Senin, 18 Juni 2012

My Last Dream

  
Title     : My Last Dream
Author  : Ifa Raneza
Cast     : Yesung (Kim Jong Woon) , Kim Soon Hee (OC)
Genre  : Sad Romance

*Yak! Seperti biasa, ide cerita dan si OC adalah milik author. Kalo ada kesamaan alur, tokoh, atau peristiwa dalam cerita ini, itu hanya ketidaksengajaan atau kebetulan. Dijamin nggak plagiat ^^*

FF ini juga pernah dipost di SJFF ya :)
Cerita ini terinspirasi dari lagu Super Junior KRY yang judulnya My Love My Kiss My Heart. Tapi sisanya sesuai dengan imajinasi aku sendiri. Happy Reading ^^


~***~

(SJ KRY – My Love My Kiss My Heart)
A day feels like a year
My heart continues to sink because it only looks for your trace for days
When I forcefully swallow a bite of food, it feels like a grain of sand
The day without you has stopped. Just like this now.
My love, my kiss, my heart
I’ll bury them all. A place deep in my heart
One love, one kiss, to my heart
I’ll try to forget everything. I’ll erase everything
~***~

“Soon Hee-ya.”
Mwo?”
“Beberapa tahun lagi, kira-kira kau mau menikah dengan siapa?” tanyaku yang sukses membuatnya menoleh cepat ke arahku.
“Apa maksudmu?” tanyanya bingung.
Aku mengendikkan bahuku dan mengulas senyum simpul. “Tidak ada maksud apa-apa. Hanya bertanya,” jawabku santai.
Dan biasanya kalau sudah seperti ini, dia akan langsung melemparkan tatapan kesal padaku.
“Ayolah, Hee-ya. Jawab saja,” ujarku menuntut jawabannya. “Kau mau menikah siapa nanti?”
Ia tampak berpikir. Tak lama kemudian tatapannya kembali beralih padaku.
“Kau tahu Choi Siwon, mahasiswa baru di kelas sebelah?”
Aku mencerna ucapannya baik-baik. Setelah mengerti ucapannya, aku langsung memukul kepala kecilnya itu.
“YAK!”
“YA! Maksudmu kau mau menikah dengan Choi Siwon, hah?!” seruku.
Ia meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya yang kupukul tadi.
“Memang apa salahnya? Bukankah dia anak orang kaya? Lumayan kan, jadi aku tidak perlu mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupku nanti,” ujarnya dengan seringai dan mata yang berbinar.
“Kau… Apa kau yakin dengan ucapanmu?”
Ia hanya mengangguk dengan mata masih berbinar-binar. Ya Tuhan, apa anak ini benar-benar serius dengan ucapannya?
“Memang kenapa? Itu kan hakku,” ujarnya lagi membuatku kehabisan akal untuk menjawabnya.
Belum sempat kujawab pertanyaannya, ia sudah berdiri dan berjalan meninggalkanku yang masih duduk.
“Mau ke mana kau?” tanyaku seraya beranjak dan menyamakan langkah kami.
“Ke kelas sebelah,” jawabnya cepat. “Aku mau bertemu Choi Siwon.”
“Untuk apa kau bertemu dengannya?” tanyaku dingin.
“Jong Woon, kau ini bodoh atau apa? Kalau ingin menikah dengannya, bukankah aku harus menjadi pacarnya dulu?”
Ayolah, Soon Hee. Aku sedang tidak ingin bercanda denganmu. “Aku serius, Hee-ya.”
“Aku juga serius.”
“Aku tidak akan membiarkanmu menjadi milik orang itu.”
Berhasil. Langkahnya langsung terhenti dan ia berbalik menghadapku. Ia melipat kedua tangannya di depan dada dan menatapku dengan tatapan penuh selidik.
“Apa kau bilang tadi?” tanyanya datar.
“Aku tidak akan membiarkanmu menjadi milik orang itu.”
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Respon yang kudapat darinya hanyalah tatapan aneh yang entah apa artinya.
“Kau tidak mengerti juga?” tanyaku frustasi. “KIM SOON HEE, AKU TIDAK AKAN MEMBIARKANMU MENJADI MILIK CHOI SIWON!” teriakku sekuat tenaga dengan mata tertutup, alih-alih menahan malu karena tatapan mahasiswa-mahasiswa lain yang langsung memandangku aneh.
“Yak! Kau membuatku malu, tahu!”
Aku terkekeh pelan. “Kalau begitu berhenti memikirkan rencanamu untuk menjadi istri Choi Siwon,” ujarku seraya menarik tangannya dan melanjutkan langkahku entah ke mana.
Dia mengikuti langkahku sementara sebelah tangannya kutarik. “Wae?”
“Kenapa apanya?”
“Kenapa aku tidak boleh menikah dengan namja itu? Dia pria yang baik.”
Aku menoleh padanya yang lebih pendek dariku, menatapnya dalam.
“Kau yakin akan menikah dengannya? Itukah tujuan hidupmu?” tanyaku, masih melangkahkan kakiku.
Beberapa detik kemudian tawanya meledak, membuatku harus menutup kedua telingaku karena suaranya yang sangat keras. Lihat, dia tertawa sekarang. Apa yang lucu?
“Kau percaya kata-kataku? Hahaha,” katanya masih tertawa.
“Kau…?”
“Aku bercanda, Jong Woon. Astaga, kau lucu sekali. Mudah dibohongi.”
Akh, sial. Aku terlihat seperti orang bodoh sekarang. Bisa-bisanya aku dipermainkan oleh yeoja seperti dia. Awas saja kau, Kim Soon Hee.
“Diam, Soon Hee,” kataku datar, kesal. Dengan cepat kulangkahkan kakiku ke taman di belakang kampus, tempat yang biasa kudatangi.
“Hei, hei… Kau marah?” tanyanya setelah menghentikan tawanya dan berlari-lari kecil mengejar langkah lebarku.
“Menurutmu?” Aku menatapnya sekilas, hanya sekilas. Itu pun dengan tatapan datar.
“Ya, Jong Woon! Aku hanya bercanda. Kenapa kau aneh sekali hari ini?”
Aku menghentikan langkahku mendadak, membuatnya yang berada tepat di belakangku hampir menubruk punggungku. Aku berbalik dan menatap mata coklatnya dalam. Entah sejak kapan, aku sangat menyukai mata itu.
“Soon Hee.”
Ia mendongakkan kepalanya, membalas tatapanku.
“Jangan jatuh cinta pada namja lain. Choi Siwon, Park Jung Soo, atau siapapun itu,” ujarku pelan.
Wae? Kau mau aku jadi perawan tua?” tanyanya dengan bibir yang mengerucut.
“Karena aku yang akan menikahimu nanti.”
Ia hanya melongo seakan tak percaya dengan ucapanku, atau dia bingung dengan perkataanku? Ah, entahlah. Tapi yang pasti, tampangnya sekarang persis seperti orang bodoh. Kuraih tengkuknya dan mendekatkan wajahku pada wajahnya, membuat bibir kami menyatu.
“Kau milikku sekarang,” bisikku sesaat setelah bibirku terlepas dari bibir tipisnya.
Dia hanya terdiam, memandangku dengan tatapan bingung. Masih bingung? Biarkan saja dia berpikir sendiri. Aku yakin dia pasti akan segera mengerti, dia bukan gadis yang bodoh, kan? Aku mengenalnya––sangat mengenalnya––sejak sepuluh tahun yang lalu.
~***~

Kim Soon Hee kembali menjalani hari-harinya seperti biasa. Dia terlihat biasa-biasa saja, seakan tidak ada yang terjadi sebelumnya. Sikapnya itu membuatku bingung, bagaimana mungkin dia belum mengerti maksud ucapanku yang kemarin?
“Yak! Jong Woon! Apa yang kaulihat?” tanyanya ketus sambil memukul lenganku, membuat lamunanku buyar.
“Memangnya aku melihat apa?” tanyaku bingung.
Ia memutar kedua bola matanya. Hei, hei… Aku tidak sedang bercanda. Pikiranku melayang entah ke mana tadi.
“Kau menatapku. Sejak lima menit yang lalu kau terus menatapku.”
Aku hanya tersenyum kecil sambil menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tidak gatal. Aku juga bingung kenapa malah dia yang kutatap selama melamun tadi. Eh, tunggu. Apa dia salah tingkah?
“Kau sangat cantik hari ini. Kau baru memotong rambutmu?” kataku menggodanya.
Ia melemparkan pandangan jengah mendengar godaanku, lalu menepis tanganku yang sedang memintal rambut ikalnya.
“Dapat ide dari mana kau bertanya begitu? Rambut panjang begini apanya yang baru dipotong?”
Aku tertawa pelan. Aku tahu, Hee-ya. Aku tidak sebodoh itu.
“Oh, jinjja? Tapi kenapa kau berbeda sekali hari ini?” tanyaku masih menggodanya.
Ia hanya memutar kedua bola matanya. Ia membuka buku dan mulai terlarut dalam bacaannya, tidak menghiraukanku yang masih ingin melemparkan kalimat-kalimat gombalku. Kemudian sebelah tanganku bertengger di atas pundaknya, merangkulnya. Ia hanya diam, tak bergeming sedikit pun. Sepertinya dia sudah terbiasa kurayu seperti ini. Tentu saja, kalian ingat sudah berapa lama kami bersama? Sepuluh tahun. Tak heran jika sekarang kami berada di kamarnya, duduk di lantai beralaskan karpet kuning cerah. Itu sudah menjadi kebiasaan kami untuk menghabiskan waktu jika sedang tidak ada kesibukan.

“Hee…” panggilku. Ia masih tidak menyahutku, merespon, atau menatapku. Ia masih saja membaca buku yang ada di tangannya. “Hee,” panggilku sambil menggoyangkan bahunya dengan tanganku yang masih merangkulnya.
Ia hanya bergumam, tapi tetap tidak menoleh padaku.
“Hee, kau ganti sampo?” tanyaku, terdengar tidak penting memang.
“Tidak,” jawabnya singkat. “Sejak kapan kau jadi memperhatikan merk sampoku?” tanyanya.
“Ah, kau jahat sekali, Hee-ya. Kau tidak sadar kalau aku memperhatikanmu selama sepuluh tahun terakhir?” kataku dengan nada kecewa yang dibuat-buat. “Kita sudah hidup bersama selama sepuluh tahun.”
“Hei, kau berkata begitu seolah-olah aku istrimu,” ujarnya kesal.
Mwo? Bukankah kita memang hidup bersama?”
PLETAK!
Dia memukul kepalaku. Dasar yeoja ini.
“Rumahmu ada di sebelah, Tuan Kim,” katanya datar, lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada buku.
“Aaah… Kau jahat sekali, Nyonya Kim.”
Ia terkekeh, kemudian menutup bukunya dan menolehkan wajahnya ke arahku.
“Astaga, Soon Hee!” ujarku dengan tampang terkejut.
Mwo?” tanyanya panik.
“Kau sadar? Kulitmu lebih cerah hari ini. Kau ganti kosmetik?”
Lagi-lagi ia melemparkan pandangan jengah padaku. Ayolah, ladeni aku dulu kali ini.
“Kukira ada apa,” katanya mulai bernapas lega. “Kenapa? Kau mau membelikanku kosmetik baru?” tanyanya jahil.
“Aissh… Sifat mata duitanmu keluar, Hee-ya.”
“YA! Apa katamu?!” serunya kesal seraya mengangkat sebelah tangannya, hendak memukul kepalaku.
Sebelum dia sempat mendaratkan tangannya tepat di atas kepalaku, dengan cepat kutahan tangannya. Mau memukulku? Tidak bisa.
“Aku serius, Hee. Kulitmu lebih lembut,” kataku pelan sembari mengelus pipi putihnya. “Halus.”
“Hentikan, Jong Woon.”
“Atau jangan-jangan kau pakai lipgloss?” tanyaku lagi, mengalihkan tatapanku yang semula tertuju pada pipinya ke arah bibirnya. “Kau pakai lipgloss apa?”
“Apa urusanmu?”
Ia membuang muka ke arah samping, menolak untuk menatapku. Lalu kurangkuh dagunya dan menariknya agar kembali menatapku.
“Aku bertanya, Hee.”
“Kau sudah jadi pengamat kosmetik, ya?” tanyanya acuh. “Tebak saja sendiri.”
Hah. Dia mau bermain-main denganku? Pilihan yang salah, Kim Soon Hee.
“Baiklah. Akan kutebak sendiri.”
Wajahnya menegang saat menyadari wajahku sudah hampir menyentuh wajahnya, dan akan membuat bibir kami saling menyentuh. Tinggal satu centi lagi dan bibirku akan mendarat dengan sempurna di bibirnya kalau saja dia tidak mendorong bahuku.
What are you doing?” tanyanya cepat.
“Apa lagi? Menebak lipgloss apa yang kaupakai,” jawabku dengan tampang tak berdosa. Kejujuran adalah hal yang baik, bukan?
“Aku menyuruhmu menebak, bukan memeriksanya, pabo!”
Hahaha, lihat wajahnya sekarang. Merah sekali.
“Begitu?”
Kukecup bibirnya singkat. Cukup sampai bibirku mendarat di bibirnya, lalu kulepas sebelum ia melancarkan tendangan mautnya.
Kujilati bibirku. “Ternyata cherry, ya?” ucapku, lalu keluar dari kamarnya, meninggalkannya yang masih terpaku.
~***~

“Hee, mau ke mana?” tanyaku saat melihatnya keluar kelas.
“Aku ada urusan sebentar,” jawabnya dan hanya menatapku sekilas.
“Urusan apa?”
“Sejak kapan kau jadi posesif begini?”
“Urusan apa? Dengan siapa? Apa dengan namja?” tanyaku yang berhasil membuat langkahnya terhenti.
“Benar. Aku sedang ada urusan dengan seorang namja,” jawabnya datar, lalu kembali melangkahkan kakinya.
Aku hanya terdiam di tempatku, menatapnya yang sudah semakin menjauh di depanku.
“Hee! Aku jangan dekati namja lain! Kau dengar? Jangan dekati namja lain!” seruku dengan penekanan pada kata ‘namja’.
Sial, dia hanya mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi tanpa membalikkan tubuhnya atau hanya sekedar menghentikan langkahnya. Soon Hee, tidakkah kau tahu aku cemburu sekarang?

Penasaran, aku pun mengikutinya dari belakang tanpa ia ketahui. Ia berhenti di taman belakang sekolah dan menghampiri seorang namja yang kukenali. Mereka mengobrol santai, tidak terlihat ada yang istimewa di antara mereka.
Tapi tunggu… Kenapa mereka makin dekat? Dan itu… Baiklah, darahku mulai naik melihat mereka. Segera kulangkahkan kakiku menghampiri mereka dan menepis tangan namja itu yang dengan seenaknya memegang tangan yeoja-ku.
“Jangan sentuh dia! Dia milikku!” seruku pada namja tinggi bernama Choi Siwon itu.
Kutarik lengan Soon Hee agar bergerak ke sampingku, menjauhi namja itu.
“Jong Woon, kau ini…” protes Soon Hee yang tak kubiarkan bergerak mendekat pada Siwon yang masih berdiri mematung, bingung dengan apa yang baru kulakukan. Tidak kuhiraukan ucapannya, aku masih menatap Siwon dengan tajam.
“Kau, apa yang kaulakukan padanya?” tanyaku ketus.
“Aku? Aku tidak melakukan apa-apa,” jawabnya polos. Ah, sekarang aku tidak bisa membedakan antara polos dengan bodoh.
“Begitu? Kalau begitu jangan pernah lagi menyentuhnya,” ujarku, masih enggan menggunakan nada yang sedikit lebih lembut.

Kutarik tangan Soon Hee untuk mengikuti langkah lebarku. Tidak kuhiraukan pandangan aneh yang dilemparkan mahasiswa-mahasiswa lain padaku. Terdengar ringisannya karena kesakitan. Tapi tidak kupedulikan, aku masih menariknya. Dia hanya menurut, mengikuti langkahku walaupun dengan sedikit memberontak. Percuma, tenaganya tetap saja kalah dariku.
“Jong Woon, lepaskan!” serunya.
Tetap kulangkahkan kakiku. Benar, aku cemburu sekarang. Hatiku sudah panas terbakar api cemburu karenamu, Soon Hee.
“Kim Soon Hee, diam.”
“Lepaskan aku! Kim Jong Woon!”
Akhirnya langkahku berhenti dan melepaskan tangannya kasar.
“Apa maksudmu, hah?! Kenapa menarikku seperti barang begitu?!” tanyanya dengan nada suara yang mulai meninggi. Ia mengelus-elus pergelangan tangannya yang kutarik tadi. Sekarang kulit di sekitar pergelangan tangannya sudah memerah.
“Apa maksudku? Kau sendiri? Kenapa bermesraan dengan namja itu?!”
Ia mendengus. “Bermesraan? Kau kira aku wanita macam apa?!” balasnya tak kalah dingin.
Oke, itu bukan nada bicara yang kusukai. Emosiku naik sekarang. Baiklah, kuladeni kau, Kim Soon Hee.
“Kau wanita macam apa hanya kau yang tahu.”
“Apa?”
“Lalu untuk apa dia menyentuhmu?!” tanyaku masih dengan emosi yang meledak-ledak.
Ia tertawa sinis, lalu melemparkan tatapan tajam padaku––tatapan yang sangat tidak kusukai dan tidak pernah kuharapkan darinya.
“Apa itu penting? Menurutku tidak.”
Ya Tuhan, yeoja ini benar-benar membuat darahku naik.
“Itu penting, Soon Hee! Itu penting!” Suaraku sudah semakin meninggi sekarang, cukup jelas untuk menandakan emosiku. “Aku tidak suka melihatmu disentuh pria lain!”
Ia kembali memperdengarkan tawa sinisnya. Dan kali ini suaranya terdengar lebih dingin dari sebelumnya.
Wae? Kenapa aku harus menuruti semua yang kau suka dan tidak kau suka? Apa hakmu mengatur hidupku?!” Ia mendorong-dorong bahuku dengan sebelah tangannya, membuatku mundur selangkah.
“Aku memilikimu, Kim Soon Hee! Kau milikku!”
“Aku bukan milikmu, Jong Woon!”
Aku terdiam. Kata-katanya barusan berhasil membuatku terpaku untuk beberapa detik.
“Sejak kapan aku setuju untuk menjadi milikmu? Sejak kapan?”
Otakku tidak bekerja dengan baik sekarang, aku tidak bisa membalas ucapannya. Aku bingung harus menjawab apa.
“Kau milikku, Soon Hee,” kataku. Nada bicaraku sudah mulai melembut sekarang.
“Aku bukan barang, Jong Woon. Aku bukan boneka yang bisa dengan seenaknya kau miliki dan atur-atur,” ucapnya, berhasil membuatku kembali membisu. “Aku bukan bonekamu yang sewaktu-waktu bisa kau buang dan kau ambil lagi. Bukan, Jong Woon. Aku hanya seorang Kim Soon Hee. Aku Kim Soon Hee, Jong Woon.”
Apa yang sedang kaubicarakan? Bagaimana mungkin, Kim Soon Hee? Bagaimana mungkin aku berniat membuangmu?
“Mungkin selama ini kau menganggapku hanya sebagai barangmu, barangmu yang paling berharga. Seperti kristal rapuh yang sewaktu-waktu bisa pecah. Seperti batu permata yang bisa kau miliki.” Ia menggeleng-geleng pelan, menatapku sendu. “Bukan, Jong Woon. Aku bukan seperti itu.”
“Hee…”
“Lupakan semua pemikiranmu tentangku. Lupakan semuanya. Aku bukan barang kesayanganmu, Jong Woon.”
Membisu. Itulah keadaanku sekarang. Aku hanya bisa memandang punggungnya yang semakin menjauh. Menjauh meninggalkanku yang masih terdiam di tempatku. Masih tidak percaya dengan apa yang kudengar dari mulutnya. Dia menyuruhku melupakannya?
~***~

The sound of my heart ringing. It feels like a lie. This pain too.
Like the writing that has been washed away and smudged, you and I have been blurred and erased.
The world is the same but when I look around, it is only you who is not by my side.

Semuanya tetap sama, tapi ada yang berbeda sekarang. Kau penyebabnya, Soon Hee. Kau yang menyebabkan ada sesuatu yang ganjil di kehidupanku sekarang. Tanpamu, hari-hariku terasa sepi. Aku hanya bisa memandangimu yang sedang tertawa lepas dari kejauhan dan bukan tertawa bersamaku, tapi bersama teman-temanmu yang lain. Kau membagi dan menyuarakan kebahagiaanmu pada mereka, kebahagiaanmu di hari kelulusan kita ini. Membuatku sekali lagi merasakan hal yang berbeda dari biasanya, kau tidak lagi berada di sampingku.

I lost you, I lost everything
I can’t even turn back time
My love, my kiss, my heart

I’ll bury them all. A place deep in my heart

One love, one kiss, to my heart
I’ll try to forget everything, I’ll erase everything

Benar. Aku sudah merasa seperti kehilanganmu sekarang, aku kehilangan semuanya. Semua yang sudah kujalani bersamamu, semua yang kudapat darimu, semuanya… Semuanya, Soon Hee. Tawamu, senyummu, tatapanmu. Semua itu tidak kau berikan padaku lagi. Sesak, sakit, perih, semua itu kurasakan di sini, di dadaku. Menyisakan satu ruang gelap di dalam sini.
Soon Hee… Aku sudah mencoba apa yang kaupinta, yaitu melupakanmu. Tapi ternyata sulit, aku tidak bisa, Soon Hee. Kau sudah terlalu membekas di sini, aku tidak bisa melupakanmu. Aku tidak bisa menghapusmu. Soon Hee, bisa kau katakan padaku caranya?
~***~

It feels as if only the memories that are like broken pieces are stuck in it
Deep in my heart. Deep in my heart. In a place deep in my heart
The image of your face covered in tears haunts me.
It hovers. It hovers. You who took my everything.

Sekarang di sinilah aku. Berlarian di antara kerumunan orang-orang yang sibuk dengan koper mereka masing-masing, sementara aku mencari sosok Soon Hee. Dan akhirnya kudapati sosoknya sedang berjalan masuk ke dalam ruang tunggu untuk keberangkatan dengan membawa lembaran tiket dan passport di tangannya. Aku berlari ke arahnya, mencoba untuk keluar dari kerumunan ini.
Semua ini kebodohanku. Aku menyayanginya, tapi tidak pernah mengatakannya. Aku hanya mengatakan bahwa dia milikku, sehingga dia merasa aku hanya menganggapnya sebagai barang. Tidak… Kau salah, Soon Hee. Kau bukan barang atau benda, aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu.
Di sela kesibukanku untuk keluar dari kerumunan, aku melihatnya sudah hampir masuk ke dalam sana. Tidak. Tunggu, Soon Hee! Jangan masuk sampai aku tiba di hadapanmu!

Last love… last kiss… last dream
My heart that knows you, only remembers you
Only remembers you

Akhirnya aku berhasil keluar dari kerumunan. Kukejar dia, tapi terlambat. Dia sudah masuk ke dalam ruang tunggu itu. Dia berbalik, membuatku dapat melihat senyumnya. Lalu melambaikan tangannya padaku. Ah, tidak. Dia melambaikan tangan pada teman-temannya yang mengantarnya. Dia tidak menyadari keberadaanku. Dia tidak melihatku di sini, jauh di belakang teman-temannya.
Tidak, kau harus tahu, Soon Hee. Kau harus tahu bahwa aku mencintaimu!
“Kim Soon Hee! Saranghae!” teriakku. “Saranghae, Kim Soon Hee! Aku mencintaimu! Sangat mencintaimu!”
Tapi percuma, suaraku tenggelam dalam suara pesawat yang baru saja mendarat. Lalu ia kembali membalikkan badannya, melangkah masuk ke dalam ruang tunggu itu, menghilang dari pandanganku. Menghilang. Menghilang dari hidupku. Dia, Kim Soon Hee… Dia sudah pergi…
“AAAARRGHH!!! KIM SOON HEE!!!”

~***~

Goodbye my love my kiss

It feels like it will have stopped
I’ll try to forget

~***~

-Several years later-
“AAAAA!!! Yesung-oppa!” teriak beberapa yeoja yang masih berlari di belakangku, mengejarku. Mereka terus meneriakkan nama panggungku––Yesung––seperti orang gila.
Mungkin mereka bukan mengejarku, tapi mau memburuku. Lihat saja, mereka berlari seperti singa lapar yang sedang memburu rusa. Aku menoleh ke belakang, berharap mereka sudah menyerah untuk mengejarku. Tapi ternyata tidak, mereka masih mengejarku dengan penuh nafsu. Sedetik kemudian aku langsung bergidik ngeri.
Oh, tidak! Satpam, polisi, atau siapapun, tolong aku! Aku harus berlari ke mana lagi sekarang? Tiba-tiba satu ide melintas cepat di otakku. Dengan cepat kucegat taksi yang melintas di jalan dan masuk ke dalamnya. Aku menoleh ke belakang, melihat yeoja-yeoja gila yang sudah menyerah untuk mengejarku. Astaga, aku baru tahu ada fans segila mereka. Fuuuhh… Akhirnya aku bisa bernapas lega sekarang.
“Kita ke mana, Tuan?” tanya si supir taksi yang hampir saja kuabaikan.
“Ke SM,” jawabku singkat. Saat ini hanya SM Entertainment yang menjadi satu-satunya tempat yang paling aman untukku.
~***~

“Dikejar Clouds––fans-mu––lagi, Hyung?” tanya Ryeowook saat kulangkahkan kakiku masuk ke dalam gedung SM.
“Menurutmu? Kenapa ada fans segila mereka? Bahkan fans-ku yang lain masih banyak yang lebih waras,” kataku masih menyimpan suasana hati yang buruk.
Bisa kudengar Ryeowook terkekeh geli di sampingku. “Harusnya kau bersyukur masih punya fans, Hyung.”
“Tapi tidak segila mereka.”
Dengan cepat kutekan tombol lift. Kemudian pintu lift terbuka dan kami langsung masuk ke dalamnya. Jari telunjukku langsung menekan tombol berangka lima.
“Bagaimana dengan album barumu, Hyung? Kapan akan dirilis?” tanya Ryeowook membuka obrolan.
Aku hanya mengendikkan bahuku acuh. “Entahlah.”
TING!
Kulirik deretan angka-angka yang ada di sampingku. Baru lantai dua. Lalu seorang yeoja masuk ke dalam lift dan menekan angka satu. Awalnya aku tidak peduli dengan yeoja ini, tapi setelah kuperhatikan baik-baik, aku langsung teringat pada satu nama.
Ini tidak salah lagi. Dia pasti yeoja yang kutunggu-tunggu selama beberapa tahun terakhir. Dia pasti…
“Soon Hee?” panggilku pelan dengan masih menatapnya dengan tatapan tak percaya, mengabaikan pandangan bingung yang Ryeowook tujukan padaku.
Ne?” Dia menoleh ke arahku. Lalu senyumnya mengembang, senyum yang sangat kurindukan. “Ah, Jong Woon. Kukira kau sudah tidak mengingatku lagi,” katanya riang seraya memukul lenganku pelan.
Aah, ternyata dia masih saja seperti dulu––bodoh. Bagaimana mungkin aku bisa melupakannya?
“Kau… Kapan kau kembali ke Seoul?” tanyaku masih dalam keterkejutanku.
“Dua hari yang lalu,” jawabnya tanpa menghapus senyumannya sedikit pun. “Bagaimana kabarmu sekarang? Wah, kau sudah jadi penyanyi terkenal sekarang,” katanya lagi.
“Tidak baik,” jawabku seadanya. Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku tanpa bisa kusaring terlebih dahulu.
Mwo?” tanyanya tak mengerti.
TING!
Hyung, kita sudah sampai,” ujar Ryeowook sambil menyikut lenganku, membuatku kembali tersadar.
Dengan terpaksa kulangkahkan kakiku keluar dari lift mengikuti langkah Ryeowook. Tapi… Aku masih merindukannya. Aku masih ingin bicara dengannya. Tidak, aku tidak bisa. Aku tidak bisa melepaskannya lagi.
Hyung! Kau mau ke mana?” seru Ryeowook ketika melihatku berlari dan langsung masuk ke dalam lift sebelum pintunya benar-benar tertutup.

Kulihat wajah Soon Hee yang mendadak pucat, terkejut dengan apa yang baru saja kulakukan.
“Yak! Kau mau mati, hah? Pintunya sudah hampir tertutup tadi! Kau gila, Jong Woon!” omelnya saat pintu lift benar-benar tertutup.
Tapi tidak kuhiraukan semua omelannya. Aku hanya memusatkan perhatianku pada wajahnya, menelusuri lekuk-lekuk wajahnya yang sudah sedikit berbeda dari yang kuingat. Wajahnya sudah terlihat lebih dewasa sekarang, tapi selebihnya masih tetap sama seperti dulu.
“Aaah! Jong Woon! Kau benar-benar––”
I miss you,” bisikku sesaat setelah tubuhnya tertarik ke dalam dekapanku, memotong ucapannya.
Bisa kurasakan tubuhnya menegang saat kupeluk erat seperti ini. Kutumpahkan semua kerinduanku yang selama ini kutahan dengan memeluknya, mencoba mengalirkan semuanya agar dia tahu betapa aku merindukan sosoknya selama ini.
“Jong Woon…”
Ia sedikit memberontak, mencoba untuk melepaskan pelukanku, tapi kutahan. Tolong, Soon Hee. Kali ini saja, tetaplah di sini.
“Ke mana saja kau selama ini?”
“Amerika. Dan aku yakin aku sudah bilang padamu.”
Perlahan kulepas pelukanku. Menatapnya dalam, lalu mulai kembali bersuara. “Kau memberitahuku beberapa menit sebelum keberangkatan! Kau membuatku gila!” kataku sambil memegang kedua pundaknya kuat.
Dia hanya terkekeh.
“Kau tidak tahu betapa aku merindukanmu, pabo!” bentakku kesal. “Dan kenapa kau ada di sini?” tanyaku.
“Aku baru saja menemui Choi Siwon,” jawabnya cuek. “Kau masih ingat dia? Ah, tentu saja kau ingat. Dia kan artis juga di sini.”

TING!
Pintu lift terbuka. Dia segera melangkahkan kakinya keluar dan berjalan keluar gedung.
“Siwon? Untuk apa kau menemuinya?” tanyaku penuh selidik sambil menyamakan langkah kami.
“Bukan urusanmu,” jawabnya singkat.
“Jangan bilang kau…” kataku menggantung.
Ia hanya melemparkan senyum jahil dan membuka pintu mobilnya.
“Menurutmu bagaimana?” katanya sebelum masuk ke dalam mobil.
Dengan cepat aku memutari mobilnya dan langsung masuk begitu saja ke dalam mobil putihnya itu.
Mwo? Hei! Kenapa kau masuk?” tanyanya terkejut saat mendapati aku sudah duduk di sebelahnya. “Keluar!”
“Aku tidak akan keluar sebelum kau menjawab pertanyaanku,” kataku, menunjukkan sifat keras kepalaku.

Ia menatapku jengah, lalu menyalakan mesin dan menginjak gas. Ia menjalankan mobilnya entah ke mana. Lima menit berlalu, tapi kami belum juga bersuara.
“Jawab pertanyaanku, Hee,” kataku datar, memecah keheningan di antara kami.
“Pertanyaan yang mana?” tanyanya datar, masih tidak menatapku. Ia terus saja memusatkan perhatiannya pada jalanan yang ada di depannya.
“Jangan pura-pura bodoh di depanku, Hee!” bentakku kesal. Aku sudah kehilangan kesabaran menghadapi gadis ini.
“Siwon?” tanyanya memastikan.
Aku mengangguk mantap. Ia hanya tersenyum licik, tidak menjawab pertanyaanku sama sekali. Kemudian ia menepikan mobilnya di tempat yang sepi. Ada apa ini? Kenapa berhenti di sini?
“Turun,” katanya singkat saat mendapat tatapan penuh tanya dariku. “Turun, Jong Woon,” ulangnya lagi.
“Kau menurunkanku di sini?”
“Apa kata-kataku kurang jelas? Jong Woon, turun sekarang juga,” katanya dingin. Ia memalingkan wajahnya dariku.
Hah, dia mau bersikap dingin padaku kali ini? Oke, coba saja, Kim Soon Hee.
Aniya.”
Dia menoleh cepat ke arahku, menaikkan sebelah alisnya.
“Sudah kukatakan dengan jelas. Tidak,” kataku lagi dengan penekanan pada kata ‘tidak’.
“Jong Woon!”
“Aku tidak mau turun, Soon Hee!” tolakku.
Ia mendengus kesal. Lalu memalingkan wajahnya ke depan, memandang jalanan dan melipat kedua tangannya di depan dada.
“Aku tidak mau jadi bonekamu lagi, Jong Woon,” katanya datar.
“Kau bukan bonekaku, Hee-ya. Dan kau tidak pernah menjadi bonekaku,” sahutku yang sudah kehilangan kesabaran.
“Lalu yang kaulakukan beberapa tahun lalu itu apa?”
“Itu…”
“Itu apa?” katanya menyerbuku yang masih memutar otak.
“Itu… Aku memang salah waktu itu. Tidak seharusnya aku bilang kau milikku.”
Dia terdiam, tidak lagi menghujaniku dengan kata-katanya.
“Seharusnya yang kukatakan bukan itu. Tapi…” Ucapanku menggantung. Kuraih kedua tangannya dan menggenggamnya erat namun lembut. “Harusnya aku bilang aku mencintaimu, Soon Hee,” lanjutku, menatap kedua bola matanya dalam.
Mata coklatnya menatapku, menunjukkan keterkejutannya.
“Aku mencintaimu, Soon Hee. Sejak dulu sampai sekarang perasaanku masih sama,” kataku lagi sambil menatapnya lekat-lekat.
“Begitu?”
Apa? Aku sudah mengatakannya dengan sepenuh hati, tapi responnya hanya sebatas itu? Sabar, Jong Woon… Sabar… Demi cinta, aku akan bersabar menghadapi yeoja ini.
“Benar,” jawabku. “Kau sama sekali bukan milikku, tapi yang memilikiku. Kau memiliki hatiku.”
Ia terkekeh. “That’s so romantic, Mr Kim,” katanya jahil, membuatku ingin sekali memukul kepalanya. “Dan… Oh! Masalah Siwon,” katanya menggantung.
Tatapanku padanya langsung berubah menjadi penuh selidik mendengar nama Siwon. Tanpa sadar aku menatapnya terlalu tajam, menunggunya untuk melanjutkan ucapannya.
He’s my cousin. Just it,” lanjutnya.
Hah, Soon Hee… Jadi selama ini… Tertawa saja kalau kau ingin tertawa, Hee. Tertawakan saja kebodohanku selama ini karena sudah cemburu pada namja itu.
“Dan aku tidak mungkin akan menikah dengan sepupuku sendiri,” katanya lagi, secara tidak langsung menyindirku yang sempat berpikir kalau mereka memiliki hubungan khusus.
“Bagus,” gumamku puas sekaligus lega.
“Apa?” katanya sembari menoleh cepat padaku.

“Hei, hei… Apa yang kau lakukan?” tanyanya panik saat menyadari wajahku sedang mendekat pada wajahnya. “YA! Stop it!” serunya seraya memukul dadaku keras sekali, hingga tubuhku terdorong ke belakang dan kepalaku membentur kaca mobil dengan sempurna. Bagus sekali.
“Aissh! Sakit, Hee…” ringisku.
“Ah, jinjja… Kau, Jong Woon… Kau sama sekali tidak berubah,” katanya kesal sambil melipat tangan di depan dada. “Masih saja suka mencuri ciumanku.”
Hahaha, lihat. Dia lucu sekali. Aku terkekeh melihat tingkahnya yang masih seperti anak-anak. Aku keluar dari mobil dan memutar ke sisi pengemudi. Kubuka pintu mobilnya dan mendapati dirinya sedang menatapku bingung.
“Jong Woon, what are you doing?” tanyanya bingung.
“Turun,” kataku singkat.
Dia hanya menaikkan sebelah alisnya, masih menatapku bingung sekaligus menginterupsi. Ya ya ya, aku mengerti. Mana ada penumpang yang menurunkan si pemilik mobil seperti ini.
“Turun, Hee,” kataku lagi seraya menarik tangannya agar dia mau keluar. Dan ternyata tidak sulit, ia menurut dan mau keluar dari mobil. Kutuntun dia ke sisi penumpang dan menyuruhnya duduk di sana, sedangkan aku duduk di sisi penumpang dan siap menancap gas.
“Y-ya, Jong Woon… Apa yang kau lakukan? Kau mau membawaku ke mana?” tanyanya panik.
Aku hanya tersenyum kecil, menatapnya sekilas, lalu memusatkan perhatianku pada jalanan di depan selama menyetir.
“Jong Woon! Kita mau ke mana?” tanyanya lagi.
“Ke rumahmu,” jawabku singkat.
Mwo? Rumahku?” tanyanya yang hanya kurespon dengan anggukan. “For what?” tanyanya lagi dengan tatapan curiga.
“Tentu saja untuk melamarmu, memangnya apa lagi?” jawabku santai. “Atau kau mau langsung ke gereja dan menikah denganku sekarang juga?” tanyaku jahil. “Kalau itu maumu, kita ke gereja sekarang.”
“YAK! KIM JONG WOON! KAU SUDAH GILA!”


-END-


Fuuh… Akhirnya selesai juga nih FF. Ayo, ditunggu comment-nya. Jelek, bagus, gaje? Jangan jadi silent reader ya. Bagi silent reader, jangan harap hidup Anda bisa terbebas dari rasa penyesalan *widiiih horror* Hahaha, becanda doang :D Makasih udah baca :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar