Love
or Obsession––– Part 8
Author : Ifa
Raneza
Main Cast :
Yesung (Kim Jong Woon), Park Hyemi
**
“Apa aku
masih memiliki kesempatan untuk membahagiakanmu, Park Hyemi?”
Hyemi mengerjap beberapa kali saat pikirannya
kembali melayang ke ucapan Sungmin tadi. Ia masih berpikir apa yang membuat
jantungnya berdebar begitu kencang saat kalimat itu lolos dari mulut Sungmin.
Kali ini suara Sungmin sangat tulus dan tidak ada rasa ingin memiliki dalam
suaranya. Hanya ada rasa ingin melindungi. Dan Hyemi menyukai itu, entah karena
apa.
Perlahan ia jemarinya menyentuh bibirnya sendiri.
Bibir yang beberapa menit lalu baru saja disentuh oleh bibir Sungmin. Ia masih
bisa merasakan kehangatannya sampai detik ini, ataukah … itu karena wajahnya
yang mulai memanas?
Hyemi menghela nafasnya pelan. Ia masih ingat
dengan siapa ia pertama kali melakukan ciuman pertama dalam hidupnya. Namja itu berhasil mencuri ciumannya dan
juga hatinya. Tapi kini dia jugalah yang menjatuhkan Hyemi dari langit
tertinggi ke dalam jurang terdalam.
Dengan cepat tangan kanan gadis itu mencengkeram
kerah bajunya sendiri, mencoba menekan rasa sakit yang kembali menghujam
hatinya. Bodoh. Itulah yang ia pikirkan tentang dirinya saat ini. Ia tahu ia
harus melupakan namja kurang ajar
yang sudah mencuri hatinya dengan seenaknya itu, tapi ia juga tidak tahu
bagaimana cara membuang bayangannya jauh-jauh dari pikirannya. Ia merasa
dirinya sudah terkena kutukan, kutukan yang tidak akan pernah hilang dari dalam
dirinya dan akan terus membekas sampai kapanpun. Kutukan yang membuatnya
terjebak dalam lingkaran Kim Jong Woon.
“Hyemi-ah…”
Hyemi menoleh. Ia sedikit membuka matanya lebih
lebar saat mendapati siapa yang baru saja memanggilnya. Namja itu, namja yang
tidak ingin ia temui. Ingin rasanya ia berlari dan bersembunyi dari hadapan namja ini,. Tapi belum sempat Hyemi
menghindar, namja itu sudah mencekal
tangannya, mencegahnya untuk pergi.
“Aku mohon… Aku mohon, jangan pergi… Dengarkan
aku dulu,” ucapnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap Hyemi
dengan nanar.
Hyemi hanya menatapnya datar, tapi berbeda dengan
hatinya yang sedang berteriak untuk segera pergi dari hadapan namja ini.
“Apa…? Apa yang ingin kau katakan padaku?” tanya
Hyemi dengan seluruh usahanya untuk menormalkan suaranya meskipun itu sangat
sulit.
“Soal Hara…”
“Aku tahu,” potong Hyemi, membuat Jongwoon segera
menatapnya dengan tatapan tak percaya.
“Kau tahu tentang Hara…?” tanyanya pelan.
“Tentu saja aku tahu,” ujar Hyemi ketus. Ia
menyentak tangan namja itu dan
memalingkan wajahnya ke arah lain. “Wanita itu sedang mengandung anakmu. Iya,
kan, Jongwoon-ah?”
Jongwoon tak menjawab. Ia hanya menundukkan
kepalanya, menyembunyikan wajah kotornya yang tak pantas lagi untuk Hyemi
pandang.
“Seharusnya kau tidak perlu menemuiku lagi,” ucap
Hyemi lagi dengan suara seraknya, membuat Jongwoon segera mengangkat kepalanya
begitu mendengar suaranya.
Sial! Hyemi menggerutu di dalam batinnya. Ia
menggerutui suara bodohnya yang tiba-tiba saja serak. Ketahuan sudah, sebentar
lagi pasti air matanya akan segera menetes.
“Kau dan aku sudah selesai, Jongwoon-ah.. Tidak
ada lagi yang perlu kita bicarakan. Kita jalani takdir kita masing-masing,” ucap
Hyemi dengan air mata yang sudah menggenangi seluruh pelupuk matanya.
Ia mundur beberapa langkah secara perlahan, lalu
membungkuk hormat sebelum berlari sekencang yang ia bisa, menghindari Jongwoon.
Jongwoon tersentak melihat Hyemi yang tiba-tiba
kabur. Ia segera berlari mengejar Hyemi yang berlari di depannya dengan air
mata yang membasahi hampir seluruh wajahnya. Jantung Hyemi berpacu cepat. Ia
memejamkan matanya, berharap pada Tuhan keajaiban akan datang dan segera
menyingkirkan namja itu dari
hadapannya, sehingga ia tidak perlu berlari seperti orang saat ini. Ia terus
berdoa dalam hatinya agar Jongwoon tak dapat mengejarnya, meskipun pada faktanya
Hyemi adalah pelari yang baik, maka akan sulit bagi Jongwoon untuk mengejarnya.
Sungmin… Di mana namja itu di saat seperti ini? Hyemi rasanya ingin mengutuk Sungmin
yang sejak sepuluh menit lalu pergi meninggalkannya di taman, hingga ia harus
berhadapan dengan namja ini. Tuhan…
Apa yang harus gadis malang ini lakukan?
“Hyemi.. Tunggu aku..” ucap Jongwoon cepat saat
ia berhasil meraih tangan Hyemi setelah usaha mati-matiannya mengejar gadis
itu.
Hyemi berusaha menyentak tangan kekar Jongwoon,
tapi sayang usahanya sia-sia. Kali ini Jongwoon tidak akan membiarkan gadis itu
lepas lagi dari tangannya.
“Dengarkan aku..”
“Apa yang harus kudengarkan darimu?!” teriak
Hyemi tepat di depan wajah Jongwoon.
Jongwoon tersentak kaget begitu mendapati gadis
itu berteriak padanya dengan air mata yang membasahi hampir seluruh wajahnya.
Detik itu juga ia dapat merasakan rasa perih yang menghujam hatinya. Tak
bisakah ia mendapatkan kepercayaan Hyemi yang telah hilang untuk kedua kalinya?
“Kau jahat, Jongwoon-ah…”
Tangis Hyemi menjadi-jadi. Ia tidak lagi
meronta-ronta agar tangannya dilepas oleh Jongwoon, tapi kini ia menangis
sejadi-jadinya di hadapan Jongwoon, tepat di depan kedua mata gelap itu. Kedua
mata gelap itu menatapnya dengan perasaan terluka. Terluka karena melihat
gadisnya menangis, dan juga terluka karena kepercayaan dan cinta untuknya sudah
memudar.
“Dengarkan aku, Hyemi…”
“Aku tidak mempercayaimu. Kau dengar itu? Kau
tidak perlu menjelaskan apa-apa lagi, karena berapa kali pun kau
menjelaskannya, yang aku tahu semua itu hanya kebohongan.”
Kini Jongwoon dapat merasakan kebencian yang amat
dari suara Hyemi. Ia sudah hancur sekarang. Ia hancur dengan serangan bertubi-tubi
yang Hyemi lemparkan lewat kata-katanya. Jongwoon telah menghancurkan Hyemi,
dan kini gadis itu juga tengah menghancurkan dirinya. Dengan kata lain dirinya
sendirilah yang berusaha menghancurkan hidupnya. Ironis.
“Hyemi… Jangan menangis,” ucapnya sambil
menggerakkan ibu jarinya menghapus air mata Hyemi, namun tangan halus Hyemi
dengan cepat menepisnya dengan kasar.
“Jangan sentuh aku!” jeritnya sambil menghempas
tangan Jongwoon yang mencoba menyentuh tangannya.
“Hyemi… dengarkan aku…” ucap Jongwoon yang mulai
menyerah dengan segala usahanya.
Hyemi menggelengkan kepalanya kuat. Ia menutup
kedua indera pendengarannya dengan kedua telapak tangannya, membuat Jongwoon
kembali meringis pelan karena hatinya kembali dihujam pedang tajam.
“Hyemi…”
“Andwaeyo…
Aku mohon.. jangan ganggu aku…” ucap Hyemi dengan sebulir air mata yang kembali
menuruni pipi putihnya.
“Hyemi.. terserah kau mau mendengarkannya atau
tidak. Tapi yang jelas.. Aku masih mencintaimu.. Aku sangat mencintaimu.”
Tangisan Hyemi semakin menjadi saat kalimat itu
lolos dari mulut Jongwoon. Ia ingin kembali ke masa itu, masa di mana ia masih
mempercayai kata-kata Jongwoon. Tapi itu mustahil. Kenyataan telah di hadapkan
padanya. Ia telah dikhianati.
“Park Hyemi.. jeongmal
saranghae…” bisik Jongwoon lembut seraya menyentuh wajah Hyemi dengan
tangannya. Ia mengelus pipi putih itu dengan lembut, seolah takut ia bisa
merusaknya kapan saja.
“Jangan… Jangan muncul di hadapanku lagi…” ucap
Hyemi pelan dan bergetar.
Jongwoon hanya menggeleng menjawab ucapannya. Itu
tidak mungkin bisa ia lakukan. Ia tidak bisa hidup tanpa melihat bayangan
Hyemi.
“Aku masih sangat mencintaimu..”
BUGH!
Hyemi membuka matanya lebar-lebar saat ia
mendengar suara pukulan itu dan mendapati Jongwoon sudah tersungkur ke tanah
dengan darah yang mengalir dari sudut bibirnya.
Jongwoon meringis sambil menyentuh sudut bibirnya
dengan hati-hati. Ia bangun dengan susah payah karena tenaganya memang sudah
terkuras untuk mengejar Hyemi tadi.
“Bukankah sudah kubilang, Hyung? Jangan pernah dekati Hyemi lagi,” ucap pria yang baru saja
melayangkan tinjunya ke wajah Jongwoon.
Ia menatap dendam pada Jongwoon yang kini hanya
memandangi jarinya yang terkena darah dari bibirnya.
“Sungmin-ah…” ucap Hyemi dengan keterkejutan yang
masih bersarang pada dirinya. Ia menyentuh lengan Sungmin, meminta agar pria
itu segera meninggalkan tempat ini.
“Kau tidak perlu lagi datang menemui Hyemi, Hyung.. kecuali..” Sungmin
menggantungkan ucapannya saat mata Jongwoon terfokus pada tangan Sungmin yang
menggenggam tangan Hyemi dengan erat. Sungmin menyunggingkan senyum sinisnya,
lalu ia berucap. “… Kecuali saat pernikahan kami berlangsung.”
Kalimat itu mampu membuat kedua mata Jongwoon
terbuka lebar dan menghancurkan hampir seluruh bagian dalam tubuhnya. Hatinya,
jiwanya, semuanya… Ia merasa hancur sehancur-hancurnya sekarang.
“Kita pergi, Hyemi.”
Sungmin menggandeng tangan Hyemi pergi
meninggalkan Jongwoon yang masih berdiri mematung dengan otaknya yang masih
memikirkan ucapan Sungmin tadi.
Pernikahan.. Sungmin baru saja mengatakan
pernikahannya dengan Hyemi.
**
(Lee Sungmin
POV)
“Kau tidak seharusnya memukulnya, Ming..” ujar
gadis di sampingku ini dengan nada kesal bercampur penyesalannya.
Aku hanya tetap memandang lurus jalanan di
depanku sambil mencengkeram kuat stir mobil. Sesampainya kami di rumahnya, aku
langsung menariknya masuk ke dalam mobil dan membawanya pergi entah ke mana.
Aku tidak mempunyai tujuan saat ini. Yang aku mau hanyalah pergi berdua
dengannya. Hanya berdua. Tidak ada orang lain, termasuk hyung brengsekku itu.
“Sungmin-ah…”
“Dia pantas mendapatkan itu, Hyemi-ah,” ucapku dingin
tanpa menatapnya. Aku tidak mau dia mendapatiku menatapnya dengan tatapan
tajam.
Tapi diluar dugaanku, dia menahan tanganku hingga
membuatku terpaksa menginjak rem mendadak. Kemudian ia menarik pundakku dengan
keras agar aku menatapnya. Great!
Tanpa sadar aku melemparkan tatapan tajamku padanya.
“Tapi dia hyung-mu,
Sungmin. Ingat, dia Hyung-mu!”
ujarnya dengan nada tinggi tepat di depan wajahku.
“Dia memang hyung-ku,
tapi dia brengsek, Hyemi-ah! Dia sudah menyakiti yeoja yang paling tidak ingin aku sakiti! Dia menghancurkan hidupku
yeoja-ku! Tidak bisakah kau
merasakannya? Merasakan kebencianku pada namja
bodoh itu?!” teriakku tepat di depan wajahnya, membuatnya membeku seketika dan
menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.
Aku menundukkan kepalaku, tidak sanggup menatap
kedua bola mata itu dengan emosiku saat ini.
“Mianhae…”
ucapku pada akhirnya, menyesal pada tindakanku yang meneriakinya tadi.
Ini pertama kalinya aku meneriakinya dengan
seemosi tadi dan pertama kalinya juga aku melihatnya membeku karena
perkataanku.
Aku mengusap wajahku dengan frustasi, lalu
menatapnya teduh. Entah kenapa aku benar-benar jatuh ke dalam pesona gadis ini.
Aku ingin memilikinya seutuhnya.
“Apa kau benar-benar tidak bisa melupakan
Jongwoon-hyung?” tanyaku pada
akhirnya yang membuatnya langsung menatapku kaget.
Ia menggigit bibir bawahnya kuat dengan
memalingkan wajahnya ke arah luar jendela, menghindari tatapan penuh selidikku.
Tapi dengan cepat aku meraih dagunya agar ia menatapku. Bisa kulihat dengan
jelas air mata yang menggenangi pelupuk matanya dan bersiap untuk jatuh,
kembali membasahi pipi cantiknya.
“Jawab aku..” ucapku pelan dan lembut.
Perlahan kudekatkan diriku pada dirinya dan
mengusap sudut matanya yang basah.
“Sulit..” ucapnya pada akhirnya.
“Hm..?” gumamku memancingnya untuk bercerita
lebih tentang perasaannya yang sulit untuk kutembus.
Ia menghapus air mata yang sempat jatuh dengan
kedua tangannya, lalu menatapku sendu.
“Aku benar-benar membencinya.. tapi.. sulit.”
Kini ia membiarkan pipinya dibasahi oleh air mata yang dengan derasnya menuruni
pipi putihnya. “Sulit, Sungmin-ah.. Aku tidak tahu kenapa, tapi… semakin aku
ingin menghapusnya, semakin sakit pula hatiku. Sungmin-ah… Kenapa…? Kenapa bisa
begitu sulit?” ucapnya tak beraturan karena bercampur dengan tangisannya yang
meledak begitu saja. Membuatku sedikit panik melihatnya menangis begitu keras.
“Ssst…” Dengan perlahan aku menariknya ke dalam
pelukanku. Tidak ada perlawanan darinya, dan itu membuatku dengan leluasa bisa
menyalurkan kehangatanku padanya. “Semuanya akan baik-baik saja, Hyemi.. Aku
akan membantumu. Kita akan membuatnya menjadi terasa lebih mudah, eoh?” ucapku sambil sesekali mengusap
bahunya yang tampak bergetar karena ia masih menangis di dadaku.
Secara perlahan aku mendorong tubuhnya agar aku
bisa melihat wajahnya. Setelah itu aku mencium keningnya dengan lembut, dan
membisikkan sesuatu padanya.
“Saranghae…”
**
(Author POV)
Jongwoon memasuki rumahnya dengan suasana hati
yang sudah tak beraturan. Hatinya sudah hancur berkeping-keping, tak bersisa
lagi. Tidak ada yang bisa ia lakukan setelah ia kehilangan cintanya. Dengan
secepat mungkin ia naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamarnya dengan
membanting pintunya, membuat semua pelayan yang heran melihat sikapnya langsung
melonjak kaget. Emosinya sudah berada di atas rata-rata. Wajahnya sudah memerah
karena emosi. Ia tidak bisa menahannya lagi. Setelah melirik mejanya beberapa
saat ia langsung bergerak membuang apa saja yang ada di atas meja itu dan
membantingnya keras. Tidak puas dengan itu, ia beranjak ke tempat tidurnya,
mengacak-acak bantal dan selimut yang ada di sana, membuangnya dan membantingnya
keras ke lantai.
Jongwoon berteriak. Air matanya sudah mengalir
dengan deras sejak tadi. Tangisnya pecah bersamaan dengan teriakannya. Ia
menangis sekencang mungkin. Ia tahu untuk namja
sepertinya ia tidak pantas untuk menangis seperti ini, tapi hatinya tidak bisa
bekerja sesuai dengan kerja otaknya. Ia terlalu rapuh untuk saat ini. Ia sudah
hancur, semuanya.. hidupnya, cintanya, hatinya, semuanya sudah hancur.
“Jongwoon…?”
Namja itu mengangkat wajahnya, menunjukkan wajah
menyedihkannya pada wanita paruh baya yang membuka pintu kamarnya dengan
hati-hati. Setelah menutup pintunya dengan perlahan, wanita itu mendekati putra
tunggalnya, menariknya ke dalam pelukan hangat yang tidak akan pernah Jongwoon
lupakan dalam hidupnya. Wanita itu menghapus air mata yang menetes dari pelupuk
mata Jongwoon saat lagi-lagi kedua mata indah itu mengeluarkan buliran air
mata.
“Eomma…”
bisik Jongwoon lirih. Ia tidak memiliki tenaga lagi untuk bercerita tentang
hatinya pada ibunya itu. Tenaganya sudah habis karena digunakan untuk menahan
siksaan batin yang ia perangi selama ini.
Sebelah tangan halus dan lembut itu menggenggam
tangan Jongwoon, menyalurkan kehangatan yang ia miliki, mencoba meredam
kesedihan yang Jongwoon rasakan saat ini.
“Eomma…”
bisiknya lagi. “Kenapa rasanya sakit, Eomma…?”
lirihnya yang mampu membuat pertahanan air mata Nyonya Kim runtuh.
Wanita itu meneteskan air matanya dalam pelukan putranya.
Ia mampu merasakan rasa sakit yang Jongwoon alami lebih dari siapapun.
“Kenapa rasanya masih tetap sama seperti yang
dulu…? Dulu juga rasanya sangat sakit seperti ini…” lirihnya lagi yang membuat
Nyonya Kim semakin tidak tahan untuk mengeratkan pelukannya.
Jongwoon menangis di pundak ibunya. Ia menangis
layaknya seorang anak kecil yang mengadu pada ibunya saat ia diganggu
teman-temannya atau karena kakinya terluka. Tapi saat ini bukan kaki Jongwoon
yang terluka, tapi hatinya. Perasaan terdalamnya sangat terluka.
“Eomma
tahu..” bisik Nyonya Kim pelan di sebelah telinga Jongwoon.
Jongwoon mengangguk dalam pelukan ibunya.
“Eomma
memang selalu tahu… Kau selalu tahu bagaimana diriku, Eomma…” bisiknya untuk terakhir kali sebelum tangisnya mulai mereda
dan ia terseret ke dalam mimpinya.
**
Sungmin memasuki ruang keluarga kediaman Park
dengan wajah penasaran. Ia baru saja dikejutkan dengan telepon dari Jungsoo
yang mengatakan ada hal penting yang akan mengubah hidup Sungmin sebentar lagi,
dan hal itu sukses membuat Sungmin dengan terburu-buru mengganti pakaian
tidurnya dengan T-Shirt dan jeans setelah mandi dengan kecepatan maksimal. Ia
menemui Narin dan Jungsoo di dalam ruangan bernuansa cokelat-putih itu dan
langsung duduk di hadapan kedua orang itu masih dengan raut wajah penasarannya.
“Hey, bisakah kau sabar menunggu kukatakan kabar
baikmu itu?” goda Jungsoo saat melihat raut wajah Sungmin yang hampir saja
membuat tawanya meledak.
Sungmin mendelik Jungsoo dengan kesal. “Ayolah, Hyung, katakan saja padaku sekarang. Apa
yang membuatmu menyuruhku untuk cepat-cepat datang kemari?” ujar Sungmin sambil
sesekali melirik Narin yang juga sedang menunjukkan senyum cerahnya hari ini.
Jungsoo melirik Narin sekilas, lalu ia
menyodorkan selembar tiket penerbangan menuju Paris pada Sungmin. Sungmin
menatap tiket yang Jungsoo sodorkan padanya dengan tatapan bingung. Untuk apa
Jungsoo memberinya liburan?
“Apa ini, Hyung?
Kau mau memberiku liburan?” tanya Sungmin dengan tampang bodohnya.
Jungsoo menggeleng. “Bukan, aku tidak memberimu
liburan. Tapi Hyemi mengajakmu liburan sebelum hari pernikahan kalian,” jawab
Jungsoo yang perlahan-lahan membuat kedua mata Sungmin membelalak tak percaya.
“Mwo?”
ucap Sungmin sambil menatap Jungsoo dan Narin yang tengah tersenyum senang
secara bergantian.
“Ne, Hyemi
sudah menyetujui rencana pernikahan kalian. Chukkaeyo,”
ucap Narin sambil mengulurkan tangannya menjabat tangan Sungmin.
“A..apa aku tidak salah dengar?” ucap Sungmin
masih dengan tampang polosnya yang membuat Jungsoo serta Narin terkekeh pelan.
“Kau tidak salah dengar, Lee Sungmin. Kau bisa
menemui calon istrimu di kamarnya,”
ujar Jungsoo masih dengan lengkungan yang sama di bibirnya.
“Temui dia dan ajak dia bicara dari hati ke hati,
Sungmin-ah..” saran Narin yang langsung Sungmin tanggapi dengan anggukan.
“Ne, gomawo..”
**
(Lee Sungmin
POV)
“Gomawo…”
ucap gadis di depanku itu dengan senyuman yang tidak dapat kuartikan. Entah itu
senyuman yang dipaksakan atau memang tulus dari dalam hatinya. Yang pastinya
senyum itu ia tujukan padaku.
Aku mengerutkan keningku menatapnya yang masih
menunjukkan lengkungan itu padaku.
“Untuk?” tanyaku bingung.
“Semuanya,” jawabnya.
Ia melangkah mendekatiku yang masih berdiri di
ambang pintu kamarnya. Setibanya ia di depanku, ia membuatku bingung dengan
sikapnya. Ia menggenggam kedua tanganku dan semakin mengembangkan senyumannya.
“Tolong bantu aku,” ucapnya pelan. “Bantu aku
menggantikan Jongwoon dengan dirimu, Sungmin.. Aku mohon, bantu aku…”
Tanpa sadar senyuman di bibirku sudah mengembang
mendengar ucapan tulusnya. Entah karena aku senang karena ia masih
mempercayaiku atau karena ia telah memilih untuk melupakan Jongwoon-hyung. Yang pastinya aku senang karena
ia telah keluar dari lingkaran Jongwoon-hyung
yang bisa saja menyakitinya.
“Bukankah sudah kubilang bahwa aku akan
membantumu? Kita akan membuatnya menjadi lebih mudah,” ucapku yang langsung
mendapatkan pelukan hangat darinya.
Dan saat ia menyalurkan kehangatan tubuhnya
padaku, aku sadar bahwa ia benar-benar tersiksa selama ini. Aku bisa merasakan
beban yang ia pikul selama ia memikirkan Jongwoon-hyung yang telah membuatnya jatuh terlalu dalam cintanya. Tanganku
tergerak mengusap punggungnya, mencoba menguapkan beban dan rasa sakit yang ia
rasakan selama ini.
Hyemi… Hyemi-ku tidak boleh lagi menangis karena namja itu. Ia hanya boleh tersenyum dan
tertawa. Hanya dengan begitu saja aku merasa hidupku sudah sangat berwarna.
“Jadi untuk apa kau mengajakku liburan?” tanyaku
setelah melepaskan pelukan kami.
Kini aku duduk di tepi ranjangnya sementara ia
sedang memasukkan barang-barangnya ke dalam sebuah koper.
Ia mengendikkan bahunya. “Hanya untuk semakin
mendekatkan diriku padamu,” jawabnya seadanya.
Aku menatapnya dalam tanpa ia sadari, kemudian
kata-kata itu keluar begitu saja dari bibirku.
“Atau untuk melupakan Jongwoon-hyung, eoh?”
Kedua tangannya berhenti memasukkan pakaiannya ke
dalam koper dan tatapannya beralih padaku yang masih menatapnya dalam. Tubuhnya
sedikit membeku mendengar ucapanku yang sama sekali bukan merupakan pertanyaan,
melainkan pernyataan. Ia memalingkan tatapannya ke arah lain, lalu sebuah
jawaban keluar dari mulutnya.
“Kau benar…” ucapnya lirih. “Apa aku bisa
mengandalkanmu, Ming?”
Aku tersenyum dengan rasa senang yang membuncah
dalam hatiku. Ia masih mempercayaiku setelah semua hal yang aku dan Jungsoo-hyung lakukan membuatnya tersakiti.
“Tentu saja,” jawabku sambil mengulurkan tanganku
padanya.
Ia menyambut uluran tanganku dengan sedikit ragu
pada awalnya, namun semakin yakin beberapa detik setelahnya. Ibu jariku
mengusap punggung tangannya yang halus bak sutera. Ia terlalu berharga untuk
kulepaskan begitu saja untuk Jongwoon-hyung.
Kau terlalu berharga untukku, Park Hyemi..
**
“Kau mau yang mana, Oppa?” tanya Hara sambil memerhatikan deretan cincin pernikahan
bertahtakan berlian yang berkilauan seperti meminta untuk dimiliki.
Jongwoon terdiam, ia bingung menentukan
pilihannya untuk saat ini. Apa cincin ini akan membuatnya mengikat Hara yang
tidak begitu dicintainya? Apa dia bisa melakukan ini sementara hatinya berontak
ingin melepaskan diri dari Hara dan berlari untuk memeluk Hyemi yang sudah
jelas sangat membencinya?
“Oppa…”
panggil Hara saat mendapati Jongwoon hanya melamun sambil memandangi deretan
cincin di depannya.
Jongwoon terkesiap, ia menoleh pada Hara yang
masih menatapnya bingung. Kemudian sebelah tangannya terangkat menggaruk
belakang kepalanya yang sama sekali tidak gatal.
“Ngg.. Aku bingung, Hara…” gumamnya sambil
menatap Hara ragu. “Kau pilihlah cincin yang kau sukai, aku keluar dulu,” ucap
Jongwoon seraya beranjak dari sana dan berjalan keluar toko.
Hara memanggil-manggil Jongwoon, namun namja itu tidak menggubrisnya.
Pikirannya terlalu lelah untuk kembali diajak memikirkan perasaan dan
keadaannya yang bertolak belakang.
“Ingat, Jongwoon… Kau punya Hara sekarang.. bukan
Hyemi. Hara membutuhkanmu,” gumam Jongwoon sambil memukul pelan kepalanya
sendiri.
Ia masih sulit mengendalikan jalan pikiran dan
perasaannya saat ini. Meskipun ia bisa memikirkan mana yang harusnya ia jalani,
tapi perasaannya masih tertuju pada Hyemi. Membuatnya berpikir untuk segera
menikahi Hara. Ia percaya akan ucapan orang-orang yang mengatakan bahwa cinta
akan tumbuh dengan sendirinya di dalam kehidupan pernikahan. Dan ia ingin
membuktikan itu pada dirinya setelah menikahi Hara.
Bohong jika ia bilang ia sudah melupakan Hyemi,
karena pada kenyataannya ia masih mengingat wajah dan aroma tubuh Hyemi ketika
mereka bersama. Bohong jika ia bilang ia tidak tersiksa, sekarang ia merasakan
batinnya sangat terguncang. Tapi satu hal yang ia tanamkan pada dirinya sendiri
saat ini, ia harus hidup tanpa Hyemi, ia harus hidup dengan Hara demi janin yang
wanita itu kandung.
“Sungmin, seharusnya kau memilih gaun yang tadi.”
Jongwoon mengangkat wajahnya menatap seorang yeoja yang sedang berjalan beriringan
dengan seorang namja di sebelahnya di
seberang jalan. Tatapannya terpaku pada kedua sosok itu, sosok yang sangat
dikenalnya. Kemudian ia melirik toko yang baru saja ditinggalkan kedua orang
itu.
“Toko gaun pengantin…” gumam Jongwoon dengan
tatapan miris pada toko itu.
Ia pernah membayangkan dirinya dan Hyemi yang
akan mengunjungi toko itu. Tapi kini… ia malah melihat gadis itu keluar bersama
sepupunya sendiri dari sana. Sekarang ia bisa menyimpulkan bahwa Hyemi sudah
melupakannya. Hyemi sudah bisa menerima Sungmin sebagai pengganti dirinya.
Hyemi… Jongwoon rasa gadis itu bisa hidup bahagia bersama namja yang merupakan sepupunya itu. Sungmin adalah pria yang baik,
Jongwoon yakin itu.
“Aku bahagia untukmu, Hyemi… Terima kasih untuk
semuanya,” gumamnya sambil tersenyum tipis sebelum berbalik dan masuk kembali
ke dalam toko perhiasan, menyusul Hara yang tengah memilih cincin pernikahan
mereka.
‘Terima kasih
untuk cintamu dan karena sudah menyadarkanku betapa indahnya mencintai.’
**
(Park Hyemi
POV)
Aku menghela nafasku pelan saat sosok itu sudah berbalik
memasuki toko perhiasan, membuatku tidak bisa lagi menatap sosoknya secara
sembunyi-sembunyi dari sini. Aku bukannya tidak sadar saat ia menatapku dengan
tatapan yang tak bisa kuartikan. Dan apa kau tahu, Jongwoon? Kau sudah membuat
perasaanku sakit saat kau menatapku seperti itu, membuatku merasa berat untuk
melupakanmu.
“Hyemi? Kau kenapa?”
Aku tersentak dan langsung menoleh pada namja yang sedang menyodorkanku satu cup cokelat panas. Sambil menggeleng
pelan aku meraih cup itu dan langsung
meneguknya perlahan.
“Kau kenapa?” tanyanya lagi yang seolah kurang
puas dengan jawaban singkatku tadi.
“Gwaenchana,”
jawabku yang tentu saja berbohong. Bagaimana bisa aku baik-baik saja setelah
melihat tatapan terluka dari orang yang kucintai?
“Kau yakin?”
Tatapanku beralih pada wajahnya yang masih
menatapku penuh curiga. Sebelah alisnya ia angkat seakan tidak percaya dengan
jawabanku. Aku menghela nafas, lalu menggamit tangannya dan menarik––lebih
tepatnya menyeret––namja ini ke mobil
hitam yang sudah terparkir di depan sana.
“Kau yakin akan pergi ke Paris besok? Apa itu
tidak terlalu cepat?” tanyanya saat kami berada di dalam mobil hitam mewah
miliknya.
Aku menatapnya bingung. “Apanya yang cepat?”
kataku balik bertanya.
Ia hanya mengendikkan bahunya sambil menyalakan
mesin mobil.
“Entahlah, tapi apa kau yakin dengan ini semua? Aku
takut kau akan menyesal nantinya,” ucapnya yang langsung menyentak jantungku.
Ucapannya benar.. Terkadang aku masih ragu dengan
ini semua, tapi ini adalah keputusanku. Aku harus hidup layaknya seorang Park
Hyemi tanpa seorang Kim Jong Woon seperti semula. Aku harus keluar dari
lingkaran kehidupan namja itu.
“Tentu saja yakin,” ucapku dengan nada bicara
seyakin mungkin.
Ia tersenyum tipis sambil menancap gas. Lalu
tatapannya beralih pada wajahku.
“Apa kau mencintaiku?” tanyanya lagi yang kembali
membuat jantungku berdetak tak beraturan.
Tatapanku masih terpaku pada kedua bola matanya.
Dan setelah menghela nafas serta meyakinkan hatiku akan keputusanku ini, aku
menjawabnya.
“Bohong jika kukatakan aku telah mencintaimu,
tapi itu mungkin untuk saat ini. Ke depannya setelah aku menjadi milikmu
seutuhnya, kupastikan aku akan belajar mencintaimu dan hatiku hanya tertuju
pada dirimu…”
-To be
continued-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar