Kamis, 27 Desember 2012

Love or Obsession? (Part 9)

Love or Obsession––– Part 9

Author : Ifa Raneza
Main cast : Yesung (Kim Jong Woon), Park Hyemi
Note : I think this story become strange .___. Sorry if you bored with this FF *deep bow*.



**

Jungsoo tertawa mendengar ucapan seorang yeoja di telepon. Ia tertawa penuh kemenangan dengan telinganya yang masih menempel pada ponselnya, mendengarkan kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut yeoja yang meneleponnya itu. Lalu ia berjalan ke sudut ruangan, menjatuhkan dirinya di sofa dan merentangkan tangannya pada kepala sofa.
“Hyemi dan Sungmin sudah berangkat ke Paris tadi siang. Bukankah itu kemajuan yang bagus? Dan aku tidak perlu takut Hyemi akan membatalkan pernikahannya lagi, karena bukankah dia tidak bisa kembali pada Jongwoon akibat kehamilanmu?” ujar Jungsoo di sela kekehannya.
Yeoja di seberang sambungan itu ikut terkekeh.
“Benar. Ah, kau tahu? Kim Jong Woon sangat manis padaku. Sepertinya dia sudah mulai jatuh pada pesonaku,” ucap gadis itu yang membuat senyum licik Jungsoo terlihat jelas di bibirnya.
“Bagus. Aku tidak menyangka rencana kita akan berjalan sebagus ini,” ucap Jungsoo sambil memainkan rambutnya sendiri.
Ne, rencanamu memang hebat, Jungsoo-ssi.”
Jungsoo kembali tertawa pelan. Ia sudah bisa membayangkan kehidupan Hyemi yang akan lebih baik dibandingkan saat Hyemi bersama Jongwoon. Apa yang bisa Jongwoon lakukan pada Hyemi untuk membahagiakan adiknya itu di dalam bayang-bayang masa lalu Jongwoon yang kelam? Masa lalu yang menggambarkan watak buruk Jongwoon.
“Ah, bagaimana dengan kehamilanku nanti? Bagaimana jika…”
“Kehamilanmu?” potong Jungsoo. “Kehamilan palsumu maksudmu?”

PRANG!
Jungsoo reflek memalingkan wajahnya ke arah pintu ruang baca yang sedang ditempatinya. Wajahnya berubah serius, dengan kepalanya yang sedikit ia miringkan mencoba mencari tahu siapa yang berada di luar sana dan memecahkan salah satu barang pecah belah. Bukan, ia tidak mempermasalahkan pecahnya barang mahal itu. Yang ia permasalahkan sekarang adalah apakah orang itu mendengar semua percakapannya dengan yeoja yang berbicara dengannya lewat telepon ini.
“Siapa di sana?” tanya Jungsoo dengan sedikit berteriak.
Namun hening, tidak ada sahutan dari luar sana.
Jungsoo mengerutkan keningnya dan menatap pintu ruangan itu dengan tatapan curiga.
“Nanti kutelepon lagi, Hara-ssi,” ucapnya seraya menutup sambungan telepon tanpa memalingkan tatapannya dari pintu cokelat itu.
Ia keluar dari ruang baca itu dan meneliti keadaan di depan sana. Tidak ada siapapun di sana, bahkan pelayan pun tidak ada mengingat ini sudah hampir jam 10 malam. Semua orang sudah tertidur kecuali dirinya dan orang misterius ini. Jungsoo hendak melangkahkan kakinya melangkah menuju kamarnya di lantai atas saat matanya tak sengaja mendapati sesuatu yang tergeletak di dekat kakinya.
Ia menunduk, memungut untaian rantai dengan mutiara-mutiara kecil sebagai hiasannya. Ia menimbang-nimbang, lalu senyumnya terukir jelas di bibirnya saat ia mengetahui siapa pemilik benda ini.

**

(Jung Narin POV)

“Hahh… Hahh…”
Aku bisa mendengar degup jantung dan nafasku sendiri yang begitu memburu saat ini. Keringat dingin keluar dari pori-pori kulitku, membasahi setiap inci kulit wajahku dengan tubuhku yang bergetar kuat. Kedua telapak tanganku terasa dingin saat kutangkupkan kedua tanganku pada wajahku, mengusapnya frustasi bercampur takut.
Aku.. aku mendengar semuanya. Aku mendengar Jungsoo-oppa berbicara dengan seseorang lewat telepon. Aku bisa menyimpulkan rencana apa yang ia maksud dengan orang yang kupikir adalah Jung Hara mengingat ‘kasus’ kehamilannya.
Jadi… semua itu adalah rekayasa? Ini semua adalah rencana Jungsoo-oppa untuk menjauhkan Hyemi dan Jongwoon?
Tuhan, kenapa aku begitu bodoh? Kenapa malah aku yang menyakiti sahabatku sendiri?

Tok… Tok… Tok…
Kedua mataku terbuka lebar saat kudengar ketukan pada pintu kamar yang sedang kubelakangi ini. Bisa kupastikan wajahku sudah pucat pasi saat ini.
“Narin, kau belum tidur, kan?”
DEG!
Suara itu mampu membuat hentakan keras pada jantungku yang malang ini. Keringat dingin terus bercucuran di dahiku. Aku meringis pelan sambil menautkan kedua tanganku yang sudah mendingin sejak tadi. Aku harus bagaimana menghadapi sosok itu?
“Narin, buka pintunya. Aku tahu kau belum tidur,” ucapnya lagi dengan nada yang sedikit menuntut sambil mengetuk pintu kamarku dengan sedikit lebih keras dari yang tadi.
Dengan takut dan ragu, aku berbalik dan membuka pintu kamar ini secara perlahan.
Aku menunduk saat sosok itu terlihat jelas oleh indera penglihatanku. Aku tidak berani menatapnya sekarang. Dia… dia begitu menakutkan di mataku saat ini.
“Apa ada yang ingin kau bicarakan padaku?” tanyanya, membuatku mengangkat wajahku menatapnya dengan tatapan bingung.
“Kupikir.. kau yang mencariku,” ucapku ragu.
Ia menyunggingkan senyuman sinisnya.
“Aku menemukan ini di depan ruang baca saat terdengar bunyi pecahan kaca di sana,” ucapnya sambil menunjukkan gelang rantai berhias mutiara padaku, membuat darahku membeku dan wajahku memucat. “Apa ini milikmu?” tanyanya yang tak mampu untuk kujawab.
Bodoh, makiku dalam hati. Bisa-bisanya aku meninggalkan jejak di sana. Aku sudah ketahuan sekarang.
“Kau mendengar semuanya?” tanyanya dingin yang membuatku semakin menundukkan kepalaku dalam.
Bagaimana ini…?
“Aku tanya, apa kau mendengar semuanya, Jung Narin..?” tanyanya dengan sedikit memiringkan kepalanya dan mendekatkannya pada wajahku.
Aku reflek memundurkan wajahku saat wajahnya semakin mendekat padaku. Aku tahu, ia ingin melihat kebohongan atau kejujuran pada mataku saat menjawab pertanyaannya.
“A… aku…” ucapku terbata.
Ia mendengus pelan.
“Jawab yang jujur, Narin.. Kau tahu, aku sangat tidak suka dibohongi,” ucapnya yang membuatku semakin sulit bernafas.
Akhirnya pertahananku runtuh. Aku mengangguk mengiyakan ucapannya. Ia tersenyum, lalu mencengkeram bahuku kuat, membuatku melonjak dan meringis kesakitan. Terlebih jarak wajah kami hanya beberapa centi.
“Dengar, Nona… Jika sesuatu terjadi pada rencana pernikahan adikku, maka orang pertama yang kucari adalah kau, Narin. Jangan coba-coba memancingku, mengerti?” ucapnya datar yang membuat seluruh syarafku menegang.
Aku hanya bisa mengangguk kaku. Kemudian ia tersenyum seraya mengusap puncak kepalaku.
Good girl..” bisiknya di telingaku.
Ia mengangkat tanganku dan meletakkan gelang rantai itu di atas telapak tanganku.
“Ingat, kebahagiaan Hyemi tidak berada pada Jongwoon,” ucapnya sebelum menghilang di balik pintu yang tertutup.

Kau salah… Kebahagiaan Hyemi ada pada Jongwoon. Mereka saling mencintai…’ batinku sepeninggalannya.

Aku menatap nanar gelang rantai yang ada dalam genggamanku ini. Tubuhku membeku, aku tidak tahu harus melakukan apa.
Hyemi, tolong aku… Aku harus bagaimana?

**

(Author POV)

Narin turun dari lantai atas yang disambut dengan senyuman hangat Jungsoo seperti biasanya, tapi entah kenapa kali ini gadis itu malah merasa senyuman tulus itu terlihat begitu menakutkan. Entah ini perasaannya saja atau memang begitu.
“Mau ke mana, Narin?” tanya Jungsoo tanpa menghapus senyumnya sambil menutup surat kabar yang dibacanya. Ia mulai memerhatikan penampilan Narin.
“Ke.. Aku mau.. ke rumah temanku, Oppa..” ucap Narin yang tentunya berbohong. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada Jungsoo. Pria itu bisa saja melakukan hal-hal yang tidak terduga jika ia mengatakan yang sebenarnya.
“Teman?” ucap Jungsoo sembari melirik jam tangannya. “Ini masih pagi, Narin-ah. Kau yakin? Tidak mau sarapan dulu?” tanya Jungsoo.
Narin menggeleng. “Aku sarapan di luar saja. Annyeong,” ujar Narin seraya membungkukkan badannya. Lalu beranjak keluar dari rumah mewah itu.

**

Ting… Tong…

CKLEK…
“Maaf, kau siapa?” tanya wanita anggun dengan wajah bingungnya saat membuka pintu apartemen itu dan mendapati Narin sedang berdiri di sana.
“Jung Narin imnida,” ucap Narin sambil membungkuk hormat. “Anda Jung Hara, benar kan?” tanyanya memastikan yang dijawab dengan anggukan oleh wanita itu. “Boleh aku masuk? Aku ingin membicarakan hal penting padamu,” ucap Narin.
“Tentu saja. Ayo, masuk,” ucap Hara sambil menggeser tempatnya berdiri, mempersilakan Narin memasuki apartemennya.

“Kau mau kubuatkan minuman, Narin-ssi?” tanya Hara sopan pada tamu barunya.
Narin hanya menggeleng sambil tersenyum tipis. “Tidak usah, aku hanya sebentar.”
Hara duduk di hadapan Narin dan mulai memasang wajah seriusnya.
“Apa yang ingin kau katakan, Narin-ssi?” tanya Hara.
Narin menghela nafasnya panjang, lalu mulai menatap Hara dengan tatapan tajam, membuat Hara sedikit tertegun dengan tatapannya yang sedikit berbeda dengan yang tadi.
“Perlu kau tahu, aku adalah orang yang paling memedulikan perasaan Hyemi,” ujar Narin serius.
Hara menyeringai menatap Narin yang tampak begitu lemah di matanya.
“Jadi ada perlu apa denganku?” tanya Hara mulai menunjukkan keangkuhannya dengan nada bicaranya.
Narin mendengus sambil menunjukkan seringai kecil di sudut bibirnya.
“Aku harap kau tahu diri, Hara-ssi,” ucap Narin yang langsung menyulut emosi Hara. “Jongwoon tidak pernah menginginkanmu dalam hidupnya. Dan seharusnya kau segera pergi dari kehidupannya dan membiarkan mereka bersatu.”
Hara mencondongkan tubuhnya ke arah Narin. Ia tidak terima dengan kata-kata Narin yang terdengar mengintimidasi dirinya.
“Apa hakmu, hah?! Tahu apa kau tentang mereka?!” tanya Hara yang mulai tersulut emosinya.
Narin kembali tersenyum samar. “Aku tahu semuanya. Aku ingin tahu, berapa Park Jung Soo membayarmu?” ucap Narin yang membuat wajah angkuh Hara berubah menjadi takut.
Kedua mata Hara terbuka lebar, air mukanya mulai berubah menjadi ketakutan dan memucat.
“A.. apa yang kau katakan…?” tanyanya pelan.
“Aku bilang, berapa Park Jung Soo membayarmu?” ujar Narin mengulangi pertanyaannya. “Berapa yang ia bayar untuk merekayasa berita kehamilan palsumu, Hara-ssi?”
Hara merasa jantungnya berhenti berdetak saat ini. Terlebih dengan tatapan menusuk yang Narin tujukan padanya. Ia menciut di hadapan gadis itu. Hancur sudah, semuanya sudah terbongkar.
“A.. apa yang… Aku…” ucap Hara tak beraturan.
Sedetik kemudian ia sudah beringsut mendekati Narin dan bersujud di depan gadis itu. Ia membuang semua rasa malu dan harga dirinya. Ia tidak memedulikan image-nya lagi. Yang terpenting sekarang adalah ia tidak mau dijebloskan ke dalam penjara karena tuduhan penipuan seperti yang ia lakukan pada Jongwoon.
“Aku mohon… Jangan laporkan aku… Aku… Aku hanya..” ucap Hara sambil menitikkan air matanya dengan tetap bersujud pada Narin.
Narin hanya menatap Hara dengan tatapan datar.
“Ini belum terlambat, Hara-ssi. Kau harus mengakhiri semua ini,” ucap Narin mencoba membuka hati Hara.
Mwo…?” Hara mengangkat kepalanya menatap Narin dengan kedua matanya yang berair.
“Beritahu Jongwoon tentang apa yang sebenarnya terjadi, dan aku akan memberitahu Hyemi. Mereka berdua saling mencintai, Hara.. Dan aku tidak mau mengorbankan perasaan sahabatku,” ujar Narin dengan tatapan teduhnya.
Hara menundukkan wajahnya, menghindari tatapan Narin yang mampu menyentuh hatinya yang terdalam.
“Tapi, terlambat… Ini sudah terlambat, Narin-ssi…” ucapnya dengan suara serak, membuat Narin menaikkan sebelah alisnya dan menatap Hara penuh selidik.
“Apa? Apa maksudmu?” tanya Narin dengan nada bicara yang mulai meninggi.
“Jongwoon… Dia akan berangkat ke Paris siang ini. Dia bilang dia ingin mengurus perusahaan keluarganya yang sudah ia telantarkan di Paris. Ia ingin membangun keluarganya di sana, tanpa bayang-bayang masa lalunya, Park Hyemi…” jelas Hara yang membuat kedua mata Narin terbuka lebar.
“Apa katamu…?!” geram Narin.
Tanpa memedulikan Hara yang masih bersimpuh di hadapannya, Narin bangkit dan menatap Hara dengan tatapan tajamnya yang seolah ingin segera melelehkan wanita jahat itu.
“Kita harus menghentikan semua ini secepatnya! Aku harap kau segera sadar akan kesalahanmu dan melakukan yang semestinya kau lakukan,” ujar Narin seraya berjalan menuju pintu depan dan pergi dari apartemen itu.
Ia meninggalkan Hara yang masih bersimpuh di tempatnya, menghapus sisa air matanya dengan perasaan bersalah.
“Maafkan aku, Jongwoon…”

**

Pria angkuh itu menatap malas yeoja yang menatapnya dengan tatapan bingung bercampur pedih. Raut wajahnya menuntut penjelasan atas apa yang ia lihat saat ini. Yeoja itu melirik wanita anggun yang sedang bergelayut di lengan pria itu, pria yang jelas-jelas sudah menjadi miliknya.
“Oppa… Dia…”
“Dia pacarku,” potong pria itu yang membuat yeoja itu membuka matanya lebar.
“M.. mwo?”
“Kubilang dia pacarku,” ucap pria itu tanpa memedulikan air mata yang sudah menggenangi pelupuk mata yeoja di depannya.
“Jongwoon-oppa… Kalau dia pacarmu, lalu aku… Kau anggap apa aku selama ini…?” ucapnya di sela air matanya yang jatuh menuruni pipi putihnya.
Jongwoon memasang wajah berpikirnya yang dibuat-buat. Lalu ia menjentikkan jarinya sambil tersenyum lebar.
“Tentu saja kau adalah pacarku. Tapi sekarang aku sudah dapat yang baru, jadi aku…” Jongwoon menatap yeoja di depannya dengan tatapan merendahkan. “Aku ingin kita putus sekarang,” ucapnya kejam.
Yeoja itu––Jung Nara––merasa jantungnya yang malang tersentak hingga ia rasakan organ penting itu lepas dari tempatnya. Putus? Bisa-bisanya namja itu mengatakan bahwa ia ingin berpisah setelah mendapatkan yeoja yang baru.
“Jadi… yang orang-orang bilang tentangmu…” ucap Nara terputus. Ia merasa dadanya sesak mengingat ucapan adiknya sendiri tentang penilaiannya pada Jongwoon. Itu semua benar, Kim Jong Woon bukanlah namja baik seperti yang ia pikirkan.
Jongwoon tertawa, ia tertawa keras sekali sementara yeoja di sebelahnya hanya menatap Nara dengan tatapan kasihan bercampur merendahkan.
“Itu semua benar. Kau saja yang bodoh kenapa tidak percaya dengan semua itu,” ujar Jongwoon yang membuat seluruh tubuh Nara melemas.
“Jadi selama ini… kau menganggap aku…”
“Sebagai mainanku,” ucap Jongwoon cepat menyambung ucapan Nara yang terputus.
Nara mengepalkan kedua tangannya. Ia tidak percaya semua ini terjadi padanya. Jongwoon… Namja baik yang mau menerimanya apa adanya melakukan ini semua pada dirinya. Tidak, Jongwoon bukanlah namja yang baik. Namja itu jahat. Jahat sekali.
“Jadi sekarang kita berpisah, ya. Lagipula aku bosan denganmu. Aku bosan dengan orang-orang yang melihatku seperti aku sedang berjalan dengan pelayanku saat aku bersamamu,” ucap Jongwoon merendahkan sosok Nara yang tampak sederhana di depannya.
Nara menghapus air matanya dengan kasar. Ia menghirup udara malam yang sangat menyesakkan dadanya, lalu menghembuskannya perlahan.
“Aku mengerti… Semoga kau bahagia, Oppa..” ucap Nara sebelum membungkukkan tubuhnya dalam. “Kita akan berpisah. Aku janji tidak akan muncul di hadapanmu lagi. Kita tidak akan bertemu lagi. AKU AKAN PERGI,” ucap Nara dengan penekanan pada akhir kalimatnya.
Kemudian ia berbalik, meninggalkan Jongwoon dan yeoja barunya di café itu. Nara menangis sejadi-jadinya di dalam hati. Ia benar, ia akan pergi. Pergi dari kehidupan Jongwoon dan pergi dari dunia ini untuk selama-lamanya.
Selama-lamanya…

**

BRAK!
Nafas Jongwoon begitu memburu dengan keringat dingin yang keluar dari pori-pori kulitnya saat ia terbangun. Ia memerhatikan ke sekelilingnya. Ia berada di kamar, ia masih berada di kamarnya. Ia tidak sedang berada di masa itu, masa yang membuatnya menjadi pria yang sangat buruk dan menyebabkan seseorang memilih untuk mengakhiri hidupnya. Dengan susah payah ia menelan ludahnya, lalu sebelah tangannya menopang kepalanya dan memijitnya pelan.
Mimpi itu kembali ke memorinya dengan begitu nyata, membuatnya seperti kembali ke masa itu.  Jongwoon mengacak rambutnya frustasi, ia merasa dirinya seperti sedang dikejar-kejar oleh tanggung jawab atas kesalahannya dulu.
Bagaimana pun semua itu adalah kesalahannya, ia harus menyelesaikan semua ini.

“Jongwoon…”
Jongwoon menoleh ke arah ambang pintu kamarnya. Di sana sudah berdiri sosok wanita paruh baya yang tetap menunjukkan keanggunannya walau usianya sudah tak muda lagi. Ia berjalan menghampiri Jongwoon, dan duduk di samping anaknya itu.
“Tentang keputusanmu ke Paris, itu…”
“Aku sudah yakin, Eomma,” potong Jongwoon.
Ia menatap ibunya dengan senyum hangat di bibirnya, walaupun Nyonya Kim tahu bahwa senyum itu sangat  ia paksakan.
“Aku ingin mengurus perusahaan appa di sana,” ucap Jongwoon lagi.
Kini Nyonya Kim menghela nafasnya panjang, tanda ketidaksetujuannya dengan keputusan anaknya itu. “Kenapa tidak di sini saja? Di sini kau juga bisa mengurus perusahaan appa, kenapa harus memilih perusahaan yang di Paris?” tanyanya, tidak rela dengan keputusan putranya.
Jongwoon menggeleng. “AniyoEomma tahu persis seperti apa keputusanku,” ucap Jongwoon lembut.
Kemudian ia beranjak dari kasurnya dan berjalan pelan ke arah kamar mandi.
“Aku harus bersiap, siang ini aku akan berangkat ke Paris.”

**

(Lee Sungmin POV)

Kugerakkan sebelah tanganku menekan bel pintu bernomor 1065 itu beberapa kali. Dan beberapa saat kemudian, sosok yang selalu membuatku terpesona itu muncul di balik pintu putih itu, menyambutku dengan senyum lembutnya.
“Kau sudah datang?” ucapnya sambil menggeser posisi berdirinya, mempersilakanku untuk masuk ke dalam kamar hotelnya.
Aku duduk di sofa putih di dekat jendela, menatap pemandangan kota Paris dari lantai 15 ini dengan tatapan kagum. Tidak salah yeoja ini mengajakku ke kota indah ini.
“Kau mau mengajakku ke mana hari ini, Ming?” tanyanya yang sudah bersiap dengan jaket merah mudanya.
“Taman, danau, kebun bunga… Mana yang kau mau? Aku siap menemanimu ke mana pun kau mau,” ucapku yang membuat senyumnya mengembang.
Arraseo, tunggu sebentar. Aku ambil tasku dulu,” ujarnya sebelum berlari-lari kecil masuk ke dalam kamar tidur.
Aku menarik sudut bibirku, membentuk seulas senyuman melihatnya yang begitu antusias akan liburan ini. Lalu aku kembali terhanyut dalam pemandangan di luar sana.

Lama aku menatap gedung-gedung tinggi itu, hingga aku merasakan sesuatu yang bergetar di atas meja. Aku menatap ragu ponsel putih yang tergeletak di sana sebelum meraihnya dan mendapati sebuah pesan masuk.
KLIK…
Tanpa izin dari pemilik benda elektronik ini, aku membuka pesan itu. Dan apa yang kubaca di dalam pesannya adalah sesuatu yang tidak ingin kudapatkan saat ini. Kedua mataku terbuka lebar membaca sederet kalimat yang membuat nafasku tercekat. Bagaimana mungkin kenyataan ini kembali dihadapkan padaku? Hyemi tidak boleh mengetahui ini. Dia harus tetap menjadi milikku.

“Kenapa ponselku ada padamu, Sungmin?”
Suara itu terdengar begitu dingin saat aku baru saja akan menekan tombol ‘delete’ pada ponselnya. Aku ingin menghapus pesan itu, sekaligus menghapus bayangan Jongwoon-hyung dan kemungkinan bahwa Hyemi akan mengubah keputusannya untuk memilihku sebagai prianya.
Aniyo,” ucapku berusaha senormal mungkin.
Ia melangkah maju dengan wajah datarnya ke arahku. Tampak sekali ia tidak suka benda pribadinya disentuh olehku. Dengan kasar ia menarik tanganku yang enggan memberikan benda putih ini padanya.
Ia menatapku tajam.
“Berikan ponselku padaku!” serunya sambil menadahkan tangannya padaku, menuntutku untuk segera menyerahkan ponsel ini padanya.
“Hye…”
“Berikan sekarang!” serunya dengan penekanan pada setiap katanya.
Dengan berat hati aku menyerahkan ponsel itu padanya dan membiarkannya membaca pesan yang tertera di layar ponsel.
Ia mengerutkan keningnya.
“Apa yang kau sembunyikan dariku?” tanyanya sambil menatapku bingung.
Aku mengendikkan bahuku. “Eobseo,” jawabku singkat.
Dengan ragu ia memasukkan ponselnya ke dalam tas selempang kecilnya, lalu sebelah tangannya kugamit dan kami berjalan beriringan keluar dari kamar hotel ini.
“Jadi kau mau ke mana?” tanyaku.
“Ke mana saja.”
Aku tersenyum mendengar jawabannya. Untungnya jemariku dengan cepat menekan tombol delete itu sebelum ia sempat membaca pesan penting itu.
You’re mine, Park Hyemi.

**

(Author POV)

Seorang pria dengan topi yang menutupi kepalanya dan kacamata hitam yang menyembunyikan kedua bola mata gelapnya keluar dari ruang kedatangan dengan menyeret sebuah koper yang cukup besar. Dengan senyum hambar yang ia menapakkan kakinya di bumi kota terindah itu. Paris.
Ia berjalan menuju mobil hitam yang sudah menunggunya di depan saja. Ia disambut oleh seorang supir yang siap mengantarkannya ke apartemen barunya di kota ini. Setelah ia memasang seat belt, sekelebat memori yang membuatnya sekali lagi tersakiti terulang kembali dalam pikirannya.


“Oppa… Aku ingin bicara.”
“Bicara apa, Hara? Aku harus segera berangkat.”
“Tapi…”
“Kenapa? Kau takut aku akan meninggalkanmu dan calon bayi kita? Hey… Tenanglah, aku tidak akan kabur. Aku hanya mempersiapkan segala kebutuhan keluarga kita kelak di sana.”
“Bu… Bukan itu…”
“Lalu? Cepat katakan, sebentar lagi pesawat menuju Paris akan berangkat.”
“Aku ingin… Eh, aku…”
“Hm…?”
“Aku harap kau akan bertemu dengan Park Hyemi di sana.”
“Mwo…? Apa.. apa maksudmu, Hara? Kau tahu kan, aku sudah mulai bisa melupakannya?”
“Bukan… Aku ingin kau kembali padanya..”
“Apa maksudmu? Cepat jelaskan apa maksud perkataanmu tadi!”
“Aku… Sebelum kau pergi ke Paris, kau harus mengetahui satu hal.”
“Apa? Cepat katakan, Hara! Waktuku tak banyak.”
“Aku… Sebenarnya.. aku tidak pernah hamil.”
“Mwo…?”


Jongwoon memijit keningnya sendiri seraya menyesap pelan teh hangat yang baru dibuatnya beberapa menit yang lalu. Ia menatap pemandangan gedung-gedung tinggi di luar sana dari jendela apartemennya di lantai lima. Sangat mengagumkan.
Ia mengembangkan senyumnya menatap langit Paris yang tampak cerah hari ini. Kemudian ia menghembuskan nafasnya pada kaca jendela hingga kaca itu berembun. Lalu ia menggerakkan jari telunjuknya di sana, menuliskan sebuah nama di kaca yang berembun itu.

Park Hyemi


––

“Apa katamu?”
“Ne… Terserah padamu kau mau menganggap aku wanita macam apa. Tapi sebelum ini semua terlambat, aku ingin kau mengejar cintamu lagi. Aku mohon, Oppa… Jangan buat dosaku semakin besar karena kau menyerah akan cintamu pada Park Hyemi.”
“Hara… Kau…”
“Park Jungsoo..”
“Apa?”
“Park Jungsoo, dia yang membayarku untuk semua sandiwara ini.”
“Kalian…”
“Pergilah ke Paris, temui cintamu di sana, Oppa.”
“Terlambat..”
“Apa?”
“Dia sudah memilih Sungmin, bukan aku. Baginya aku adalah makhluk bodoh yang tak pantas mendapatkan cintanya kembali.”
“Oppa, kau––”
“Aku pergi, Hara. Jaga dirimu baik-baik.”
“Kim Jong Woon, kau––”



**

“Aku ke sana sebentar,” ucap Sungmin seraya meninggalkan Hyemi yang tengah meneruskan kegiatan membaca bukunya di taman itu.
Hyemi terus menenggelamkan dirinya dalam deretan rapi tulisan demi tulisan di buku itu, sampai akhirnya ia merasakan sesuatu yang bergetar di dalam tas kecilnya. Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel putihnya.
Sesaat ia mengerutkan keningnya menatap bingung ke layar ponsel. Tapi di detik berikutnya ia segera menekan tombol hijau pada ponselnya dan menempelkan benda elektronik itu pada telinganya.
Yeoboseyo..” ucapnya.
“Hye.. Hyemi.”
Hyemi semakin mengerutkan keningnya mendengar suara sahabatnya yang tak lagi normal seperti biasa. Bahkan ia merasa sahabatnya ini sedang dilanda ketakutan luar biasa.
“Narin-ah… Ada apa?” tanya Hyemi bingung mendengar suara Narin yang bergetar.
“Kau… Kau sudah bertemu dengan Kim Jong Woon di sana?” tanya Narin yang membuat Hyemi tersentak kaget.
“Jongwoon ada di Paris?” tanyanya memastikan.
Ne…”
Hyemi menghembuskan nafasnya perlahan, membuang jauh-jauh harapannya yang mulai muncul di dalam benaknya.
“Tidak, aku tidak bertemu dengannya. Dan aku sangat ingin melupakannya,” jawab Hyemi dengan nada datar, menutupi rasa senangnya yang membuncah karena Jongwoon ternyata berada di kota yang sama dengannya.
Mwo..? Tapi…”
“Narin, bukankah seharusnya aku memikirkan pernikahanku sekarang, bukan dirinya…” ucap Hyemi sedikit bingung dengan sikap sahabatnya ini.
“Hyemi, kau kenapa? Apa kau sudah membaca pesanku?”
Hyemi membuka matanya lebar. Ia mengingat kejadian tadi, saat Sungmin menyembunyikan sesuatu darinya yang tertera di dalam ponselnya. Jadi itu yang ia sembunyikan dari Hyemi?
“Pesan? Pesan apa? Aku tidak menerima pesan apapun darimu, Narin,” ujar Hyemi cepat, menuntut Narin untuk segera menjelaskan semuanya.
“Kau benar-benar tidak membaca pesanku, Hyemi-ah?”
“Tidak, Narin! Aku tidak membaca pesanmu! Pesan apa? Apa isi pesanmu, Narin?”
“Kim Jong Woon…” ucap Narin terputus, membuat kedua bola mata Hyemi semakin terbuka. “Jongwoon tidak bersalah, Hyemi.. Semua ini hanya rekayasa kakakmu. Jung Hara… wanita itu tidak mengandung anak Jongwoon. Ia tidak pernah mengandung anak siapapun.”
Kali ini Hyemi merasa seluruh persendiannya melemas dan darahnya perlahan membeku di dalam urat nadinya. Tanpa ia sadari ponselnya sudah terjatuh dari genggamannya bersamaan dengan air matanya yang sudah lama tidak terlihat di pelupuk matanya.
“Jongwoon…” gumamnya seraya beranjak dari bangku taman itu dan berlari seperti orang gila.
Ia terus berlari entah ke mana, ia berlari tanpa tujuan. Ia tidak mengenal kota ini dan ia juga tidak tahu harus mencari orang yang ingin ia temui saat ini ke mana. Kim Jong Woon, Hyemi ingin menemui pria itu.

**

“Hyemi… Ini minuman––”
Senyuman yang mengembang di bibir Sungmin mendadak hilang begitu saja saat tidak mendapati sosok Hyemi di bangku taman itu. Ia mengalihkan tatapannya ke seluruh penjuru taman, dan ia tidak menemukan sosok itu. Ia meletakkan dua cup minuman yang ia bawa di atas kursi dan mendapati ponsel Hyemi tergeletak begitu saja di sana.
“Narin…” bisik Sungmin saat melihat nama itu tertera pada panggilan terakhir di dalam ponsel Hyemi.
Sungmin mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia sadar apapun yang terjadi pada Hyemi sekarang bukanlah sesuatu yang baik. Apapun bisa gadis itu lakukan, termasuk mengakhiri hidupnya jika ia mau.

**

Hyemi terduduk di depan sebuah danau. Ia terdiam, hanya isakan tangisnya yang terdengar di sana. Tidak ada seorang pun selain dirinya di danau itu. Sepi… Yang terdengar hanya detak jantungnya dan isakan tangisnya yang semakin menjadi. Ia merasa perasaannya telah dinomorduakan oleh semua orang di sekelilingnya. Kenapa semua orang seolah mempermainkan perasaannya? Kenapa semua orang malah terlihat seperti mengorbankan perasaannya demi egonya?
Cukup. Hyemi tidak mau semua ini terus berlanjut dalam hidupnya. Ia ingin semuanya berakhir. Jongwoon… Bahkan ia tidak tahu apakah namja itu masih bisa menerimanya atau malah mereka akan benar-benar berpisah sekarang.
Ia bingung, ia kalut. Ia bingung menentukan pilihannya.
Dan di saat tatapan nanarnya tertuju pada sebuah titik di depan sana, pikiran bodohnya kembali menguasai dirinya.

It’s my only way…” bisiknya pada dirinya sendiri bersamaan dengan kedua kakinya yang mulai melangkah maju.

**

“Narin…”
Gadis yang merasa namanya disebut itu sontak menolehkan kepalanya ke sumber suara. Betapa terkejutnya ia saat mendapati pria dengan wajah murkanya menatapnya tajam. Tanpa ia sadari kedua kakinya mulai melangkah mundur bersamaan dengan langkah maju pria itu. Kedua tangannya melemas, hingga ia tidak menyadari saat ponselnya terjatuh begitu saja ke lantai.
Pria itu menunduk, memungut ponsel gadis itu yang terjatuh. Tatapannya semakin menyala murka saat ia mendapati nama Park Hyemi tertera di layar ponsel itu sebagai panggilan terakhir yang gadis itu hubungi.
“Kau sudah berani menghancurkan rencanaku, heh?!” bentaknya sambil melempar benda ditangannya ke dinding hingga hancur tak berbentuk.
“Jung… Jungsoo-oppa…” ucap Narin tergagap.
Ia merasa kedua kakinya terlalu kelu untuk ia gunakan sebagai alat untuk berlari. Tubuhnya membeku, seolah menahannya untuk tetap diam di hadapan namja itu dan membiarkannya membunuhnya.
“Kau… Bukankah kau tahu aku bisa melakukan apa saja untuk membalasmu, heh?!” ujarnya lagi yang membuat tubuh Narin bergetar tak berdaya.
Op… Oppa… Ugh!”
Tiba-tiba saja leher putih yang jenjang itu berada dalam cengkeraman tangan Jungsoo, membuatnya sulit untuk bernafas apalagi untuk mengucapkan satu kata.
“Aku muak melakukan ini, Narin. Tapi aku lebih tidak suka saat seseorang mencoba mengusik urusanku,” ucap Jungsoo dengan dinginnya.
Dan tanpa perasaan ia terus mengencangkan cengkeraman tangannya pada leher Narin, hingga membuat wajah gadis itu membiru.
“Bu… Bunuh aku… Karena… ak.. aku juga… sudah muak dengan semuanya…” ucap Narin dengan susah payah.
Jungsoo melepaskan cengkeramannya secara perlahan, membuat Narin bisa bernafas lega.
“Aku tidak mau mengorbankan perasaan sahabatku, Park Jung Soo-ssi,” ucap Narin meski dengan nafasnya yang masih tersengal.

**

Heart beats fast
Colors and promises
How to be brave
How can I love when I'm afraid to fall
But watching you stand alone
All of my doubt suddenly goes away somehow

One step closer…


Sungmin berlari dengan perasaan yang kalut mencari sosok Hyemi di tengah keramaian kota. Ia khawatir akan perasaan gadis itu yang tidak stabil. Ia bisa saja melakukan hal-hal di luar akal sehat jika sedang kalut. Dan itu yang membuat Sungmin harus segera menemukannya sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Lalu tatapannya tertuju pada sebuah tas kecil yang tergeletak di pinggir jalan, membuatnya berhenti di sana dan memungutnya. Ia tahu pemilik tas ini. Ia sangat mengenalinya. Sungmin mengerang frustasi, ia menjambak rambutnya sendiri, putus asa dengan pencariannya yang tak kunjung membuahkan hasil ini.
“Park Hyemi, kau di mana?!!!” teriaknya dengan wajah menengadah ke langit Paris yang tampak cerah, seolah tersenyum menertawakan takdirnya.


I have died everyday waiting for you
Darlin' don't be afraid
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more


Sosok rapuh itu terus melangkahkan kakinya menuju dalamnya air dingin danau yang semakin membekukan tulang-tulangnya. Namun seberapapun menusuknya air dingin danau itu, ia tetap melangkahkan kakinya, semakin menenggelamkan dirinya di dalam tenangnya danau itu. Air itu beriak-riak kecil saat ia dengan gontainya melangkahkan kedua kakinya jenjangnya hingga air danau itu merendam dirinya hingga pinggul.
Sejenak ia memejamkan matanya sambil kedua kakinya terus melangkah menantang danau itu untuk menelan sosoknya.
“Jongwoon…” gumamnya pelan sambil merasakan lembutnya angin yang menerpa wajahnya. “Aku tidak bisa membencimu… Aku… aku mencintaimu…” ucapnya lagi bersamaan dengan air mata yang jatuh dari pelupuk matanya.


Time stands still beauty in all she is
I will be brave
I will not let anything take away
What's standing in front of me


Pria itu tertegun melihat sosok yang sedang mencoba membunuh dirinya sendiri di dalam dinginnya air danau. Ia sempat berpikir, sosok itu bukanlah sosok yang sekarang berada dalam benaknya. Tapi sosok itu benar-benar mirip seperti sosok yang ia pikirkan selama ini. Ia mulai berpikir lagi… Gadis itu tidak mungkin berada di Paris, berada di tanah yang sama dengan dirinya. Tapi.. apa yang ada di hadapannya adalah kenyataan. Ia ragu, apakah sosok itu benar-benar gadisnya?


Every breath,
Every hour has come to this


“Bodoh kau, Jongwoon!” makinya dalam hatinya.
Ia segera melepas earphone yang masih melekat pada telinganya dan melemparnya ke sembarang arah. Ia segera berlari ke arah gadis yang masih melangkahkan kakinya mencoba menenggelamkan dirinya di dalam dinginnya air danau.
Apapun yang gadis itu pikirkan ia harus selamat. Jongwoon tidak boleh membiarkan gadis itu berpikir untuk terus melakukan aksi bodohnya ini.
“Park Hyemi, hentikan!!!”

One step closer…


“Park Hyemi, hentikan!!!”
Hyemi membuka matanya. Jelas-jelas suara itu terdengar begitu nyata di telinganya. Ia hendak menoleh, membalikkan badan, dan membuktikan sendiri bahwa sosok pemilik suara itu bukanlah halusinasinya. Tapi ia menghentikannya, ia tidak mau ketika ia berbalik ia malah mendapati bahwa suara yang memanggilnya itu hanyalah ilusi.
Sekilas ia mengulum senyum pahitnya.
“Kau selalu muncul… Kenapa kau selalu muncul dalam hidupku, Jongwoon…?” bisiknya yang hanya bisa ia dengar sendiri.


I have died everyday waiting for you
Darlin' don't be afraid
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more


“Jangan dekati aku!!!” teriak Narin frustasi yang membuat Jungsoo semakin kalut dibuatnya.
Namja itu membelalakkan matanya saat ia melihat sebelah tangan Narin mengacungkan pisau dan hendak menggores urat nadinya sendiri dengan benda tajam itu.
“Narin, hentikan!!!” teriak Jungsoo yang semakin panik dengan sikap Narin.
“Biarkan aku mati! Aku tidak mau hidupku dipenuhi bayangan rasa bersalah pada Hyemi dan aturan bodohmu! Aku tidak mau aku mati di tanganmu, Park Jung Soo! Bukankah ini yang kau inginkan? Bukankah kau ingin membunuhku?” jerit Narin dengan air mata yang semakin membanjiri wajahnya.
Jungsoo menelan ludahnya dengan susah payah. Tadinya ia ingin mencekik leher Narin, memperingatkan pada gadis itu akan ancamannya karena sudah menghancurkan rencananya. Tapi ketika ia melepaskan jeratan tangannya, gadis itu langsung mendorongnya dan berlari ke kamarnya, membuat Jungsoo mengejarnya dan membuat gadis itu semakin ketakutan. Di tengah ketakutannya, Narin dengan kalapnya mengambil sebuah pisau dan kini––seperti yang Jungsoo lihat––gadis itu mencoba memotong urat nadinya sendiri.
“Biarkan aku menebus kesalahanku pada Jongwoon dan Hyemi..” ucapnya dengan tatapan tajam yang membuat Jungsoo bergidik membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Narin… Hentikan.. Kataku hentikan, Narin,” ujar Jungsoo mencoba meraih tangan Narin.
Tapi sayangnya tangan Jungsoo kalah cepat dengan gerakan tangan Narin. Sebelum tangan Jungsoo sempat menahan kedua tangannya, gadis itu segera menggoreskan pisau itu ke urat nadinya.
“Biarkan aku menyusul Nara-eonnie…”
Tes…
Darah segar itu mengalir dari pergelangan tangan Narin dengan derasnya, membuat Jungsoo terbelalak saat Narin kembali memotong urat nadinya yang lain.
“AAAAAAAARRGGHHHHHHH!!!”



And all along I believed
I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more


“Ugh…”
Hyemi merasa ruang di paru-parunya mulai sesak. Ia merasa kesulitan untuk bernafas. Namun ia tidak mau keluar dari ketenangan ini. Ketenangan yang membuatnya lupa akan masalah-masalah yang menyakitinya. Kenyataan-kenyataan pahit yang akhir-akhir ini menghujam hatinya.
Ia menikmati ini. Menikmati saat-saat di mana ia mampu melupakan semuanya.
Kali ini ia sadar ia sudah berakhir. Hatinya, cintanya, dan perjalanan hidupnya. Semuanya akan ia akhiri di sini, di danau ini yang merupakan saksi bisu akan besarnya kebodohan dan cintanya pada satu namja, Kim Jong Woon.


One step closer…


Jongwoon masuk ke dalam air. Ia menggerakkan seluruh tenaganya untuk meraih seorang yeoja yang sedang meregang nyawanya di tengah sana. Ia terus berenang, tanpa memedulikan air danau yang sudah hampir membekukan seluruh tubuhnya. Baginya hanya satu yang terpenting .. Gadis itu harus tetap hidup.

One step closer


Jongwoon menggapai tubuh Hyemi yang lemah di dalam air danau yang berhasil menenggelamkan sosoknya beberapa menit yang lalu. Dengan panik namja itu membawa tubuh kecil dalam pelukannya ke tepi danau, mencoba mengeluarkan air yang tidak sengaja di telannya.
Satu…
Dua…
Tiga…
Jongwoon gagal. Hyemi tetap tidak bergeming. Kedua matanya masih tertutup rapat dan air di dalam perutnya masih belum keluar. Tanpa menghiraukan tubuhnya yang sudah hampir membeku, Jongwoon meraih wajah Hyemi dan menekankan bibirnya pada bibir gadis itu. Mencoba memberikan nafas baru bagi gadisnya untuk dapat kembali menghembuskan nafasnya… bersamanya.


I have died everyday waiting for you
Darlin' don't be afraid,
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more


“NARIIIIIN…!!!”
Jungsoo tidak memedulikan berapa banyak darah segar yang keluar dari kedua pergelangan tangan gadis itu mengotori pakaiannya. Ia tidak peduli berapa banyak rasa bencinya terhadap apa yang baru saja Narin lakukan pada rencananya. Ia tidak bisa tidak peduli dengan apa yang ada di hadapannya kini. Ia baru saja membuat seseorang memilih untuk mengakhiri hidupnya. Ia menangis, untuk pertama kalinya Jungsoo menangis untuk orang lain. Ia menangis untuk sosok yeoja yang berada di dalam pelukannya. Sosok dengan darah yang terus mengalir dengan derasnya dari pergelangan tangannya yang tersayat pisau.
“Bangun, Narin… Hey, kenapa kau bodoh sekali, huh? Kenapa mengakhiri hidupmu seperti ini…?” ucap Jungsoo di sela tangisannya yang semakin menjadi.
Ia tidak akan seperti ini jika ia sendiri yang membunuh Narin. Tapi ia tidak bisa berhenti untuk mengutuk dirinya sendiri saat Narin memilih membunuh dirinya sendiri karena dirinya, karena Park Jung Soo.
ANDWAEEEEEEE!!!!”
Teriakan memilukan itu terdengar menggema di ruangan mewah dengan beragam furniture mahal yang terpajang di sana. Satu lagi orang yang tersiksa melihat sosok tak berdaya dengan darah yang bersimbah pada tubuhnya di dalam pelukannya.
Jung Narin telah memilih untuk mengakhiri hidupnya.


And all along I believed
I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more





-To be continued-





Song: A Thousand Years by Christina Perri
Pict by: MissFishyJazz


Hope you can feel something while read this story … :’)
-Kamsahamnida …


Tidak ada komentar:

Posting Komentar