Annyeong! *bow*
Saya Hyemi a.k.a Yana kembali lagi atas permintaan Mbak Ifa untuk ngepost ff nya ini..
Dia ingin menyampaikan permohonan maaf karena baru sekarang ngepost part terakhir ff nya, biasalah modemnya lagi agak bermasalah u.u
Okelah, kita langsung saja yaa...
Cekidoot...
Author : Ifa Raneza
Cast : Yesung a.k.a Kim Jong
Woon , Park Hye Mi
Genre : Romance
******
“Baiklah, aku tidak akan pergi,”
ujar Sungmin sambil terus tersenyum.
“Jinjja?” tanya Hye Mi memastikan.
“Ne,” jawab Sungmin lagi sambil mengangguk.
Kenapa Hye Mi menahannya agar tidak
pergi? Apa Hye Mi mulai mencintainya? Apa dia sudah bisa menggantikan posisi
Jong Woon dengan namja ini? Tidak.
Bagaimana pun sulit bagi Hye Mi untuk menggeser posisi Jong Woon di hatinya.
Lalu Sungmin? Hye Mi hanya ingin memanfaatkan namja ini untuk bisa melupakan Kim Jong Woon. Memanfaatkan? Ya,
jahat memang. Egois. Ia hanya memanfaatkan Sungmin agar bisa meneruskan
hidupnya tanpa seorang Kim Jong Woon. Tapi bukankah Sungmin juga demikian?
Bukankah Lee Sung Min juga sama egoisnya dengan dirinya? Ia memanfaatkan
keadaan Hye Mi agar bisa memiliki gadis itu. Sungmin memanfaatkan keadaan–––di
mana keberuntungan sedang berpihak padanya–––untuk bisa menyingkirkan Jong Woon
dari kehidupan Park Hye Mi. Ya, di dunia yang kejam ini, kau tidak akan tahu
apa yang akan terjadi padamu. Apa yang akan menjadi pilihanmu. Dan apa yang
bisa mendesakmu, sehingga kau hanya bisa memilih antara tiga. Menyerah dan
pasrah, memberontak dan menolak kenyataan, atau memanfaatkan keadaan agar kau
bisa melanjutkan hidupmu. Dan yang Hye Mi pilih adalah memanfaatkan Sungmin
agar bisa terus melanjutkan hidupnya tanpa bayang-bayang Jong Woon, meskipun ia
tahu bahwa nama Kim Jong Woon akan terus terpatri di dalam hatinya.
*******
“Ya! Park Hye Mi!” suara seorang dosen
pria yang sedang berdiri di dekat mejanya menggema di dalam ruangan itu.
Sesekali ia membetulkan letak kacamatanya yang terlihat sangat tebal dan kuno.
Hye Mi mendongakkan kepalanya agar
bisa memandang orang yang baru saja memanggil namanya. “Ah… Ne, Sem?”
ucapnya dengan tampang bingung.
“Kau tidak mendengarku memanggil
namamu berkali-kali, heh?! Mana tugasmu?” tanya dosen itu dengan tampang marah.
“Ah, ne. Mianhae, Sem,” ucap Hye Mi lesu seraya berdiri
dan berjalan ke arah dosen itu sambil menggenggam sebuah map yang berisi
tugasnya.
Baru Hye Mi akan mengangkat sebelah
tangannya untuk menyerahkan map itu, tubuhnya sudah kehilangan keseimbangan.
Pandangannya kabur dan lama kelamaan menjadi gelap. Yang bisa didengarnya hanya
suara panik dosen dan teman-temannya yang terus memanggil namanya.
********
Hye Mi membuka matanya perlahan. Setelah
matanya terbuka dengan sempurna, ia mengerjapkan matanya. Perlahan ia berusaha
bangun dari tempat tidurnya dan duduk di pinggir tempat tidur. Ia mengenali
tempat ini. Ini kamarnya sendiri. Tapi… sejak kapan ia berada di sini? Bukankah
ia tadi sedang berada di kelasnya?
“Kau sudah sadar?”
Hye Mi langsung menoleh ke sumber
suara. Didapatinya seorang namja
dengan kaos hitam sedang berdiri di muka pintu sambil membawa segelas teh di
sebelah tangannya. Ia terbiasa melihat seorang namja berdiri di depan pintu kamarnya setiap hari. Tapi kali ini bukan
Sungmin, melainkan…
”Kim Jong Woon…?”
Namja itu tersenyum samar dan menghampiri Hye Mi. Ia meletakkan
teh panas itu di meja kecil di samping tempat tidur, lalu duduk di samping Hye
Mi sehingga gadis itu bisa melihat dengan jelas senyum samar namja bernama Kim Jong Woon ini.
Jong Woon mengacak pelan rambut
gadis yang masih menunjukkan tampang bingungnya itu. “Masih pusing?” tanyanya
lembut.
Hye Mi hanya menggeleng.
“Kau ini pabo,” kata Jong Woon dingin. Matanya menyipit dan senyum manisnya
itu hilang. Aaah, sosok menyebalkan seorang Kim Jong Woon kembali lagi.
“Mwo? Kau mengataiku pabo?!”
kata Hye Mi tidak terima.
“Ya, kau itu memang pabo. Pabo yeoja!” sahut Jong Woon.
“Mwo?!” Nada bicara Hye Mi mulai naik.
“Ini sudah hampir jam dua siang.
Dan kau belum makan dari tadi pagi, apalagi kalau bukan pabo namanya?”
“Ya! Kau ini masih seperti dulu!
Menyebalkan!” kata Hye Mi lantang.
“Seperti dulu?” ucap Jong Woon
pelan. Ternyata yeoja ini sama
sepertinya, mereka belum bisa melupakan satu sama lain. “Mm… Kau… kau belum
terlalu sehat. Berbaringlah dulu,” katanya lagi.
Hye Mi menurut. Ia kembali
berbaring di tempat tidurnya.
“Wajahmu pucat.”
“Aku tahu.”
“Kau akan sakit kalau kau tidak
mengatur pola makanmu.”
“Aku tahu, Oppa.”
“Lalu kalau kau tahu, kenapa kau
tidak makan dari tadi pagi, hah?!” kata Jong Woon kesal.
“Lagipula kenapa kau ada di sini, Oppa?” tanya Hye Mi sambil membalas
tatapan Jong Woon dengan tatapan kesal.
“Huh, kau tidak mau berterima kasih
pada orang yang sudah mengantarmu pulang?” kata Jong Woon balik bertanya dengan
ekspresi yang susah untuk diartikan.
Sedetik kemudian Hye Mi langsung
salah tingkah. Cepat-cepat ia membuang pandangannya ke sembarang arah. Ia tidak
bisa menjamin mulutnya akan mengeluarkan kata-kata aneh tanpa komandonya jika
melihat ekspresi namja itu–––ekspresi
yang sangat ia rindukan.
“Ah, ne… Gomawo, Oppa,” kata Hye Mi pelan.
Senyum Jong Woon mengembang. “Cheonmaneyo.”
“Mana Sungmin?” tanya Jong Woon
setelah hening menyelimuti mereka selama beberapa menit.
“Dia akan pulang nanti malam,”
jawab Hye Mi, masih tidak menatap Jong Woon.
“Eh, kau harus makan sekarang.
Minum tehnya dulu,” kata Jong Woon seraya mengambil teh yang dibawanya tadi,
lalu menyodorkannya pada Hye Mi.
Hye Mi mengambil gelas yang
disodorkan namja itu padanya dan
mulai meneguk isinya.
“Puaah! Panas!” jeritnya saat ujung
bibirnya mengenai teh panas yang diberikan Jong Woon.
Jong Woon tersentak dan langsung
mengambil gelas yang sedang dipegang Hye Mi.
“Itu panas sekali, Oppa! Apa kau mau membuat bibirku
melepuh?!” kata Hye Mi dengan bola matanya yang membulat lebar.
“Panas?” Jong Woon meminum teh yang
dipegangnya itu dengan hati-hati. “Ini hangat, Hye Mi-ah.”
“Ani! Itu panas!”
“Yakk! Ini teh hangat!”
“Pokoknya aku tidak mau minum itu!
Itu panas!” ujar Hye Mi merengek agar Jong Woon tidak menyuruhnya meminum teh
itu lagi.
Jong Woon hanya tersenyum geli
melihat tingkah yeoja itu.
“Aku sangat merindukanmu, Hye
Mi-ah,” kata Jong Woon pelan.
Hye Mi terdiam. Ya Tuhan, haruskah
dia mengatakannya lagi? Tanpa ia katakan pun, Hye Mi sudah tahu bahwa namja ini sangat merindukannya, sama
seperti dirinya.
“Kau harus makan. Kajja,” ujarnya seraya menarik pelan
sebelah tangan Hye Mi dan menuntunnya keluar kamar.
******
Jong Woon meregangkan ototnya di
atas sofa empuk di dalam apartemennya. Hari ini sungguh melelahkan. Ia melirik
jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Tidak terasa waktu sudah
menunjukkan pukul 7 malam. Ternyata mengurus orang sakit itu melelahkan juga. Ya,
siapa lagi kalau bukan Park Hye Mi. Jong Woon tidak heran kenapa yeoja itu bisa sakit bahkan pingsan di
kelasnya tadi siang. Bahkan untuk minum teh saja dia merengek dengan alasan teh
yang Jong Woon buat terlalu panas. Dan ketika Jong Woon mengajaknya makan, ia
hanya menelan tiga sampai empat suapan saja. Pantas saja badannya hampir seperti
tengkorak. Dan yang lebih membuat Jong Woon tidak habis pikir, minum vitamin
saja Hye Mi menolak! Hanya vitamin! Jong Woon sengaja menyuruhnya minum vitamin
karena yeoja itu hanya makan beberapa
suap. Tapi Hye Mi bersikeras tidak mau meminum vitamin itu. Jong Woon sampai
bertanya-tanya dalam hati. Apa benar gadis ini adalah mahasiswi kedoteran?
Jong Woon tersentak ketika sadar
ponselnya berdering. Dengan cepat tangannya merogoh tas ranselnya dan meraih
benda itu.
“Yoboseyo?” kata Jong Woon ketika ponsel itu telah menempel di
sebelah telinganya. Alis Jong Woon berkerut samar ketika mendengar ucapan orang
di seberang telepon. “Nuguseyo?”
tanyanya.
“Oh, mianhae. Aku lupa memperkenalkan diri. Aku Lee Sung Min. Masih
ingat aku?”
Jong Woon mendesah pelan. Tentu
saja dia ingat. Bagaimana bisa dia lupa dengan nama Lee Sung Min? “Ne, aku ingat. Sangat ingat,” kata Jong
Woon seraya membetulkan posisi duduknya. “Ada apa meneleponku?”
“Aku hanya ingin berterima kasih karena sudah menjaga calon istriku.”
“Ne, cheonmaneyo.”
Calon istri katanya? Hah, kalau
saja kesadaran Jong Woon tidak sepenuhnya terkumpul saat ini, mungkin mulutnya
sudah meluncurkan kata-kata membentak atau memaki, atau mungkin ia sudah
melempar ponselnya itu ke tembok. Jong Woon masih tidak terima yeoja yang sangat dicintainya itu
disebut seperti itu oleh Sungmin. Hatinya bergemuruh.
“Lalu? Apa masih ada lagi yang
ingin kau sampaikan?” tanya Jong Woon dingin.
“Ah, aniya. Maaf sudah mengganggumu. Annyeong.”
KLIK!
Jong Woon meletakkan asal ponsel
itu ke atas meja di depannya. Ia mendesah berat sambil mengacak kasar rambut
hitamnya. Ia menyandarkan punggungnya ke sandaran sofa, lalu pandangannya
menyapu segala sesuatu yang ada di hadapannya. Namja ini kembali mendesah berat. Park Hye Mi… Jong Woon ingin sekali
merebut gadis itu dari Sungmin. Tapi… ia tidak bisa. Ia tidak mungkin bisa.
Tragis. Benar-benar tragis nasibnya. Gadis yang susah payah ia dapatkan,
sebentar lagi akan menjadi milik orang lain. Gadis itu akan diikat dengan suatu
ikatan sakral bersama seorang Lee Sung Min. Jika bisa, Jong Woon ingin sekali
mengganti nama Sungmin menjadi namanya di atas kertas undangan pernikahan
mereka nanti. Tapi… itu tidak mungkin.
*****
Sungmin meletakkan ponselnya di
atas meja. Ia duduk di tepi tempat tidurnya dan mengacak rambutnya kasar.
Pikirannya dipenuhi dengan dua nama. Park Hye Mi dan Kim Jong Woon. Di satu
sisi, Sungmin tidak ingin kehilangan Hye Mi. Tapi di sisi lain, Sungmin tidak ingin menjadi namja yang egois. Ia tidak mau
menghancurkan kebahagiaan Hye Mi lebih dalam lagi. Dia tidak mau. Cukup baginya
memiliki gadis itu selama setengah tahun. Ya… tidak perlu waktu yang lebih lama
lagi, ia akan melepas yeoja itu. Ia
akan mengembalikan semua yang sudah diambilnya dari Hye Mi–––kebahagiaannya.
Lamunan Sungmin buyar ketika bel
pintu rumahnya berbunyi. Ia bergegas turun ke lantai bawah dan membuka pintu
depan. Ia mendapati seorang yeoja
sedang berdiri di depan pintu rumahnya. Ia tersenyum simpul dan mengajak yeoja itu masuk.
“Kenapa rumahmu sepi sekali?” tanya
yeoja itu.
“Bukankah rumahku memang selalu
sepi?” jawab Sungmin. “Kau mau minum apa, Hye Mi-ah?”
“Tidak usah. Aku tidak haus,” tolak
Hye Mi halus. Lalu ia duduk di sofa yang ada di ruang tamu. “Apa yang mau
kaubicarakan denganku?” tanyanya.
Sungmin menghela napas.
“Sebenarnya….”
“Apa?”
Sungmin menatap mata gadis itu
dalam-dalam. Ia mengatur napasnya agar ia bisa tetap tenang saat mengeluarkan
kalimat-kalimatnya. Tapi tetap saja nihil. Ia bahkan tidak bisa mengatur
emosinya.
“Masalah rencana pernikahan itu,”
kata Sungmin mulai membuka pembicaraan.
Masalah itu lagi. Mendengar kata
‘pernikahan’, pikiran Hye Mi langsung tertuju pada Jong Woon. Bagaimana
perasaan namja itu saat Hye Mi dan
Sungmin menikah? Terlebih lagi, bagaimana perasaan Hye Mi sendiri saat mereka
menikah nanti? Baik Jong Woon maupun Hye Mi, mereka pasti akan sama-sama merasa
tersiksa.
“Lalu?”
Sungmin menghela napas lagi. Lalu
ia mulai mengeluarkan suaranya. “Sepertinya kita… Ah, bukan. Maksudku…”
“Bicara pelan-pelan dan tenangkan
dirimu. Aku tidak mengerti kalau kau bicara seperti itu,” kata Hye Mi yang
mulai penasaran dengan apa yang akan Sungmin ucapkan.
“M-maksud… maksudku… Aku…” Ayolah,
Sungmin! Apa yang kaupikirkan? Katakan semuanya dan urusannya akan segera
selesai. “Aku tahu kau masih mencintai Kim Jong Woon.” Astaga! Apa yang kukatakan? Kenapa malah kalimat itu yang keluar?
Sungmin terus mengomeli dirinya sendiri dalam hati.
Hye Mi menaikkan sebelah alisnya
tidak mengerti. “Yaah… memang. Tapi bukankah selama ini aku sudah bisa menerimamu?
Lalu, apa hubungannya Jong Woon dengan rencana pernikahan kita?” tanya Hye Mi
menuntut penjelasan.
“Karena itu… Aku…” kata Sungmin
terputus. Sementara itu ia terus mengomeli dirinya sendiri dalam hati. “Aku
tidak … Aku tidak bisa menikah denganmu.”
Hening. Hye Mi masih bergeming di
tempatnya. “Apa?” Hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.
“Aku tidak bisa menikah denganmu.
Kau juga tidak mau menikah denganku, bukan? Karena itu… pernikahan kita
kubatalkan. Mianhae,” kata Sungmin.
Emosi Hye Mi langsung meluap. Apa
maksud namja ini? Apa namja ini ingin mempermainkannya? Dulu
Sungmin yang memaksanya untuk bertunangan, tapi sekarang? Hye Mi benar-benar
merasa dipermainkan.
“Apa kau bilang?!” tanya Hye Mi
dengan nada tinggi. Emosinya benar-benar tidak bisa ditahan lagi sekarang. Ia
benar-benar marah. Ia kecewa.
“Hye Mi-ah, tenangkan dulu dirimu,”
kata Sungmin seraya mencoba meraih bahu Hye Mi, tapi gadis itu menghindar.
Hye Mi langsung berdiri dan menatap
Sungmin. Tatapan yang biasanya lembut sekarang berubah menjadi tajam. Kedua
tangannya terkepal kuat. Detak jantungnya tak beraturan. Ingin sekali tangannya
memukul wajah Sungmin–––wajah orang yang sudah menghancurkan hidupnya.
“Mana mungkin aku bisa tenang!”
bentak Hye Mi.
“Ma… maafkan aku,” kata Sungmin lemah.
“Aku baru menyadarinya sekarang. Kau… kau tidak bisa hidup bersamaku. Kita
tidak bisa menikah.”
Hye Mi mendaratkan tamparan di pipi
kiri Sungmin. Ia benar-benar marah. Sungmin memegang pipi kirinya yang panas
akibat tamparan dari Hye Mi. Ternyata sesakit ini perasaan yeoja itu.
“Maafkan aku, Hye Mi.... Jika kau
mau, kau boleh menghukumku. Kau boleh––”
“Menghukummu?” Hye Mi tertawa
pahit. “Setelah kau menghancurkan hidupku setengah tahun yang lalu. Setelah kau
membuatku meninggalkan namja itu… kau
bilang aku boleh menghukummu? Hanya menghukummu? Bahkan jika aku membunuhmu,
hal itu tidak akan bisa membayar semua yang sudah kaulakukan padaku!”
Sungmin menundukkan kepalanya. Ia
tidak sanggup menatap mata Hye Mi. Ia tidak sanggup….
“Maafkan aku….” Hanya kata itu yang bisa
keluar dari mulut Sungmin saat ini. Ia benar-benar sakit. Bagaimana mungkin ia
baru menyadari bahwa selama ini ia sudah menyakiti hati seorang yeoja yang sangat ia cintai.
“Kalau kau tidak mau menikahiku,
lalu kenapa dulu kau memaksaku meninggalkan dia? Apa ini tujuanmu? Apa kau
hanya ingin melihatku menderita, hah? JAWAB!!” jerit Hye Mi.
Emosinya meledak. Sedetik kemudian
tangisnya pecah. Ia terduduk di lantai. Kedua tangannya menutupi wajahnya.
Hanya suara tangisannya yang menghiasi ruangan itu. Sungmin tidak tahu harus
berbuat apa saat ini. Memeluknya? Menghiburnya? Tidak mungkin. Hal itu hanya
akan membuat emosi yeoja ini
bertambah.
“Kau pantas membenciku…” kata
Sungmin lirih. Ia menatap yeoja
didepannya itu dengan tatapan sendu. Ya Tuhan, Sungmin baru menyadari dirinya
sangat kejam. Ia sudah membuat Hye Mi kehilangan Jong Woon, dan sekarang? Ia
membuat yeoja itu makin terluka.
Tapi Sungmin yakin, jika mereka
menikah, Hye Mi akan semakin menderita di dalam pernikahan tanpa cinta mereka.
Hye Mi akan semakin terluka jika cinta palsu ini diteruskan. Sungmin tidak mau.
Sungmin tidak akan membiarkan ini terus berlanjut. Ia akan membuat Hye Mi
bahagia. Ya… setelah ini ia akan membuat seorang Park Hye Mi menemukan
kebahagiaannya kembali.
******
“Jangan pernah hubungi aku lagi.
Kau dengar!?” bentak Hye Mi ketika mendengar suara Sungmin di telepon.
“Tunggu, Hye Mi! Kumohon… kali ini saja. Temui aku.”
Hye Mi menimbang-nimbang tawaran
Sungmin. Sudah dua minggu sejak Sungmin membatalkan rencana pernikahan mereka.
Dan selama itu pula Hye Mi tidak mau berhubungan dengan nama Lee Sung Min lagi.
Terluka? Ya, sangat terluka. Dia pikir Hye Mi wanita seperti apa? Apa dia tidak
tahu seberapa besar perjuangan Hye Mi untuk melupakan Jong Woon selama ini? Ya…
mana mungkin namja itu tahu.
“Jadi, kau mau?”
“ Apa?”
“Kau mau menemuiku?”
Hye Mi mendesah pelan. “Arraseo! Aku akan menemuimu hari ini. Di
mana?”
“Di café yang biasa setelah kau pulang dari kampus. Aku tunggu.”
KLIK!
Hye Mi langsung menutup flap ponsel
dan memasukkan benda itu ke dalam tasnya.
Ia benci namja bernama Lee Sung Min itu. Sangat benci! Bagaimana tidak?
Setelah memaksanya berpaling dari Kim Jong Woon, namja itu seenaknya membatalkan pernikahan mereka. Memang inilah
yang Hye Mi inginkan. Ia tidak mencintai Sungmin, jadi wajar kalau ia enggan
menikah dengan namja itu. Tapi… bukan
berarti perasaan Hye Mi harus dinomorduakan. Ia sudah sangat terluka, tapi
Sungmin malah menabur garam di atas lukanya. Sakit? Sangat menyakitkan! Lalu
sekarang apa yang harus dilakukannya? Kembali pada Kim Jong Woon? Bahkan ia
ragu Jong Woon masih mau menerimanya.
Namja itu… Lee Sungmin…. Ia sudah benar-benar menghancurkan
hidupnya. Dulu Sungmin yang menyuruh Hye Mi membuang perasaan cintanya pada
Jong Woon. Dan sekarang? Sungmin sendiri yang membuang Hye Mi! Di mana hati
nurani namja itu? Apa sekejam itukah
dirinya? Hye Mi tidak habis pikir namja
jenis apa Sungmin itu. Brengsek? Bahkan kata itu pun tidak bisa mendeskripsikan
betapa kejamnya seorang Lee Sung Min di mata Hye Mi.
*******
“Jadi apa yang ingin kaukatakan
padaku?” tanya Hye Mi to the point
saat tiba di depan Sungmin.
Sungmin mendongakkan kepalanya
untuk menatap Hye Mi. Ia tersenyum simpul. “Duduklah dulu,” katanya.
Hye Mi mendengus kesal. Di saat
seperti ini namja ini masih bisa
tersenyum. Andai saja sekarang mereka tidak sedang berada di café, Hye Mi pasti
sudah menampar pipi namja ini. “Tidak
bisa. Aku sedang buru-buru,” tolak Hye Mi.
“Jebal, duduklah dulu.” Sungmin menarik pelan tangan Hye Mi agar
gadis itu menurutinya.
Akhirnya
Hye Mi menuruti Sungmin. Ia duduk di depan Sungmin, masih dengan raut wajah
kecewa. “Jadi, ada apa kau memintaku ke sini?” tanya Hye Mi ketus.
“Kau tidak mau memesan makanan
dulu?” tanya Sungmin sambil membolak-balikkan buku menu.
Haahh… baiklah, kali ini Hye Mi
akan bersabar. Ia mengambil buku menu yang ada di tangan Sungmin dan memilih
minuman yang akan dipesan. Beberapa menit kemudian seorang pelayan menghampiri
mereka dan menanyakan pesanan mereka. Setelah itu, pelayan tersebut pergi
meninggalkan dua orang itu.
“Bagaimana kabarmu hari ini?” tanya
Sungmin mencoba mencairkan suasana.
“Bisa kaulihat sendiri, kan? Aku
baik-baik saja,” jawab Hye Mi masih dengan nada suara yang dingin.
“Sekali lagi maafkan aku,” ujar
Sungmin sambil tersenyum tipis. Hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang.
“Sudahlah, tidak usah dibahas lagi.
Aku muak,” sahut Hye Mi ketus.
“Apa kesibukanmu hari ini?”
“Apa perlu kujawab?”
Sungmin mengangkat kedua bahunya
pelan. “Kalau tidak mau menjawab juga tidak apa-apa.”
“Seperti yang sudah kau tahu, aku
selalu sibuk.”
“Kalau kau masih punya banyak
waktu––”
“Aku sibuk, Sungmin-ah. Cepat
katakan apa yang mau kaukatakan,” ujar Hye Mi memotong ucapan Sungmin.
Beberapa detik setelah itu, seorang
pelayan mengantarkan pesanan mereka.
“Gomawo,” ujar Sungmin pada pelayan itu.
Sungmin mengaduk-aduk minumannya.
Ia masih memutar otaknya untuk menyusun kalimat yang akan ia keluarkan.
“Sungmin-ah, aku tidak punya banyak
waktu,” ujar Hye Mi dengan wajah kesal. Ia harus menunggu berapa lama lagi agar
Sungmin menyelesaikan ini semua?
“Aku akan mengembalikan semuanya,”
kata Sungmin dengan raut wajah serius.
Hye Mi menaikkan sebelah alisnya.
Apa namja ini sedang sakit? Apa dia
patah hati karena sudah membatalkan rencana pernikahan mereka? Tapi bukankah
seharusnya Hye Mi yang kecewa, bukan Sungmin. Dasar namja aneh.
“Aku akan mengembalikan
kebahagiaanmu, Hye Mi-ah.”
“Mwo?”
*******
“Haah… Untuk apa anak itu
mengajakku ke café?” kata Jong Woon pelan pada dirinya sendiri. Raut wajahnya
muram.
Bisa ditebak pasti Sungmin akan
memamerkan undangan pernikahannya dengan Hye Mi. Ia pasti akan membuat Jong
Woon iri. Dasar! Tapi kenapa pula Jong Woon menerima ajakan Sungmin? Ah,
entahlah. Mungkin rasa penasarannya mengalahkan perasaannya? Mungkin saja.
Jong Woon meletakkan tasnya asal di
atas tempat tidur. Lalu ia keluar dari kamarnya dan hanya meninggalkan suara
debuman pintu yang ditutup dengan keras di dalam apartemen itu.
******
“Aku akan mengembalikan kebahagiaanmu,
Hye Mi-ah.”
“Mwo?”
Sungmin menarik napas, kemudian
melanjutkan ucapannya. “Aku akan membuat kalian kembali seperti dulu. Kau masih
mencintai Kim Jong Woon, bukan?”
Hye Mi mengerti sekarang. Bisa
disimpulkan bahwa namja ini ingin
membayar semua kesalahannya selama ini. Tapi terlambat sudah. Hati Hye Mi sudah
beku. Ia tidak ingin dikasihani seperti ini.
“Aku tidak butuh bantuanmu. Ini
hidupku, aku yang menjalaninya! Jangan campuri kehidupanku!” ujar Hye Mi ketus.
Ia beranjak dari tempat duduknya dan pergi meninggalkan Sungmin yang masih
mematung.
Semua yang dilakukan Sungmin sudah
salah. Baik itu menghancurkan hubungan seseorang, maupun memperbaikinya. Itu
semua sudah salah. Dia mengerti keadaannya sekarang. Baik benar maupun salah,
semuanya pantas dicap salah. Kalau ia bisa memutar waktu, ia akan kembali ke
masa di mana dirinya dan Park Hye Mi bertemu untuk pertama kali. Andai waktu
itu ia bisa menahan perasaannya, mungkin sekarang keadaannya lebih baik. Park
Hye Mi bisa bahagia dengan Kim Jong Woon, dan dia bisa menjadi teman Hye Mi.
Ya… hanya sebatas teman saja sudah bisa membuatnya bahagia.
Sungmin sadar dirinya sudah
terlampau egois. Sangat egois. Yang bisa dia lakukan hanyalah melarikan diri
dari kenyataan. Kenyataan bahwa ia sudah melakukan sebuah kesalahan besar yang
membuat seorang yeoja sangat terluka.
Tapi sekarang hati kecilnya memohon. Memohon pada yeoja itu agar dirinya diberi kesempatan untuk mengembalikan semua
yang sudah direnggutnya.
********
Jong Woon tiba di café yang
dijanjikan Sungmin. Tapi sosok Lee Sung Min sama sekali tidak terlihat di sana.
Jong Woon menggerutu kesal dalam hatinya. Apa Sungmin tidak menepati janjinya?
Atau jangan-jangan dia sengaja mengerjai Jong Woon? Semua pertanyaan aneh
muncul di dalam pikirannya, sampai akhirnya seorang pelayan menghampirinya dan
memberikan secarik kertas.
“Mungkin kau sudah sangat membenciku sekarang, sama seperti Park Hye Mi
membenciku.
Ya, aku sadar. Aku memang pantas dibenci.
Tapi ijinkan aku sekali ini saja, untuk memperbaiki semua kesalahan yang
sudah aku perbuat.
Aku ingin mengembalikan semuanya yang sudah kuambil darimu.
Kebahagiaan, dan… Park Hye Mi.
Aku tidak jadi menikahinya.
Aku sadar, dia tidak akan bahagia jika terus menjalani cinta palsu kami.
Kau tahu? Dia masih sangat mencintaimu.
Kembalilah padanya, Kim Jong Woon.
Terima dirinya seperti dulu. Cintai dia seperti dulu.
Aku yakin dia akan bahagia bersamamu.
Tapi ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya, menurutku.
Dia merasa ragu kau mau menerimanya kembali.
Karena itu, tunjukkan padanya bahwa kau masih mencintainya.
Tunjukkan padanya bahwa cintanya masih bisa kaubalas.
Jaga dia. Jangan sampai dia bersedih.
Hanya itu yang kupinta.
Setelah ini aku akan pergi jauh. Aku akan pindah ke luar negeri menyusul
orang tuaku.
Semoga kalian bisa berbahagia.
Lee Sung Min.”
Jong Woon meremas kertas yang ada
di tangannya. Ia bergegas keluar dari café itu. Kepalanya terasa pusing. Apa
yang harus dilakukannya sekarang? Mendapatkan Hye Mi? Ya, itulah yang ada
diotaknya sekarang. Ia harus mendapatkan yeoja
itu kembali.
Entah kenapa, kedua kakinya
menuntunnya menuju sebuah tempat yang penuh dengan kenangan mereka. Taman.
Taman yang sering mereka kunjungi dulu. Jong Woon terus melangkahkan kakinya
mengelilingi taman itu, sampai akhirnya ia berhenti. Ia membuka telinganya. Ia
mendengar suara yang sangat dikenalnya. Pelan tapi jelas, didengarnya suara
lemah itu menyebut namanya di sela-sela isakan tangisnya, membuat dirinya
terdorong untuk memeluk yeoja yang
membelakangi dirinya di sudut taman.
“Jong Woon-oppa, saranghaeyo… Jeongmal
saranghaeyo…”
Tanpa sadar, kedua tangan Jong Woon
sudah memeluk tubuh kecil yeoja itu
dari belakang.
“Nado. Nado saranghaeyo, Park
Hye Mi.”
********
“Nado. Nado saranghaeyo, Park Hye Mi.”
Hye Mi menoleh ke sumber suara.
Sekarang yang bisa dilihatnya adalah wajah sendu Jong Woon yang sudah menempel
di atas pundaknya. Karena terkejut, sesaat Hye Mi menghentikan tangisnya dan
dengan cepat menghapus jejak air mata yang masih menempel di kedua pipinya.
Kedua tangan namja itu sudah memeluknya
erat dari belakang. Bisa dirasakannya deru napas namja itu di lehernya. Suaranya hilang. Ia tidak bisa berkata
apa-apa selain diam menerima pelukan hangat dari Jong Woon.
“Aku masih mencintaimu, Park Hye
Mi. Aku masih ingin memilikimu,” ucap Jong Woon pelan. Ia terus menutup kedua
matanya, hingga tidak sadar sedari tadi Hye Mi terus menatap wajahnya dari
samping. “Kembali padaku.”
“Apa kau masih bisa menerima orang
yang sudah menyakitimu?” tanya Hye Mi pelan.
Jong Woon membuka kedua matanya. “Karena
itu, jangan membuatku semakin sakit,” jawabnya. “Kembalilah padaku.”
“Kenapa? Kenapa kau masih mau
menerimaku?”
“Karena aku mencintaimu.”
“Bagaimana kalau aku akan
menyakitimu lagi nantinya?”
“Tidak akan kubiarkan kau
melakukannya.”
Hening. Mereka masih mematung di
posisinya masing-masing. Jong Woon menggerakkan tangan kirinya, berpindah ke
puncak kepala yeoja itu dan
mengelusnya pelan.
“Aku ingin kau kembali padaku. Jebal…” ucap Jong Woon pelan.
Sedetik kemudian tangis Hye Mi
pecah. Ia menyesal. Sangat menyesal. Kenapa waktu itu dirinya begitu bodoh
hingga menuruti Sungmin untuk meninggalkan Jong Woon–––namja yang sangat dicintainya? Bodoh….
“Jangan menangis.” Jong Woon masih
mengelus kepala Hye Mi pelan. Perlahan ia memejamkan kedua matanya, dihirupnya
dalam-dalam aroma rambut yeoja itu.
“Gomawo, Oppa…”
“Ne?”
“Terima kasih sudah mau menerimaku
kembali.”
Jong Woon mengembangkan senyumnya
dan mengecup kepala Hye Mi lembut. “Karena aku tahu, kau masih mencintaiku.”
********
“Aku janji aku akan membuatmu mencintaiku. Aku akan membuatmu menyukaiku, mencintaiku,
tidak mau melepaskanku, dan ingin selalu berada di pelukanku. Aku akan
membuatmu jatuh ke dalam pelukanku. Aku akan membuatmu terus memikirkanku,
merindukanku, dan ingin terus melihat wajahku dan senyumanku. Kau dengar?
Inilah janjiku padamu. Karena itu, jangan pernah pergi dariku agar aku bisa
menepati janjiku padamu.”
“Sekarang janjiku sudah terpenuhi,”
ujar Jong Woon seraya menggandeng tangan Hye Mi sambil terus melangkahkan
kakinya pelan. Senyumnya masih terus mengembang.
Hye Mi hanya mengangguk pelan
sambil menunjukkan senyumnya.
“Oppa, kenapa kau memperhatikanku seperti itu?” tanya Hye Mi.
Perlahan rona merah muncul di kedua pipinya.
“Aniya. Aku hanya memikirkan sesuatu,” jawab Jong Woon sambil
tersenyum nakal.
“Apa? Apa yang kaupikirkan? Apa itu
penting?” tanya Hye Mi penasaran.
“Tentu saja penting,” jawab Jong
Woon. Melihat sebelah alis Hye Mi terangkat, senyum nakalnya kembali
terkembang. “Kau mau tahu?”
Hye Mi mengangguk cepat. Sebelah
tangan Jong Woon yang tidak menggandeng tangan Hye Mi, berpindah ke perut yeoja itu dan mengelusnya pelan. Hye Mi
kembali memasang wajah bingung.
“Kau masih tidak mengerti?” tanya
Jong Woon.
“Ani.”
Jong Woon menghela napas lelah.
“Aku hanya memikirkan bagaimana wajah anakku nanti.” Senyum nakal Jong Woon
makin melebar. “Kau mau, kan?”
“Mau apa?” tanya Hye Mi. Ia masih
melongo tidak mengerti.
“Kau ini memang pabo atau apa?” tanya Jong Woon kesal.
“Aku benar-benar tidak mengerti
maksudmu, Oppa.”
Langkah Jong Woon terhenti. Ia
memegang kedua bahu Hye Mi dan menariknya pelan agar yeoja itu menghadapnya.
“Kau mau melahirkan anakku, kan?”
Hye Mi menepis tangan Jong Woon
yang sedang memegang bahunya. Reflek, ia mundur selangkah. “Pikiranmu sudah
diracuni oleh siapa, Oppa? Apa Jung
Soo-oppa sudah meracunimu?” tanya Hye
Mi panik.
Jong Woon terkekeh pelan. Sebelah
tangannya meraih tangan Hye Mi dan menggandengnya. Ia kembali melanjutkan
langkahnya.
“Jadi bagaimana? Kau mau anak namja atau yeoja?” tanyanya lagi.
“Kurasa itu masih terlalu jauh,”
jawab Hye Mi pelan. “Tapi … Apa kau sedang melamarku?” tanya Hye Mi polos.
Sedetik kemudian tawa Jong Woon
terdengar jelas.
*******
(JongWoon POV)
Kutundukkan kepalaku menatap anak
kecil yang sedang menyentuh kakiku dengan tangan mungilnya. Sedetik kemudian
senyumku langsung mengembang. Kuangkat gadis kecil yang masih berusia satu
tahun itu ke gendonganku. Kuciumi pipi chubby-nya
pelan. Lalu, kulangkahkan kakiku ke balkon sambil terus menggendongnya.
“Appa… Appa…” katanya memanggilku. Lalu dilanjutkan dengan
gumaman-gumaman tidak jelas khas anak kecil.
“Wae?” tanyaku pelan. Senyumku kembali mengembang saat jari-jari
mungilnya menyentuh rambut hitamku.
Tapi beberapa detik kemudian,
sentuhan lembut itu berubah menjadi jambakan. Ia menjambak kasar rambutku
hingga tanpa sadar aku berteriak. Mendengarku berteriak, ia menghentikan
aksinya dan matanya mulai berkaca-kaca.
“Omo… Maafkan Appa, Hyejin.
Jangan menangis,” ujarku membujuknya agar tangisan mautnya tidak keluar.
Untungnya bujukanku berhasil. Aku
kembali tersenyum dan menghapus air mata yang sempat menetes di pipi putihnya.
“Ya! Apa yang kalian lakukan di
luar? Cepat masuk, udara di luar sangat dingin.”
Aku menoleh ke sumber suara.
Kudapati seorang yeoja dewasa sedang
berdiri sambil melipat kedua tangannya di depan dada. “Cepat masuk, nanti
Hyejin bisa sakit,” ujarnya lagi.
Aku menurut dan membawa gadis
kecilku itu masuk ke dalam. Aku menghempaskan tubuh kecilnya pelan ke sofa
empuk hingga membuatnya tertawa geli khas anak kecil.
“Kau mau membuatnya sakit, huh?”
tanya yeoja itu sambil cemberut.
“Aniya. Tidak mungkin aku setega itu pada anakku sendiri,” jawabku.
“Oh, ne ne ne… Aku mengerti.”
Kuperhatikan ibu dan anak yang
sedang bermain di depanku. Mereka tidak terlalu mirip. Ya, wajahku lebih
mendominasi di wajah Kim Hyejin, putri kecilku itu. Tapi ada satu kemiripan di
antara mereka. Mungkin… matanya. Sorot mata mereka mirip.
Tanpa sadar aku tersenyum.
“Wae?” tanya yeoja yang
sudah menjadi istriku itu. Aku menggeleng.
“Chagiya,” panggilku.
“Hm? Apa?” sahutnya tanpa
mengalihkan pandangan dari Hyejin.
“Yeobo…”
“Apa?”
“Park Hye Mi… ah, ani. Kim Hye Mi.”
“Apaaaa?” tanyanya kesal.
“Kalau kuperhatikan, Hyejin lebih
mirip denganku,” kataku seraya memangku Hyejin yang sedang sibuk dengan boneka
kura-kuranya.
Kulihat Hye Mi memutar kedua bola
matanya. “Hhh… Ya Tuhan, kenapa anakku sama sekali tidak mirip denganku?”
tanyanya frustasi.
“Hahaha…” Tawaku meledak. “Kau kan
ibunya, pasti ada sedikit kemiripan.”
“Ya, hanya sedikit.”
Tawaku kembali meledak.
“Oh, kau sudah mengunjungi
Sungmin?” tanyanya.
“Belum. Memangnya kenapa?”
“Kau ini bagaimana? Bukankah sudah
kuberi tahu kalau istrinya baru melahirkan?”
“Aku lupa,” kataku sambil menepuk
dahiku pelan. Hye Mi hanya menggeleng melihat sikapku.
Sekilas kukecup bibirnya, membuat
wajahnya merona merah.
“Jangan lakukan itu di depan anak
kecil,” ujarnya menahan malu.
“Cium… cium… muaaah! Appa… Omma…” kata Hyejin bergumam tak jelas.
“Mwo? Kau mau dicium?” tanyaku pelan, lalu mendaratkan kecupan
lembut di pipi mungilnya.
Bisa kulihat dengan jelas, seulas
senyum terbentuk di bibir Hye Mi.
“Kajja, Hyejin-ah. Waktunya mandi sore,” ujarnya seraya memindahkan
Hyejin dari pangkuanku ke gendongannya. Kemudian membawa anak kami masuk ke
dalam kamar mandi.
Aku beranjak dan menyusulnya dari
belakang.
“Kau tidak mau memandikanku juga?”
godaku.
“Boleh saja. Tapi jangan harap kau
bisa tidur di kamar,” sahutnya.
Senyumku kembali mengembang.
Inilah kehidupanku sekarang. Park
Hye Mi sudah menjadikanku seorang suami sekaligus ayah. Dan aku sudah berhasil
mengubah marganya menjadi margaku sejak setahun yang lalu. Kebahagiaanku
bertambah ketika anak kami, Kim Hyejin, lahir setahun yang lalu. Sekarang dia
sudah bertambah besar dan menjadi gadis kecil yang menggemaskan.
Kami tidak lagi membenci Lee
Sungmin. Bagaimana pun juga dia tetap teman kami, dialah yang mempersatukan
kami dulu. Sekarang Sungmin sudah menjadi suami sekaligus seorang ayah, sama
sepertiku. Siapa istrinya? Kalian pasti tidak akan menyangka. Dia adalah Lee Song
Eun, sahabat Hye Mi.
Beberapa menit kemudian istri dan
anakku keluar dari dalam kamar mandi.
“Hei, yeobo.”
“Apa?”
“Sepertinya sekarang aku
menginginkan anak laki-laki.”
“Mwo?! Oppa! Apa yang
sedang kau bicarakan?!”
Sedetik kemudian pukulan maut mendarat
di lengan kananku.
“Aisshh…” ringisku pelan.
Perlahan kedua tanganku melingkar
di tubuhnya yang masih menggendong Hyejin. “Saranghaeyo,”
bisikku pelan sambil tersenyum samar.
Sekarang merekalah separuh nyawaku.
Park Hye Mi dan Kim Hyejin. Haah… Aku mencintai kalian. Sangat mencintai
kalian. Jeongmal saranghaeyo.
-END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar