Jumat, 20 April 2012

FF: I'm Sorry Oppa *part 1*

Annyeong, Hye Mi imnida
Saya yeobonya Kim Jong Woon a.k.a Super Junior's Yesung >,<

Muahahaha xD   xD

Saya datang ke sini atas permintaan mbak Ifa alias Ipul alias Zirrialifa untuk memposting FF nya ;p
Ini dikarenakan internet di rumahnya lagi lebay *maklum ababil ntu modem ;p*

Naahhh, saya akan memberitahukan pada kalian sedikit, ff ini pemeran utamanya saya dan bang Yesung >,< *tereak pake toa*

Okelah, daripada nanti makin curhat gaje, kita langsung saja yaa... :D


FAN Fiction
Judul: I'm Sorry Oppa
By: @ifaraneza
Cast: Park Hye Mi (saya ;p), Kim Jong Woon, Lee Sung Min, Song Eun, etc.



Aku tidak tahu harus berkata apa padamu agar kau mengerti kehidupanku, karena aku tahu kau juga tidak akan mengerti kehidupanku, hahaha…. Selama ini kau terus bertanya kenapa aku memilih kehidupanku yang sekarang, yah… karena aku telah memilihnya. Dan sekarang yang kupilih adalah menjauhimu… karena aku takut aku akan tersakiti dengan perasaanku dan kenyataan ini. Mianhaeyo, Oppa….
********
Bel istirahat sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu, tapi Hye Mi masih sibuk berkutat dengan buku fisikanya.  Hye Mi menutup sedikit bukunya ketika menyadari kedatangan Song Eun. “Ada apa?” tanyanya.
“Kau ada acara sepulang sekolah nanti?” tanya Song Eun.
Hye Mi tampak berpikir. “Tidak, kenapa?”
“Bisa temani aku beli kado untuk sepupuku?”
“Aku tidak ada acara sore ini, tapi….”
“Ayolah, Hye Mi! Sebentar saja, setelah itu kita pulang.”
Hye Mi terdiam sebentar, lalu menjawab, “Baiklah. Tapi sebentar saja.”
“Oke!”
Hye Mi dibesarkan di dalam keluarga yang menekankan pentingnya pendidikan. Apalagi Hye Mi tinggal berjauhan dengan orang tuanya yang bekerja di luar negeri. Ia harus pandai-pandai menjaga diri. Itulah sebabnya Hye Mi terlihat berbeda dengan teman-teman sebayanya. Di saat teman-temannya asyik membicarakan artis idola mereka, Hye Mi lebih memilih untuk membaca buku. Di saat teman-temannya bersenang-senang di akhir pekan, Hye Mi lebih memilih mengerjakan tugas dan memperdalam materi pelajaran. Baginya tiada hari tanpa belajar. Selama ini prestasi Hye Mi tidak pernah menurun. Ia selalu menjadi yang terbaik di sekolahnya. Bagi orang lain hal itu akan membuatnya tertekan, tapi Hye Mi tidak. Baginya bisa membuat orang tuanya bangga adalah suatu kebahagiaan tersendiri untuknya. Ia tidak mau mengecewakan orang tuanya.
Sepulang sekolah Song Eun menunggu Hye Mi di depan gerbang sekolah. Setelah melihat Hye Mi berjalan menuju gerbang, gadis berambut pendek itu melambaikan tangannya. “Han Hye Mi!” panggilnya. Hye Mi tersenyum dan berlari kecil ke arah temannya itu.
“Baiklah, sekarang kita pergi ke mana?” tanya Hye Mi.
“Hmm… karena aku tahu kau tidak bisa pergi lama-lama, bagaimana kalau ke toko di dekat rumahmu saja?” usul Song Eun.
“Baiklah.”
Selama ini yang mengerti kehidupan Hye Mi hanya Song Eun, temannya sejak kecil. Orang tua mereka sudah sangat dekat, jadi orang tua Hye Mi tidak mengkhawatirkan putrinya itu selama ia dekat dengan Song Eun.
Mereka memilih untuk berjalan kaki daripada naik bus. Selain karena untuk berhemat–––karena Hye Mi tinggal jauh dari orang tuanya–––mereka lebih menyukai berjalan kaki. Mereka bisa memerhatikan orang-orang di sekitar mereka dan menikmati suasana kota.
KLING!
“Selamat datang,” sapa penjaga toko ketika melihat dua gadis itu masuk ke toko.
“Siapa yang berulang tahun?” tanya Hye Mi sambil memerhatikan Song Eun memilih barang.
“Eun Jo, sepupuku yang sering ke rumah,” jawab Song Eun.
“Ooooh....” Hye Mi ber-oh panjang.
Hye Mi pernah bertemu dengan Lee Eun Jo, sepupu perempuan Song Eun beberapa kali ketika ia berkunjung ke rumah temannya itu. Eun Jo sering meminta Hye Mi untuk mengajarinya matematika.
“Ahh… yang ini saja,” gumam Song Eun. “Permisi…. Aku pilih yang ini, tolong dibungkus dengan kertas kado yang ini,” ujarnya pada penjaga toko seraya menyodorkan sebuah boneka beruang dan kertas kado kuning.
“Baik.”
“Ngomong-ngomong, kau tidak membeli sesuatu? Mumpung ada di sini, kau jarang main ke luar, kan?” tanya Song Eun.
“Ah, tidak…. Lagipula orang tuaku tidak suka kalau aku membeli sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran,” jawab Hye Mi. Ia terdiam sejenak lalu senyumnya melebar. “Bukankah kau bisa membelikanku barang-barang seperti ini saat ulang tahunku?”
“Ah, kau memang pintar bicara Park Hye Mi!” ujar Song Eun sambil memukul pelan lengan temannya itu. “Dan pandai memerasku.”
Hye Mi tertawa pelan. “Kutunggu kado darimu minggu depan, ya!”
“Haaahh…. Lihat saja, aku tidak akan memberimu kado sekecil apapun!” ujar Song Eun kesal.
Hye Mi memasang wajah memelas meskipun ia tahu Song Eun tetap akan memberinya kado.
“Permisi, ini total belanjaannya,” ujar penjaga toko seraya menunjukkan harga yang harus dibayar Song Eun.
“Oh, iya.” Song Eun membuka dompetnya dan membayar belanjaan.
“Terima kasih.”
“Sudah sore, aku pulang dulu,” ujar Hye Mi ketika mereka berdua sudah berada di luar toko.
“Baiklah, dadaahh!” kata Song Eun sambil melambaikan tangannya dan pergi.
“Daah!”
******
“Apa? Pindah?” tanya Jong Woon dengan nada kaget setelah mendengar ucapan ayahnya di telepon. “Tapi… kenapa?”
“Ayah rasa kau sudah cukup dewasa untuk berpikir tentang masa depanmu. Di kota tempat tinggalmu nanti kau akan kuliah di universitas ternama,” ujar ayahnya dari seberang telepon.
“Aku rasa untuk menyelesaikan pendidikan tidak perlu jauh-jauh ke sana,” elak Jong Woon. “Di sini aku juga bisa kuliah.”
“Jong Woon, Ayah rasa kau sudah tahu sifat Ayah.”
Jong Woon menghela napas. “Ya ya ya… aku tahu. Keputusan Ayah tidak bisa diganggu gugat,” katanya sambil memutar kedua bola matanya. “Baiklah, kapan aku akan pindah?”
“Besok pagi.”
“APA? Besok pagi? Apa aku tidak salah dengar?” seru Jong Woon kaget dengan mata terbelalak.
“Ya, kau tidak salah dengar. Besok pagi kau sudah harus bersiap-siap,” kata ayahnya. “Oh ya, maaf Ayah dan ibu tidak bisa mengantarmu.”
“Oh, tidak. Apa Ayah tahu aku belum pernah pergi jauh sendirian?”
“Tapi kau sudah dewasa, Jong Woon.” KLIK!
“Ha… halo? Halo? Halo! Ayah? Aaahh!” gerutunya kesal karena telepon ditutup sebelum ia bisa berkata sesuatu. “Aaaah! Menyebalkan sekali!”
****
“Ya, Ibu? Ya ya ya… aku mengerti. Sebentar lagi aku akan sampai di stasiun. Hah? Apa? Ah, tidak. Aku diantar Hye Mi, Bu….”
Hye Mi berjalan di belakang Song Eun yang sedang mengobrol dengan ibunya lewat handphone sambil memerhatikan handphone-nya sendiri. Dari kemarin orang tuanya belum meneleponnya. Ada apa? Biasanya mereka selalu memeriksa keadaan Hye Mi. Apalagi hari ini Song Eun akan berkunjung ke rumah neneknya, pasti ayah dan ibunya makin mengkhawatirkan Hye Mi.
“Iya, Ibu. Baik. Kututup dulu teleponnya, Bu. Ya!” Song Eun menutup sambungan telepon dan memasukkan handphone-nya ke dalam tas. Ia menoleh ke belakang memerhatikan apa yang sedang dilakukan temannya. “Hei, Hye Mi!”
“Ya?” sahut Hye Mi. Pandangannya berpindah dari layar handphone ke wajah Song Eun yang ada di depannya.
“Keretanya akan tiba 30 menit lagi, kau mau makan dulu?”
“Boleh, aku belum makan siang.”
“Kita makan roti saja, aku sudah lama tidak makan roti.”
Hye Mi berjalan mengikuti langkah Song Eun. Tapi pandangannya masih tetap fokus ke arah layar handphone. Mereka masuk ke dalam sebuah café di depan stasiun. Hye Mi dan Song Eun duduk di dekat jendela sehingga mereka lebih leluasa memandang ke luar. Song Eun melepas tas ranselnya dan meletakkannya di kursi yang di sebelahnya.
Tidak lama setelahnya, pelayan datang menanyakan pesanan mereka. Setelah mencatat pesanan dua gadis itu, pelayan pergi meninggalkan mereka.
“Ada apa? Orang tuamu belum menelepon?” tanya Song Eun tiba-tiba.
“Hah?” Hye Mi mengangkat kepalanya.
“Dari tadi aku terus memerhatikanmu. Ada apa?”
“Orang tuaku belum melepon dari kemarin. Aneh sekali.”
“Mungkin mereka sibuk.”
“Sibuk? Katakan padaku apa yang membuat mereka sibuk di hari Sabtu.”
Song Eun menyandarkan tubuhnya.
“Aku memang sudah terbiasa tinggal jauh dari mereka. Tapi hari ini entah kenapa perasaanku sedikit tidak enak,” kata Hye Mi.
“Permisi, ini pesanan Anda,” kata pelayan yang datang sambil membawa pesanan mereka.
“Terima kasih,” ujar Song Eun.
Lalu pelayan itu pergi meninggalkan dua gadis itu setelah memberikan pesanan mereka.
“Lalu, apa yang sedang kau lakukan?” tanya Song Eun sambil memerhatikan temannya menekan-nekan tombol handphone.
“Mengirim pesan pada ibuku,” jawab Hye Mi. “Yaaa, setidaknya sekarang rasa khawatirku berkurang. Ayo, makan!” ujarnya seraya melahap kue tart yang ada di depannya.
*****
“Jangan merindukanku, Hye Mi. Lusa aku akan pulang. Tenang saja,” ujar Song Eun sebelum masuk ke stasiun.
“Ah, bisa saja!” ujar Hye Mi sambil memukul lengan Song Eun.
“Dadaah!”
“Daah!”
Setelah melihat temannya masuk ke dalam stasiun, Hye Mi berjalan menjauhi gerbang stasiun. Ia memilih pulang. Ia melirik jam tangannya. Sudah jam dua siang tapi ia masih bingung harus melakukan apa di akhir pekan ini. Belum jauh ia melangkah, Hye Mi merasa ada yang menabraknya dari belakang.
“Ah, maaf! Aku tidak sengaja. Kau tidak apa-apa?”
Hye Mi mengangkat kepalanya. Seorang laki-laki mengulurkan tangan padanya. Hye Mi baru menyadari dirinya sudah terduduk di tanah.
“Ya… ngg…. Aku tidak apa-apa, terima kasih,” ujar Hye Mi seraya berdiri dan membersihkan bajunya.
“Kau yakin kau tidak apa-apa?” tanya laki-laki itu.
“Apa?”
“Sepertinya kau sedang banyak pikiran.”
“Memang,” batin Hye Mi.
“Ah, maaf. Namaku Kim Jong Woon,” ujar laki-laki itu sambil mengulurkan tangannya.
Hye Mi menjabat tangan laki-laki itu. “Aku Park Hye Mi.”
“Sekali lagi aku minta maaf. Aku pergi dulu,” kata Jong Woon. Lalu ia pergi meninggalkan Hye Mi.
Hye Mi terdiam sambil memandang Jong Woon yang makin menjauh. Lalu ia memungut benda yang ada di dekat kakinya. Dompet? Ia membuka dompet itu dan terdapat foto  keluarga laki-laki itu.
“Siapa namanya tadi? Jong Woon, ya?” Hye Mi berkata pada dirinya sendiri. “Dia tidak sadar dompetnya jatuh?”
Hye Mi ingin sekali memanggil Jong Woon dan mengingatkannya tentang dompetnya yang terjatuh. Tapi Jong Woon sudah terlanjur pergi. Hye Mi memasukkan dompet itu ke dalam tasnya dan berjalan pulang.
******
Jong Woon baru sampai di apartemen yang sudah disiapkan ayahnya. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur dan merentangkan tangannya sambil menatap langit-langit. Ia baru sadar betapa lelah dirinya saat ini. Lalu pikirannya menerawang. Ia mengingat-ingat kejadian-kejadian sebelum ia pindah ke kota ini. Ia ingat tiga hari yang lalu, ibunya menyiapkan pesta kejutan ulang tahunnya pada pagi hari ketika ia bangun. Ia ingat perdebatan ayah dan ibunya tentang ke jurusan mana ia akan kuliah, yang akhirnya ditengahi Jong Woon yang memilih fotografi. Ia ingat teman-temannya memberikan selamat padanya atas kesuksesannya masuk universitas tanpa tes. Dan ia juga ingat ketika ayahnya bilang ia akan pindah sendirian ke kota ini untuk kuliah.
Jong Woon berhenti mengingat kejadian demi kejadian itu dan beranjak duduk di tepi tempat tidur. Ia memegangi perutnya dan samar-samar terdengar bunyi yang seperti dikenalnya. Jong Woon menyadari perutnya sudah minta diisi. Ah, benar juga. Sudah jam dua tapi ia sama sekali belum makan siang. Ia merogoh saku jaketnya, lalu saku celananya. Merasa barang yang ia cari tidak ada di dua tempat itu, ia mengambil tas ranselnya. Jong Woon berhenti mencari benda tersebut setelah tidak menemukannya di dalam tas. Ia terdiam sebentar, lalu wajahnya perlahan mulai terlihat panik.
“Oh, tidak! Ke mana dompetku? Dompetkuuuuu!” ujarnya setengah berteriak sambil mondar-mandir dan memegangi kepalanya.
Aah! Gadis itu! Mungkin saja gadis itu menemukan dompetnya yang tadi terjatuh. Ya ya ya, mungkin saja. Siapa namanya? Jong Woon berpikir sebentar dan mengingat nama gadis itu. Hye Mi! Namanya Park Hye Mi! Tapi ke mana ia harus mencari Hye Mi? Ia bahkan tidak tahu di mana rumah gadis itu. Lalu, bagaimana nasib Jong Woon yang sedang kelaparan tanpa dompet?
Jong Woon berjalan ke arah jendela dan duduk di dekat jendela kamarnya. Ia memandang jalanan sambil memegangi perutnya. Oh, tidak. Sekarang perutnya makin menjadi-jadi. Apa ia harus mati kelaparan sekarang? Secepat ini? Tiba-tiba Jong Woon merasa kenal pada salah satu gadis yang lewat di bawah apartemennya. Ah, itu dia gadisnya! Itu Hye Mi!
“Hye… Hye Mi! Park Hye Mi!” teriaknya, berharap gadis itu menengok ke arahnya.
Hye Mi menengadah dan mendapati Jong Woon tersenyum lebar dan melambaikan tangan ke arahnya dari apartemen lantai atas.
“Tunggu di situ! Jangan ke mana-mana!” ujarnya lagi. Lalu ia pergi keluar apartemen untuk menghampiri Hye Mi yang sekarang berada di tepi jalan menunggu Jong Woon.
Jong Woon sampai di bawah dan segera keluar. Ia mencari-cari sosok Hye Mi di tepi jalan dan menemukannya sedang duduk di kursi panjang.
“Hye Mi… namamu Park Hye Mi, kan?” tanya Jong Woon.
Gadis itu menoleh. “Iya,” jawabnya datar, meskipun ia masih bingung kenapa napas Jong Woon masih bisa teratur seperti itu setelah berlari kencang seperti tadi.
“Oh, ini dompetmu,” ujar Hye Mi seraya memberikan dompet Jong Woon.
“Ah, terima kasih! Akhirnya hidupku terselamatkan. Terima kasih, Tuhan!”
Hye Mi terdiam melihat tampang Jong Woon yang tengah memandangi dompetnya sendiri sambil tersenyum lebar. Yaah… mungkin lebih lebar daripada senyumnya yang tadi. Betapa bahagianya dia melihat dompetnya kembali.
“Ah, aku sampai lupa. Rumahmu di dekat sini?” tanya Jong Woon sambil menyimpan dompetnya di saku celana.
“Iya,” jawab Hye Mi singkat. “Kalau tidak ad….”
“Apa kau mau jadi pemanduku untuk sementara waktu?” tanya Jong Woon memotong perkataan Hye Mi.
Mata Hye Mi membesar. “Apa?”
“Aku orang baru di sini dan aku belum punya orang yang bisa kupercaya di kota ini. Tapi setelah kau mengembalikan dompetku–––dan isinya utuh–––aku rasa aku mempercayaimu.”
Hye Mi tampak berpikir. Sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, Jong Woon kembali berkata, “Kurasa kau setuju. Berapa nomor handphone-mu?”
Dengan polosnya Hye Mi menyebutkan nomor handphone-nye sementara Jong Woon mencatatnya di handphone-nya.
“Baiklah, terima kasih! Sampai jumpa lagi, ya!” ujar Jong Woon dengan tersenyum lebar. Lalu ia masuk ke dalam apartemen dan meninggalkan Hye Mi yang masih terdiam.
Hye Mi bangkit dan berjalan pulang. Di perjalanan pulang Hye Mi merasa ada sesuatu yang terlewatkan. Entah kenapa daya berpikirnya menjadi melambat. Raut wajahnya berubah perlahan. Ia menyadari sesuatu dan langsung mengomel, “Kenapa aku bodoh sekali? Kenapa bisa-bisanya aku memberikan nomor handphone-ku pada laki-laki itu? Kenapa aku tidak sempat menolak saat ia memintaku jadi pemandunya? Pabo yeoja!”
*****
Sesampainya di rumah, Hye Mi langsung masuk ke kamar dan merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia termenung memandangi langit-langit kamarnya. Biasanya ia akan menghabiskan waktu liburnya bersama Song Eun. Ternyata benar, ia akan sangat merindukan sahabatnya itu.
Lamunan Hye Mi pecah ketika ia sadar handphone-nya berdering. Ia merogoh tasnya dan segera mengangkat handphone-nya.
“Halo, Ibu?”
“Halo, Hye Mi. Kau baik-baik saja?” tanya ibunya dari telepon.                                                      
“Ya, aku baik-baik saja. Bagaimana kabar Ibu dan ayah? Kalian baik-baik saja?”
“Ya, kami baik-baik saja di sini.”
“Kenapa kemarin Ibu tidak meneleponku?”
Ibu dan ayah sibuk sejak kemarin. Hari ini pun kami sangat sibuk. Jaga dirimu. Ibu tutup dulu teleponnya.” KLIK!
Hye Mi menurunkan handphone dari telinganya. Baru saja ia menyimpan handphone-nya di dalam tas, handphone-nya kembali berbunyi.
“Halo?”
“Halo, Hye Mi? Masih ingat padaku?” tanya laki-laki di seberang sana.
“Sungmin-ssi?” kata Hye Mi ragu.
Laki-laki itu tertawa kecil. “Ya, ini aku. Apa kabar?”
“Ah… baik. Aku baik-baik saja,” jawab Hye Mi canggung.
“Lama tidak berjumpa,” ujar laki-laki itu lagi.
“Iya….”
Sungmin adalah teman SMP Hye Mi dan Song Eun yang telah berani melamar Hye Mi di depan orang tuanya pada saat upacara kelulusan SMP. Sejak saat itu Hye Mi tidak berani mendekati Sungmin sampai akhirnya laki-laki itu pindah.
“Kau masih ingat kata-kataku dulu?” tanya Sungmin.
“Yang mana?”
“Saat upacara kelulusan SMP dulu.”
Jantung Hye Mi serasa berhenti berdetak. Apa yang harus dikatakannya? Apa ia harus berkata: Iya, aku ingat kata-katamu itu. Dan sekarang apa kau akan mengajakku bertunangan dan menikah saat lulus SMA nanti? Hye Mi merasa ia sudah sangat gila jika ia mengatakan hal itu pada Sungmin.
Akhirnya setelah beberapa detik terdiam, Hye mulai mengeluarkan suaranya. “Ah… itu. Iya, aku ingat.”
Sungmin tertawa kecil.
Dia tertawa? Dengan entengnya dia tertawa? Dia tidak tahu betapa gugupnya aku tiba-tiba ditanya begitu? Hye Mi mengomel dalam hati.
“Benarkah? Kau ingat?” tanya Sungmin sambil memperdengarkan suara tawanya.
“Ya, aku ingat,” jawab Hye Mi singkat. Ia tidak tahu harus berkata apa lagi.
“Aku kira kau sudah lupa,” ujarnya. “Kita sudah lama tidak bertemu. Bisa kita bertemu kapan-kapan?”
“Bisa. Atur saja kapan kau mau bertemu denganku.”
“Ya… mungkin kita bisa menghabiskan waktu bersama. Dengan Song Eun juga,” ujar Sungmin. “Aku merindukanmu, Park Hye Mi.”
DEG! Hye Mi benar-benar merasa jantungnya sudah jatuh entah di mana. Kenapa Sungmin pintar sekali membuatnya gugup seperti ini?
“Sampai nanti.”
Hye Mi tersentak. “Ya… Sampai nanti.” KLIK!
Setelah menutup percakapan tadi, Hye Mi memerhatikan layar handphone-nya. Di sana tertulis: “Ada 1 pesan baru”. Hye Mi membuka pesan itu.
“Hei, hari ini aku mau ke toko buku. Kau tahu toko buku yang dekat dari sini?”
Siapa ini? Hye Mi mengetik sesuatu. “Siapa ini?”
Yak, terkirim! Beberapa menit kemudian handphone Hye Mi berbunyi. PING!
“Kau sudah melupakanku?”
Hye Mi berpikir sebentar. Lalu ia mulai mengetik lagi. Tapi dengan ragu. “Sungmin?”
Tak lama kemudian masuk sebuah pesan baru. Ia membukanya dan langsung tahu siapa pengirim pesan tadi. “Ini aku, Kim Jong Woon. Ya, kau sudah lupa padaku? Kejam sekali.”
Hye Mi mengetik waktu kapan ia akan pergi menemui Jong Woon hari ini. Hah… menyusahkan saja.
“Membuatku makin sibuk saja orang ini.”
******
Jong Woon bersiap-siap untuk pergi bersama Hye Mi ke toko buku. Setelah berganti pakaian, ia turun bawah dan menunggu gadis itu di depan apartemen. Tiga menit…. Lima menit…. Sepuluh menit…. Wajah Jong Woon berubah jengkel. Ia memang bukan orang yang penyabar. Hye Mi tinggal siap-siap saja untuk mendengarkan omelan Jong Woon. Padahal baru sepuluh menit, tapi wajahnya seperti sudah menunggu selama berjam-jam. Ia melihat jam tangannya. Gadis itu tidak tepat waktu, batinnya kesal.
Beberapa menit kemudian gadis yang dimaksud datang.
“Kim Jong Woon-ssi,” panggil Hye Mi.
Jong Woon menoleh. Ia memperlihatkan wajah jengkelnya.
“Jong Woon-ssi, boleh aku bertanya?”
“Apa?”
“Kenapa wajahmu begitu?”
“Kau masih bertanya, hah?! Kau terlambat, Park Hye Mi!” bentak Jong Woon dengan kesal.
Hye Mi melihat jam tangannya. “Katakan padaku, jam berapa kita berjanji bertemu?”
“Jam empat.”
“Sekarang jam berapa?”
“Jam 4.15.”
“Aku baru terlambat lima belas menit, Jong Woon-ssi.”
“Baru lima belas menit kau bilang?! Lima belas menit itu waktu yang berharga, kau tahu?”
Hye Mi memutar bola matanya. Baru sekarang dia bertemu dengan laki-laki menyebalkan seperti Jong Woon. “Ya ya ya, baiklah. Ayo pergi sekarang.”
Mereka berdua berjalan menuju toko buku tanpa sepatah kata pun. Jong Woon mulai merasa tidak nyaman.
“Hei, kenapa kau tidak bicara?” tanya Jong Woon.
“Aku tidak pernah memulai pembicaraan dengan orang yang baru kukenal tadi siang,” jawab Hye Mi sambil terus menatap layar handphone-nya.
“Siapa yang kau kirimi sms?”
“Bukan urusanmu.”
Jong Woon tersentak mendengar jawaban Hye Mi.  “Apa itu… pacarmu?” tanya Jong Woon dengan raut wajah ragu.
“Bukan, aku belum punya pacar.”
“Apa? Kau belum punya pacar?”
“Kenapa?” tanya Hye Mi dengan nada tersinggung dan mata melotot. “Oh, aku tahu. Pasti kau berpikir tidak mungkin gadis secantik aku belum punya pacar. Begitu?”
“Apa?” Jong Woon tertawa keras. “Hei, aku pasti sudah gila kalau mengatakan kau gadis yang cantik,” gurau Jong Woon sambil terus tertawa keras hingga orang-orang yang lewat memandangi mereka berdua.
“Pelankan suaramu!” ujar Hye Mi kesal. “Ini temanku.”
Jong Woon berhenti tertawa. “Oh ya? Apa itu Sungmin?” tanyanya dengan raut wajah serius.
“Bukan,” jawab Hye Mi singkat.
“Lalu, Siapa Sungmin? Pacarmu?”
“Sudah kubilang aku belum punya pacar!” jawab Hye Mi kesal. “Lagipula dia teman SMP-ku yang sudah lama tidak bertemu.”
“Oh… begitu.” Jong Woon menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu kembali melayangkan pertanyaan aneh, “Apa kau menyukainya? Apa aku lebih keren darinya?”
Hye Mi berhenti berjalan dan menyimpan handphone-nya di dalam tas. Ia menoleh pada Jong Woon. “Dengar, aku belum pernah merasakan jatuh cinta dan belum pernah pacaran.”
“Belum pernah? Sama sekali?”
“Ya,” jawab Hye Mi singkat. “Dan aku rasa kau sama sekali tidak keren, Jong Woon-ssi.
Mereka kembali berjalan. “Oh ya, aku harus memanggilmu apa? Kelihatannya kau lebih tua dariku,” tanya Hye Mi.
“Aku sudah kuliah,” jawab Jong Woon.
Mwo? Kuliah? Aku kira kau masih SMA,” ujar Hye Mi kaget.
“Untuk apa aku berbohong? Panggil aku Oppa karena kau terlihat seperti anak SMA,” ujar Jong Woon. Perlahan ia menampakkan senyumnya dan berkata dengan nada menggoda. “Apakah aku seperti anak SMA? Apakah aku memang terlihat semuda itu?” tanyanya tanpa menoleh pada Hye Mi sambil memegang kedua pipinya dengan kedua tangannya. “Apa aku setampan itu?” tanyanya lagi sambil menyipitkan mata dan tersenyum licik.
“Tidak, tampangmu seperti bayi,” ejek Hye Mi.
“Aku rasa kau memang terpesona padaku, Park Hye Mi,” ujar Jong Woon sambil tertawa kecil dan mengikuti langkah Hye Mi masuk ke toko buku.
“Cepat pilih buku yang kau cari, waktuku tidak banyak,” kata Hye Mi.
“Baiklah, baiklah.”
Tak lama setelah itu, muncul laki-laki yang memanggil nama Hye Mi dengan nada yang seolah-olah mereka sudah sangat akrab.
“Park Hye Mi.”
Hye Mi menoleh, begitu juga Jong Woon. Hye Mi memasang wajah terkejut ketika melihat laki-laki itu.
“Lama tidak bertemu,” katanya lagi sambil menunjukkan senyumnya.
Belum sempat Hye Mi berkata sesuatu, Jong Woon menyela dengan tampang kaget. “Kau Sungmin?!”

----> To be continued <----
Yaakk, segini dulu lah yang bisa diposting, kalo typo, langsung aja marahin pembuatnya *nunjuk ifa* ;p
Saya kabur dulu ya :D Jangan lupa comment nya yaaaa :D
Annyeong! *bungkukin badan*

4 komentar:

  1. wahh bagus banget ;) ,
    Ini aku yg twitter nya @SeraAngelina ;) . Ayodong lanjutin lagi, penasaran nih :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, makasih ya :D
      Sip, tunggu aja kelanjutannya! xD

      Hapus
  2. Annyeong :D
    Mian baru bisa komen nih ;p
    Lanjutin terus ya saeng, kkkk~ xD

    BalasHapus