Love
or Obsession––– Part 9
Author : Ifa
Raneza
Main cast :
Yesung (Kim Jong Woon), Park Hyemi
Note : I
think this story become strange .___. Sorry if you bored with this FF *deep
bow*.
**
Jungsoo tertawa mendengar ucapan seorang yeoja di telepon. Ia tertawa penuh
kemenangan dengan telinganya yang masih menempel pada ponselnya, mendengarkan
kalimat-kalimat yang terlontar dari mulut yeoja
yang meneleponnya itu. Lalu ia berjalan ke sudut ruangan, menjatuhkan dirinya
di sofa dan merentangkan tangannya pada kepala sofa.
“Hyemi dan Sungmin sudah berangkat ke Paris tadi siang.
Bukankah itu kemajuan yang bagus? Dan aku tidak perlu takut Hyemi akan
membatalkan pernikahannya lagi, karena bukankah dia tidak bisa kembali pada
Jongwoon akibat kehamilanmu?” ujar Jungsoo di sela kekehannya.
Yeoja di seberang sambungan itu ikut terkekeh.
“Benar. Ah, kau tahu? Kim Jong Woon sangat manis
padaku. Sepertinya dia sudah mulai jatuh pada pesonaku,” ucap gadis itu yang
membuat senyum licik Jungsoo terlihat jelas di bibirnya.
“Bagus. Aku tidak menyangka rencana kita akan
berjalan sebagus ini,” ucap Jungsoo sambil memainkan rambutnya sendiri.
“Ne,
rencanamu memang hebat, Jungsoo-ssi.”
Jungsoo kembali tertawa pelan. Ia sudah bisa
membayangkan kehidupan Hyemi yang akan lebih baik dibandingkan saat Hyemi
bersama Jongwoon. Apa yang bisa Jongwoon lakukan pada Hyemi untuk membahagiakan
adiknya itu di dalam bayang-bayang masa lalu Jongwoon yang kelam? Masa lalu
yang menggambarkan watak buruk Jongwoon.
“Ah, bagaimana dengan kehamilanku nanti?
Bagaimana jika…”
“Kehamilanmu?” potong Jungsoo. “Kehamilan palsumu
maksudmu?”
PRANG!
Jungsoo reflek memalingkan wajahnya ke arah pintu
ruang baca yang sedang ditempatinya. Wajahnya berubah serius, dengan kepalanya
yang sedikit ia miringkan mencoba mencari tahu siapa yang berada di luar sana
dan memecahkan salah satu barang pecah belah. Bukan, ia tidak mempermasalahkan
pecahnya barang mahal itu. Yang ia permasalahkan sekarang adalah apakah orang itu
mendengar semua percakapannya dengan yeoja
yang berbicara dengannya lewat telepon ini.
“Siapa di sana?” tanya Jungsoo dengan sedikit
berteriak.
Namun hening, tidak ada sahutan dari luar sana.
Jungsoo mengerutkan keningnya dan menatap pintu
ruangan itu dengan tatapan curiga.
“Nanti kutelepon lagi, Hara-ssi,” ucapnya seraya menutup sambungan telepon tanpa memalingkan
tatapannya dari pintu cokelat itu.
Ia keluar dari ruang baca itu dan meneliti
keadaan di depan sana. Tidak ada siapapun di sana, bahkan pelayan pun tidak ada
mengingat ini sudah hampir jam 10 malam. Semua orang sudah tertidur kecuali
dirinya dan orang misterius ini. Jungsoo hendak melangkahkan kakinya melangkah
menuju kamarnya di lantai atas saat matanya tak sengaja mendapati sesuatu yang
tergeletak di dekat kakinya.
Ia menunduk, memungut untaian rantai dengan
mutiara-mutiara kecil sebagai hiasannya. Ia menimbang-nimbang, lalu senyumnya
terukir jelas di bibirnya saat ia mengetahui siapa pemilik benda ini.
**
(Jung Narin
POV)
“Hahh… Hahh…”
Aku bisa mendengar degup jantung dan nafasku sendiri
yang begitu memburu saat ini. Keringat dingin keluar dari pori-pori kulitku,
membasahi setiap inci kulit wajahku dengan tubuhku yang bergetar kuat. Kedua
telapak tanganku terasa dingin saat kutangkupkan kedua tanganku pada wajahku,
mengusapnya frustasi bercampur takut.
Aku.. aku mendengar semuanya. Aku mendengar
Jungsoo-oppa berbicara dengan
seseorang lewat telepon. Aku bisa menyimpulkan rencana apa yang ia maksud
dengan orang yang kupikir adalah Jung Hara mengingat ‘kasus’ kehamilannya.
Jadi… semua itu adalah rekayasa? Ini semua adalah
rencana Jungsoo-oppa untuk menjauhkan
Hyemi dan Jongwoon?
Tuhan, kenapa aku begitu bodoh? Kenapa malah aku
yang menyakiti sahabatku sendiri?
Tok… Tok…
Tok…
Kedua mataku terbuka lebar saat kudengar ketukan
pada pintu kamar yang sedang kubelakangi ini. Bisa kupastikan wajahku sudah pucat
pasi saat ini.
“Narin, kau belum tidur, kan?”
DEG!
Suara itu mampu membuat hentakan keras pada
jantungku yang malang ini. Keringat dingin terus bercucuran di dahiku. Aku
meringis pelan sambil menautkan kedua tanganku yang sudah mendingin sejak tadi.
Aku harus bagaimana menghadapi sosok itu?
“Narin, buka pintunya. Aku tahu kau belum tidur,”
ucapnya lagi dengan nada yang sedikit menuntut sambil mengetuk pintu kamarku
dengan sedikit lebih keras dari yang tadi.
Dengan takut dan ragu, aku berbalik dan membuka
pintu kamar ini secara perlahan.
Aku menunduk saat sosok itu terlihat jelas oleh
indera penglihatanku. Aku tidak berani menatapnya sekarang. Dia… dia begitu
menakutkan di mataku saat ini.
“Apa ada yang ingin kau bicarakan padaku?”
tanyanya, membuatku mengangkat wajahku menatapnya dengan tatapan bingung.
“Kupikir.. kau yang mencariku,” ucapku ragu.
Ia menyunggingkan senyuman sinisnya.
“Aku menemukan ini di depan ruang baca saat
terdengar bunyi pecahan kaca di sana,” ucapnya sambil menunjukkan gelang rantai
berhias mutiara padaku, membuat darahku membeku dan wajahku memucat. “Apa ini
milikmu?” tanyanya yang tak mampu untuk kujawab.
Bodoh, makiku dalam hati. Bisa-bisanya aku
meninggalkan jejak di sana. Aku sudah ketahuan sekarang.
“Kau mendengar semuanya?” tanyanya dingin yang
membuatku semakin menundukkan kepalaku dalam.
Bagaimana ini…?
“Aku tanya, apa kau mendengar semuanya, Jung
Narin..?” tanyanya dengan sedikit memiringkan kepalanya dan mendekatkannya pada
wajahku.
Aku reflek memundurkan wajahku saat wajahnya
semakin mendekat padaku. Aku tahu, ia ingin melihat kebohongan atau kejujuran
pada mataku saat menjawab pertanyaannya.
“A… aku…” ucapku terbata.
Ia mendengus pelan.
“Jawab yang jujur, Narin.. Kau tahu, aku sangat
tidak suka dibohongi,” ucapnya yang membuatku semakin sulit bernafas.
Akhirnya pertahananku runtuh. Aku mengangguk
mengiyakan ucapannya. Ia tersenyum, lalu mencengkeram bahuku kuat, membuatku
melonjak dan meringis kesakitan. Terlebih jarak wajah kami hanya beberapa
centi.
“Dengar, Nona… Jika sesuatu terjadi pada rencana
pernikahan adikku, maka orang pertama yang kucari adalah kau, Narin. Jangan
coba-coba memancingku, mengerti?” ucapnya datar yang membuat seluruh syarafku
menegang.
Aku hanya bisa mengangguk kaku. Kemudian ia
tersenyum seraya mengusap puncak kepalaku.
“Good girl..”
bisiknya di telingaku.
Ia mengangkat tanganku dan meletakkan gelang
rantai itu di atas telapak tanganku.
“Ingat, kebahagiaan Hyemi tidak berada pada
Jongwoon,” ucapnya sebelum menghilang di balik pintu yang tertutup.
‘Kau salah…
Kebahagiaan Hyemi ada pada Jongwoon. Mereka saling mencintai…’ batinku
sepeninggalannya.
Aku menatap nanar gelang rantai yang ada dalam
genggamanku ini. Tubuhku membeku, aku tidak tahu harus melakukan apa.
Hyemi, tolong aku… Aku harus bagaimana?
**
(Author POV)
Narin turun dari lantai atas yang disambut dengan
senyuman hangat Jungsoo seperti biasanya, tapi entah kenapa kali ini gadis itu
malah merasa senyuman tulus itu terlihat begitu menakutkan. Entah ini
perasaannya saja atau memang begitu.
“Mau ke mana, Narin?” tanya Jungsoo tanpa
menghapus senyumnya sambil menutup surat kabar yang dibacanya. Ia mulai memerhatikan
penampilan Narin.
“Ke.. Aku mau.. ke rumah temanku, Oppa..” ucap Narin yang tentunya
berbohong. Ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya pada Jungsoo. Pria itu
bisa saja melakukan hal-hal yang tidak terduga jika ia mengatakan yang sebenarnya.
“Teman?” ucap Jungsoo sembari melirik jam
tangannya. “Ini masih pagi, Narin-ah. Kau yakin? Tidak mau sarapan dulu?” tanya
Jungsoo.
Narin menggeleng. “Aku sarapan di luar saja. Annyeong,” ujar Narin seraya
membungkukkan badannya. Lalu beranjak keluar dari rumah mewah itu.
**
Ting… Tong…
CKLEK…
“Maaf, kau siapa?” tanya wanita anggun dengan
wajah bingungnya saat membuka pintu apartemen itu dan mendapati Narin sedang
berdiri di sana.
“Jung Narin imnida,”
ucap Narin sambil membungkuk hormat. “Anda Jung Hara, benar kan?” tanyanya
memastikan yang dijawab dengan anggukan oleh wanita itu. “Boleh aku masuk? Aku
ingin membicarakan hal penting padamu,” ucap Narin.
“Tentu saja. Ayo, masuk,” ucap Hara sambil
menggeser tempatnya berdiri, mempersilakan Narin memasuki apartemennya.
“Kau mau kubuatkan minuman, Narin-ssi?” tanya Hara sopan pada tamu
barunya.
Narin hanya menggeleng sambil tersenyum tipis.
“Tidak usah, aku hanya sebentar.”
Hara duduk di hadapan Narin dan mulai memasang
wajah seriusnya.
“Apa yang ingin kau katakan, Narin-ssi?” tanya Hara.
Narin menghela nafasnya panjang, lalu mulai
menatap Hara dengan tatapan tajam, membuat Hara sedikit tertegun dengan
tatapannya yang sedikit berbeda dengan yang tadi.
“Perlu kau tahu, aku adalah orang yang paling
memedulikan perasaan Hyemi,” ujar Narin serius.
Hara menyeringai menatap Narin yang tampak begitu
lemah di matanya.
“Jadi ada perlu apa denganku?” tanya Hara mulai
menunjukkan keangkuhannya dengan nada bicaranya.
Narin mendengus sambil menunjukkan seringai kecil
di sudut bibirnya.
“Aku harap kau tahu diri, Hara-ssi,” ucap Narin yang langsung menyulut
emosi Hara. “Jongwoon tidak pernah menginginkanmu dalam hidupnya. Dan
seharusnya kau segera pergi dari kehidupannya dan membiarkan mereka bersatu.”
Hara mencondongkan tubuhnya ke arah Narin. Ia
tidak terima dengan kata-kata Narin yang terdengar mengintimidasi dirinya.
“Apa hakmu, hah?! Tahu apa kau tentang mereka?!”
tanya Hara yang mulai tersulut emosinya.
Narin kembali tersenyum samar. “Aku tahu
semuanya. Aku ingin tahu, berapa Park Jung Soo membayarmu?” ucap Narin yang
membuat wajah angkuh Hara berubah menjadi takut.
Kedua mata Hara terbuka lebar, air mukanya mulai
berubah menjadi ketakutan dan memucat.
“A.. apa yang kau katakan…?” tanyanya pelan.
“Aku bilang, berapa Park Jung Soo membayarmu?”
ujar Narin mengulangi pertanyaannya. “Berapa yang ia bayar untuk merekayasa
berita kehamilan palsumu, Hara-ssi?”
Hara merasa jantungnya berhenti berdetak saat
ini. Terlebih dengan tatapan menusuk yang Narin tujukan padanya. Ia menciut di
hadapan gadis itu. Hancur sudah, semuanya sudah terbongkar.
“A.. apa yang… Aku…” ucap Hara tak beraturan.
Sedetik kemudian ia sudah beringsut mendekati
Narin dan bersujud di depan gadis itu. Ia membuang semua rasa malu dan harga
dirinya. Ia tidak memedulikan image-nya lagi. Yang terpenting sekarang adalah
ia tidak mau dijebloskan ke dalam penjara karena tuduhan penipuan seperti yang
ia lakukan pada Jongwoon.
“Aku mohon… Jangan laporkan aku… Aku… Aku
hanya..” ucap Hara sambil menitikkan air matanya dengan tetap bersujud pada
Narin.
Narin hanya menatap Hara dengan tatapan datar.
“Ini belum terlambat, Hara-ssi. Kau harus mengakhiri semua ini,” ucap Narin mencoba membuka
hati Hara.
“Mwo…?”
Hara mengangkat kepalanya menatap Narin dengan kedua matanya yang berair.
“Beritahu Jongwoon tentang apa yang sebenarnya
terjadi, dan aku akan memberitahu Hyemi. Mereka berdua saling mencintai, Hara..
Dan aku tidak mau mengorbankan perasaan sahabatku,” ujar Narin dengan tatapan
teduhnya.
Hara menundukkan wajahnya, menghindari tatapan
Narin yang mampu menyentuh hatinya yang terdalam.
“Tapi, terlambat… Ini sudah terlambat, Narin-ssi…” ucapnya dengan suara serak,
membuat Narin menaikkan sebelah alisnya dan menatap Hara penuh selidik.
“Apa? Apa maksudmu?” tanya Narin dengan nada bicara
yang mulai meninggi.
“Jongwoon… Dia akan berangkat ke Paris siang ini.
Dia bilang dia ingin mengurus perusahaan keluarganya yang sudah ia telantarkan
di Paris. Ia ingin membangun keluarganya di sana, tanpa bayang-bayang masa
lalunya, Park Hyemi…” jelas Hara yang membuat kedua mata Narin terbuka lebar.
“Apa katamu…?!” geram Narin.
Tanpa memedulikan Hara yang masih bersimpuh di
hadapannya, Narin bangkit dan menatap Hara dengan tatapan tajamnya yang seolah
ingin segera melelehkan wanita jahat itu.
“Kita harus menghentikan semua ini secepatnya!
Aku harap kau segera sadar akan kesalahanmu dan melakukan yang semestinya kau
lakukan,” ujar Narin seraya berjalan menuju pintu depan dan pergi dari
apartemen itu.
Ia meninggalkan Hara yang masih bersimpuh di
tempatnya, menghapus sisa air matanya dengan perasaan bersalah.
“Maafkan aku, Jongwoon…”
**
Pria angkuh
itu menatap malas yeoja yang menatapnya dengan tatapan bingung bercampur pedih.
Raut wajahnya menuntut penjelasan atas apa yang ia lihat saat ini. Yeoja itu melirik
wanita anggun yang sedang bergelayut di lengan pria itu, pria yang jelas-jelas
sudah menjadi miliknya.
“Oppa… Dia…”
“Dia
pacarku,” potong pria itu yang membuat yeoja itu membuka matanya lebar.
“M.. mwo?”
“Kubilang dia
pacarku,” ucap pria itu tanpa memedulikan air mata yang sudah menggenangi
pelupuk mata yeoja di depannya.
“Jongwoon-oppa…
Kalau dia pacarmu, lalu aku… Kau anggap apa aku selama ini…?” ucapnya di sela
air matanya yang jatuh menuruni pipi putihnya.
Jongwoon
memasang wajah berpikirnya yang dibuat-buat. Lalu ia menjentikkan jarinya
sambil tersenyum lebar.
“Tentu saja
kau adalah pacarku. Tapi sekarang aku sudah dapat yang baru, jadi aku…”
Jongwoon menatap yeoja di depannya dengan tatapan merendahkan. “Aku ingin kita
putus sekarang,” ucapnya kejam.
Yeoja
itu––Jung Nara––merasa jantungnya yang malang tersentak hingga ia rasakan organ
penting itu lepas dari tempatnya. Putus? Bisa-bisanya namja itu mengatakan
bahwa ia ingin berpisah setelah mendapatkan yeoja yang baru.
“Jadi… yang
orang-orang bilang tentangmu…” ucap Nara terputus. Ia merasa dadanya sesak
mengingat ucapan adiknya sendiri tentang penilaiannya pada Jongwoon. Itu semua
benar, Kim Jong Woon bukanlah namja baik seperti yang ia pikirkan.
Jongwoon
tertawa, ia tertawa keras sekali sementara yeoja di sebelahnya hanya menatap
Nara dengan tatapan kasihan bercampur merendahkan.
“Itu semua
benar. Kau saja yang bodoh kenapa tidak percaya dengan semua itu,” ujar
Jongwoon yang membuat seluruh tubuh Nara melemas.
“Jadi selama
ini… kau menganggap aku…”
“Sebagai
mainanku,” ucap Jongwoon cepat menyambung ucapan Nara yang terputus.
Nara
mengepalkan kedua tangannya. Ia tidak percaya semua ini terjadi padanya.
Jongwoon… Namja baik yang mau menerimanya apa adanya melakukan ini semua pada
dirinya. Tidak, Jongwoon bukanlah namja yang baik. Namja itu jahat. Jahat
sekali.
“Jadi
sekarang kita berpisah, ya. Lagipula aku bosan denganmu. Aku bosan dengan orang-orang
yang melihatku seperti aku sedang berjalan dengan pelayanku saat aku
bersamamu,” ucap Jongwoon merendahkan sosok Nara yang tampak sederhana di
depannya.
Nara
menghapus air matanya dengan kasar. Ia menghirup udara malam yang sangat
menyesakkan dadanya, lalu menghembuskannya perlahan.
“Aku
mengerti… Semoga kau bahagia, Oppa..” ucap Nara sebelum membungkukkan tubuhnya
dalam. “Kita akan berpisah. Aku janji tidak akan muncul di hadapanmu lagi. Kita
tidak akan bertemu lagi. AKU AKAN PERGI,” ucap Nara dengan penekanan pada akhir
kalimatnya.
Kemudian ia
berbalik, meninggalkan Jongwoon dan yeoja barunya di café itu. Nara menangis
sejadi-jadinya di dalam hati. Ia benar, ia akan pergi. Pergi dari kehidupan
Jongwoon dan pergi dari dunia ini untuk selama-lamanya.
Selama-lamanya…
**
BRAK!
Nafas Jongwoon begitu memburu dengan keringat
dingin yang keluar dari pori-pori kulitnya saat ia terbangun. Ia memerhatikan
ke sekelilingnya. Ia berada di kamar, ia masih berada di kamarnya. Ia tidak
sedang berada di masa itu, masa yang membuatnya menjadi pria yang sangat buruk
dan menyebabkan seseorang memilih untuk mengakhiri hidupnya. Dengan susah payah
ia menelan ludahnya, lalu sebelah tangannya menopang kepalanya dan memijitnya
pelan.
Mimpi itu kembali ke memorinya dengan begitu
nyata, membuatnya seperti kembali ke masa itu.
Jongwoon mengacak rambutnya frustasi, ia merasa dirinya seperti sedang dikejar-kejar
oleh tanggung jawab atas kesalahannya dulu.
Bagaimana pun semua itu adalah kesalahannya, ia
harus menyelesaikan semua ini.
“Jongwoon…”
Jongwoon menoleh ke arah ambang pintu kamarnya.
Di sana sudah berdiri sosok wanita paruh baya yang tetap menunjukkan
keanggunannya walau usianya sudah tak muda lagi. Ia berjalan menghampiri
Jongwoon, dan duduk di samping anaknya itu.
“Tentang keputusanmu ke Paris, itu…”
“Aku sudah yakin, Eomma,” potong Jongwoon.
Ia menatap ibunya dengan senyum hangat di
bibirnya, walaupun Nyonya Kim tahu bahwa senyum itu sangat ia paksakan.
“Aku ingin mengurus perusahaan appa di sana,” ucap Jongwoon lagi.
Kini Nyonya Kim menghela nafasnya panjang, tanda
ketidaksetujuannya dengan keputusan anaknya itu. “Kenapa tidak di sini saja? Di
sini kau juga bisa mengurus perusahaan appa,
kenapa harus memilih perusahaan yang di Paris?” tanyanya, tidak rela dengan
keputusan putranya.
Jongwoon menggeleng. “Aniyo… Eomma tahu persis
seperti apa keputusanku,” ucap Jongwoon lembut.
Kemudian ia beranjak dari kasurnya dan berjalan
pelan ke arah kamar mandi.
“Aku harus bersiap, siang ini aku akan berangkat
ke Paris.”
**
(Lee Sungmin
POV)
Kugerakkan sebelah tanganku menekan bel pintu
bernomor 1065 itu beberapa kali. Dan beberapa saat kemudian, sosok yang selalu
membuatku terpesona itu muncul di balik pintu putih itu, menyambutku dengan
senyum lembutnya.
“Kau sudah datang?” ucapnya sambil menggeser
posisi berdirinya, mempersilakanku untuk masuk ke dalam kamar hotelnya.
Aku duduk di sofa putih di dekat jendela, menatap
pemandangan kota Paris dari lantai 15 ini dengan tatapan kagum. Tidak salah yeoja ini mengajakku ke kota indah ini.
“Kau mau mengajakku ke mana hari ini, Ming?”
tanyanya yang sudah bersiap dengan jaket merah mudanya.
“Taman, danau, kebun bunga… Mana yang kau mau?
Aku siap menemanimu ke mana pun kau mau,” ucapku yang membuat senyumnya
mengembang.
“Arraseo,
tunggu sebentar. Aku ambil tasku dulu,” ujarnya sebelum berlari-lari kecil
masuk ke dalam kamar tidur.
Aku menarik sudut bibirku, membentuk seulas
senyuman melihatnya yang begitu antusias akan liburan ini. Lalu aku kembali
terhanyut dalam pemandangan di luar sana.
Lama aku menatap gedung-gedung tinggi itu, hingga
aku merasakan sesuatu yang bergetar di atas meja. Aku menatap ragu ponsel putih
yang tergeletak di sana sebelum meraihnya dan mendapati sebuah pesan masuk.
KLIK…
Tanpa izin dari pemilik benda elektronik ini, aku
membuka pesan itu. Dan apa yang kubaca di dalam pesannya adalah sesuatu yang
tidak ingin kudapatkan saat ini. Kedua mataku terbuka lebar membaca sederet
kalimat yang membuat nafasku tercekat. Bagaimana mungkin kenyataan ini kembali
dihadapkan padaku? Hyemi tidak boleh mengetahui ini. Dia harus tetap menjadi
milikku.
“Kenapa ponselku ada padamu, Sungmin?”
Suara itu terdengar begitu dingin saat aku baru
saja akan menekan tombol ‘delete’
pada ponselnya. Aku ingin menghapus pesan itu, sekaligus menghapus bayangan
Jongwoon-hyung dan kemungkinan bahwa
Hyemi akan mengubah keputusannya untuk memilihku sebagai prianya.
“Aniyo,”
ucapku berusaha senormal mungkin.
Ia melangkah maju dengan wajah datarnya ke
arahku. Tampak sekali ia tidak suka benda pribadinya disentuh olehku. Dengan
kasar ia menarik tanganku yang enggan memberikan benda putih ini padanya.
Ia menatapku tajam.
“Berikan ponselku padaku!” serunya sambil
menadahkan tangannya padaku, menuntutku untuk segera menyerahkan ponsel ini
padanya.
“Hye…”
“Berikan sekarang!” serunya dengan penekanan pada
setiap katanya.
Dengan berat hati aku menyerahkan ponsel itu
padanya dan membiarkannya membaca pesan yang tertera di layar ponsel.
Ia mengerutkan keningnya.
“Apa yang kau sembunyikan dariku?” tanyanya
sambil menatapku bingung.
Aku mengendikkan bahuku. “Eobseo,” jawabku singkat.
Dengan ragu ia memasukkan ponselnya ke dalam tas
selempang kecilnya, lalu sebelah tangannya kugamit dan kami berjalan beriringan
keluar dari kamar hotel ini.
“Jadi kau mau ke mana?” tanyaku.
“Ke mana saja.”
Aku tersenyum mendengar jawabannya. Untungnya
jemariku dengan cepat menekan tombol delete
itu sebelum ia sempat membaca pesan penting itu.
You’re mine, Park Hyemi.
**
(Author POV)
Seorang pria dengan topi yang menutupi kepalanya
dan kacamata hitam yang menyembunyikan kedua bola mata gelapnya keluar dari ruang
kedatangan dengan menyeret sebuah koper yang cukup besar. Dengan senyum hambar
yang ia menapakkan kakinya di bumi kota terindah itu. Paris.
Ia berjalan menuju mobil hitam yang sudah
menunggunya di depan saja. Ia disambut oleh seorang supir yang siap
mengantarkannya ke apartemen barunya di kota ini. Setelah ia memasang seat belt, sekelebat memori yang
membuatnya sekali lagi tersakiti terulang kembali dalam pikirannya.
“Oppa… Aku
ingin bicara.”
“Bicara apa,
Hara? Aku harus segera berangkat.”
“Tapi…”
“Kenapa? Kau
takut aku akan meninggalkanmu dan calon bayi kita? Hey… Tenanglah, aku tidak
akan kabur. Aku hanya mempersiapkan segala kebutuhan keluarga kita kelak di
sana.”
“Bu… Bukan
itu…”
“Lalu? Cepat
katakan, sebentar lagi pesawat menuju Paris akan berangkat.”
“Aku ingin…
Eh, aku…”
“Hm…?”
“Aku harap
kau akan bertemu dengan Park Hyemi di sana.”
“Mwo…? Apa..
apa maksudmu, Hara? Kau tahu kan, aku sudah mulai bisa melupakannya?”
“Bukan… Aku
ingin kau kembali padanya..”
“Apa
maksudmu? Cepat jelaskan apa maksud perkataanmu tadi!”
“Aku… Sebelum
kau pergi ke Paris, kau harus mengetahui satu hal.”
“Apa? Cepat
katakan, Hara! Waktuku tak banyak.”
“Aku…
Sebenarnya.. aku tidak pernah hamil.”
“Mwo…?”
Jongwoon memijit keningnya sendiri seraya
menyesap pelan teh hangat yang baru dibuatnya beberapa menit yang lalu. Ia
menatap pemandangan gedung-gedung tinggi di luar sana dari jendela apartemennya
di lantai lima. Sangat mengagumkan.
Ia mengembangkan senyumnya menatap langit Paris
yang tampak cerah hari ini. Kemudian ia menghembuskan nafasnya pada kaca
jendela hingga kaca itu berembun. Lalu ia menggerakkan jari telunjuknya di
sana, menuliskan sebuah nama di kaca yang berembun itu.
Park Hyemi
––
“Apa katamu?”
“Ne… Terserah
padamu kau mau menganggap aku wanita macam apa. Tapi sebelum ini semua
terlambat, aku ingin kau mengejar cintamu lagi. Aku mohon, Oppa… Jangan buat
dosaku semakin besar karena kau menyerah akan cintamu pada Park Hyemi.”
“Hara… Kau…”
“Park
Jungsoo..”
“Apa?”
“Park
Jungsoo, dia yang membayarku untuk semua sandiwara ini.”
“Kalian…”
“Pergilah ke
Paris, temui cintamu di sana, Oppa.”
“Terlambat..”
“Apa?”
“Dia sudah
memilih Sungmin, bukan aku. Baginya aku adalah makhluk bodoh yang tak pantas
mendapatkan cintanya kembali.”
“Oppa, kau––”
“Aku pergi,
Hara. Jaga dirimu baik-baik.”
“Kim Jong
Woon, kau––”
**
“Aku ke sana sebentar,” ucap Sungmin seraya
meninggalkan Hyemi yang tengah meneruskan kegiatan membaca bukunya di taman
itu.
Hyemi terus menenggelamkan dirinya dalam deretan
rapi tulisan demi tulisan di buku itu, sampai akhirnya ia merasakan sesuatu
yang bergetar di dalam tas kecilnya. Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan ponsel
putihnya.
Sesaat ia mengerutkan keningnya menatap bingung
ke layar ponsel. Tapi di detik berikutnya ia segera menekan tombol hijau pada
ponselnya dan menempelkan benda elektronik itu pada telinganya.
“Yeoboseyo..”
ucapnya.
“Hye.. Hyemi.”
Hyemi semakin mengerutkan keningnya mendengar
suara sahabatnya yang tak lagi normal seperti biasa. Bahkan ia merasa
sahabatnya ini sedang dilanda ketakutan luar biasa.
“Narin-ah… Ada apa?” tanya Hyemi bingung
mendengar suara Narin yang bergetar.
“Kau… Kau sudah bertemu dengan Kim Jong Woon di
sana?” tanya Narin yang membuat Hyemi tersentak kaget.
“Jongwoon ada di Paris?” tanyanya memastikan.
“Ne…”
Hyemi menghembuskan nafasnya perlahan, membuang
jauh-jauh harapannya yang mulai muncul di dalam benaknya.
“Tidak, aku tidak bertemu dengannya. Dan aku
sangat ingin melupakannya,” jawab Hyemi dengan nada datar, menutupi rasa
senangnya yang membuncah karena Jongwoon ternyata berada di kota yang sama
dengannya.
“Mwo..?
Tapi…”
“Narin, bukankah seharusnya aku memikirkan
pernikahanku sekarang, bukan dirinya…” ucap Hyemi sedikit bingung dengan sikap
sahabatnya ini.
“Hyemi, kau kenapa? Apa kau sudah membaca
pesanku?”
Hyemi membuka matanya lebar. Ia mengingat
kejadian tadi, saat Sungmin menyembunyikan sesuatu darinya yang tertera di
dalam ponselnya. Jadi itu yang ia sembunyikan dari Hyemi?
“Pesan? Pesan apa? Aku tidak menerima pesan
apapun darimu, Narin,” ujar Hyemi cepat, menuntut Narin untuk segera
menjelaskan semuanya.
“Kau benar-benar tidak membaca pesanku,
Hyemi-ah?”
“Tidak, Narin! Aku tidak membaca pesanmu! Pesan
apa? Apa isi pesanmu, Narin?”
“Kim Jong Woon…” ucap Narin terputus, membuat
kedua bola mata Hyemi semakin terbuka. “Jongwoon tidak bersalah, Hyemi.. Semua
ini hanya rekayasa kakakmu. Jung Hara… wanita itu tidak mengandung anak
Jongwoon. Ia tidak pernah mengandung anak siapapun.”
Kali ini Hyemi merasa seluruh persendiannya
melemas dan darahnya perlahan membeku di dalam urat nadinya. Tanpa ia sadari
ponselnya sudah terjatuh dari genggamannya bersamaan dengan air matanya yang sudah
lama tidak terlihat di pelupuk matanya.
“Jongwoon…” gumamnya seraya beranjak dari bangku
taman itu dan berlari seperti orang gila.
Ia terus berlari entah ke mana, ia berlari tanpa
tujuan. Ia tidak mengenal kota ini dan ia juga tidak tahu harus mencari orang
yang ingin ia temui saat ini ke mana. Kim Jong Woon, Hyemi ingin menemui pria
itu.
**
“Hyemi… Ini minuman––”
Senyuman yang mengembang di bibir Sungmin
mendadak hilang begitu saja saat tidak mendapati sosok Hyemi di bangku taman
itu. Ia mengalihkan tatapannya ke seluruh penjuru taman, dan ia tidak menemukan
sosok itu. Ia meletakkan dua cup
minuman yang ia bawa di atas kursi dan mendapati ponsel Hyemi tergeletak begitu
saja di sana.
“Narin…” bisik Sungmin saat melihat nama itu
tertera pada panggilan terakhir di dalam ponsel Hyemi.
Sungmin mengusap wajahnya dengan frustasi. Ia
sadar apapun yang terjadi pada Hyemi sekarang bukanlah sesuatu yang baik.
Apapun bisa gadis itu lakukan, termasuk mengakhiri hidupnya jika ia mau.
**
Hyemi terduduk di depan sebuah danau. Ia terdiam,
hanya isakan tangisnya yang terdengar di sana. Tidak ada seorang pun selain
dirinya di danau itu. Sepi… Yang terdengar hanya detak jantungnya dan isakan
tangisnya yang semakin menjadi. Ia merasa perasaannya telah dinomorduakan oleh
semua orang di sekelilingnya. Kenapa semua orang seolah mempermainkan
perasaannya? Kenapa semua orang malah terlihat seperti mengorbankan perasaannya
demi egonya?
Cukup. Hyemi tidak mau semua ini terus berlanjut
dalam hidupnya. Ia ingin semuanya berakhir. Jongwoon… Bahkan ia tidak tahu
apakah namja itu masih bisa
menerimanya atau malah mereka akan benar-benar berpisah sekarang.
Ia bingung, ia kalut. Ia bingung menentukan
pilihannya.
Dan di saat tatapan nanarnya tertuju pada sebuah
titik di depan sana, pikiran bodohnya kembali menguasai dirinya.
“It’s my
only way…” bisiknya pada dirinya sendiri bersamaan dengan kedua kakinya
yang mulai melangkah maju.
**
“Narin…”
Gadis yang merasa namanya disebut itu sontak
menolehkan kepalanya ke sumber suara. Betapa terkejutnya ia saat mendapati pria
dengan wajah murkanya menatapnya tajam. Tanpa ia sadari kedua kakinya mulai
melangkah mundur bersamaan dengan langkah maju pria itu. Kedua tangannya
melemas, hingga ia tidak menyadari saat ponselnya terjatuh begitu saja ke
lantai.
Pria itu menunduk, memungut ponsel gadis itu yang
terjatuh. Tatapannya semakin menyala murka saat ia mendapati nama Park Hyemi
tertera di layar ponsel itu sebagai panggilan terakhir yang gadis itu hubungi.
“Kau sudah berani menghancurkan rencanaku, heh?!”
bentaknya sambil melempar benda ditangannya ke dinding hingga hancur tak
berbentuk.
“Jung… Jungsoo-oppa…” ucap Narin tergagap.
Ia merasa kedua kakinya terlalu kelu untuk ia
gunakan sebagai alat untuk berlari. Tubuhnya membeku, seolah menahannya untuk
tetap diam di hadapan namja itu dan
membiarkannya membunuhnya.
“Kau… Bukankah kau tahu aku bisa melakukan apa
saja untuk membalasmu, heh?!” ujarnya lagi yang membuat tubuh Narin bergetar
tak berdaya.
“Op… Oppa…
Ugh!”
Tiba-tiba saja leher putih yang jenjang itu
berada dalam cengkeraman tangan Jungsoo, membuatnya sulit untuk bernafas
apalagi untuk mengucapkan satu kata.
“Aku muak melakukan ini, Narin. Tapi aku lebih
tidak suka saat seseorang mencoba mengusik urusanku,” ucap Jungsoo dengan
dinginnya.
Dan tanpa perasaan ia terus mengencangkan
cengkeraman tangannya pada leher Narin, hingga membuat wajah gadis itu membiru.
“Bu… Bunuh aku… Karena… ak.. aku juga… sudah muak
dengan semuanya…” ucap Narin dengan susah payah.
Jungsoo melepaskan cengkeramannya secara
perlahan, membuat Narin bisa bernafas lega.
“Aku tidak mau mengorbankan perasaan sahabatku,
Park Jung Soo-ssi,” ucap Narin meski
dengan nafasnya yang masih tersengal.
**
Heart beats fast
Colors and promises
How to be brave
How can I love when I'm afraid to fall
But watching you stand alone
All of my doubt suddenly goes away somehow
Colors and promises
How to be brave
How can I love when I'm afraid to fall
But watching you stand alone
All of my doubt suddenly goes away somehow
One step closer…
Sungmin berlari dengan perasaan yang kalut
mencari sosok Hyemi di tengah keramaian kota. Ia khawatir akan perasaan gadis
itu yang tidak stabil. Ia bisa saja melakukan hal-hal di luar akal sehat jika
sedang kalut. Dan itu yang membuat Sungmin harus segera menemukannya sebelum
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Lalu tatapannya tertuju pada sebuah tas kecil
yang tergeletak di pinggir jalan, membuatnya berhenti di sana dan memungutnya.
Ia tahu pemilik tas ini. Ia sangat mengenalinya. Sungmin mengerang frustasi, ia
menjambak rambutnya sendiri, putus asa dengan pencariannya yang tak kunjung
membuahkan hasil ini.
“Park Hyemi, kau di mana?!!!” teriaknya dengan
wajah menengadah ke langit Paris yang tampak cerah, seolah tersenyum
menertawakan takdirnya.
I have died everyday waiting for you
Darlin' don't be afraid
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
Darlin' don't be afraid
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
Sosok rapuh itu terus melangkahkan kakinya menuju
dalamnya air dingin danau yang semakin membekukan tulang-tulangnya. Namun
seberapapun menusuknya air dingin danau itu, ia tetap melangkahkan kakinya,
semakin menenggelamkan dirinya di dalam tenangnya danau itu. Air itu beriak-riak
kecil saat ia dengan gontainya melangkahkan kedua kakinya jenjangnya hingga air
danau itu merendam dirinya hingga pinggul.
Sejenak ia memejamkan matanya sambil kedua
kakinya terus melangkah menantang danau itu untuk menelan sosoknya.
“Jongwoon…” gumamnya pelan sambil merasakan
lembutnya angin yang menerpa wajahnya. “Aku tidak bisa membencimu… Aku… aku
mencintaimu…” ucapnya lagi bersamaan dengan air mata yang jatuh dari pelupuk
matanya.
Time
stands still beauty in all she is
I will be brave
I will not let anything take away
What's standing in front of me
I will be brave
I will not let anything take away
What's standing in front of me
Pria
itu tertegun melihat sosok yang sedang mencoba membunuh dirinya sendiri di
dalam dinginnya air danau. Ia sempat berpikir, sosok itu bukanlah sosok yang
sekarang berada dalam benaknya. Tapi sosok itu benar-benar mirip seperti sosok
yang ia pikirkan selama ini. Ia mulai berpikir lagi… Gadis itu tidak mungkin
berada di Paris, berada di tanah yang sama dengan dirinya. Tapi.. apa yang ada
di hadapannya adalah kenyataan. Ia ragu, apakah sosok itu benar-benar gadisnya?
Every breath,
Every hour has come to this
Every hour has come to this
“Bodoh kau, Jongwoon!” makinya dalam hatinya.
Ia segera melepas earphone yang masih melekat pada telinganya dan melemparnya ke
sembarang arah. Ia segera berlari ke arah gadis yang masih melangkahkan kakinya
mencoba menenggelamkan dirinya di dalam dinginnya air danau.
Apapun yang gadis itu pikirkan ia harus selamat.
Jongwoon tidak boleh membiarkan gadis itu berpikir untuk terus melakukan aksi
bodohnya ini.
“Park Hyemi, hentikan!!!”
One step closer…
“Park Hyemi, hentikan!!!”
Hyemi membuka matanya. Jelas-jelas suara itu
terdengar begitu nyata di telinganya. Ia hendak menoleh, membalikkan badan, dan
membuktikan sendiri bahwa sosok pemilik suara itu bukanlah halusinasinya. Tapi
ia menghentikannya, ia tidak mau ketika ia berbalik ia malah mendapati bahwa
suara yang memanggilnya itu hanyalah ilusi.
Sekilas ia mengulum senyum pahitnya.
“Kau selalu muncul… Kenapa kau selalu muncul
dalam hidupku, Jongwoon…?” bisiknya yang hanya bisa ia dengar sendiri.
I have died everyday waiting for you
Darlin' don't be afraid
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
Darlin' don't be afraid
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
“Jangan dekati aku!!!” teriak Narin frustasi yang
membuat Jungsoo semakin kalut dibuatnya.
Namja itu membelalakkan matanya saat ia melihat
sebelah tangan Narin mengacungkan pisau dan hendak menggores urat nadinya
sendiri dengan benda tajam itu.
“Narin, hentikan!!!” teriak Jungsoo yang semakin
panik dengan sikap Narin.
“Biarkan aku mati! Aku tidak mau hidupku dipenuhi
bayangan rasa bersalah pada Hyemi dan aturan bodohmu! Aku tidak mau aku mati di
tanganmu, Park Jung Soo! Bukankah ini yang kau inginkan? Bukankah kau ingin
membunuhku?” jerit Narin dengan air mata yang semakin membanjiri wajahnya.
Jungsoo menelan ludahnya dengan susah payah.
Tadinya ia ingin mencekik leher Narin, memperingatkan pada gadis itu akan
ancamannya karena sudah menghancurkan rencananya. Tapi ketika ia melepaskan
jeratan tangannya, gadis itu langsung mendorongnya dan berlari ke kamarnya,
membuat Jungsoo mengejarnya dan membuat gadis itu semakin ketakutan. Di tengah
ketakutannya, Narin dengan kalapnya mengambil sebuah pisau dan kini––seperti
yang Jungsoo lihat––gadis itu mencoba memotong urat nadinya sendiri.
“Biarkan aku menebus kesalahanku pada Jongwoon
dan Hyemi..” ucapnya dengan tatapan tajam yang membuat Jungsoo bergidik
membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Narin… Hentikan.. Kataku hentikan, Narin,” ujar
Jungsoo mencoba meraih tangan Narin.
Tapi sayangnya tangan Jungsoo kalah cepat dengan
gerakan tangan Narin. Sebelum tangan Jungsoo sempat menahan kedua tangannya,
gadis itu segera menggoreskan pisau itu ke urat nadinya.
“Biarkan aku menyusul Nara-eonnie…”
Tes…
Darah segar itu mengalir dari pergelangan tangan
Narin dengan derasnya, membuat Jungsoo terbelalak saat Narin kembali memotong
urat nadinya yang lain.
“AAAAAAAARRGGHHHHHHH!!!”
And all along I believed
I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
I would find you
Time has brought your heart to me
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
“Ugh…”
Hyemi merasa ruang di paru-parunya mulai sesak. Ia
merasa kesulitan untuk bernafas. Namun ia tidak mau keluar dari ketenangan ini.
Ketenangan yang membuatnya lupa akan masalah-masalah yang menyakitinya.
Kenyataan-kenyataan pahit yang akhir-akhir ini menghujam hatinya.
Ia menikmati ini. Menikmati saat-saat di mana ia
mampu melupakan semuanya.
Kali ini ia sadar ia sudah berakhir. Hatinya,
cintanya, dan perjalanan hidupnya. Semuanya akan ia akhiri di sini, di danau
ini yang merupakan saksi bisu akan besarnya kebodohan dan cintanya pada satu namja, Kim Jong Woon.
One step closer…
Jongwoon masuk ke dalam air. Ia menggerakkan
seluruh tenaganya untuk meraih seorang yeoja
yang sedang meregang nyawanya di tengah sana. Ia terus berenang, tanpa
memedulikan air danau yang sudah hampir membekukan seluruh tubuhnya. Baginya
hanya satu yang terpenting .. Gadis itu harus tetap hidup.
One step closer
Jongwoon menggapai tubuh Hyemi yang lemah di
dalam air danau yang berhasil menenggelamkan sosoknya beberapa menit yang lalu.
Dengan panik namja itu membawa tubuh
kecil dalam pelukannya ke tepi danau, mencoba mengeluarkan air yang tidak
sengaja di telannya.
Satu…
Dua…
Tiga…
Jongwoon gagal. Hyemi tetap tidak bergeming.
Kedua matanya masih tertutup rapat dan air di dalam perutnya masih belum
keluar. Tanpa menghiraukan tubuhnya yang sudah hampir membeku, Jongwoon meraih
wajah Hyemi dan menekankan bibirnya pada bibir gadis itu. Mencoba memberikan
nafas baru bagi gadisnya untuk dapat kembali menghembuskan nafasnya…
bersamanya.
I have died everyday waiting for you
Darlin' don't be afraid,
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
Darlin' don't be afraid,
I have loved you for a thousand years
I'll love you for a thousand more
“NARIIIIIN…!!!”
Jungsoo tidak memedulikan berapa banyak darah
segar yang keluar dari kedua pergelangan tangan gadis itu mengotori pakaiannya.
Ia tidak peduli berapa banyak rasa bencinya terhadap apa yang baru saja Narin
lakukan pada rencananya. Ia tidak bisa tidak peduli dengan apa yang ada di
hadapannya kini. Ia baru saja membuat seseorang memilih untuk mengakhiri
hidupnya. Ia menangis, untuk pertama kalinya Jungsoo menangis untuk orang lain.
Ia menangis untuk sosok yeoja yang
berada di dalam pelukannya. Sosok dengan darah yang terus mengalir dengan
derasnya dari pergelangan tangannya yang tersayat pisau.
“Bangun, Narin… Hey, kenapa kau bodoh sekali,
huh? Kenapa mengakhiri hidupmu seperti ini…?” ucap Jungsoo di sela tangisannya
yang semakin menjadi.
Ia tidak akan seperti ini jika ia sendiri yang
membunuh Narin. Tapi ia tidak bisa berhenti untuk mengutuk dirinya sendiri saat
Narin memilih membunuh dirinya sendiri karena dirinya, karena Park Jung Soo.
“ANDWAEEEEEEE!!!!”
Teriakan memilukan itu terdengar menggema di
ruangan mewah dengan beragam furniture mahal yang terpajang di sana. Satu lagi
orang yang tersiksa melihat sosok tak berdaya dengan darah yang bersimbah pada
tubuhnya di dalam pelukannya.
Jung Narin telah memilih untuk mengakhiri
hidupnya.
And
all along I believed
I
would find you
Time
has brought your heart to me
I
have loved you for a thousand years
I'll
love you for a thousand more
-To be continued-
Song: A Thousand Years by Christina Perri
Pict by: MissFishyJazz
Hope you can feel something
while read this story … :’)
-Kamsahamnida …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar