Minggu, 17 Juni 2012

My Memories With You






Hai, hai! Saya balik lagi bawa FF baru. Aaaa~ akhirnya bisa juga bikin FF oneshoot xD *sujud syukur*
Tapi tetap bergenre romance, hehehe. Gak bisa bikin FF genre lain soalnya #plaaakk
Oh iya FF ini juga pernah dipublish di SJFF :)
Yaudah langsung aja ya, silakan dibaca :)


******************************************* 

Title     : My Memories With You
Author : Ifa Raneza
Cast     : Cho Kyuhyun, Im Sung Rin (OC)
Genre  : Sad Romance
Type    : Oneshoot 

*This story and the OC are mine. Ide cerita ini didapat dari otak pas-pas(?) saya dan nggak plagiat. Kalau ada persamaan cerita, tokoh, atau peristiwa dalam cerita ini, itu hanya kebetulan ^^*
~***~

“Benar kau mencintaiku?” tanyaku sambil terus menatap kedua bola matanya lurus-lurus.
Perlahan sebelah tangannya meraih tangan kiriku dan menggenggamnya erat. “Ne, saranghaeyo. Jeongmal saranghaeyo, Im Sung Rin. Aku ingin kau menjadi milikku. Hanya milikku seorang,” jawabnya, menatap mataku dalam.
“Kalau begitu, tetaplah di sini, di sampingku.”
“Baik, akan kulakukan itu. Aku berjanji padamu.”
~***~

Lagi-lagi aku memeriksa jam tangan yang melingkar indah di tangan kananku dengan gusar. Entah ini sudah yang ke berapa kalinya dalam satu jam terakhir. Namja itu––namja bernama Cho Kyuhyun itu––selalu berhasil membuatku khawatir ketika dia datang terlambat dari waktu yang dijanjikan. Apalagi ini kencan yang dia janjikan untuk merayakan hari jadi kami yang pertama. Ke mana namja itu? Apa dia lupa kalau hari ini ada janji denganku?
Aku hampir saja beranjak dari bangku taman saat sebuah tangan menahan pergelangan tanganku. Aku menoleh dan mendapati seorang namja sedang tersenyum seolah-olah tidak melakukan kesalahan apapun.
“Mau ke mana, Girl?”
Aku mendengus kesal. “Kenapa lama sekali?”
Ia hanya terkekeh pelan, lalu menuntunku untuk kembali duduk. “Mian, aku ada urusan penting tadi.”
“Urusan penting?” Aku membuang muka ke arah hamparan rumput yang ada di depanku. Kesal sekaligus kecewa padanya. “Apa lebih penting dariku?”
“Ani. Tapi sama pentingnya.”
Kutolehkan kepalaku cepat ke arahnya. “Sama pentingnya? Wow,” kataku kecewa.
Ia mengangguk mantap, lalu sebelah tangannya merogoh saku jaket hitam yang sedang ia kenakan. Mataku langsung tertuju pada sebuah kotak kecil yang ada di tangannya.
“Ini?”
Ia mengangguk. “Ne, ini milikmu.”
“Jadi kau mempersiapkan ini?” tanyaku sambil menatapnya haru. Tanpa kusadari butiran air mata sudah meluncur di pipiku.
Ibu jarinya segera menghapus cairan bening itu, lalu mengelus pipiku lembut. “Kau suka?” tanyanya seraya mengangkat tangan kananku.
Pandanganku beralih dari wajahnya ke benda berkilauan yang sudah terpasang indah di jari manisku. Sejak kapan dia memasangnya? Bahkan aku sendiri tidak menyadarinya.
“Ne, nan joha,” jawabku setelah pandanganku kembali tertuju pada wajahnya.
“Kyu,” panggilku memecah keheningan yang beberapa detik terakhir menyelimuti kami. “Tetap di sini, di sampingku.”
Ia tertawa pelan membuatku mengerutkan alis.
“Wae? Apa yang lucu?”
Pelan, ia menghentikan tawanya lalu menatapku dalam. “Sudah berapa kali kau mengatakan hal itu? Aku akan selalu di sini, Sung Rin,” katanya sembari menggerakkan tangannya menuntun tanganku untuk menyentuh dadaku sendiri. “Dan kau, namamu, sosokmu, dan semua tentangmu akan selalu ada di sini, di hatiku,” lanjutnya, menuntun tanganku menyentuh dadanya.
Aku tersenyum. Dia mengatakan hal sangat benar dan sangat kuyakini kebenarannya.
“Saranghae, Im Sung Rin… Jeongmal saranghaeyo.”
“Nado. Nado saranghae…”
~***~

“Sudah, jangan menangis,” bujuknya berharap air mataku segera berhenti untuk keluar. “Kau sudah berusaha.”
Aku menggeleng-geleng lemah. “Mungkin aku kurang berusaha,” ucapku di sela-sela tangisan.
Perlahan ia memegangi kedua pipiku dan mengelusnya pelan. “Kau sudah berusaha keras, aku tahu itu.”
“Tapi––”
“Hei,” ujarnya memotong ucapanku. “Ke mana Im Sung Rin yang kukenal selama ini? Kau sudah berusaha, hanya saja belum mendapat kesempatan untuk mendapatkan medali emas itu,” ujarnya mencoba menguatkanku. “Kau harus kuat, ne?”
Aku mengangguk dan membalas senyumannya. “Gomawo, Kyu.”
“Terima kasih untuk apa?” tanyanya.
“Terima kasih sudah menguatkanku.”
Ia terkekeh, lalu mengacak-acak rambutku. “Bukan aku, tapi pada dasarnya kau memang gadis yang kuat, Sung Rin,” katanya seraya menarikku ke dalam dekapannya. “Tetaplah menjadi gadis yang kuat, tetaplah menjadi Im Sung Rin yang kukenal.”
“Ne, aku akan tetap menjadi Im Sung Rin yang selama ini kaukenal.”
~***~

“Sebenarnya aku sudah lama mengidap penyakit,” katanya tenang sambil menatapku dengan tatapan teduhnya. “Jantungku memiliki kelainan.”
Aku membelalakkan kedua mataku. Pandanganku beralih padanya yang sedang tersenyum sambil terus menatapku. “Kau… Ini tidak mungkin, Kyu,” ujarku berharap yang dikatakannya hanyalah sebuah kebohongan.
Ia menggeleng pelan. “Itulah kenyataannya.”
Aku hanya bisa menutup mulutku yang setengah terbuka dengan tangan kiriku. Aku masih belum siap untuk mengetahui kenyataan ini.
“Sudah berapa lama?” tanyaku.
“Setahun yang lalu.”
“Setahun yang lalu?”
Ia mengangguk. “Tepat sebulan setelah hari jadi kita yang pertama,” katanya membuat keterkejutanku makin menjadi.
“Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?” tanyaku gusar.
“Karena sekaranglah aku baru siap untuk memberitahumu.”
Aku hanya bisa menunduk, menyembunyikan air mata yang entah sejak kapan sudah meluncur bebas di pipiku. Kurasakan tangan hangatnya menggenggam kedua tanganku, membuat kehangatannya menjalar ke kedua tanganku.
“Terima kenyataan, Sung Rin…” ucapnya tetap tenang.
“Aku takut…”
Ia mengecup kedua tanganku lembut, lalu tatapannya tertuju langsung pada kedua bola mataku dalam. “Jangan takut, Sung Rin. Aku akan tetap menemanimu. Kau ingat janjiku?” katanya.
Aku mengangguk lemah, mengiyakan pertanyaannya.
“Kalau begitu apa yang kautakutkan?” tanyanya yang tak sanggup untuk kujawab.
Cho Kyuhyun, apa kau masih tidak juga mengerti jawabannya? Aku takut, Kyu. Aku takut kehilanganmu…
~***~

“Sung Rin,” panggilnya lemah.
Aku menoleh pada sosoknya yang sedang terbaring lemah di atas ranjang. Aku menatapnya dengan sekuat tenaga menahan air mata yang sewaktu-waktu bisa keluar begitu saja.
“Ne?”
“Pulanglah, kau pasti lelah menemaniku di sini selama dua minggu terakhir,” ucapnya sembari mengulas sebuah senyuman hangat di bibirnya.
“Aniya, aku ingin di sini. Aku ingin menemanimu.”
“Tapi, Sung––”
“Aku ingin di sini, di sampingmu, Kyu. Apa itu salah?” kataku memotong ucapannya.
Ia tidak menjawab, hanya tersenyum. Sebelah tangannya terangkat dengan lemah, menyentuh rambut hitamku.
“Bukankah sudah kubilang kalau aku akan selalu ada di sana, di hatimu. Dan kau akan selalu ada di sini,” katanya sembari menyentuh dadanya. “Selamanya.”
Tidak kutahu pasti sejak kapan, tapi cairan bening sudah membasahi pipiku. Tidak bisa kutahan lagi, air mataku keluar walaupun aku tersenyum. Aku tersenyum mendengar ucapannya.
“Kau percaya itu, kan?” tanyanya lemah.
Kuanggukan kepalaku, mengiyakan ucapannya. “I believe that, Kyuhyun. And I’ll believe that in my heart. Forever.”
Ia masih tersenyum padaku, sampai akhirnya kusadari senyumnya perlahan memudar. Wajahnya tampak sangat kesakitan, napasnya pun sedikit tersengal.
“W-wae, Kyu? Waeyo?” tanyaku panik.
“A-aniya… Aku tidak apa-apa,” jawabnya lirih, berusaha untuk tersenyum padaku.
“Tapi, Kyu… Kau––”
“Sung Rin-ah,” katanya memotong kalimatku. “Bisa kau… panggilkan dokter? Dadaku… sangat sakit.”
Tanpa berpikir panjang lagi aku langsung menekan tombol merah yang ada di samping tempat tidur. Tak berapa lama beberapa orang perawat dan seorang dokter masuk ke dalam kamar bernuansa serba putih dan berbau obat ini.
“Ada apa?” tanya salah seorang dari mereka.
“Kyuhyun… pasien itu…” ucapku tak beraturan sambil menunjuk ke arah Kyuhyun yang terbaring lemah sambil mengatur napasnya yang masih tersengal.
Dokter langsung mengerti maksudku. Dengan sigap ia memeriksa keadaan Kyuhyun yang sudah sangat mengkhawatirkan itu. Setelah beberapa menit menangani Kyuhyun, mereka mendorong tempat tidur Kyuhyun dan membawanya keluar.
“Wae… waeyo?” tanyaku tergagap, bingung dengan apa yang sedang mereka lakukan. “Ada apa? Kenapa dia dibawa keluar?”
“Maaf, Agassi. Dia harus segera dioperasi,” jawab dokter yang entah sejak kapan sudah berdiri di sampingku.
“Tapi… tapi kenapa, Dokter?” tanyaku masih tidak mengerti.
Tanpa menjawab pertanyaanku, dokter itu langsung keluar dari kamar ini, meninggalkanku yang masih tidak mengerti dengan keadaan ini sendirian. Aku segera keluar dari kamar itu dan mendapati Ahra-eonnie––kakak Kyuhyun––beserta kedua orang tuanya sudah duduk di bangku sambil terisak.
“Eonnie…”
“Sung Rin… Dia… Dia sudah tidak bisa diharapkan lagi. Jantungnya… jantungnya sudah…”
“Ani, Eonnie! Operasi itu pasti akan berhasil! Dia pasti akan baik-baik saja,” ujarku memotong ucapan Ahra-eonnie.
Kemudian aku berlari mengejar para suster dan dokter yang membawa Kyuhyun ke ruang operasi. Aku meraih tangannya saat berhasil mengejar mereka.
“Sung Rin…” panggilnya lirih.
“Ne, Kyu. Jangan banyak bicara, kau sangat lemah,” sahutku sambil terus menggenggam tangannya dan melangkahkan kakiku mengikuti berjalannya para suster yang membawa Kyuhyun.
“Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu…”
“Aku tahu, Kyu. Aku tahu itu. Nado saranghae.”
“Percayalah padaku, Sung Rin-ah. Kau akan selalu ada di hatiku. Apapun yang terjadi, kau akan selalu ada di hatiku.”
Aku mengangguk sambil menahan cairan bening yang sudah terkumpul di pelupuk mataku agar tidak keluar. Aku tidak mau dia melihatku menangis. Aku tidak mau terlihat lemah di hadapannya.
“Aku, Cho Kyuhyun… akan selalu menepati janjiku padamu. Aku akan selalu ada hatimu. Aku akan selalu ada di sana, walaupun aku tidak berada di sampingmu… Kau harus percaya itu, Im Sung Rin…”
“Ne, Kyu. Aku percaya.”
“Percayalah, Yeobo… Percayalah bahwa…”
Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, tanganku sudah terlepas dari tangannya. Aku berhenti di tempatku menatapnya yang sudah dibawa ke dalam ruang operasi.
“Bahwa aku mencintaimu. Saranghae, Im Sung Rin. Aku sangat mencintaimu, Sung Rin-ku,” katanya lemah. Sempat kulihat senyum hangatnya sebelum sosoknya benar-benar menghilang dari pandanganku di balik pintu yang tertutup rapat.

Kaki-kakiku sudah tidak kuat lagi menyangga berat tubuhku. Aku terduduk di lantai berlapis ubin putih yang dingin. Air mataku jatuh dan segera membanjiri pipiku. Hatiku sakit, sangat sakit melihatnya begitu lemah dan aku tidak bisa berbuat apa-apa untuknya. Aku merasa seperti gadis yang benar-benar tidak berdaya. Aku merasa lebih tidak berdaya dari Kyuhyun. Bahkan ia masih bisa menguatkanku dengan senyumnya, sementara aku? Aku hanya bisa menunggunya di sini. Di depan ruangan yang selalu tertutup… membuatku tidak bisa melihat sosoknya.
~***~

Aku masuk ke salah satu ruangan serba putih, di mana bisa kurasakan suasana yang membuatku tidak nyaman, sangat tidak nyaman. Tapi kutepis perasaan itu agar bisa melihat sosoknya, Kyuhyun-ku.
Bisa kulihat dia terbaring di atas tempat tidur. Kuseret sebuah kursi ke samping tempat tidurnya dan duduk di sana. Aku menyentuh rambut cokelatnya, lalu turun ke matanya yang masih tertutup, membuatku bingung kenapa dia tidak membuka matanya. Apa dia tidak menyadari kehadiranku? Atau dia tidak mau melihatku? Entahlah. Kulitnya yang putih pucat terasa sangat dingin saat kusentuh. Aku mencium pipinya, pipi yang sudah lama tidak kucium. Lalu jari-jariku turun ke bibirnya yang masih mengulas senyum. Aku ikut tersenyum melihat wajah tenangnya.
“Eonnie,” panggilku.
“Ne, Sung Rin?” sahut Ahra-eonnie yang ada di sebelahku dengan suara serak.
“Lihatlah wajahnya. Dia sangat tenang, bukan?” kataku masih tidak memalingkan pandangan dari wajah namja itu.
Sedetik kemudian tangis Ahra-eonnie pecah. Mungkin karena kata-kataku barusan. Suasana haru makin terasa di ruangan ini. Tapi aku tidak peduli, aku masih memusatkan perhatianku pada sosok Kyuhyun, namja yang sangat kucintai.
Benar… aku percaya. Aku percaya pada kata-katanya, pada ketulusannya walaupun sekarang dia tidak bersuara untuk memanggilku atau mengatakan sesuatu padaku, walaupun dia tidak membuka matanya dan menatapku. Aku percaya dia akan selalu ada di sini, di hatiku. Dia mencintaiku dan aku pun begitu, aku sangat mencintainya. Sampai kapanpun dia akan selalu ada di sini, di hatiku.
~***~

“Sung Rin…”
Aku menoleh ke arah pintu, menatap sosoknya yang sedang berdiri di ambang pintu kamarku dengan mengulas senyum di bibirnya. Ia menyandarkan punggungnya ke bibir pintu dan melipat kedua tangannya di depan dada.
“Kau masih ingat kejadian itu?” tanyanya seraya menghampiriku yang sedang duduk di pinggir tempat tidur.
Aku menggeleng. “Tidak, tidak semuanya. Hanya saat aku menatapmu yang terbaring di atas tempat tidur sementara eomma dan noona-mu menangis.”
“Apa yang kautatap?”
“Bibirmu. Aku menatap senyummu, senyum yang selalu berhasil menguatkanku.”
Ia tersenyum, sebelah tangannya mendarat di puncak kepalaku dan mengacak rambutku pelan.
“Kau terlihat damai sekali saat itu. Tetaplah tenang, Kyu,” kataku lagi.
Ne, aku akan tenang,” sahutnya membuatku tersenyum. “Sung Rin.”
Ne?”
“Kau masih percaya kata-kataku, kan?”
Aku mengangguk. “Aku percaya dan akan selalu percaya.”
“Benar. Pegang kata-kataku itu dan jangan pernah melupakannya. Karena jika kau melupakannya, mungkin saja kau tidak akan sekuat sekarang.”
“Kyu, kau juga harus percaya padaku. Aku akan kuat demi kau. Kau harus tenang, arra?”
Ia tersenyum membalas senyumanku. “Arra,” ucapnya. “Ingat, aku selalu ada di hatimu.”
Ne,” kataku sambil mengangguk.
Kemudian ia merangkuh kedua sisi wajahku dan menghapus jarak antara bibirnya dengan bibirku. Kehangatan itu––kehangatan yang sama saat dia tersenyum padaku––menjalar dari bibir ke seluruh tubuhku. Mataku masih terbuka menatap matanya yang tertutup sambil terus menciumku, sampai akhirnya mataku juga ikut tertutup.
~***~

“Mimpi itu lagi?” tanya Ryeowook, sahabatku yang selama ini selalu menemaniku.
Aku mengangguk pelan seraya bangun dari tempat tidur. Aku memegangi kepalaku yang masih terasa pusing. Aku selalu merasa pusing ketika bangun tidur, itu sudah menjadi kebiasaanku.
“Pelan-pelan saja, Sung Rin.”
Aku menatap sosok namja yang ada di sebelahku. Entah sejak kapan dia berada di kamarku, tepatnya di samping tempat tidurku. Ya, selama ini dia selalu melakukan hal itu. Setiap hari, setiap bangun tidur, aku akan melihat sosoknya. Sosok Ryeowook yang selalu menemaniku, bersama Kyuhyun di dalam hatiku.

Tidak seperti biasanya, aku mengambil frame foto yang ada di meja kecil di samping tempat tidurku. Aku menatap sosok namja yang ada dalam foto itu, mengelusnya. Ia tersenyum di dalam foto itu dengan senyum yang selalu menjadi penguatku. Dan tanpa kusadari senyumku sudah mengembang.
Miss him?
Kuangkat kepalaku menatap Ryeowook yang sudah duduk di depanku.
“Untuk apa aku merindukannya? Dia selalu ada di sini,” jawabku seraya mengangkat sebelah tanganku menyentuh dadaku.
Ia tersenyum, lalu mengacak rambutku pelan. “Bagus.”
“Ryeong…” panggilku.
Ne?”
“Aku ingin ke ‘sana’. Kau temani aku, ya?” pintaku.
Bisa kulihat ia mengulas senyumnya––senyuman yang sama seperti senyum Kyuhyun––sama-sama bisa menguatkanku.
“Baiklah, akan kutemani. Cepat mandi, aku tunggu di bawah,” ujarnya seraya beranjak dan keluar dari kamarku.

Dan di sinilah kami sekarang, di tempat sepi yang sangat luas. Kuletakkan bunga di depan sebuah makam, lalu berjongkok di depannya.
“Hai,” ucapku pelan. “Masih ingat Ryeong?”
“Tentu saja dia masih ingat, Sung Rin. Setiap kau ke sini, aku pasti ikut, kan?” kata Ryeowook membuatku tersenyum kecil.
Ne, benar juga,” sahutku.
Annyeong, Chagi. Aku pergi dulu,” ucapku sebelum beranjak dan berjalan pelan meninggalkan Ryeowook yang ada di belakangku.
Aku memang tidak bisa berlama-lama di tempat ini. Tempat ini membuatku merasa tidak nyaman, tentu saja karena ini adalah sebuah makam. Cukup dengan berbicara sebentar dan melihat makamnya, aku sudah sangat senang.
“Pulang sekarang?” tanya Ryeowook yang sudah ada di sampingku sambil menyamakan langkahnya dengan langkahku.
Aku mengangguk. Lalu aku menghentikan langkahku, membuat langkahnya juga berhenti.
Wae?” tanyanya bingung.
Aku mengulas senyumku dan memeluknya erat. Bisa kurasakan tubuhnya menegang dalam pelukanku. Tidak memerdulikan hal itu, aku masih memeluknya. Lalu setelah puas, aku melepas pelukanku dan menatap wajahnya yang masih kebingungan.
Gomawo, Ryeong…” kataku dengan masih tersenyum. “Terima kasih sudah menemaniku dan menguatkanku selama ini.”
Perlahan raut wajah bingungnya memudar, berganti dengan senyuman yang tersungging manis di bibirnya. Ia mengangguk. “Ne, cheonmaneyo. Kajja, kita pulang,” ujarnya seraya menggandeng tanganku dan berjalan menuju mobilnya yang sedang terparkir.

Aku masuk ke dalam mobil hitamnya. Ryeowook menyalakan mesin dan menjalankan mobilnya menjauhi tempat itu, tempat yang sangat sepi. Tempat sepi yang bernama makam. Tempat di mana aku bisa mengunjungi makamnya, makam yang bertuliskan namanya… Cho Kyuhyun.


-END-


Huaaa~ Gimana FF nya? Bagus, jelek, gaje, atau alurnya kecepetan?
Tinggalin comment ya, please. Jangan jadi silent reader hehe ^^v
Ada yang mau sekuel gitu tentang kehidupan Im Sung Rin sama Ryeowook? Jadi kayak After Story nya. Kalo mau tinggalin comment ya.
Makasih udah baca ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar