Title : Stay Here (Sequel of My Memories With You)
Author : Ifa
Raneza
Genre : Sad, Romance, Angst
Cast : Im Sungrin (OC), Cho Kyuhyun, Kim Ryeowook
Hai
haaai~! :D Saya balik lagi nih bawa sequel dari My Memories With You :D Dan FF ini pernah dipost di SJFF.
Seneng
banget karena respon dari readernya bagus banget xD kkkk
Sebelumnya
makasih banget buat yang udah baca ;)
Di
sini awalnya saya udah bikin sequelnya, tapi saya bikin ulang karena ceritanya
agak gaje -__-v Dan inilah hasilnyaa~
Okelah,
langsung dibaca aja ^^
Happy
reading ^^
***
(Im Sungrin POV)
“Eomma, kau melihat buku kuliahku?”
tanyaku setengah berteriak dari dalam kamar saat aku tidak menemukan buku yang
kucari.
“Mwo? Buku kuliahmu yang mana? Kenapa
bertanya pada Eomma?” kata ibuku
balik bertanya. “Mungkin ada di kamar Minji,” ujarnya lagi yang langsung
kuturuti.
Aku
berhenti mencari buku di rak bukuku yang sudah tidak beraturan lagi dan
berjalan masuk ke dalam kamar Minji, adikku. Seperti biasa kamarnya tidak
dikunci saat ia berpergian, membuatku dengan mudah bisa ‘menggeledah’ kamarnya.
Dia memang memiliki sifat buruk yang selalu meminjam barang-barangku tanpa
memberitahuku sama sekali. Dasar anak itu!
Aku
meneliti deretan buku yang tersusun rapi di rak bukunya. Lama aku mencari buku
yang kubutuhkan, sampai akhirnya pandanganku tertuju pada sebuah buku berwarna
hitam yang kurasa tak asing lagi bagiku. Setelah menarik buku itu dari rak buku
bisa kusimpulkan itu bukanlah sebuah buku, melainkan album foto. Ini adalah
album fotoku yang sudah lama hilang. Album foto ini berisi kenanganku dengan namja itu, namja yang sudah berhasil merebut hatiku. Perlahan tangan kananku
tergerak untuk membukanya dan kenangan dua tahun lalu pun berputar kembali di
otakku.
***
-2 Februari 2010-
Aku melirik jam
tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Pukul 23.59. Tinggal
semenit lagi, maka namja-ku itu akan genap berusia 22 tahun. Dengan cekatan
jari telunjukku menekan angka-angka pada kode keamanan apartemen. KLIK! Pintu
terbuka dan aku melangkah masuk ke dalamnya. Langkah kakiku menuju pintu yang
berada di sudut ruangan. Perlahan aku membuka pintu itu, berusaha tidak
menimbulkan suara sedikit pun yang bisa membangunkan orang yang berada di dalam
ruangan.
Pandanganku
langsung tertuju pada seorang namja yang tertidur pulas di atas tempat
tidurnya. Tanpa sadar melihat wajahnya yang sedang tertidur, sudut bibirku
tertarik ke atas. Kuhampiri dia yang masih tertidur dan menyentuh wajahnya.
Wajahnya persis seperti bayi, lucu sekali.
Satu… dua… tiga…
Akhirnya jam menunjukkan waktu 00.00, tepat tengah malam. Kuguncang pelan
lengannya sehingga membuatnya sedikit menggeliat. Akhirnya kedua matanya
terbuka dengan sempurna dan langsung tertuju padaku.
“Hai,” sapaku.
Wajahnya masih
sama, kebingungan. Mungkin ia bingung kenapa aku bisa ada di kamarnya.
“Kau… Sungrin,
kan?” tanyanya polos sambil mengerjapkan matanya berkali-kali.
“Kau pikir siapa?”
tanyaku sambil mengerucutkan bibirku, pura-pura kesal.
“Kenapa kau bisa ada
di sini?” tanyanya lagi.
Aku mengendikkan
bahuku. “Aku tahu password apartemenmu. Apa kau lupa itu?” kataku enteng.
“Yaak, bukan itu
yang kutanyakan. Kenapa kau ada di sini? Tengah malam pula!” ujarnya sedikit
kesal dengan jawabanku.
“Aissh… Apa jangan-jangan
kau juga lupa, ya?” ucapku seraya merogoh tasku dan mengeluarkan ponsel. “Lihat
ini, sekarang sudah tanggal berapa?” ujarku sambil menunjukkan kalender dalam
ponselku.
Ia hanya melongo
melihat layar ponselku dan perlahan-lahan raut wajahnya berubah.
“Aaaah, bagaimana
aku bisa lupa ulang tahunku sendiri???” ujarnya histeris sambil menepuk
tangannya berkali-kali. “Berarti aku sudah 22 tahun sekarang?” tanyanya
antusias yang hanya kujawab dengan sekali anggukan.
“Happy birthday,
Mr Cho,” ucapku sambil mengacak rambutnya pelan.
“Hanya itu?”
“Mwo?” tanyaku tak
mengerti.
“Tidak ada kado
untukku?” katanya balik bertanya yang kujawab dengan gelengan. “Issh… Yeoja
macam apa kau yang tidak memberikan kado untuk namjachingu-nya?” ujarnya sambil
menatapku dengan tatapan mematikannya yang sama sekali tidak mempan untukku.
“Yaak, apa
menyelinap masuk ke kamarmu saat tengah malam masih kurang, hah?!”
“Tentu saja masih
kurang, pabo!”
“YA! Kau
mengataiku pabo, hah?! Sudah berani kau ternyata.”
“Beri aku kado!”
“Tidak ada!”
“Issh… Beri aku
kado!”
“Aku tidak membawa
kado, Kyuhyun-ah!”
Dapat kudengar
desisannya sebelum akhirnya dia beringsut mendekat padaku yang duduk di tepi
ranjangnya. Dia menatapku tepat pada kedua bola mataku dalam, membuatku sedikit
bergidik melihatnya. Err… Sepertinya aku merasakan ada hal yang tidak beres di
sini.
“Mau apa kau?”
tanyaku sedikit takut saat posisi kami tidak sejauh tadi.
Dia menarik sudut
bibirnya ke satu arah, bukan membentuk senyuman seperti biasa, melainkan sebuah
seringai. Ya, dia menyeringai.
“Beri aku kado,”
ucapnya pelan dengan suara yang sedikit berat, membuatku yang mendengarnya menjadi
sedikit kesulitan menelan ludah.
“Mwo?”
Belum sempat aku
berkata-kata lebih banyak lagi, tangan kanannya sudah meraih tengkukku dan
menariknya agar wajah kami mendekat. Dia menghapus jarak antara wajah kami dan
membuat bibirnya menyapu bibirku lembut.
“Temani aku
tidur,” katanya setelah melepaskan tautan bibir kami.
“Mwo? Menemanimu
tidur di sini?” ucapku kaget dengan kedua mata yang sudah terbelalak.
Ia hanya
mengangguk dan menggeser tubuhnya. Lalu sebelah tangannya menepuk-nepuk tempat
kosong di sebelahnya, menyuruhku untuk segera merebahkan tubuhku di sana.
Aku menggelengkan
kepalaku mantap. “Shireo!”
“Kau tidak bisa
menolak!”
“Yaak, wae?”
“Menyelinap ke
apartemen orang itu termasuk tindakan kriminal. Kau mau kulaporkan ke polisi?”
ujarnya sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
“Aissh… Arraseo,
arraseo,” ujarku sambil mengacak rambutku frustasi. “Jadi kau mau apa
sekarang?”
“Apa masih kurang
jelas? Temani aku tidur. Aku masih ngantuk, Sungrin-ah.”
Melihatku yang
masih belum bergerak dari tempatku, dia menarikku agar mendekat padanya dan
merebahkan tubuhku di samping tubuhnya. Dia melingkarkan kedua tangannya di
tubuhku, hampir membuatku sulit bernafas.
“Kau menjadi
sanderaku sampai besok pagi, arra?” bisiknya tepat di telingaku dengan kedua
matanya yang sudah tertutup.
“Arraseo,” balasku
sambil ikut menutup mata dan membalas pelukannya.
***
Aku
tidak bisa menahan diriku untuk tidak terkekeh mengingat sikapnya yang seperti
anak kecil saat itu. Tanganku kembali membuka halaman berikutnya dan mendapati
beberapa foto yang di dalamnya terdapat gambar seorang namja yang sedang mencium pipi yeoja
yang ada di sebelahnya. Lagi, sudut bibirku tertarik ke atas bersamaan dengan
otakku yang kembali memutar memori itu.
***
-4 April 2010-
“Hei, kemari!” ujarnya sambil menggerakkan tangannya, mengisyaratkan kepadaku untuk
menghampirinya.
“Kau lihat sunset
di sana?” tanyanya sambil menunjuk ke arah matahari yang hampir tenggelam di
ujung hamparan laut.
“Aku belum buta,
Kyuhyun-ah. Tentu saja aku bisa melihatnya.”
Dia menatapku
kesal dan menggumamkan sesuatu yang tidak dapat kudengar dengan jelas. Lalu ia
merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Sepertinya ia ingin
mengabadikan moment ini.
“Ayo, berfoto,”
ujarnya sambil memutar tubuhku agar membelakangi sunset.
Sebelah tangannya
terangkat hendak memotret dengan ponselnya, sedangkan tangannya yang lain
merangkulku hingga menghapus jarak antara tubuh kami. Aku menggeliat di dalam
rangkulannya yang kurasa terlalu dekat ini.
“Jangan bergerak
kalau kau tidak mau fotonya jelek,” ujarnya sambil menarikku kembali ke arahnya
hingga lengan kami kembali bersentuhan.
“Kurasa posisi
kita terlalu dekat,” ujarku sambil berusaha mengambil jarak.
“Jangan bergerak!”
ujarnya seraya mengunci tubuhku dengan tangannya yang memiliki tenaga lebih
besar dariku.
Tepat saat indera
penglihatanku menangkap sinar blitz dari ponselnya, kurasakan ada sesuatu yang
menyentuh pipiku, hangat. Aku menoleh dan mendapati bibirnya yang sudah
menempel pada pipiku.
“Yaak! Kau mau
mati, hah?!” seruku saat ia mulai berlari menjauh.
Tawanya menggema
bersamaan dengan kakinya yang terus berlari. “Coba saja tangkap aku,
Sungrin-ah!”
“Yaak! Kau
menantangku, huh? Awas kau!”
Akhirnya sore itu
kami habiskan dengan aksi kejar-kejaran yang tidak kumenangkan. Ia tiba-tiba
menghentikan langkahnya dan membuatku secara tidak sengaja menubruk
punggungnya. Ia memutar badannya dan segera mengunci tubuhku dengan pelukannya.
Sekeras apapun aku memberontak agar ia melepaskan pelukannya, tetap saja ia
makin mengeratkan pelukannya. Sesekali ia mengecup puncak kepalaku, dan di
detik berikutnya tawa kami pun terdengar.
***
-7 Juli 2010-
Lagi-lagi aku
memeriksa jam tangan yang melingkar indah di tangan kananku dengan gusar. Entah
ini sudah yang ke berapa kalinya dalam satu jam terakhir. Namja itu––namja
bernama Cho Kyuhyun itu––selalu berhasil membuatku khawatir ketika dia datang
terlambat dari waktu yang dijanjikan. Apalagi ini kencan yang dia janjikan
untuk merayakan hari jadi kami yang pertama. Ke mana namja itu? Apa dia lupa
kalau hari ini ada janji denganku?
Aku hampir saja
beranjak dari bangku taman saat sebuah tangan menahan pergelangan tanganku. Aku
menoleh dan mendapati seorang namja sedang tersenyum seolah-olah tidak
melakukan kesalahan apapun.
“Mau ke mana,
Girl?”
Aku mendengus
kesal. “Kenapa lama sekali?”
Ia hanya terkekeh
pelan, lalu menuntunku untuk kembali duduk. “Mian, aku ada urusan penting
tadi.”
“Urusan penting?”
Aku membuang muka ke arah hamparan rumput yang ada di depanku. Kesal sekaligus
kecewa padanya. “Apa lebih penting dariku?”
“Ani. Tapi sama
pentingnya.”
Kutolehkan
kepalaku cepat ke arahnya. “Sama pentingnya? Wow,” kataku kecewa.
Ia mengangguk
mantap, lalu sebelah tangannya merogoh saku jaket hitam yang sedang ia kenakan.
Mataku langsung tertuju pada sebuah kotak kecil yang ada di tangannya.
“Ini?”
Ia mengangguk.
“Ne, ini milikmu.”
“Jadi kau
mempersiapkan ini?” tanyaku sambil menatapnya haru. Tanpa kusadari buliran air
mata sudah meluncur di pipiku.
Ibu jarinya segera
menghapus cairan bening itu, lalu mengelus pipiku lembut. “Kau suka?” tanyanya
seraya mengangkat tangan kananku.
Pandanganku
beralih dari wajahnya ke benda berkilauan yang sudah terpasang indah di jari
manisku. Sejak kapan dia memasangnya? Bahkan aku sendiri tidak menyadarinya.
“Ne, nan joha,”
jawabku setelah pandanganku kembali tertuju pada wajahnya.
“Kyu,” panggilku
memecah keheningan yang beberapa detik terakhir menyelimuti kami. “Tetap di
sini, di sampingku.”
Ia tertawa pelan
membuatku mengerutkan alis.
“Wae? Apa yang
lucu?”
Pelan, ia
menghentikan tawanya lalu menatapku dalam. “Sudah berapa kali kau mengatakan
hal itu? Aku akan selalu di sini, Sung Rin,” katanya sembari menggerakkan
tangannya menuntun tanganku untuk menyentuh dadaku sendiri. “Dan kau, namamu,
sosokmu, dan semua tentangmu akan selalu ada di sini, di hatiku,” lanjutnya,
menuntun tanganku menyentuh dadanya.
Aku tersenyum. Dia
mengatakan hal sangat benar dan sangat kuyakini kebenarannya.
“Saranghae, Im
Sung Rin… Jeongmal saranghaeyo.”
“Nado. Nado
saranghae…”
***
-10 September
2011-
“Kau sakit?”
tanyaku saat mendapati wajahnya yang tak lagi seputih dulu, melainkan pucat
pasi.
Ia hanya
menggeleng sambil menarik sudut bibirnya yang kurasa terlalu sulit untuk ia
lakukan saat ini. Tampak sekali ia sedang berbohong padaku.
“Katakan padaku,”
desakku.
Perlahan senyumnya
memudar dan raut wajahnya berubah serius. Ia menghembuskan nafasnya perlahan
dan menatapku dengan mata sayunya.
“Sebenarnya aku
sudah lama mengidap penyakit,” katanya tenang. “Jantungku memiliki kelainan.”
Aku membelalakkan
kedua mataku, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. “Kau…
Ini tidak mungkin, Kyu,” ujarku berharap yang dikatakannya hanyalah sebuah
kebohongan.
Ia menggeleng
pelan. “Itulah kenyataannya.”
Aku hanya bisa
menutup mulutku yang setengah terbuka dengan tangan kiriku. Aku masih belum
siap untuk mengetahui kenyataan ini.
“Sudah berapa
lama?” tanyaku.
“Setahun.”
“Satu tahun?”
Ia mengangguk.
“Tepat sebulan setelah hari jadi kita yang pertama,” katanya membuat
keterkejutanku makin menjadi.
“Kenapa kau baru
mengatakannya sekarang?” tanyaku gusar.
“Karena sekaranglah
aku baru siap untuk memberitahumu.”
Aku hanya bisa
menunduk, menyembunyikan air mata yang entah sejak kapan sudah meluncur bebas
di pipiku. Kurasakan tangan hangatnya menggenggam kedua tanganku, membuat
kehangatannya menjalar ke kedua tanganku.
“Terima kenyataan,
Sung Rin…” ucapnya tetap tenang.
“Aku takut…”
Ia mengecup kedua
tanganku lembut, lalu tatapannya tertuju langsung pada kedua bola mataku dalam.
“Jangan takut, Sung Rin. Aku akan tetap menemanimu. Kau ingat janjiku?”
katanya.
Aku mengangguk
lemah, mengiyakan pertanyaannya.
“Kalau begitu apa
yang kautakutkan?” tanyanya yang tak sanggup untuk kujawab.
Apa dia sebodoh
itu sampai-sampai tak mengerti arti ucapanku? Aku takut kehilanganmu, Kyu…
***
-9
Desember 2011-
“Saranghae…” ucapku
pelan sambil menatap kosong sebuah gundukan tanah di depanku, sebuah makam.
Cho Kyuhyun.
Begitu yang tertulis di sana. Nama itu sudah tertulis di sebuah makam,
menandakan pemilik nama itu tidak akan bisa lagi kutemui di dunia ini. Tuhan
sudah mengambilnya dan memindahkannya ke sisi-Nya.
Pagi ini aku
mengantarkan namja itu ke tempat peristirahatan terakhirnya tanpa air mata,
tanpa tangisan. Hitam, warna yang paling kubenci. Tapi aku juga tidak dapat
menghindari mataku yang menangkap semua orang yang hadir mengenakan pakaian
serba hitam, tanda berduka.
Lama aku berada di
sana, sampai semua orang sudah pulang, kecuali aku. “Saranghae…” Hanya kata itu
yang terus keluar dari bibirku dengan tatapanku yang masih belum beralih dari
makamnya. Terdapat sebuah foto di depan makamnya. Di sana tampak ia yang sedang
tersenyum lebar, senyum yang selalu berhasil membuatku juga ikut tersenyum.
Tapi kini aku tidak tahu harus ikut tersenyum atau menangisi kepergiannya. Air
mata, sampai detik ini pun cairan bening itu belum keluar dari pelupuk mataku
tanpa usahaku untuk mencegahnya keluar.
Akhirnya aku
beranjak dari tempatku. Saat aku berbalik, mataku bertemu dengan mata seorang
namja yang berdiri tidak terlalu jauh dariku. Seorang namja…
***
“Eonnie?”
Aku
menoleh ke arah sumber suara yang memanggil namaku. Kulihat Minji sedang
berdiri di ambang pintu sambil menatapku kaget. Aku hanya membalas tatapannya
dengan tersenyum tipis.
“Eonnie… Itu…” ucapnya menggantung saat
tatapannya beralih pada album foto yang ada di dalam genggamanku.
Aku
mengangguk pelan, mengerti maksud ucapannya. Aku tahu, pasti dia yang sudah
menyembunyikan album foto ini, album foto yang penuh dengan kenanganku dan
Kyuhyun. Album foto ini hilang saat aku pulang dari pemakaman Kyuhyun, seolah
lenyap bersamaan dengan perginya Kyuhyun. Setahun sudah Kyuhyun meninggal, dan
selama itu pula aku mulai melupakan tentang hilangnya album foto ini. Tapi
sekarang aku sudah menemukannya kembali.
“Mianhae,” ucap Minji sambil tertunduk,
tidak berani untuk menatapku.
Aku
menaikkan sebelah alisku, menyuruhnya untuk menjelaskan maksud ucapannya.
“Maaf, Eonnie. Aku tidak bermaksud untuk
menyembunyikannya. Hanya saja…” ucapnya menggantung, lalu tatapannya kembali
tertuju padaku. “Aku takut Eonnie
tidak bisa menerima kepergian Kyuhyun-oppa
kalau kau masih mengingatnya. Jadi kusembunyikan saja album foto itu. Mi-mian,” lanjutnya dengan kepala yang
kembali tertunduk.
“Tidak
apa-apa…” ucapku yang langsung membuat Minji mengangkat wajahnya dan menatapku.
“Terima kasih.”
“Awalnya
aku ingin membuangnya.”
Tatapanku
yang semula tertuju pada album foto di tanganku beralih padanya. “Membuangnya?”
“Ne.” Dia mengangguk. “Tapi aku takut.
Jadi… Aku hanya menyembunyikannya.”
“Tapi
kau hebat. Menyembunyikan album fotoku selama setahun dan tidak ketahuan.”
“Tapi
sekarang kau sudah menemukannya, kan?” ucapnya sambil tersenyum kecil padaku.
Ia
menghampiriku yang masih duduk di lantai dengan album foto yang berada di
pangkuanku. Ia menyandarkan punggungnya pada sisi tempat tidur dan menatap ke
arahku.
“Jadi
bagaimana hubunganmu dengan Ryeowook-oppa?”
tanyanya dengan tatapan penuh arti.
“Hubungan
apa?”
“Mungkin
dia bisa… yaah, kau tahu maksudku.”
Aku
tersenyum kecil mendengar ucapannya.
“Mungkin
belum…” gumamku.
Ryeowook,
orang yang kutemui tepat di hari saat Kyuhyun dimakamkan. Aku menyayangi
Ryeowook, orang yang selalu berada di sampingku setelah Kyuhyun meninggal. Tapi
aku tidak mau menjadikan Ryeowook sebagai alatku untuk mengisi kekosongan
hatiku. Dia bukan alat, tapi dia adalah orang yang selalu membuatku tenang.
Teman? Sahabat? Entahlah, aku bingung menyebutnya sebagai apa saat ini.
“Dia
mencarimu, Eonnie.”
Aku
menoleh pada Minji dan menatapnya penuh tanya.
“Ryeowook-oppa ada di bawah.”
Aku
menutup album foto yang berisi foto-fotoku dengan Kyuhyun dan bangkit dari
dudukku. Kulihat sebelah tangan Minji meraih album foto itu, mungkin ia ingin
menyembunyikannya lagi di tempat yang tidak bisa kutemukan. Aku keluar dari
kamarnya dan turun ke lantai bawah. Di ruang tamu tampak seorang namja sedang duduk sambil memain-mainkan
kunci mobil yang ada di tangannya.
“Hai,”
sapaku sambil tersenyum padanya.
Ia
menoleh padaku dan bangkit dari duduknya.
“Kau
ada waktu hari ini?” tanyanya.
“Wae?” kataku balik bertanya.
“Kau
mau pergi bersamaku?”
Aku
mengangguk pelan dan berkata, “Tunggu sebentar. Aku ganti baju dulu.”
***
(Kim Ryeowook POV)
“Bagaimana
kabar ibumu?” tanyaku saat kami sudah duduk di tepi sungai Han.
Aku
menatapnya dari samping sementara tatapannya masih tertuju pada pemandangan di
depannya.
“Baik,”
jawabnya tanpa menoleh padaku sedikitpun. “Kabar ibumu sendiri?”
“Dia
juga baik.”
Aku
mengalihkan tatapanku mengikuti ke arah pandangnya. Rasanya tenang sekali bisa
berdua dengannya di tempat yang tidak ada orang lain selain kami. Dia––Im
Sungrin––adalah yeoja yang kutemui di
sebuah pemakaman, dan mulai saat itu aku memutuskan untuk melindungi dan
menemaninya. Yaah, walaupun lama kelamaan aku merasa ada perasaan absurd yang
tumbuh dalam diriku. Cinta? Entahlah.
“Kau
ingat pertemuan pertama kita?” tanyaku setelah hening menyelimuti kami selama
beberapa menit.
“Tentu
saja aku ingat.”
“Waktu
itu kau tidak tahu siapa aku, kan?”
Dia
menganggukkan kepalanya pelan dengan tatapan setengah menerawang.
“Sampai
sekarang pun mungkin kau belum tahu siapa aku sebenarnya,” ucapku lagi,
membuatnya langsung menoleh dan menatapku penuh tanya.
Aku
menarik sudut bibirku sambil menatapnya penuh arti. “Kau mau tahu bagaimana aku
bisa mengenalmu?”
Sekali
lagi dia mengangguk. Aku menarik nafas dan membuangnya perlahan, lalu menatapnya
yang sedang melemparkan tatapan penuh tanda tanya padaku, menungguku untuk
memulai cerita. Dan suaraku pun mulai keluar, memutar memori satu tahun yang
lalu.
***
Aku baru saja
keluar dari ruang rawat inap kerabatku saat kulihat seorang yeoja yang sangat
kukenali sedang duduk sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
Penasaran, aku pun menghampiri dan menyapanya. Tidak disangka ternyata dia
adalah noona dari teman masa kecilku, Cho Ahra. Setelah kutanya kenapa dia bisa
ada di sini, dia berkata bahwa teman masa kecilku itu sedang sakit keras. Ada
kelainan pada jantungnya.
Aku pun masuk ke
dalam ruang di mana teman masa kecilku itu dirawat. Tampak namja itu sedang
terbaring lemah dengan wajahnya yang tak lagi putih bersih, melainkan pucat dan
seakan tak berdaya.
“Nugu?” tanyanya
dengan suara yang berat, seakan sangat sulit untuk ia keluarkan.
“Kim Ryeowook. Kau
masih ingat aku?” jawabku dengan menyebutkan namaku, berharap dia akan segera
mengenali teman masa kecilnya ini.
Dia menarik sudut
bibirnya sehingga membentuk seulas senyum yang menurutku masih sama seperti
bertahun-tahun yang lalu.
“Mungkin umurku
tidak akan lama lagi,” ucapnya tiba-tiba setelah waktu satu jam kami habiskan
untuk melepas rindu.
Aku hanya
menaikkan sebelah alisku, tak mengerti maksud ucapannya.
“Mungkin kau akan
bertemu dengan Im Sungrin,” ucapnya lagi.
“Yeojachingu-mu?”
tanyaku dengan menebak.
Sekali lagi ia
mengukir senyumnya dan mengangguk pelan. “Aku mohon setelah aku pergi, kau bisa
menjaganya.”
“Apa maksudmu?”
tanyaku dengan sedikit rasa takut mendengar permintaannya.
“Kau jelas tahu
maksudku.”
“Lalu bagaimana…”
“Aku mohon, kau
jaga dia seperti menjaga yeoja-mu sendiri.”
Aku hanya
mengangguk, mengiyakan permintaannya meskipun aku sendiri masih kurang mengerti
dengan ucapannya. ‘Yeoja-mu sendiri’. Apa maksudnya?
“Gomawo, chingu…”
***
Kyuhyun benar.
Sebulan kemudian dia menghembuskan nafas terakhirnya dengan semua orang yang
mencintainya berada di sisinya, termasuk yeoja itu––Im Sungrin. Berbeda dengan
ibu, ayah, atau kakak Kyuhyun, yeoja itu sama sekali tidak meneteskan air mata.
Ia hanya menatap kosong makam Kyuhyun tanpa mengeluarkan sebulir pun air mata.
Ia terus berdiri sambil memandangi makam Kyuhyun dan sesekali bibirnya
mengucapkan sesuatu, sementara aku hanya memerhatikannya dari kejauhan. Lama ia
di sana, sampai semua orang yang hadir di pemakaman itu pulang, kecuali kami.
Tepat saat yeoja
itu berbalik, mata kami bertemu. Seakan mengerti arti tatapannya, aku pun
berkata, “Aku Kim Ryeowook.”
Bukannya mengerti,
ia malah menaikkan sebelah alisnya. “Ryeowook… nugu?”
“Kau akan
mengenalku nanti,” ucapku penuh arti seraya mengulurkan tangan kananku,
menunggunya untuk meraih tanganku.
Aku tak berharap
ia akan meraih tanganku dan setuju saat aku menawarkan untuk mengantarnya
pulang, karena aku tahu dia masih belum mengenalku dengan baik. Tapi tidak
kusangka dia meraih tanganku dan menyetujui ajakanku.
Mulai saat itu aku
mengenalnya dengan baik. Tentangnya, tentang kehidupannya, keluarganya, di mana
dia kuliah, dan tentang hubungannya dengan Kyuhyun. Aku menepati janjiku pada
Kyuhyun, aku menjaga yeoja-nya. Aku melindungi dan menemani Sungrin seperti apa
Kyuhyun pinta padaku––menjaganya seperti menjaga yeoja-ku sendiri.
***
Kini
aku bisa melihat sedikit keterkejutan dari tatapannya yang ia lemparkan padaku.
Aku hanya membalas tatapannya dengan tersenyum tipis. Sekarang dia sudah
mengerti siapa aku, dan kenapa aku bisa muncul di dalam kehidupannya secara
tiba-tiba.
“Jadi,
kau…” ucapnya menggantung, masih dalam efek keterkejutannya.
Aku
menganggukkan kepalaku pelan. “Sudah mengerti siapa aku?” ucapku yang tidak ia
jawab.
Ia
menutup mulutnya yang sedikit terbuka dengan sebelah tangannya sambil terus
menatapku dengan tatapan terkejutnya.
“Jadi,
Kyuhyun yang…”
“Ne, dia yang memintaku untuk menjagamu
selama ini,” ucapku melanjutkan ucapannya yang sempat terputus. “Namja yang baik, bukan?” tanyaku sambil
terkekeh pelan.
Kini
Sungrin tidak lagi bersuara, hanya suara isakannya yang terdengar di telingaku.
Aku kembali mengalihkan pandangan ke arah sungai di depanku. Aku menatap
riak-riak air sambil menghirup udara yang begitu menyejukkan paru-paruku.
“Kau
tahu? Kyuhyun pernah bilang padaku kalau dia adalah secret admirer-mu saat kalian masih SMA,” ujarku yang lagi-lagi
mendapatkan tatapan terkejut dari yeoja
di sebelahku ini.
“Mwo?” ucapnya pelan hampir seperti
bisikan.
“Tapi
dia baru berani mengungkapkan perasaannya padamu saat kuliah,” jawabku sambil
sekali lagi terkekeh pelan. “Bukankah dia bodoh, Sungrin-ah?” tanyaku dengan
menyembunyikan getaran dalam suaraku.
Sungrin
tidak menjawab. Masih sama seperti tadi, hanya suara isakannya yang terdengar
di telingaku.
“Kenapa
dia begitu bodoh? Kenapa dia tidak mengungkapkan perasaannya padamu lebih awal
sehingga kalian bisa bersama lebih lama?” ucapku dengan pandangan yang menunduk
dan suara yang tidak setenang tadi. Perlahan air mataku meluncur ke pipiku,
menyusul Sungrin yang memang sudah menangis.
“Dan
dengan bodohnya dia menitipkan yeoja-nya
pada teman masa kecilnya yang tidak tahu apa-apa ini,” kataku lagi dengan suara
yang bergetar dan kekehan pahit pada akhir kalimatku. “Bodoh…” gumamku. “Cho
Kyuhyun, kau bodoh sekali…”
“Ryeong…”
Aku
menoleh pada Sungrin dan kini mata kami yang sama-sama basah karena air mata
bertemu.
“Gomawo,” ucapnya tulus sambil menarik
sudut bibirnya dengan berat. “Terima kasih untuk semuanya…” lanjutnya sebelum
isak tangisnya kembali terdengar.
“Cheonmaneyo…” balasku dengan sudut
bibirku yang juga sudah tertarik ke atas.
Kuraih
belakang kepalanya dan menariknya ke dalam dekapanku. Tidak ada penolakan
darinya, dan kini wajahnya sudah terbenam pada dadaku. Kuelus pelan
punggungnya, mencoba menyalurkan kehangatan ke dalam dirinya. Kurasakan
nafasnya yang mulai teratur dalam pelukanku. Dia sudah mulai tenang.
“Seharusnya
Kyuhyun tidak menitipkanmu padaku,” ucapku.
Dia
langsung mendorong pelan dadaku hingga kini mata kami kembali bertemu. Kulihat
masih ada sisa-sisa air mata di sudut matanya.
“Mwo?” ucapnya tak mengerti.
“Karena
sekarang aku rasa aku sudah bukan lagi seorang Kim Ryeowook yang dipinta
Kyuhyun untuk menjagamu,” ujarku yang membuatnya sekali lagi tersentak. “Perasaan
itu datang begitu saja, dan aku… Aku tidak mau mengganti posisi Kyuhyun di
hatimu, tapi…” Kuhembuskan nafasku perlahan dan setelah keberanianku terkumpul,
aku mulai mengeluarkan suaraku kembali. “I
love you.”
Sekali
lagi Sungrin menatapku dengan tatapan terkejut.
“I love you,” ucapku mengulangi
perkataanku sebelumnya. “Aku tidak berharap kau akan membalas perasaanku, tapi…
Aku hanya ingin kau tahu perasaanku. Just
it.”
Kini
pandanganku tak lagi menatap padanya. Aku tidak terlalu berani untuk kembali
menatap matanya. Tidak untuk saat ini, setelah aku mengungkapkan perasaanku
padanya. Kami tenggelam dalam suasana hening. Setelah beberapa menit, akhirnya
kuberanikan diriku untuk mengangkat kepalaku, menatapnya.
“Aku
mohon, jangan menjauhiku setelah ini,” ucapku memohon padanya.
Ia
membalas tatapanku dan menarik sudut bibirnya. “Aku tidak bilang akan
menjauhimu.”
Lama
mata kami bertemu, sampai akhirnya tanpa sadar aku sudah mendekatkan wajahku
padanya. Dan bahkan wajah kami terlalu dekat, atau mungkin tidak ada lagi jarak
antara wajah kami. Kumiringkan kepalaku saat bibir kami hampir bersentuhan,
dan… Kurasakan sesuatu yang lembut dan hangat menyentuh bibirku. Tidak ada
penolakan darinya dan itu membuatku semakin lama menempelkan bibirku pada
bibirnya.
“Mungkin
setelah ini aku akan membuatmu menjadi yeoja-ku,”
ucapku setelah tautan bibir kami terlepas.
“Apa?”
“Karena
aku sudah tidak bisa melepaskanmu lagi, Sungrin-ah.”
Aku
mengalihkan tatapanku pada sungai di depanku dan perlahan sebelah tanganku
tergerak menariknya ke dalam dekapanku.
“Benar
kataku, kan? Kyuhyun itu bodoh. Kenapa bisa-bisanya dia menitipkan yeoja-nya padaku sementara dia tahu rasa
ini pasti akan tumbuh,” ujarku setengah menerawang tanpa mengalihkan tatapanku
pada pemandangan di depanku.
Kurasakan
dia memukul pelan dadaku.
“Tidak
baik membicarakan orang yang sudah meninggal,” ujarnya yang diakhiri dengan
kekehan.
Aku
ikut terkekeh.
“So?” ucapku setelah beberapa detik
hening menyelimuti kami. “Apa kau juga merasakan hal yang sama?” tanyaku.
“Mungkin,”
ucapnya pelan. “Mollayo… Tapi kalau
kau benar-benar mencintaiku, seharusnya kau berusaha untuk membuatku jatuh
cinta padamu, kan?”
Dan
sekali lagi senyum di bibirku mengembang. “Arraseo.”
Kyuhyun…
Andai saja saat itu aku tidak bertemu dengannya, mungkin aku tidak akan bertemu
dan jatuh cinta pada yeoja ini, Im
Sungrin. Sekarang giliranku yang berterima kasih padanya karena ia sudah
menitipkan yeoja-nya padaku dan
mengizinkan rasa ini tumbuh. Gomawo…
Jeongmal gomawo, chingu.
-END-
Yap!
Akhirnya selesai juga sequelnya. Makasih banget loh buat readers yang udah
ngasih respon positif buat My Memories With You nya. Sumpah, gak nyangka bisa
dapet respon positif kayak kemaren T^T
Dan
sequel ini… saya juga nggak tahu ceritanya bagus dan feelnya dapet atau nggak.
Soalnya ngebet banget buat nyelesain cerita ini pas liat readers yang setuju
sama sequel yang aku tawarin. Muahahaha xD
Kritik,
komentar, dan saran sangat diharapkan di sini. Supaya saya bisa terus nulis
cerita yang lebih baik tentunya :D
Sekali
lagi saya ucapin gomawo buat readers yang udah nyempetin baca dan ninggalin
komentar. C U ! ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar