jong-in dengan jelas di tengah hujan lebat seperti ini.
“Aku bilang rumahmu di mana?” teriak Jong-in mengulangi pertanyaannya.
“Rumahku jauh dari sini,” jawab yeoja itu dengan rasa penyesalan dalam nada bicaranya.
“Bagaimana kau pulang?”
Mollayo…”
Jong-in memutar otaknya untuk membantu yeoja pujaan hatinya ini agar tidak terus-terusan terguyur hujan lebat yang bisa membuatnya sakit seperti ini. Akhirnya ia menemukan ide yang menurutnya baik tapi tidak terlalu baik untuk yeoja itu. Tapi setidaknya hal ini bisa membantunya agar tidak kehujanan lebih lama lagi.
“Rumahku di dekat sini. Bagaimana kalau kau mampir ke rumahku dulu? Aku janji tidak akan berbuat macam-macam,” ujar Jong-in sambil terus mengayuh sepedanya dengan kencang.
Yeoja bernama Nara itu mengangguk walaupun ia tahu Jong-in tidak bisa melihatnya. Kemudian ia melingkarkan kedua tangannya di pinggang Jong-in dengan erat, membuat Jong-in sedikit terperangah dengan sikap yeoja ini. Bagaimana pun Nara tidak terbiasa dengan kecepatan sepeda Jong-in seperti sekarang.
Arraseo, aku tidak punya pilihan lain lagi!” ujar Nara yang hampir tenggelam dalam suara hujan yang tidak memiliki rasa toleransi ini.
Sekali lagi Jong-in merasa ia perlu mengucapkan beribu kata terima kasih pada Sehun yang membuatnya bisa dikenal oleh Nara. Betapa membahagiakannya ini.


Hyuuuuuuunggg!!!” teriak Jong-in memanggil kakaknya dari teras rumah yang membuat Nara langsung menutup kedua telinganya jika ia belum ingin tuli di usianya yang kurang dari 20 tahun.
“Ngg… Jong-in ssi, aku rasa kakakmu akan mendengarmu walaupun kau tidak berteriak sekeras itu,” komentar Nara dengan sedikit terkekeh yang lagi-lagi membuat kedua pipi Jong-in merona merah, persis seperti anak perempuan yang baru saja ditembak oleh seorang namja.
“Ah, ne.. Maaf..” ucap Jong-in sambil tersenyum malu.
Nara menggeleng. “Kau tidak salah.”
Lalu keduanya sama-sama terkekeh saat suasana canggung mulai menyelimuti mereka.
“Kau kedinginan?” tanya Jong-in saat menyadari bibir Nara mulai gemetar.
Nara hanya mengangguk menjawab pertanyaan Jong-in, yang kemudian membuat Jong-in kembali meneriakkan nama hyung-nya dengan kejam.

“Aish, Jong-in ah, aku tidak tuli,” omel seorang pria muda yang membukakan pintu untuk mereka.
Jong-in memicingkan matanya menatap kakaknya yang ia anggap bodoh itu.
“Kalau tidak tuli kenapa baru membuka pintunya sekarang?” cibirnya yang tidak kakaknya itu pedulikan.
“Kau membawa siapa?” tanya kakaknya sambil mempersilakan Nara masuk dan segera membawakan mereka handuk untuk mengeringkan diri mereka masing-masing.
“Ini temanku,” jawab Jong-in sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk. “Nara-ssi, ini kakakku, Kris-hyung.”
“Shin Nara imnida,” ujar Nara sambil membungkukkan badannya pada pria bernama Kris itu.
“Kris imnida.”

“Hey, kau mau pinjam bajuku? Seragammu basah,” ujar Jong-in sambil menarik tangan Nara pelan menuju kamarnya yang terletak di sudut ruangan itu.
“Apa tidak apa-apa?” tanya Nara sedikit sungkan dengan tawaran Jong-in yang sebenarnya baik.
Jong-in menggeleng. “Pakailah. Nanti kau sakit,” ujarnya sambil menyodorkan jeans dan T-shirt pada Nara.
Lalu ia keluar dari kamar itu dengan membawa pakaian ganti untuk dirinya sendiri.
Perlahan sudut bibir Nara tertarik ke atas dan kembali membuat lengkungan indah itu muncul di garis bibirnya.
“Baik sekali,” bisiknya pada dirinya sendiri sambil menatap pakaian yang Jong-in berikan padanya.

** ** **

“Hhh…”
Untuk kesekian kalinya Kris menghela nafasnya dengan lelah. Ia tidak tahu kenapa ia merasa kurang nyaman. Dia memang sudah biasa dengan perasaan anehnya ini sejak lama. Tapi entah kenapa hari ini ada yang berbeda, entah apa. Tapi Kris berharap itu bukan sesuatu yang aneh ataupun buruk.
Wae, Hyung? Kau sudah hampir lima kali menghela nafas,” tanya Jong-in yang baru saja keluar dari kamar hyung-nya itu saat mendapati Kris dengan tatapan murungnya mengaduk teh yang dibuatnya.
Kris menoleh ke arah Jong-in dengan senyuman tidak-apa-apa-nya.
“Aku baik-baik saja,” ujarnya menenangkan Jong-in.
“Tapi sikapmu itu tidak menandakan dirimu sedang tidak apa-apa, Hyung. Kau sakit?” kata Jong-in seraya dengan cueknya mengambil teh yang baru Kris buat dan meneguknya. “Oh iya, teh ini buatku, kan?” tanyanya polos setelah meneguk teh itu hampir setengahnya.
Kris mengacak rambut basah adiknya dengan gemas. “Seharusnya kau tanyakan itu sebelum meminumnya, Jong-in ah,” ujarnya. “Benar, itu untukmu. Dan berikan cangkir yang itu pada temanmu, dia pasti kedinginan.”
Ne, Hyung. Astaga, kau baik sekali,” ujar Jong-in seraya membawa secangkir teh untuk Nara yang masih berada di kamarnya sambil tertawa lepas. Namja yang aneh.

Kris memejamkan matanya saat hawa dingin menyapu kulit tengkuknya. Ia sedikit merinding saat hawa aneh itu terasa begitu nyata pada kulit putihnya. Ia mengatur nafasnya saat ia mulai merasa tidak nyaman dengan hawa dingin itu. Kemudian ia membuka matanya dan kembali menghela nafas lega saat hawa dingin itu tidak lagi terasa pada kulitnya.
“Ini pasti efek hujan tadi,” gumamnya. Lalu ia berjalan masuk ke dalam kamarnya sambil membawa secangkir teh yang ia buat untuk dirinya sendiri.

** ** **

“Aissh… Kenapa hujannya belum juga berhenti?” tanya Nara pada dirinya sendiri. Ia sedikit kesal karena sampai malam begini pun hujan masih saja begitu lebat. Bagaimana bisa ia pulang?
Ia memandangi jalanan yang basah karena hujan dari jendela kamar Jong-in sambil memeluk lututnya. Ia memang sudah mengirimkan pesan untuk orang tuanya agar tidak mengkhawatirkan dirinya karena belum juga pulang di jam segini, tapi tetap saja ia merasa kurang nyaman jika harus ‘menumpang’ di rumah Jong-in terlalu lama.

“Kau kenapa?” tanya Jong-in yang sejak entah kapan sudah duduk di sebelahnya.
Nara menoleh sekilas pada Jong-in dan menggeleng lemah. “Aku tidak apa-apa,” jawabnya pelan. Ia menghela nafasnya pelan, lalu kembali memandangi jalanan yang basah akibat hujan yang belum juga berhenti.
“Apa kau masih kedinginan?” tanya Jong-in lagi tanpa mengurangi rasa cemasnya.
“Aku tidak apa-apa, Jong-in ah,” jawab Nara sambil tersenyum menenangkan. Yah, senyuman kesukaan Jong-in.
Jong-in terpaku menatap senyuman Nara yang begitu menghipnotisnya. Baginya tidak ada ilmu hipnotis yang lebih membahayakan dibandingkan senyuman Nara. Senyuman gadis itu mampu membuatnya melupakan segalanya.
“Jong-in, kenapa menatapku seperti itu?” tanya Nara saat ia merasa bingung karena namja itu belum juga bosan menatapnya sejak semenit yang lalu.
Jong-in mengerjapkan matanya saat Nara menarik kesadarannya kembali ke dunia nyata. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal seraya mengalihkan perhatiannya pada jalanan di luar sana. Gaya khasnya saat sedang gugup.
“Aku..” ucap Jong-in pelan. “Aku mengagumimu,” akunya.
“Hm?” gumam Nara memancing Jong-in untuk bercerita lebih banyak.
“Kau sangat cantik, pintar, dan baik. Aku rasa tidak ada alasan untuk tidak mengagumimu,” ucap Jong-in dengan senyum tipisnya tanpa mau membalas tatapan Nara, tatapannya tetap lurus menatap langit gelap yang masih menurunkan titik-titik hujan di luar sana. Senyuman pertama yang membuat Nara terpaku.
“Kau.. sangat mengagumkan, Nara-ah… Tidak ada alasan untukku tidak mengagumimu,” gumam Jong-in mengulangi ucapannya sendiri.

Ia menundukkan kepalanya sebentar, lalu menatap Nara masih dengan senyum tipisnya. Kini ia mendapati kedua bola mata Nara tertuju tepat pada kedua manik matanya, membuatnya perlahan-lahan menghapus senyumannya dan merasakan betapa cepatnya jantungnya berpacu.
“Aku tidak merasa begitu,” ucap Nara setelah beberapa detik membuat Jong-in menahan nafanya. Ia menunduk sambil tersenyum getir. “Aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan. Apa yang bisa kuandalkan dalam hidupku. Entahlah, tapi aku rasa aku tidak melakukan sesuatu yang berlebihan di dalam hidupku. Aku bahkan tidak menyadari kelebihan yang ada di dalam diriku,” ucapnya kemudian.
Jong-in mengerjapkan matanya mendengar ucapan Nara. Ia tidak menyangka kepribadian Nara yang sesungguhnya adalah seperti ini. Selalu merendah.
“Tapi bagiku kau sangat mengagumkan,” ujar Jong-in pelan.
Gomawo…” sahut Nara sambil menarik sudut bibirnya ke atas, membentuk seulas senyuman tulus. “Kau namja yang baik,” ucap Nara tanpa menghapus senyumannya.
Jong-in kembali mengerjapkan matanya yang tampak membulat lebar. Ia tidak menyangka gadis di hadapannya kini memuji dirinya. Mencap dirinya sebagai namja yang baik termasuk salah satu pujian yang menurutnya paling membahagiakan dari Nara. Kali ini ia malah sekuat tenaga menahan dirinya untuk tidak meloncat kegirangan dan bersujud pada saat itu juga. Ia terlalu bahagia untuk saat ini.

“Jong-in ah, makan malam sudah siap!” ujar Kris dari luar kamar.
Jong-in tersadar dari pikirannya sendiri, lalu beranjak keluar kamar.
“Makan malam sudah siap. Ayo, bergabung bersama kami. Kita makan malam bersama,” ujar Jong-in sebelum ia menutup pintu kamarnya. Ia sekuat tenaga menahan dirinya untuk tidak membiarkan rona merah menghiasi pipinya saat ia mengatakan kalimat itu. Ia merasa ia sedang mengajak Nara untuk berkencan.
“Ah, ne.”
Nara beranjak dan menghampiri Jong-in, lalu mereka berjalan menuju ruang makan, menyusul Kris yang sudah duduk di sana dan bersiap untuk melahap makan malamnya.
“Waah… Kris-oppa yang memasak semuanya?” tanya Nara sambil menatap kagum makanan yang terhidang di atas meja.
Kris tersenyum mendengar pujian Nara, dan menjawab. “Tentu saja. Mana mau Jong-in yang pemalas ini memasak untukku.” Ia melirik Jong-in yang tengah mendelik kesal ke arahnya yang dengan seenaknya menjelek-jelekkan dirinya di depan Nara.
“Ah, sudahlah. Ayo, makan,” ujar Jong-in dengan moodnya yang mendadak menurun.
Baru saja Nara hendak duduk di hadapan Kris, Jong-in dengan hebohnya buru-buru menarik kursi itu dan mengambilkan nasi serta lauk yang Nara inginkan. Tapi hasilnya yang makanan yang ia ambil malah terlalu banyak dan membuat Nara dan Kris menatapnya aneh.
“Kau kenapa? Tidak biasanya kau seperti ini,” tanya Kris masih dengan wajah melongonya menatap Jong-in yang bersikap aneh.
M..mwo? Aku tidak aneh. Kau saja yang aneh, enak saja mengataiku aneh,” elak Jong-in seraya mengambil makanannya sendiri, lalu melahapnya tanpa ampun.
Kris sekali lagi terpaku menatap adiknya yang tengah berusaha mengunyah makanan dengan kasar. Ia sedikit bergidik ngeri melihat cara makan Jong-in yang semakin aneh. Perlahan ia mengusap dadanya sendiri sambil menelan ludahnya dengan susah payah, merasa ngeri dengan pemandangan di depannya. Sementara Nara hanya diam sambil menikmati makan malamnya, tidak mau ambil pusing dengan cara makan Jong-in.

TING… TONG…
“Aissh.. Siapa yang datang malam-malam begini?” gumam Kris seraya bangkit dari duduknya dan hendak beranjak ke pintu depan.
Tapi Jong-in mencegahnya dan menyuruhnya untuk tetap duduk.
“Biar aku saja,” ujarnya seraya bergegas berjalan menuju pintu depan dan membukakan pintu untuk si tamu tak diundang itu.

“Jong-in aaaah…!”
Jong-in langsung menyipitkan matanya menatap orang di depannya dengan malas, sementara orang itu tetap mengembangkan senyuman tak berdosanya. Belum sempat Jong-in mempersilakannya masuk, orang itu langsung melewatinya dan berjalan ke ruang tamu.
Yaa, untuk apa kau kemari?” tanya Jong-in jengah.
Baru saja ia hendak meloncat kegirangan karena di rumahnya ada seorang Nara, si aneh Sehun malah datang menghancurkan makan malamnya yang indah.
Wae? Kau tidak suka aku datang? Aku hanya ingin melihat keadaanmu. Aku kira kau pingsan di toilet karena kelelahan membersihkan semuanya,” jawabnya polos sambil membuka jas hujannya dan mengukir senyum permintaan maafnya yang membuat Jong-in ingin segera menendangnya keluar.
“Hey, apa ada tamu lain selain aku?” tanya Sehun heboh saat melihat sepasang sepatu di depan pintu.
Jong-in menggumam tidak jelas mengiyakan pertanyaan Sehun.
“Aish, siapa?”
“Shin Nara.”
Sehun membulatkan kedua matanya mendengar jawaban Jong-in, dan ia langsung meloncat ke arah Jong-in dan menjabat tangannya dengan ganas.
Chukkaeyo, Chingu! Akhirnya keinginanmu terkabul! Aku turut bahagia jika kau bahagia,” ucapnya sambil terus menjabat tangan Jong-in dengan berlebihan.
“Yaak, hentikan!” sungut Jong-in sambil menyentak tangan Sehun yang terus menjabat tangannya dengan ganas hingga membuat tangannya sedikit pegal.
Tapi beberapa detik kemudian ia dan Sehun segera berpelukan, lalu meloncat kegirangan ke kiri dan kanan sambil bersenandung.
“Aku sedang sangat bahagia~” senandungnya yang dibalas Sehun dengan tawa kebahagiaan.
Sekali lagi Sehun memeluknya dan mereka berputar-putar sambil terus berpelukan, sampai akhirnya terdengar bunyi gaduh dari ruang makan.

Aktifitas mereka terhenti. Jong-in menatap tangan Sehun yang masih melingkar di tubuhnya dengan sinis. Lalu ia bergumam menyuruh makhluk aneh itu untuk segera melepaskannya. Sehun segera mengambil langkah mundur, lalu tersenyum aneh sambil mengacungkan jari telunjuk dan tengahnya menunjukkan tanda ‘peace’.
“Ada apa? Apa hyung-mu melakukan kekerasan pada Nara?” bisik Sehun paranoid dengan nada bicara khas telenovelanya yang membuat Jong-in benar-benar ingin menendangnya sejauh mungkin.
“Auww…” ringis Sehun sambil mengusap kepalanya yang terkena jitakan maut dari Jong-in.
“Kau kira kakakku berani melakukan hal itu pada yeoja?” ucap Jong-in sinis seraya berjalan menuju ruang makan yang diikuti Sehun dari belakang.
Dengan gestur ketakutan, Sehun mengekor di belakang Jong-in. Dan…

Yaa!!! Nara ssi, apa yang kau lakukan pada Kris-hyung? Ka..kau mau apaaa???!!!” teriak Sehun kaget bercampur ketakutan saat melihat Nara dengan brutalnya naik ke atas kursi dan menatap Kris dengan tajam.
Keadaan sekeliling ruang makan sangat berantakan. Gelas-gelas dan piring berjatuhan dari tempatnya. Rambut Nara juga tidak serapi tadi, beberapa helainya menutupi sebagian wajahnya yang tampak ganas.
Sementara itu Jong-in terpaku menatap Nara yang berdiri lebih tinggi darinya. Ia menganga lebar, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
“Jong-in ah… Jong-in ah! Apa yang kau lakukan? Kenapa diam saja?” tanya Sehun panik sambil mengguncang pundak Jong-in dengan keras.
Jong-in tersentak, lalu berjalan ke arah Nara dan hendak menarik tangannya agar segera turun dari kursi.
“Nara-ah, ayo tu–– AAARRGGHH!!!”
Jong-in berteriak sekuat tenaga saat tangan Nara menyentak tangannya dan menjambak rambutnya tanpa ampun. Kris dan Sehun semakin membulatkan kedua mata mereka menatap pemandangan menakjubkan(?) di hadapan mereka.
“Jangan coba-coba menghentikan aku!!!” teriak Nara dengan suaranya yang sedikit menakutkan.
Sementara itu sebelah tangannya masih menjambak rambut Jong-in yang lebih rendah darinya, membuat Jong-in semakin berteriak dengan suaranya yang hampir menyerupai wanita. Lain halnya dengan Sehun, ia malah berniat memeluk Kris saking takutnya, tapi itu tidak mungkin karena ia takut Kris akan mencapnya sebagai gay dan melaporkannya pada Jaerin.
Hyung, tolong aku!!!” teriak Jong-in dengan wajah memelas yang menurut Sehun sangat menjijikkan.
Kris memutar otaknya, ia tidak bisa berpikir jernih sekarang. Sebelum ia menemukan ide untuk menghentikan aksi brutal Nara, Sehun maju dan menghempas tangan Nara yang menjambak rambut Jong-in. Lalu ia menarik tangan Nara dengan kasar agar turun dari kursi dan segera menampar pipi kirinya dengan cukup keras.
Jong-in yang masih kaget dengan sikap Sehun menangkap tubuh Nara yang ambruk karena tiba-tiba kehilangan kesadarannya setelah mendapatkan tamparan dari Sehun.
“Bawa dia ke kamar,” ujar Kris dengan tampang paniknya dan segera membantu Jong-in membawa Nara ke kamar.


“OH SEHUN, BERANINYA KAU MENYAKITI NARA-KU!!!!” jerit Jong-in murka seraya mencekik Sehun dengan kejam.
“Argh… Dengarkan aku dulu.. Arghh… Aku tidak bermaksud .. begitu…” ucap Sehun membela diri dengan terputus-putus karena lehernya masih berada dalam cengkeraman tangan Jong-in.
“Kau sungguh sangat berani, Oh Sehun…” desis Jong-in tanpa mau melepaskan leher Sehun.
“Hey, jangan berisik,” ujar Kris yang membuat Jong-in segera melepaskan Sehun dan membuat Sehun terbatuk karenanya.
“Sebenarnya apa yang terjadi, Hyung?” tanya Jong-in pada Kris yang duduk di pinggir ranjang, di sisi tubuh Nara yang terbaring lemas.
“Aku juga tidak tahu pasti. Tiba-tiba saja dia menjatuhkan sumpitnya dan saat aku ingin memberinya sumpit yang baru, dia menatapku dengan tajam. Aku bahkan bergidik ngeri melihat tatapannya,” jelas Kris sambil membayangkan tatapan mengerikan Nara yang ia lihat tadi.
“Apa sangat mengerikan, Hyung?” tanya Sehun yang langsung mendapat jitakan dari Jong-in.
Yaa!” jerit Jong-in tak terima.
Kris mengangguk mengiyakan ucapan Sehun.
Sehun menjetikkan jarinya bak seorang detektif. “Sudah kuduga,” gumamnya serius.
“Apanya?” tanya Jong-in dan Kris bersamaan.
“Nara kerasukan roh jahat,” jawab Sehun dengan tampang seriusnya yang membuat Jong-in ingin sekali memukulnya, tapi ditahan oleh Kris.
“Hentikan pikiran paranoidmu, Sehun-ah!” ujar Jong-in jengah dengan sikap paranoid temannya yang satu ini.
Sehun menggeleng pelan.
“Biarpun aku masih kurang mengerti, tapi aku tahu ciri-ciri orang yang kerasukan. Apalagi apa kau tidak sadar sikap Nara tadi sangat aneh?” ujar Sehun sambil menatap Jong-in dengan serius.
Jong-in mengangguk pelan. “Tapi hantu mana yang merasuki Nara? Apa hantu itu punya dendam pada Nara?” tanya Jong-in bingung.
Mollayo, aku juga kurang tahu.”
“Sudah kubilang jangan bergaul dengan Jaerin, tapi kini hantu jahat itu malah mendekatimu dan akhirnya mendekati Nara,” gumam Jong-in yang membuat wajah telenovela Sehun kembali terlihat.
Mwo?”
“Coba kau pikir, Nara kerasukan tepat saat kau datang. Apalagi kalau bukan karena kau adalah penyebabnya?” ujar Jong-in sambil menjulurkan lidahnya pada Sehun yang menatapnya dengan tatapan memelas.
“Kau jahat sekali,” gumam Sehun sambil mencebikkan bibirnya.
“Hantu, ya…” gumam Kris seraya memandang wajah lesu Nara yang masih tertidur di sampingnya.


-To be continued-




Yap! Ini FF request dari temen aku yang ngefans bgt sama EXO..
Shin Nara di sini itu Dhea Isti (seneng kan lu name lu disebut? -____-)
Awalnya aku kirain dia bakal marah kalo genre nya Horror, tapi tak disangka dia malah kesenengan -___-
okelah, tunggu aja Part 2 nya ya :D :D
Gomawoooo~! ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar