Saya yeobonya Kim Jong Woon a.k.a Super Junior's Yesung >,<
Muahahaha xD xD
Saya datang ke sini atas permintaan mbak Ifa alias Ipul alias Zirrialifa untuk memposting FF nya ;p
Ini dikarenakan internet di rumahnya lagi lebay *maklum ababil ntu modem ;p*
Naahhh, saya akan memberitahukan pada kalian sedikit, ff ini pemeran utamanya saya dan bang Yesung >,< *tereak pake toa*
Okelah, daripada nanti makin curhat gaje, kita langsung saja yaa... :D
FAN Fiction
Judul: I'm Sorry Oppa
By: @ifaraneza
Cast: Park Hye Mi (saya ;p), Kim Jong Woon, Lee Sung Min, Song Eun, etc.
Aku tidak tahu harus berkata apa padamu agar kau
mengerti kehidupanku, karena aku tahu kau juga tidak akan mengerti kehidupanku,
hahaha…. Selama ini kau terus bertanya kenapa aku memilih kehidupanku yang
sekarang, yah… karena aku telah memilihnya. Dan sekarang yang kupilih adalah
menjauhimu… karena aku takut aku akan tersakiti dengan perasaanku dan kenyataan
ini. Mianhaeyo, Oppa….
********
Bel
istirahat sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu, tapi Hye Mi masih sibuk berkutat
dengan buku fisikanya. Hye Mi menutup
sedikit bukunya ketika menyadari kedatangan Song Eun. “Ada apa?” tanyanya.
“Kau ada
acara sepulang sekolah nanti?” tanya Song Eun.
Hye Mi
tampak berpikir. “Tidak, kenapa?”
“Bisa
temani aku beli kado untuk sepupuku?”
“Aku tidak
ada acara sore ini, tapi….”
“Ayolah, Hye
Mi! Sebentar saja, setelah itu kita pulang.”
Hye Mi
terdiam sebentar, lalu menjawab, “Baiklah. Tapi sebentar saja.”
“Oke!”
Hye Mi
dibesarkan di dalam keluarga yang menekankan pentingnya pendidikan. Apalagi Hye
Mi tinggal berjauhan dengan orang tuanya yang bekerja di luar negeri. Ia harus
pandai-pandai menjaga diri. Itulah sebabnya Hye Mi terlihat berbeda dengan
teman-teman sebayanya. Di saat teman-temannya asyik membicarakan artis idola
mereka, Hye Mi lebih memilih untuk membaca buku. Di saat teman-temannya
bersenang-senang di akhir pekan, Hye Mi lebih memilih mengerjakan tugas dan
memperdalam materi pelajaran. Baginya tiada hari tanpa belajar. Selama ini
prestasi Hye Mi tidak pernah menurun. Ia selalu menjadi yang terbaik di
sekolahnya. Bagi orang lain hal itu akan membuatnya tertekan, tapi Hye Mi
tidak. Baginya bisa membuat orang tuanya bangga adalah suatu kebahagiaan
tersendiri untuknya. Ia tidak mau mengecewakan orang tuanya.
Sepulang
sekolah Song Eun menunggu Hye Mi di depan gerbang sekolah. Setelah melihat Hye
Mi berjalan menuju gerbang, gadis berambut pendek itu melambaikan tangannya.
“Han Hye Mi!” panggilnya. Hye Mi tersenyum dan berlari kecil ke arah temannya
itu.
“Baiklah,
sekarang kita pergi ke mana?” tanya Hye Mi.
“Hmm…
karena aku tahu kau tidak bisa pergi lama-lama, bagaimana kalau ke toko di
dekat rumahmu saja?” usul Song Eun.
“Baiklah.”
Selama ini
yang mengerti kehidupan Hye Mi hanya Song Eun, temannya sejak kecil. Orang tua
mereka sudah sangat dekat, jadi orang tua Hye Mi tidak mengkhawatirkan putrinya
itu selama ia dekat dengan Song Eun.
Mereka
memilih untuk berjalan kaki daripada naik bus. Selain karena untuk
berhemat–––karena Hye Mi tinggal jauh dari orang tuanya–––mereka lebih menyukai
berjalan kaki. Mereka bisa memerhatikan orang-orang di sekitar mereka dan
menikmati suasana kota.
KLING!
“Selamat
datang,” sapa penjaga toko ketika melihat dua gadis itu masuk ke toko.
“Siapa yang
berulang tahun?” tanya Hye Mi sambil memerhatikan Song Eun memilih barang.
“Eun Jo,
sepupuku yang sering ke rumah,” jawab Song Eun.
“Ooooh....”
Hye Mi ber-oh panjang.
Hye Mi
pernah bertemu dengan Lee Eun Jo, sepupu perempuan Song Eun beberapa kali
ketika ia berkunjung ke rumah temannya itu. Eun Jo sering meminta Hye Mi untuk
mengajarinya matematika.
“Ahh… yang
ini saja,” gumam Song Eun. “Permisi…. Aku pilih yang ini, tolong dibungkus
dengan kertas kado yang ini,” ujarnya pada penjaga toko seraya menyodorkan
sebuah boneka beruang dan kertas kado kuning.
“Baik.”
“Ngomong-ngomong,
kau tidak membeli sesuatu? Mumpung ada di sini, kau jarang main ke luar, kan?”
tanya Song Eun.
“Ah,
tidak…. Lagipula orang tuaku tidak suka kalau aku membeli sesuatu yang tidak
ada hubungannya dengan pelajaran,” jawab Hye Mi. Ia terdiam sejenak lalu
senyumnya melebar. “Bukankah kau bisa membelikanku barang-barang seperti ini saat
ulang tahunku?”
“Ah, kau
memang pintar bicara Park Hye Mi!” ujar Song Eun sambil memukul pelan lengan
temannya itu. “Dan pandai memerasku.”
Hye Mi
tertawa pelan. “Kutunggu kado darimu minggu depan, ya!”
“Haaahh….
Lihat saja, aku tidak akan memberimu kado sekecil apapun!” ujar Song Eun kesal.
Hye Mi
memasang wajah memelas meskipun ia tahu Song Eun tetap akan memberinya kado.
“Permisi,
ini total belanjaannya,” ujar penjaga toko seraya menunjukkan harga yang harus
dibayar Song Eun.
“Oh, iya.”
Song Eun membuka dompetnya dan membayar belanjaan.
“Terima
kasih.”
“Sudah
sore, aku pulang dulu,” ujar Hye Mi ketika mereka berdua sudah berada di luar
toko.
“Baiklah,
dadaahh!” kata Song Eun sambil melambaikan tangannya dan pergi.
“Daah!”
******
“Apa?
Pindah?” tanya Jong Woon dengan nada kaget setelah mendengar ucapan ayahnya di
telepon. “Tapi… kenapa?”
“Ayah rasa
kau sudah cukup dewasa untuk berpikir tentang masa depanmu. Di kota tempat
tinggalmu nanti kau akan kuliah di universitas ternama,” ujar ayahnya dari
seberang telepon.
“Aku rasa
untuk menyelesaikan pendidikan tidak perlu jauh-jauh ke sana,” elak Jong Woon.
“Di sini aku juga bisa kuliah.”
“Jong Woon,
Ayah rasa kau sudah tahu sifat Ayah.”
Jong Woon
menghela napas. “Ya ya ya… aku tahu. Keputusan Ayah tidak bisa diganggu gugat,”
katanya sambil memutar kedua bola matanya. “Baiklah, kapan aku akan pindah?”
“Besok
pagi.”
“APA? Besok
pagi? Apa aku tidak salah dengar?” seru Jong Woon kaget dengan mata terbelalak.
“Ya, kau
tidak salah dengar. Besok pagi kau sudah harus bersiap-siap,” kata ayahnya. “Oh
ya, maaf Ayah dan ibu tidak bisa mengantarmu.”
“Oh, tidak.
Apa Ayah tahu aku belum pernah pergi jauh sendirian?”
“Tapi kau
sudah dewasa, Jong Woon.” KLIK!
“Ha… halo?
Halo? Halo! Ayah? Aaahh!” gerutunya kesal karena telepon ditutup sebelum ia
bisa berkata sesuatu. “Aaaah! Menyebalkan sekali!”
****
“Ya, Ibu?
Ya ya ya… aku mengerti. Sebentar lagi aku akan sampai di stasiun. Hah? Apa? Ah,
tidak. Aku diantar Hye Mi, Bu….”
Hye Mi
berjalan di belakang Song Eun yang sedang mengobrol dengan ibunya lewat
handphone sambil memerhatikan handphone-nya sendiri. Dari kemarin orang tuanya
belum meneleponnya. Ada apa? Biasanya mereka selalu memeriksa keadaan Hye Mi.
Apalagi hari ini Song Eun akan berkunjung ke rumah neneknya, pasti ayah dan
ibunya makin mengkhawatirkan Hye Mi.
“Iya, Ibu.
Baik. Kututup dulu teleponnya, Bu. Ya!” Song Eun menutup sambungan telepon dan
memasukkan handphone-nya ke dalam tas. Ia menoleh ke belakang memerhatikan apa
yang sedang dilakukan temannya. “Hei, Hye Mi!”
“Ya?” sahut
Hye Mi. Pandangannya berpindah dari layar handphone ke wajah Song Eun yang ada
di depannya.
“Keretanya
akan tiba 30 menit lagi, kau mau makan dulu?”
“Boleh, aku
belum makan siang.”
“Kita makan
roti saja, aku sudah lama tidak makan roti.”
Hye Mi
berjalan mengikuti langkah Song Eun. Tapi pandangannya masih tetap fokus ke arah
layar handphone. Mereka masuk ke dalam sebuah café di depan stasiun. Hye Mi dan
Song Eun duduk di dekat jendela sehingga mereka lebih leluasa memandang ke
luar. Song Eun melepas tas ranselnya dan meletakkannya di kursi yang di
sebelahnya.
Tidak lama
setelahnya, pelayan datang menanyakan pesanan mereka. Setelah mencatat pesanan
dua gadis itu, pelayan pergi meninggalkan mereka.
“Ada apa?
Orang tuamu belum menelepon?” tanya Song Eun tiba-tiba.
“Hah?” Hye
Mi mengangkat kepalanya.
“Dari tadi
aku terus memerhatikanmu. Ada apa?”
“Orang
tuaku belum melepon dari kemarin. Aneh sekali.”
“Mungkin
mereka sibuk.”
“Sibuk?
Katakan padaku apa yang membuat mereka sibuk di hari Sabtu.”
Song Eun
menyandarkan tubuhnya.
“Aku memang
sudah terbiasa tinggal jauh dari mereka. Tapi hari ini entah kenapa perasaanku
sedikit tidak enak,” kata Hye Mi.
“Permisi,
ini pesanan Anda,” kata pelayan yang datang sambil membawa pesanan mereka.
“Terima
kasih,” ujar Song Eun.
Lalu
pelayan itu pergi meninggalkan dua gadis itu setelah memberikan pesanan mereka.
“Lalu, apa
yang sedang kau lakukan?” tanya Song Eun sambil memerhatikan temannya
menekan-nekan tombol handphone.
“Mengirim
pesan pada ibuku,” jawab Hye Mi. “Yaaa, setidaknya sekarang rasa khawatirku
berkurang. Ayo, makan!” ujarnya seraya melahap kue tart yang ada di depannya.
*****
“Jangan
merindukanku, Hye Mi. Lusa aku akan pulang. Tenang saja,” ujar Song Eun sebelum
masuk ke stasiun.
“Ah, bisa
saja!” ujar Hye Mi sambil memukul lengan Song Eun.
“Dadaah!”
“Daah!”
Setelah
melihat temannya masuk ke dalam stasiun, Hye Mi berjalan menjauhi gerbang
stasiun. Ia memilih pulang. Ia melirik jam tangannya. Sudah jam dua siang tapi
ia masih bingung harus melakukan apa di akhir pekan ini. Belum jauh ia
melangkah, Hye Mi merasa ada yang menabraknya dari belakang.
“Ah, maaf!
Aku tidak sengaja. Kau tidak apa-apa?”
Hye Mi
mengangkat kepalanya. Seorang laki-laki mengulurkan tangan padanya. Hye Mi baru
menyadari dirinya sudah terduduk di tanah.
“Ya… ngg….
Aku tidak apa-apa, terima kasih,” ujar Hye Mi seraya berdiri dan membersihkan
bajunya.
“Kau yakin
kau tidak apa-apa?” tanya laki-laki itu.
“Apa?”
“Sepertinya
kau sedang banyak pikiran.”
“Memang,” batin Hye Mi.
“Ah, maaf.
Namaku Kim Jong Woon,” ujar laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya.
Hye Mi
menjabat tangan laki-laki itu. “Aku Park Hye Mi.”
“Sekali
lagi aku minta maaf. Aku pergi dulu,” kata Jong Woon. Lalu ia pergi
meninggalkan Hye Mi.
Hye Mi
terdiam sambil memandang Jong Woon yang makin menjauh. Lalu ia memungut benda
yang ada di dekat kakinya. Dompet? Ia membuka dompet itu dan terdapat foto keluarga laki-laki itu.
“Siapa
namanya tadi? Jong Woon, ya?” Hye Mi berkata pada dirinya sendiri. “Dia tidak
sadar dompetnya jatuh?”
Hye Mi
ingin sekali memanggil Jong Woon dan mengingatkannya tentang dompetnya yang
terjatuh. Tapi Jong Woon sudah terlanjur pergi. Hye Mi memasukkan dompet itu ke
dalam tasnya dan berjalan pulang.
******
Jong Woon
baru sampai di apartemen yang sudah disiapkan ayahnya. Ia merebahkan tubuhnya
di atas kasur dan merentangkan tangannya sambil menatap langit-langit. Ia baru
sadar betapa lelah dirinya saat ini. Lalu pikirannya menerawang. Ia
mengingat-ingat kejadian-kejadian sebelum ia pindah ke kota ini. Ia ingat tiga
hari yang lalu, ibunya menyiapkan pesta kejutan ulang tahunnya pada pagi hari
ketika ia bangun. Ia ingat perdebatan ayah dan ibunya tentang ke jurusan mana ia
akan kuliah, yang akhirnya ditengahi Jong Woon yang memilih fotografi. Ia ingat
teman-temannya memberikan selamat padanya atas kesuksesannya masuk universitas
tanpa tes. Dan ia juga ingat ketika ayahnya bilang ia akan pindah sendirian ke
kota ini untuk kuliah.
Jong Woon
berhenti mengingat kejadian demi kejadian itu dan beranjak duduk di tepi tempat
tidur. Ia memegangi perutnya dan samar-samar terdengar bunyi yang seperti
dikenalnya. Jong Woon menyadari perutnya sudah minta diisi. Ah, benar juga.
Sudah jam dua tapi ia sama sekali belum makan siang. Ia merogoh saku jaketnya,
lalu saku celananya. Merasa barang yang ia cari tidak ada di dua tempat itu, ia
mengambil tas ranselnya. Jong Woon berhenti mencari benda tersebut setelah
tidak menemukannya di dalam tas. Ia terdiam sebentar, lalu wajahnya perlahan
mulai terlihat panik.
“Oh, tidak!
Ke mana dompetku? Dompetkuuuuu!” ujarnya setengah berteriak sambil
mondar-mandir dan memegangi kepalanya.
Aah! Gadis
itu! Mungkin saja gadis itu menemukan dompetnya yang tadi terjatuh. Ya ya ya,
mungkin saja. Siapa namanya? Jong Woon berpikir sebentar dan mengingat nama
gadis itu. Hye Mi! Namanya Park Hye Mi! Tapi ke mana ia harus mencari Hye Mi?
Ia bahkan tidak tahu di mana rumah gadis itu. Lalu, bagaimana nasib Jong Woon
yang sedang kelaparan tanpa dompet?
Jong Woon
berjalan ke arah jendela dan duduk di dekat jendela kamarnya. Ia memandang
jalanan sambil memegangi perutnya. Oh, tidak. Sekarang perutnya makin menjadi-jadi.
Apa ia harus mati kelaparan sekarang? Secepat ini? Tiba-tiba Jong Woon merasa
kenal pada salah satu gadis yang lewat di bawah apartemennya. Ah, itu dia
gadisnya! Itu Hye Mi!
“Hye… Hye
Mi! Park Hye Mi!” teriaknya, berharap gadis itu menengok ke arahnya.
Hye Mi
menengadah dan mendapati Jong Woon tersenyum lebar dan melambaikan tangan ke
arahnya dari apartemen lantai atas.
“Tunggu di
situ! Jangan ke mana-mana!” ujarnya lagi. Lalu ia pergi keluar apartemen untuk
menghampiri Hye Mi yang sekarang berada di tepi jalan menunggu Jong Woon.
Jong Woon
sampai di bawah dan segera keluar. Ia mencari-cari sosok Hye Mi di tepi jalan
dan menemukannya sedang duduk di kursi panjang.
“Hye Mi…
namamu Park Hye Mi, kan?” tanya Jong Woon.
Gadis itu
menoleh. “Iya,” jawabnya datar, meskipun ia masih bingung kenapa napas Jong
Woon masih bisa teratur seperti itu setelah berlari kencang seperti tadi.
“Oh, ini
dompetmu,” ujar Hye Mi seraya memberikan dompet Jong Woon.
“Ah, terima
kasih! Akhirnya hidupku terselamatkan. Terima kasih, Tuhan!”
Hye Mi
terdiam melihat tampang Jong Woon yang tengah memandangi dompetnya sendiri sambil
tersenyum lebar. Yaah… mungkin lebih lebar daripada senyumnya yang tadi. Betapa
bahagianya dia melihat dompetnya kembali.
“Ah, aku
sampai lupa. Rumahmu di dekat sini?” tanya Jong Woon sambil menyimpan dompetnya
di saku celana.
“Iya,”
jawab Hye Mi singkat. “Kalau tidak ad….”
“Apa kau
mau jadi pemanduku untuk sementara waktu?” tanya Jong Woon memotong perkataan
Hye Mi.
Mata Hye Mi
membesar. “Apa?”
“Aku orang
baru di sini dan aku belum punya orang yang bisa kupercaya di kota ini. Tapi
setelah kau mengembalikan dompetku–––dan isinya utuh–––aku rasa aku
mempercayaimu.”
Hye Mi
tampak berpikir. Sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, Jong Woon kembali berkata,
“Kurasa kau setuju. Berapa nomor handphone-mu?”
Dengan
polosnya Hye Mi menyebutkan nomor handphone-nye sementara Jong Woon mencatatnya
di handphone-nya.
“Baiklah,
terima kasih! Sampai jumpa lagi, ya!” ujar Jong Woon dengan tersenyum lebar.
Lalu ia masuk ke dalam apartemen dan meninggalkan Hye Mi yang masih terdiam.
Hye Mi
bangkit dan berjalan pulang. Di perjalanan pulang Hye Mi merasa ada sesuatu
yang terlewatkan. Entah kenapa daya berpikirnya menjadi melambat. Raut wajahnya
berubah perlahan. Ia menyadari sesuatu dan langsung mengomel, “Kenapa aku bodoh
sekali? Kenapa bisa-bisanya aku memberikan nomor handphone-ku pada laki-laki
itu? Kenapa aku tidak sempat menolak saat ia memintaku jadi pemandunya? Pabo
yeoja!”
*****
Sesampainya
di rumah, Hye Mi langsung masuk ke kamar dan merebahkan tubuhnya di atas tempat
tidur. Ia termenung memandangi langit-langit kamarnya. Biasanya ia akan
menghabiskan waktu liburnya bersama Song Eun. Ternyata benar, ia akan sangat
merindukan sahabatnya itu.
Lamunan Hye
Mi pecah ketika ia sadar handphone-nya berdering. Ia merogoh tasnya dan segera
mengangkat handphone-nya.
“Halo, Ibu?”
“Halo, Hye Mi. Kau baik-baik saja?” tanya
ibunya dari telepon.
“Ya, aku
baik-baik saja. Bagaimana kabar Ibu dan ayah? Kalian baik-baik saja?”
“Ya, kami baik-baik saja di sini.”
“Kenapa
kemarin Ibu tidak meneleponku?”
“Ibu dan ayah sibuk sejak kemarin. Hari ini
pun kami sangat sibuk. Jaga dirimu. Ibu tutup dulu teleponnya.” KLIK!
Hye Mi
menurunkan handphone dari telinganya. Baru saja ia menyimpan handphone-nya di
dalam tas, handphone-nya kembali berbunyi.
“Halo?”
“Halo, Hye
Mi? Masih ingat padaku?” tanya laki-laki di seberang sana.
“Sungmin-ssi?” kata Hye Mi ragu.
Laki-laki
itu tertawa kecil. “Ya, ini aku. Apa kabar?”
“Ah… baik.
Aku baik-baik saja,” jawab Hye Mi canggung.
“Lama tidak
berjumpa,” ujar laki-laki itu lagi.
“Iya….”
Sungmin
adalah teman SMP Hye Mi dan Song Eun yang telah berani melamar Hye Mi di depan
orang tuanya pada saat upacara kelulusan SMP. Sejak saat itu Hye Mi tidak
berani mendekati Sungmin sampai akhirnya laki-laki itu pindah.
“Kau masih
ingat kata-kataku dulu?” tanya Sungmin.
“Yang
mana?”
“Saat
upacara kelulusan SMP dulu.”
Jantung Hye
Mi serasa berhenti berdetak. Apa yang harus dikatakannya? Apa ia harus berkata:
Iya, aku ingat kata-katamu itu. Dan sekarang apa kau akan mengajakku
bertunangan dan menikah saat lulus SMA nanti? Hye Mi merasa ia sudah sangat
gila jika ia mengatakan hal itu pada Sungmin.
Akhirnya
setelah beberapa detik terdiam, Hye mulai mengeluarkan suaranya. “Ah… itu. Iya,
aku ingat.”
Sungmin
tertawa kecil.
Dia tertawa? Dengan entengnya dia tertawa? Dia tidak
tahu betapa gugupnya aku tiba-tiba ditanya begitu? Hye Mi
mengomel dalam hati.
“Benarkah?
Kau ingat?” tanya Sungmin sambil memperdengarkan suara tawanya.
“Ya, aku
ingat,” jawab Hye Mi singkat. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Aku kira
kau sudah lupa,” ujarnya. “Kita sudah lama tidak bertemu. Bisa kita bertemu
kapan-kapan?”
“Bisa. Atur
saja kapan kau mau bertemu denganku.”
“Ya…
mungkin kita bisa menghabiskan waktu bersama. Dengan Song Eun juga,” ujar
Sungmin. “Aku merindukanmu, Park Hye Mi.”
DEG! Hye Mi
benar-benar merasa jantungnya sudah jatuh entah di mana. Kenapa Sungmin pintar
sekali membuatnya gugup seperti ini?
“Sampai
nanti.”
Hye Mi
tersentak. “Ya… Sampai nanti.” KLIK!
Setelah
menutup percakapan tadi, Hye Mi memerhatikan layar handphone-nya. Di sana tertulis:
“Ada 1 pesan baru”. Hye Mi membuka pesan itu.
“Hei, hari ini aku mau ke toko buku. Kau tahu toko
buku yang dekat dari sini?”
Siapa ini?
Hye Mi mengetik sesuatu. “Siapa ini?”
Yak,
terkirim! Beberapa menit kemudian handphone Hye Mi berbunyi. PING!
“Kau sudah melupakanku?”
Hye Mi
berpikir sebentar. Lalu ia mulai mengetik lagi. Tapi dengan ragu. “Sungmin?”
Tak lama
kemudian masuk sebuah pesan baru. Ia membukanya dan langsung tahu siapa
pengirim pesan tadi. “Ini aku, Kim Jong
Woon. Ya, kau sudah lupa padaku? Kejam sekali.”
Hye Mi
mengetik waktu kapan ia akan pergi menemui Jong Woon hari ini. Hah… menyusahkan
saja.
“Membuatku
makin sibuk saja orang ini.”
******
Jong Woon bersiap-siap
untuk pergi bersama Hye Mi ke toko buku. Setelah berganti pakaian, ia turun
bawah dan menunggu gadis itu di depan apartemen. Tiga menit…. Lima menit….
Sepuluh menit…. Wajah Jong Woon berubah jengkel. Ia memang bukan orang yang
penyabar. Hye Mi tinggal siap-siap saja untuk mendengarkan omelan Jong Woon.
Padahal baru sepuluh menit, tapi wajahnya seperti sudah menunggu selama
berjam-jam. Ia melihat jam tangannya. Gadis
itu tidak tepat waktu, batinnya kesal.
Beberapa
menit kemudian gadis yang dimaksud datang.
“Kim Jong
Woon-ssi,” panggil Hye Mi.
Jong Woon
menoleh. Ia memperlihatkan wajah jengkelnya.
“Jong Woon-ssi, boleh aku bertanya?”
“Apa?”
“Kenapa
wajahmu begitu?”
“Kau masih
bertanya, hah?! Kau terlambat, Park Hye Mi!” bentak Jong Woon dengan kesal.
Hye Mi
melihat jam tangannya. “Katakan padaku, jam berapa kita berjanji bertemu?”
“Jam
empat.”
“Sekarang
jam berapa?”
“Jam 4.15.”
“Aku baru
terlambat lima belas menit, Jong Woon-ssi.”
“Baru lima
belas menit kau bilang?! Lima belas menit itu waktu yang berharga, kau tahu?”
Hye Mi
memutar bola matanya. Baru sekarang dia bertemu dengan laki-laki menyebalkan
seperti Jong Woon. “Ya ya ya, baiklah. Ayo pergi sekarang.”
Mereka berdua berjalan menuju toko
buku tanpa sepatah kata pun. Jong Woon mulai merasa tidak nyaman.
“Hei, kenapa kau tidak bicara?”
tanya Jong Woon.
“Aku tidak pernah memulai
pembicaraan dengan orang yang baru kukenal tadi siang,” jawab Hye Mi sambil
terus menatap layar handphone-nya.
“Siapa yang kau kirimi sms?”
“Bukan urusanmu.”
Jong Woon tersentak mendengar
jawaban Hye Mi. “Apa itu… pacarmu?” tanya
Jong Woon dengan raut wajah ragu.
“Bukan, aku belum punya pacar.”
“Apa? Kau belum punya pacar?”
“Kenapa?” tanya Hye Mi dengan nada
tersinggung dan mata melotot. “Oh, aku tahu. Pasti kau berpikir tidak mungkin
gadis secantik aku belum punya pacar. Begitu?”
“Apa?” Jong Woon tertawa keras.
“Hei, aku pasti sudah gila kalau mengatakan kau gadis yang cantik,” gurau Jong
Woon sambil terus tertawa keras hingga orang-orang yang lewat memandangi mereka
berdua.
“Pelankan suaramu!” ujar Hye Mi
kesal. “Ini temanku.”
Jong Woon berhenti tertawa. “Oh ya?
Apa itu Sungmin?” tanyanya dengan raut wajah serius.
“Bukan,” jawab Hye Mi singkat.
“Lalu, Siapa Sungmin? Pacarmu?”
“Sudah kubilang aku belum punya
pacar!” jawab Hye Mi kesal. “Lagipula dia teman SMP-ku yang sudah lama tidak
bertemu.”
“Oh… begitu.” Jong Woon menggaruk
kepalanya yang tidak gatal, lalu kembali melayangkan pertanyaan aneh, “Apa kau
menyukainya? Apa aku lebih keren darinya?”
Hye Mi berhenti berjalan dan
menyimpan handphone-nya di dalam tas. Ia menoleh pada Jong Woon. “Dengar, aku
belum pernah merasakan jatuh cinta dan belum pernah pacaran.”
“Belum pernah? Sama sekali?”
“Ya,” jawab Hye Mi singkat. “Dan
aku rasa kau sama sekali tidak keren, Jong Woon-ssi.”
Mereka kembali berjalan. “Oh ya,
aku harus memanggilmu apa? Kelihatannya kau lebih tua dariku,” tanya Hye Mi.
“Aku sudah kuliah,” jawab Jong Woon.
“Mwo? Kuliah? Aku kira kau masih SMA,” ujar Hye Mi kaget.
“Untuk apa aku berbohong? Panggil
aku Oppa karena kau terlihat seperti
anak SMA,” ujar Jong Woon. Perlahan ia menampakkan senyumnya dan berkata dengan
nada menggoda. “Apakah aku seperti anak SMA? Apakah aku memang terlihat semuda
itu?” tanyanya tanpa menoleh pada Hye Mi sambil memegang kedua pipinya dengan
kedua tangannya. “Apa aku setampan itu?” tanyanya lagi sambil menyipitkan mata
dan tersenyum licik.
“Tidak, tampangmu seperti bayi,”
ejek Hye Mi.
“Aku rasa kau memang terpesona
padaku, Park Hye Mi,” ujar Jong Woon sambil tertawa kecil dan mengikuti langkah
Hye Mi masuk ke toko buku.
“Cepat pilih buku yang kau cari,
waktuku tidak banyak,” kata Hye Mi.
“Baiklah, baiklah.”
Tak lama setelah itu, muncul
laki-laki yang memanggil nama Hye Mi dengan nada yang seolah-olah mereka sudah
sangat akrab.
“Park Hye Mi.”
Hye Mi menoleh, begitu juga Jong
Woon. Hye Mi memasang wajah terkejut ketika melihat laki-laki itu.
“Lama tidak bertemu,” katanya lagi
sambil menunjukkan senyumnya.
Belum sempat Hye Mi berkata
sesuatu, Jong Woon menyela dengan tampang kaget. “Kau Sungmin?!”
----> To be continued <----
Yaakk, segini dulu lah yang bisa diposting, kalo typo, langsung aja marahin pembuatnya *nunjuk ifa* ;p
Saya kabur dulu ya :D Jangan lupa comment nya yaaaa :D
Annyeong! *bungkukin badan*
wahh bagus banget ;) ,
BalasHapusIni aku yg twitter nya @SeraAngelina ;) . Ayodong lanjutin lagi, penasaran nih :D
iya, makasih ya :D
HapusSip, tunggu aja kelanjutannya! xD
Annyeong :D
BalasHapusMian baru bisa komen nih ;p
Lanjutin terus ya saeng, kkkk~ xD
siap! xD
Hapus