Hai, hai! Saya balik lagi bawa FF baru. Aaaa~ akhirnya bisa juga bikin FF oneshoot xD *sujud syukur*
Tapi tetap bergenre romance, hehehe. Gak bisa bikin FF genre lain soalnya #plaaakk
Oh iya FF ini juga pernah dipublish di SJFF :)
Oh iya FF ini juga pernah dipublish di SJFF :)
Yaudah langsung aja ya, silakan dibaca :)
*******************************************
Title : My Memories With You
Author : Ifa Raneza
Cast : Cho Kyuhyun, Im Sung Rin
(OC)
Genre : Sad Romance
Type : Oneshoot
*This story and the OC are mine.
Ide cerita ini didapat dari otak pas-pas(?) saya dan nggak plagiat. Kalau ada
persamaan cerita, tokoh, atau peristiwa dalam cerita ini, itu hanya kebetulan
^^*
~***~
“Benar kau mencintaiku?” tanyaku sambil terus menatap kedua bola matanya
lurus-lurus.
Perlahan sebelah tangannya meraih tangan kiriku dan menggenggamnya erat.
“Ne, saranghaeyo. Jeongmal saranghaeyo, Im Sung Rin. Aku ingin kau menjadi
milikku. Hanya milikku seorang,” jawabnya, menatap mataku dalam.
“Kalau begitu, tetaplah di sini, di sampingku.”
“Baik, akan kulakukan itu. Aku berjanji padamu.”
~***~
Lagi-lagi aku memeriksa jam tangan yang melingkar indah di tangan kananku
dengan gusar. Entah ini sudah yang ke berapa kalinya dalam satu jam terakhir.
Namja itu––namja bernama Cho Kyuhyun itu––selalu berhasil membuatku khawatir
ketika dia datang terlambat dari waktu yang dijanjikan. Apalagi ini kencan yang
dia janjikan untuk merayakan hari jadi kami yang pertama. Ke mana namja itu?
Apa dia lupa kalau hari ini ada janji denganku?
Aku hampir saja beranjak dari bangku taman saat sebuah tangan menahan
pergelangan tanganku. Aku menoleh dan mendapati seorang namja sedang tersenyum
seolah-olah tidak melakukan kesalahan apapun.
“Mau ke mana, Girl?”
Aku mendengus kesal. “Kenapa lama sekali?”
Ia hanya terkekeh pelan, lalu menuntunku untuk kembali duduk. “Mian, aku
ada urusan penting tadi.”
“Urusan penting?” Aku membuang muka ke arah hamparan rumput yang ada di
depanku. Kesal sekaligus kecewa padanya. “Apa lebih penting dariku?”
“Ani. Tapi sama pentingnya.”
Kutolehkan kepalaku cepat ke arahnya. “Sama pentingnya? Wow,” kataku
kecewa.
Ia mengangguk mantap, lalu sebelah tangannya merogoh saku jaket hitam
yang sedang ia kenakan. Mataku langsung tertuju pada sebuah kotak kecil yang
ada di tangannya.
“Ini?”
Ia mengangguk. “Ne, ini milikmu.”
“Jadi kau mempersiapkan ini?” tanyaku sambil menatapnya haru. Tanpa
kusadari butiran air mata sudah meluncur di pipiku.
Ibu jarinya segera menghapus cairan bening itu, lalu mengelus pipiku
lembut. “Kau suka?” tanyanya seraya mengangkat tangan kananku.
Pandanganku beralih dari wajahnya ke benda berkilauan yang sudah
terpasang indah di jari manisku. Sejak kapan dia memasangnya? Bahkan aku
sendiri tidak menyadarinya.
“Ne, nan joha,” jawabku setelah pandanganku kembali tertuju pada
wajahnya.
“Kyu,” panggilku memecah keheningan yang beberapa detik terakhir
menyelimuti kami. “Tetap di sini, di sampingku.”
Ia tertawa pelan membuatku mengerutkan alis.
“Wae? Apa yang lucu?”
Pelan, ia menghentikan tawanya lalu menatapku dalam. “Sudah berapa kali
kau mengatakan hal itu? Aku akan selalu di sini, Sung Rin,” katanya sembari
menggerakkan tangannya menuntun tanganku untuk menyentuh dadaku sendiri. “Dan
kau, namamu, sosokmu, dan semua tentangmu akan selalu ada di sini, di hatiku,”
lanjutnya, menuntun tanganku menyentuh dadanya.
Aku tersenyum. Dia mengatakan hal sangat benar dan sangat kuyakini
kebenarannya.
“Saranghae, Im Sung Rin… Jeongmal saranghaeyo.”
“Nado. Nado saranghae…”
~***~
“Sudah, jangan menangis,” bujuknya berharap air mataku segera berhenti
untuk keluar. “Kau sudah berusaha.”
Aku menggeleng-geleng lemah. “Mungkin aku kurang berusaha,” ucapku di
sela-sela tangisan.
Perlahan ia memegangi kedua pipiku dan mengelusnya pelan. “Kau sudah
berusaha keras, aku tahu itu.”
“Tapi––”
“Hei,” ujarnya memotong ucapanku. “Ke mana Im Sung Rin yang kukenal selama
ini? Kau sudah berusaha, hanya saja belum mendapat kesempatan untuk mendapatkan
medali emas itu,” ujarnya mencoba menguatkanku. “Kau harus kuat, ne?”
Aku mengangguk dan membalas senyumannya. “Gomawo, Kyu.”
“Terima kasih untuk apa?” tanyanya.
“Terima kasih sudah menguatkanku.”
Ia terkekeh, lalu mengacak-acak rambutku. “Bukan aku, tapi pada dasarnya
kau memang gadis yang kuat, Sung Rin,” katanya seraya menarikku ke dalam
dekapannya. “Tetaplah menjadi gadis yang kuat, tetaplah menjadi Im Sung Rin
yang kukenal.”
“Ne, aku akan tetap menjadi Im Sung Rin yang selama ini kaukenal.”
~***~
“Sebenarnya aku sudah lama mengidap penyakit,” katanya tenang sambil
menatapku dengan tatapan teduhnya. “Jantungku memiliki kelainan.”
Aku membelalakkan kedua mataku. Pandanganku beralih padanya yang sedang
tersenyum sambil terus menatapku. “Kau… Ini tidak mungkin, Kyu,” ujarku
berharap yang dikatakannya hanyalah sebuah kebohongan.
Ia menggeleng pelan. “Itulah kenyataannya.”
Aku hanya bisa menutup mulutku yang setengah terbuka dengan tangan
kiriku. Aku masih belum siap untuk mengetahui kenyataan ini.
“Sudah berapa lama?” tanyaku.
“Setahun yang lalu.”
“Setahun yang lalu?”
Ia mengangguk. “Tepat sebulan setelah hari jadi kita yang pertama,”
katanya membuat keterkejutanku makin menjadi.
“Kenapa kau baru mengatakannya sekarang?” tanyaku gusar.
“Karena sekaranglah aku baru siap untuk memberitahumu.”
Aku hanya bisa menunduk, menyembunyikan air mata yang entah sejak kapan
sudah meluncur bebas di pipiku. Kurasakan tangan hangatnya menggenggam kedua
tanganku, membuat kehangatannya menjalar ke kedua tanganku.
“Terima kenyataan, Sung Rin…” ucapnya tetap tenang.
“Aku takut…”
Ia mengecup kedua tanganku lembut, lalu tatapannya tertuju langsung pada
kedua bola mataku dalam. “Jangan takut, Sung Rin. Aku akan tetap menemanimu.
Kau ingat janjiku?” katanya.
Aku mengangguk lemah, mengiyakan pertanyaannya.
“Kalau begitu apa yang kautakutkan?” tanyanya yang tak sanggup untuk
kujawab.
Cho Kyuhyun, apa kau masih tidak juga mengerti jawabannya? Aku takut,
Kyu. Aku takut kehilanganmu…
~***~
“Sung Rin,” panggilnya lemah.
Aku menoleh pada sosoknya yang sedang terbaring lemah di atas ranjang.
Aku menatapnya dengan sekuat tenaga menahan air mata yang sewaktu-waktu bisa
keluar begitu saja.
“Ne?”
“Pulanglah, kau pasti lelah menemaniku di sini selama dua minggu
terakhir,” ucapnya sembari mengulas sebuah senyuman hangat di bibirnya.
“Aniya, aku ingin di sini. Aku ingin menemanimu.”
“Tapi, Sung––”
“Aku ingin di sini, di sampingmu, Kyu. Apa itu salah?” kataku memotong
ucapannya.
Ia tidak menjawab, hanya tersenyum. Sebelah tangannya terangkat dengan
lemah, menyentuh rambut hitamku.
“Bukankah sudah kubilang kalau aku akan selalu ada di sana, di hatimu.
Dan kau akan selalu ada di sini,” katanya sembari menyentuh dadanya.
“Selamanya.”
Tidak kutahu pasti sejak kapan, tapi cairan bening sudah membasahi
pipiku. Tidak bisa kutahan lagi, air mataku keluar walaupun aku tersenyum. Aku
tersenyum mendengar ucapannya.
“Kau percaya itu, kan?” tanyanya lemah.
Kuanggukan kepalaku, mengiyakan ucapannya. “I believe that, Kyuhyun. And
I’ll believe that in my heart. Forever.”
Ia masih tersenyum padaku, sampai akhirnya kusadari senyumnya perlahan
memudar. Wajahnya tampak sangat kesakitan, napasnya pun sedikit tersengal.
“W-wae, Kyu? Waeyo?” tanyaku panik.
“A-aniya… Aku tidak apa-apa,” jawabnya lirih, berusaha untuk tersenyum
padaku.
“Tapi, Kyu… Kau––”
“Sung Rin-ah,” katanya memotong kalimatku. “Bisa kau… panggilkan dokter?
Dadaku… sangat sakit.”
Tanpa berpikir panjang lagi aku langsung menekan tombol merah yang ada di
samping tempat tidur. Tak berapa lama beberapa orang perawat dan seorang dokter
masuk ke dalam kamar bernuansa serba putih dan berbau obat ini.
“Ada apa?” tanya salah seorang dari mereka.
“Kyuhyun… pasien itu…” ucapku tak beraturan sambil menunjuk ke arah
Kyuhyun yang terbaring lemah sambil mengatur napasnya yang masih tersengal.
Dokter langsung mengerti maksudku. Dengan sigap ia memeriksa keadaan
Kyuhyun yang sudah sangat mengkhawatirkan itu. Setelah beberapa menit menangani
Kyuhyun, mereka mendorong tempat tidur Kyuhyun dan membawanya keluar.
“Wae… waeyo?” tanyaku tergagap, bingung dengan apa yang sedang mereka
lakukan. “Ada apa? Kenapa dia dibawa keluar?”
“Maaf, Agassi. Dia harus segera dioperasi,” jawab dokter yang entah sejak
kapan sudah berdiri di sampingku.
“Tapi… tapi kenapa, Dokter?” tanyaku masih tidak mengerti.
Tanpa menjawab pertanyaanku, dokter itu langsung keluar dari kamar ini,
meninggalkanku yang masih tidak mengerti dengan keadaan ini sendirian. Aku
segera keluar dari kamar itu dan mendapati Ahra-eonnie––kakak Kyuhyun––beserta
kedua orang tuanya sudah duduk di bangku sambil terisak.
“Eonnie…”
“Sung Rin… Dia… Dia sudah tidak bisa diharapkan lagi. Jantungnya… jantungnya
sudah…”
“Ani, Eonnie! Operasi itu pasti akan berhasil! Dia pasti akan baik-baik
saja,” ujarku memotong ucapan Ahra-eonnie.
Kemudian aku berlari mengejar para suster dan dokter yang membawa Kyuhyun
ke ruang operasi. Aku meraih tangannya saat berhasil mengejar mereka.
“Sung Rin…” panggilnya lirih.
“Ne, Kyu. Jangan banyak bicara, kau sangat lemah,” sahutku sambil terus
menggenggam tangannya dan melangkahkan kakiku mengikuti berjalannya para suster
yang membawa Kyuhyun.
“Aku mencintaimu. Sangat mencintaimu…”
“Aku tahu, Kyu. Aku tahu itu. Nado saranghae.”
“Percayalah padaku, Sung Rin-ah. Kau akan selalu ada di hatiku. Apapun
yang terjadi, kau akan selalu ada di hatiku.”
Aku mengangguk sambil menahan cairan bening yang sudah terkumpul di pelupuk
mataku agar tidak keluar. Aku tidak mau dia melihatku menangis. Aku tidak mau
terlihat lemah di hadapannya.
“Aku, Cho Kyuhyun… akan selalu menepati janjiku padamu. Aku akan selalu
ada hatimu. Aku akan selalu ada di sana, walaupun aku tidak berada di sampingmu…
Kau harus percaya itu, Im Sung Rin…”
“Ne, Kyu. Aku percaya.”
“Percayalah, Yeobo… Percayalah bahwa…”
Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, tanganku sudah terlepas dari
tangannya. Aku berhenti di tempatku menatapnya yang sudah dibawa ke dalam ruang
operasi.
“Bahwa aku mencintaimu. Saranghae, Im Sung Rin. Aku sangat mencintaimu,
Sung Rin-ku,” katanya lemah. Sempat kulihat senyum hangatnya sebelum sosoknya
benar-benar menghilang dari pandanganku di balik pintu yang tertutup rapat.
Kaki-kakiku sudah tidak kuat lagi menyangga berat tubuhku. Aku terduduk
di lantai berlapis ubin putih yang dingin. Air mataku jatuh dan segera
membanjiri pipiku. Hatiku sakit, sangat sakit melihatnya begitu lemah dan aku
tidak bisa berbuat apa-apa untuknya. Aku merasa seperti gadis yang benar-benar
tidak berdaya. Aku merasa lebih tidak berdaya dari Kyuhyun. Bahkan ia masih
bisa menguatkanku dengan senyumnya, sementara aku? Aku hanya bisa menunggunya
di sini. Di depan ruangan yang selalu tertutup… membuatku tidak bisa melihat
sosoknya.
~***~
Aku masuk ke salah satu ruangan serba putih, di mana bisa kurasakan
suasana yang membuatku tidak nyaman, sangat tidak nyaman. Tapi kutepis perasaan
itu agar bisa melihat sosoknya, Kyuhyun-ku.
Bisa kulihat dia terbaring di atas tempat tidur. Kuseret sebuah kursi ke
samping tempat tidurnya dan duduk di sana. Aku menyentuh rambut cokelatnya,
lalu turun ke matanya yang masih tertutup, membuatku bingung kenapa dia tidak
membuka matanya. Apa dia tidak menyadari kehadiranku? Atau dia tidak mau
melihatku? Entahlah. Kulitnya yang putih pucat terasa sangat dingin saat
kusentuh. Aku mencium pipinya, pipi yang sudah lama tidak kucium. Lalu
jari-jariku turun ke bibirnya yang masih mengulas senyum. Aku ikut tersenyum
melihat wajah tenangnya.
“Eonnie,” panggilku.
“Ne, Sung Rin?” sahut Ahra-eonnie yang ada di sebelahku dengan suara
serak.
“Lihatlah wajahnya. Dia sangat tenang, bukan?” kataku masih tidak
memalingkan pandangan dari wajah namja itu.
Sedetik kemudian tangis Ahra-eonnie pecah. Mungkin karena kata-kataku
barusan. Suasana haru makin terasa di ruangan ini. Tapi aku tidak peduli, aku
masih memusatkan perhatianku pada sosok Kyuhyun, namja yang sangat kucintai.
Benar… aku percaya. Aku percaya pada kata-katanya, pada ketulusannya
walaupun sekarang dia tidak bersuara untuk memanggilku atau mengatakan sesuatu
padaku, walaupun dia tidak membuka matanya dan menatapku. Aku percaya dia akan
selalu ada di sini, di hatiku. Dia mencintaiku dan aku pun begitu, aku sangat
mencintainya. Sampai kapanpun dia akan selalu ada di sini, di hatiku.
~***~
“Sung Rin…”
Aku menoleh ke arah pintu, menatap
sosoknya yang sedang berdiri di ambang pintu kamarku dengan mengulas senyum di
bibirnya. Ia menyandarkan punggungnya ke bibir pintu dan melipat kedua
tangannya di depan dada.
“Kau masih ingat kejadian itu?”
tanyanya seraya menghampiriku yang sedang duduk di pinggir tempat tidur.
Aku menggeleng. “Tidak, tidak
semuanya. Hanya saat aku menatapmu yang terbaring di atas tempat tidur
sementara eomma dan noona-mu menangis.”
“Apa yang kautatap?”
“Bibirmu. Aku menatap senyummu,
senyum yang selalu berhasil menguatkanku.”
Ia tersenyum, sebelah tangannya
mendarat di puncak kepalaku dan mengacak rambutku pelan.
“Kau terlihat damai sekali saat
itu. Tetaplah tenang, Kyu,” kataku lagi.
“Ne, aku akan tenang,” sahutnya membuatku tersenyum. “Sung Rin.”
“Ne?”
“Kau masih percaya kata-kataku,
kan?”
Aku mengangguk. “Aku percaya dan
akan selalu percaya.”
“Benar. Pegang kata-kataku itu dan
jangan pernah melupakannya. Karena jika kau melupakannya, mungkin saja kau
tidak akan sekuat sekarang.”
“Kyu, kau juga harus percaya
padaku. Aku akan kuat demi kau. Kau harus tenang, arra?”
Ia tersenyum membalas senyumanku. “Arra,” ucapnya. “Ingat, aku selalu ada
di hatimu.”
“Ne,” kataku sambil mengangguk.
Kemudian ia merangkuh kedua sisi
wajahku dan menghapus jarak antara bibirnya dengan bibirku. Kehangatan
itu––kehangatan yang sama saat dia tersenyum padaku––menjalar dari bibir ke
seluruh tubuhku. Mataku masih terbuka menatap matanya yang tertutup sambil
terus menciumku, sampai akhirnya mataku juga ikut tertutup.
~***~
“Mimpi itu lagi?” tanya Ryeowook,
sahabatku yang selama ini selalu menemaniku.
Aku mengangguk pelan seraya bangun
dari tempat tidur. Aku memegangi kepalaku yang masih terasa pusing. Aku selalu
merasa pusing ketika bangun tidur, itu sudah menjadi kebiasaanku.
“Pelan-pelan saja, Sung Rin.”
Aku menatap sosok namja yang ada di sebelahku. Entah sejak
kapan dia berada di kamarku, tepatnya di samping tempat tidurku. Ya, selama ini
dia selalu melakukan hal itu. Setiap hari, setiap bangun tidur, aku akan
melihat sosoknya. Sosok Ryeowook yang selalu menemaniku, bersama Kyuhyun di
dalam hatiku.
Tidak seperti biasanya, aku
mengambil frame foto yang ada di meja
kecil di samping tempat tidurku. Aku menatap sosok namja yang ada dalam foto itu, mengelusnya. Ia tersenyum di dalam
foto itu dengan senyum yang selalu menjadi penguatku. Dan tanpa kusadari
senyumku sudah mengembang.
“Miss him?”
Kuangkat kepalaku menatap Ryeowook
yang sudah duduk di depanku.
“Untuk apa aku merindukannya? Dia
selalu ada di sini,” jawabku seraya mengangkat sebelah tanganku menyentuh
dadaku.
Ia tersenyum, lalu mengacak
rambutku pelan. “Bagus.”
“Ryeong…” panggilku.
“Ne?”
“Aku ingin ke ‘sana’. Kau temani
aku, ya?” pintaku.
Bisa kulihat ia mengulas
senyumnya––senyuman yang sama seperti senyum Kyuhyun––sama-sama bisa
menguatkanku.
“Baiklah, akan kutemani. Cepat
mandi, aku tunggu di bawah,” ujarnya seraya beranjak dan keluar dari kamarku.
Dan di sinilah kami sekarang, di
tempat sepi yang sangat luas. Kuletakkan bunga di depan sebuah makam, lalu
berjongkok di depannya.
“Hai,” ucapku pelan. “Masih ingat
Ryeong?”
“Tentu saja dia masih ingat, Sung
Rin. Setiap kau ke sini, aku pasti ikut, kan?” kata Ryeowook membuatku
tersenyum kecil.
“Ne, benar juga,” sahutku.
“Annyeong, Chagi. Aku pergi dulu,” ucapku sebelum beranjak dan
berjalan pelan meninggalkan Ryeowook yang ada di belakangku.
Aku memang tidak bisa berlama-lama
di tempat ini. Tempat ini membuatku merasa tidak nyaman, tentu saja karena ini
adalah sebuah makam. Cukup dengan berbicara sebentar dan melihat makamnya, aku
sudah sangat senang.
“Pulang sekarang?” tanya Ryeowook
yang sudah ada di sampingku sambil menyamakan langkahnya dengan langkahku.
Aku mengangguk. Lalu aku
menghentikan langkahku, membuat langkahnya juga berhenti.
“Wae?” tanyanya bingung.
Aku mengulas senyumku dan
memeluknya erat. Bisa kurasakan tubuhnya menegang dalam pelukanku. Tidak
memerdulikan hal itu, aku masih memeluknya. Lalu setelah puas, aku melepas
pelukanku dan menatap wajahnya yang masih kebingungan.
“Gomawo, Ryeong…” kataku dengan masih tersenyum. “Terima kasih sudah
menemaniku dan menguatkanku selama ini.”
Perlahan raut wajah bingungnya
memudar, berganti dengan senyuman yang tersungging manis di bibirnya. Ia
mengangguk. “Ne, cheonmaneyo. Kajja, kita
pulang,” ujarnya seraya menggandeng tanganku dan berjalan menuju mobilnya yang
sedang terparkir.
Aku masuk ke dalam mobil hitamnya. Ryeowook
menyalakan mesin dan menjalankan mobilnya menjauhi tempat itu, tempat yang
sangat sepi. Tempat sepi yang bernama makam. Tempat di mana aku bisa
mengunjungi makamnya, makam yang bertuliskan namanya… Cho Kyuhyun.
-END-
Huaaa~ Gimana FF nya? Bagus, jelek,
gaje, atau alurnya kecepetan?
Tinggalin comment ya, please.
Jangan jadi silent reader hehe ^^v
Ada yang mau sekuel gitu tentang
kehidupan Im Sung Rin sama Ryeowook? Jadi kayak After Story nya. Kalo mau
tinggalin comment ya.
Makasih udah baca ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar