Love
or Obsession––– Part 10
Author : Ifa
Raneza
Main Cast :
Yesung (Kim Jong Woon), Park Hyemi (OC)
**
“Kini
bernafaslah untukku, Park Hyemi…”
Jongwoon meremas tangannya yang tampak
berkeringat. Wajahnya masih saja menunjukkan kekhawatiran terhadap sosok yang
masih terbaring lemah di atas ranjang dengan punggung tangannya yang terpasang
jarum infus. Bahkan untuk bernafas pun gadis itu harus mengenakan alat agar
tetap mendapatkan oksigen untuk mengisi paru-parunya. Jongwoon tak habis pikir,
ke mana akal sehat gadis itu saat ia dengan entengnya menenggelamkan dirinya
sendiri di dalam danau itu. Jongwoon lebih tak habis pikir lagi saat pikirannya
tertuju pada Sungmin. Ke mana namja
itu saat Hyemi mencoba membunuh dirinya sendiri?
Bodoh. Itu yang terlintas di pikiran Jongwoon
tentang Sungmin. Namja itu sudah
mendapatkan Hyemi, tapi kini ia malah membiarkan Hyemi melakukan percobaan
bunuh dirinya kemarin.
Ini sudah hampir dua belas jam, tapi Hyemi belum
juga sadar. Ia memang sudah melewati masa kritisnya, tapi tetap saja Jongwoon
merasa belum puas saat kedua mata gadis itu belum terbuka.
“Hyung…”
Jongwoon mengangkat kepalanya, menatap orang yang
baru saja tiba di ruangan VIP itu dengan tatapan tajam yang sulit diartikan.
Sedangkan orang itu hanya menunduk, menunjukkan penyesalannya.
BUGH!
Tanpa menghiraukan keberadaan Hyemi di ruangan
itu, Jongwoon dengan entengnya melayangkan pukulan ke perut Sungmin hingga pria
itu jatuh tersungkur di lantai. Dengan emosi, Jongwoon menarik kerah baju
Sungmin dan menatap kedua matanya dalam dengan tatapan yang menusuk.
“Ke mana saja kau, hah?! Calon istrimu hampir mati
tapi kau tidak ada di sampingnya saat itu!”
BUGH!
Sekali lagi tinjuan itu mendarat di pipi Sungmin,
membuat darah mengalir dari sudut bibirnya yang robek. Sungmin menundukkan
tatapannya, menatap Hyemi yang masih terbaring lemah di atas ranjang. Perlahan
air matanya turun, membasahi pipinya yang tampak hampir lebam akibat pukulan
Jongwoon.
“Mianhae…”
ucapnya lirih seraya menyentuh punggung Hyemi yang terasa begitu dingin.
“Sungmin-ah.. Kau membuatku kecewa,” ucap Jongwoon
dingin, membuat Sungmin berbalik menatapnya dengan sendu.
Ia menggeleng pelan, membuat Jongwoon menatapnya
bingung. Perlahan sebelah tangan Sungmin bergerak menuju kerah bajunya,
meremasnya perlahan, mencoba menekan rasa sakit yang ia rasakan pada hatinya.
Rasa sakit yang juga Hyemi rasakan.
“Dia tidak memilihku, Hyung… Dia tidak pernah mencintaiku..” ucap Sungmin lirih yang
membuat emosi Jongwoon kembali naik.
Dengan emosi Jongwoon menarik kerah baju Sungmin
dan berteriak tepat di depan wajahnya.
“Mana mungkin! Dia sudah bersedia menikah
denganmu! Bagaimana bisa kau mengatakan dia tidak memilihmu?!” teriak Jongwoon
yang telah lepas kendali. Ia tidak ingin Hyemi-nya disakiti. Cukup sampai di
sini penderitaan gadis itu.
“Aku tidak mengada-ada, Hyung! Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan dia mencintaiku
sementara tiap malam dia menyebut namamu dalam tidurnya?!” balas Sungmin dengan
berteriak, membuat Jongwoon membelalakkan matanya menatap Sungmin dengan
tatapan tak percaya.
“Mwo…?”
lirih Jongwoon. Perlahan ia melepaskan cengkeramannya pada kerah baju Sungmin,
lalu menatap lekat wajah tirus Hyemi yang masih memucat.
“Dia hanya mencintaimu, Hyung… Dia hanya memilihmu..” ucap Sungmin pelan bersamaan dengan
air mata yang entah sudah ke berapa kalinya jatuh dari pelupuk matanya. “Tapi
keadaan memaksanya untuk memilihku menggantikan tempatmu di hatinya. Itulah
sebabnya ia memilih untuk meninggalkan dunia agar ia tetap bisa mencintaimu
walau tidak dapat memilikimu di dunia,” ucap Sungmin sambil mencengkeram kerah
bajunya, sekali lagi mencoba menekan rasa sakit yang terbukti hanya sia-sia.
“Tapi…” ucap Jongwoon, otaknya masih mencari
penyangkalan akan perkataan Sungmin. Tapi nihil, ia tidak menemukannya. Ia
tidak bisa menyangkal bahwa ia juga mengharapkan apa yang Sungmin katakan
padanya adalah benar.
“Dia sudah tahu Hara tidak hamil, Hyung. Narin yang memberitahunya. Dan
setelah itu, ia langsung menghilang dan aku mendapatkan kabar darimu bahwa dia
ditemukan tenggelam di danau,” ujar Sungmin lagi yang tak lagi dibalas oleh
Jongwoon.
Pria itu sibuk memerhatikan setiap inci wajah
Hyemi yang masih menutup rapat kedua matanya. Hanya satu yang Jongwoon temukan
dalam raut wajah Hyemi. Penderitaan.
“Sudah cukup ia menderita selama ini, Hyung. Ia telah memilihmu, dan aku hanya
bisa mendoakan agar kalian bahagia selamanya,” ujar Sungmin sambil menepuk bahu
Jongwoon dengan senyum tulus yang untuk pertama kalinya ia tujukan pada
sepupunya itu.
**
“Dia
kehilangan banyak darah.”
“Kami sudah
melakukan yang terbaik, tapi Tuhan berkehendak lain.”
Jungsoo merasakan ponselnya bergetar di saku
celananya saat ia baru saja meletakkan sekuntum bunga mawar putih di pusara
yang bertuliskan nama yang akan ia ingat sepanjang hidupnya. Nama seorang gadis
yang memilih untuk meninggalkan dunia ini karena Jungsoo. Ya… Semua ini karena
Jungsoo. Andai saja Jungsoo lebih memikirkan perasaan Hyemi dan orang-orang di
sekitarnya daripada egonya sendiri, mungkin semua ini tidak akan pernah
terjadi. Mungkin saat ini ia akan berada di ruang keluarga bersama Hyemi dan Narin
sambil menghabiskan kudapan mereka.
Mungkin sebentar lagi, Jungsoo bisa melakukan itu
bersama Hyemi, tapi tanpa Narin. Ya.. Tanpa gadis yang sudah berada di makam
itu.
“Yeoboseyo…”
ucap Jungsoo tanpa semangat yang bersarang dalam raganya.
“Hyung…”
Terdengar suara Sungmin yang begitu gusar, membuat
Jungsoo menaikkan sebelah alisnya. Hyemi, hanya nama itu yang terus berada di
pikirannya.
“Ada apa?” tanya Jungsoo tanpa bisa menepis rasa
cemas yang berkecamuk dalam benaknya.
“Hyemi…”
“Ada apa dengan Hyemi?” tanya Jungsoo dengan nada
yang sedikit meninggi saat mendengar nama adiknya, bahkan sebelum Sungmin dapat
menyelesaikan kalimatnya.
“Dia… Dia di rumah sakit,” jawab Sungmin pelan.
“Apa yang terjadi padanya?”
“Dia…”
Jungsoo tak lagi bisa mendengar suara Sungmin di
seberang sana. Suara Sungmin seperti tercekat atau menguap di udara saat ia
menanyakan tentang adiknya. Ada apa?
“Maafkan aku…”
Jungsoo menggigit bibir bawahnya, menggeram dengan
kalimat yang ia dengar dari mulut Sungmin yang bukan merupakan jawaban yang ia
inginkan.
“Aku bertanya apa yang terjadi pada adikku?!”
tanyanya dengan penuh emosi. Sebelah tangannya ia gunakan untuk mengusap
wajahnya yang perlahan dipenuhi keringat. Sudah cukup Narin yang membuatnya
menyesali perbuatannya seumur hidup, ia tidak ingin Hyemi mengalami sesuatu
yang sama buruknya dengan Narin.
“Dia ditemukan tenggelam di danau.”
Jungsoo merasakan seluruh persendiannya melemas
mendengar kalimat itu lolos di indera pendengarannya.
“Mwo…?”
lirihnya.
“Maaf… Seharusnya aku bisa mencegah ini semua. Hyemi
menghilang setelah menerima telepon dari Narin, dan.. aku rasa ia tahu tentang
rencana yang kau susun, Hyung.
Bukankah itu yang ingin Narin katakan pada Hyemi?”
Jungsoo kembali menggigit bibirnya sembari
tatapannya mengarah pada foto yang diletakkan di atas pusara di depannya. Sosok
seorang gadis dengan senyuman yang tidak akan pernah ia lihat lagi untuk ke
depannya. Semuanya sudah hancur, bersamaan dengan hancurnya keluarga ini..
Keluarga kecilnya dan sahabat-sahabatnya, termasuk Narin… Semuanya hancur
karena rencana bodohnya itu.
“Dan… Aku rasa Hyemi putus asa dengan semua ini.
Maka dari itu, ketika aku menemukannya, ia sudah berada di rumah sakit dengan
Jongwoon-hyung di sampingnya. Namja itu menemukan Hyemi tenggelam di
danau.”
Jungsoo memejamkan kedua matanya saat kata-kata
Sungmin dengan lancarnya meluncur masuk ke indera pendengarannya. Kenapa semua
ini seperti boomerang baginya? Kenapa semuanya menjadi begitu menyakitkan pada
akhirnya?
“Kondisinya sejak kemarin masih kritis…”
Tanpa membuka kedua matanya, ia sadar bahwa air
mata itu sudah meluncur dengan bebasnya dari pelupuk matanya.
“Arraseo,
aku akan segera menyusul kalian ke Paris.”
“This is crazy
when I change myself to be a devil and change again to be an angel.
But I remember,
you never want a devil on me.
So, I’m Park
Jung Soo promise will never change myself to be a devil anymore.
I trust you,
Park Hyemi.
I trust your life
choice.”
**
“Apa katanya?” tanya Jongwoon resah pada Sungmin
yang baru saja mematikan sambungan teleponnya dengan Jungsoo.
“Jungsoo-hyung
akan segera tiba di sini,” jawab Sungmin dengan tatapannya yang mengarah pada
Hyemi yang belum juga membuka matanya.
Kini detak jantung Hyemi semakin melemah, padahal
dokter mengatakan ia akan segera melewati masa kritisnya dan membuka matanya,
menyambut kehadiran Jongwoon dan Sungmin yang telah menunggunya untuk bangun.
Tapi hal itu bagaikan bisikan angin lalu, mengingat kondisi Hyemi masih belum
membaik.
“Jadi, bagaimana?” tanya Sungmin, menatap Jongwoon
dengan penuh harap.
“Kita tidak mungkin memberitahu orang tua Hyemi,
kan? Masalahnya bisa semakin kacau,” ujar Jongwoon sambil mengacak rambutnya
frustasi. “Kita harus bagaimana…?” gumamnya sambil menggigit bibir bawahnya,
berpikir keras jalan keluar untuk masalah mereka.
“Hyung…
Kalau Hyemi tak juga bangun…”
“Jangan berbicara seperti itu, Sungmin-ah!” bentak
Jongwoon saat Sungmin baru saja akan mengatakan kemungkinan terburuk yang
pernah ia pikirkan.
Sungmin menatap wajah Hyemi yang tampak pucat
dengan murung. Ia sudah putus asa dengan permainan yang berakhir kepada sebuah
petaka ini.
“Aku menyerah, Hyung,”
ujarnya dengan mengangkat kedua tangannya.
Jongwoon menatap Sungmin dengan tajam, mencoba
mencari arti dari ucapannya.
“Apa maksudmu?” tanyanya dingin.
“Aku menyerah, aku mundur dari permainan ini. Aku
tidak bisa bertahan lebih lama. Cukup sampai di sini penderitaan Hyemi,” ucap
Sungmin sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lalu kau akan meninggalkan pernikahan kalian yang
hanya tinggal menghitung hari?” tanya Jongwoon tajam.
Sungmin menatap Jongwoon dengan tatapan yang tak
kalah tajam. Lalu seringai itu muncul begitu saja di sudut bibirnya.
“Hyung,
bukankah sudah jelas bahwa Hyemi sendiri pun tidak menginginkan semua ini.”
Jongwoon menarik nafasnya dalam, mendengarkan
kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Sungmin. Namja itu tahu ke arah mana Sungmin membawa percakapan mereka ini.
“Dia tidak pernah menginginkanku. Selama ini dia
hanya menganggapku sebatas sahabatnya, hanya itu. Dia hanya menginginkanmu, Hyung,” ucap Sungmin dengan penekanan
pada akhir kalimatnya. Ia sudah bosan membahas masalah ini agar Jongwoon
mengerti jalan pikirannya tentang pilihan Hyemi. Tapi ia tidak habis pikir,
Jongwoon tidak juga mengerti.
“Lalu? Kau ingin aku dan Hyemi kembali seperti
dulu dan mendapatkan tentangan dari Jungsoo-hyung
akan hubungan kami?” ujar Jongwoon tak kalah tajamnya. Kini mereka beradu
argumentasi yang muncul di pikiran masing-masing.
Sungmin mendengus. “Jadi hanya sebatas itu
perjuanganmu untuk mempertahankan cintamu?” ucapnya sinis.
“Mwo…?”
“Sebatas itukah perjuanganmu untuk Hyemi?!”
Kini emosi Sungmin tak lagi terkontrol, ia merasa
emosinya langsung naik ketika mendengar kalimat bodoh yang keluar dari mulut
Jongwoon.
“Pantas saja Jungsoo menentang hubungan kalian,
ternyata kau tak lebih dari seorang pria lemah yang hanya mengandalkan takdir
untuk mempertahankan cintamu,” ucap Sungmin lagi.
Jongwoon merasa emosinya ikut memuncak. Kedua
tangannya sudah mengepal sempurna di samping tubuhnya.
“Kau tidak membutuhkan takdir untuk saat ini, kau
hanya membutuhkan perjuangan,” ucap Sungmin lagi. Kini ia menatap kedua mata
sepupunya itu dalam, mencoba menyalurkan pengertian padanya bahwa Hyemi juga
masih menginginkan dirinya. “Dan berterima kasihlah pada Hyemi karena ia telah
berhasil mempertahankanmu. Kau tidak perlu lagi takut Jungsoo-hyung akan memisahkan kalian berdua.
Karena kini yang terpenting baginya adalah kebahagiaan Hyemi, dan kebahagian
Hyemi ada bersamamu.”
Sungmin melangkah ke pintu kamar itu, membukanya
lalu hendak keluar. Namun sebelum ia menutup rapat pintu bercat putih itu, ia
berbalik menatap Jongwoon yang masih terpaku akan ucapannya.
“Park Jung Soo bukan malaikat, Hyung. Tapi dia juga bukan iblis, karena
itu ia masih memiliki hati untuk melihat pilihan yang adiknya pilih,” ucapnya
pelan.
Jongwoon menundukkan tatapannya, merenungi setiap
kalimat yang keluar dari mulut Sungmin. Setiap kalimat yang mendorongnya untuk
kembali pada cintanya, Hyemi.
“Aku
mundur, Hyung. Sekarang ia kembali
menjadi gadismu lagi, jadi kumohon.. jaga dan pertahankan dia,” ucap Sungmin
lembut dengan senyuman yang terukir di bibirnya.
Bukan, itu bukan senyuman kekalahan atau
keputusasaan. Tapi itu adalah senyum atas kebahagiaan yang Hyemi peroleh saat
ini, senyum terakhir yang bisa ia berikan pada Hyemi sebelum ia memilih untuk
benar-benar mundur dan pergi dari kehidupan gadis itu.
‘Cukup sampai
di sini.’
“I’m not Santa
Claus who will give you some gifts when Christmas come.
But before I
leave your life,
Please let me
to give you happiness and smile as your gift.
Maybe, it will
be last gift from me,
From Lee
Sungmin for Park Hyemi.”
**
“Welcome to
Paris, Ladies and Gentleman.”
Jungsoo mengenakan kacamata hitamnya sembari
bangkit dari bangku pesawat dan melangkahkan kakinya keluar dari pesawat yang
telah mengantarnya dengan selamat dari Seoul menuju Paris.
“Antarkan aku langsung ke rumah sakit tempat dia
dirawat,” ucap Jungsoo dingin pada pria berbadan tegap di sebelahnya.
“Tapi ini sudah malam, Tuan. Apa Anda tidak mau
istirahat dulu?” tanya pria itu yang hanya mendapatkan sebuah gelengan dari
Jungsoo.
“Aku ingin menemui adikku dulu.”
Pria itu mengangguk, lalu segera membukakan pintu
mobil untuk Jungsoo.
“Aku tidak tahu apa aku bisa menatap kedua mata eomma dan appa saat mereka tahu yang terjadi sebenarnya,” bisiknya pada
dirinya sendiri.
**
Nit…
Nit…
Nit…
Jongwoon masih terjaga dengan tatapannya yang
tidak pernah beralih dari wajah Hyemi yang masih memucat. Suara alat pendeteksi
detak jantung itu masih terus berbunyi dengan lemah, menandakan ritme detak
jantung gadisnya yang masih belum ingin kembali ke dunia nyata.
Perlahan tangan Jongwoon mengangkat sebelah tangan
Hyemi yang terbebas dari jarum infus, menggenggamnya dan mengecup punggung
tangannya lembut. Ia senang akhirnya permainan ini berakhir dan ia bisa kembali
pada Hyemi, tapi ia akan lebih senang lagi jika kedua mata indah favoritnya itu
terbuka dan menatapnya lembut seperti biasanya.
“I love you
and I’ll always love you, so open your eyes, Hyemi…” bisiknya lembut tepat
pada sebelah telinga Hyemi, kemudian mendaratkan kecupan hangat pada pipi gadis
itu, membuatnya dapat merasakan betapa dinginnya wajah gadis itu sekarang.
“Kau masih ingat pertemuan pertama kita?” ucap
Jongwoon menerawang, memulai monolognya ditengah usahanya menemani Hyemi dengan
terjaga di tengah malam seperti ini.
“Waktu itu kau sangat ketus padaku. That’s okay, mengingat bagaimana sifatku
pada saat itu,” ucapnya lagi sambil terkekeh, menertawakan tingkahnya kala itu.
Saat ia mengejar-ngejar Hyemi hanya untuk menjadikannya sebagai mainan
kecilnya.
“Aku juga masih ingat saat aku mencuri ciuman
pertamamu… dan sampai sekarang pun aku masih bisa mencurinya, bukan? Tapi itu
bukan lagi yang pertama bagimu,” kekehnya lagi, membuatnya terlihat seperti
orang yang putus asa menunggu Hyemi terbangun dan memeluknya saat ia tahu bahwa
permainan ini sudah berakhir.
“Wake up, my
Sleeping Beauty… Wake up and give us your smile because your brother’s life
game is over,” bisiknya dengan keputusasaan yang tersirat jelas dari suara
lemahnya. Ia tahu Hyemi mendengarnya di dalam tidur panjangnya, karena itu ia
harus mengatakan semuanya. Mengatakan bahwa permainan ini sudah berakhir dan
mereka bisa kembali seperti dulu lagi. Mengatakan bahwa Jungsoo telah
mengakhiri permainan bodoh ini.
“The game is
over, Honey… Don’t afraid, I’m with you…”
Kata-kata Jongwoon begitu terngiang di telinga
Hyemi. Benar, gadis itu bisa mendengarnya di tengah kelemahannya hanya untuk
sekedar membuka mata, memberitahu pada namja
itu bahwa ia masih hidup dan masih dapat menghembuskan nafas.
“Don’t
worry, I’ll waiting for you because… I love you…”
Tes…
Sebulir air mata jatuh dari pelupuk gadis itu,
menyadarkan Jongwoon bahwa Hyemi-nya kini dapat memberinya sebuah respon. Ia
mampu menyentuh hati gadis itu.
“Hyemi? Kau mendengarku?” ucap Jongwoon sedikit
lega sambil menghapus air mata yang menetes di pipi putih gadis itu dengan ibu
jarinya. “Jangan menangis lagi, ada aku di sini,” ucapnya lembut.
Suara lembut itu membuat perasaan Hyemi campur
aduk. Antara sedih, senang, rindu, semuanya bercampur menjadi satu. Membuat air
mata itu menjadi semakin deras. Jongwoon terpaku menatap air mata itu. Perlahan
ia kembali menghapus air mata yang membasahi pipi Hyemi, lalu mengecup kedua
matanya dan kedua pipinya secara bergantian dengan lembut.
“Hey… Waeyo?
Kau takut aku akan meninggalkanmu? Tidak, Hyemi. Tidak akan.”
Kini Jongwoon bisa mengembangkan senyumnya menatap
wajah Hyemi yang masih memucat itu. Setidaknya kini gadis itu membuktikan bahwa
ia masih bisa berharap gadisnya akan terbangun kembali. Setidaknya masih ada
harapan yang bisa Jongwoon pegang saat ini.
“Kau mau mengingat masa-masa pertemuan pertama
kita dulu bersamaku, Hyemi?” ucap Jongwoon sembari memulai ceritanya tentang
pertemuan pertama mereka.
It’s just
about time.
If I wait for
you,
You will open your
eyes and give me your smile like usual.
Right?
**
(Lee Sungmin
POV)
Kedua kakiku kini melangkah maju menuju terminal
keberangkatan menuju Seoul. Saat ini aku harus pulang ke Seoul, menemui orang
tuaku, membicarakan apa yang sudah terjadi, dan memutuskan untuk meninggalkan
kota kelahiranku itu. Ya, aku memilih untuk pergi dan menetap di negara lain
yang jauh dan memungkinkanku untuk melupakan semua ini, lalu memulai kehidupan
baru di sana. Mungkin…
“Are you a
Korean, Sir?”
Aku menoleh dan mendapati seorang gadis berwajah
asia dengan bola mata biru sedang duduk di sampingku. Ia menatapku dengan
senyuman di bibirnya, senyuman untuk seseorang yang pertama kali kau temui di
tempat umum seperti ini.
“Yes, I am,”
jawabku sambil membalas senyumannya. “You
too?”
Ia mengangguk dengan menundukkan kepalanya,
menatap kuku-kukunya yang dihiasi nail
art kebiruan.
“I think
you’re not a pure Korean, are you?” tanyaku mulai tertarik dengan topik
pembicaraan ini.
Ia menatapku sambil menunjukkan senyum lebarnya.
“Well, you
know me,” ujarnya sambil terkekeh pelan. “My dad is a British citizen, and my mom––you know––is a pure Korean.”
Aku mengangguk-angguk mendengar penuturannya. Aku
rasa topik pembicaraan ini semakin menarik.
“So where
are you go now? London or Seoul?” tanyaku lagi.
“London. My
father
was waiting for me there.”
“So you live
with your father?”
Sekali lagi ia mengangguk.
“Yes… I don’t
like live with my mom,” ucapnya sambil terkekeh hambar.
“Sorry?”
“My mom and
my father… they are divorce…” ucapnya sambil tersenyum padaku, meskipun aku
tahu ia sangat sedih ketika mengatakannya. Aku bisa melihatnya di kedua bola
matanya.
“They
divorced when I was fifteen,” ucapnya lagi lebih terdengar seperti
menceritakan kisahnya pada teman baiknya. Dengan kenyataan bahwa dia sedang
bercerita padaku yang merupakan orang yang baru ia temui di bandara.
“I’m so
sorry for…”
“That’s
okay. I think I need to share that,” ujarnya memotong ucapan penuh
penyesalan dariku. “Thank you.”
“You’re
welcome, Miss.”
“Hey, so
where are you go?”
“Seoul,
and…”
“And?”
Aku masih berpikir saat ia menanyakan kelanjutan
kalimatku. Baiklah, sekarang aku tahu ke mana tujuanku selanjutnya.
“Maybe I’ll
follow you.”
“Follow me?”
“Yes, Miss.
I’ll go to London…” ucapku yang semakin membuatnya membulatkan kedua
matanya. “… with you.”
Ia semakin membulatkan kedua matanya dan membuka sedikit
mulutnya. Aku terkekeh pelan memandangi wajah terkejutnya yang tampak lucu.
“By the way,
I’m Lee Sungmin,” ucapku sambil mengulurkan tangan kananku padanya.
Ia masih memasang wajah terkejutnya dan hanya
menatap tanganku yang terulur. Tapi beberapa detik setelahnya ia tersenyum dan
mulai membalas uluran tanganku.
“Annabelle. Annabelle Stuart,” balasnya dengan
senyuman termanis yang pernah kulihat.
“Well, nice
to meet you, Annabelle.”
“Nice to
meet you too, Sungmin-ssi.”
Kini aku rasa Tuhan memang sangat adil. Ke
depannya kuharap aku bisa meninggalkan kenangan lama dan memulai yang baru. I’m moving.
**
(Author POV)
“Kau tahu? Kakakmu akan tiba di sini sebentar
lagi. Kau merindukannya, kan?”
Jungsoo menghentikan gerakannya di depan pintu
kamar pasien bernomor 2130 itu. Ia menarik nafasnya dalam, namun ia hampir lupa
cara menghembuskannya dengan benar. Nafasnya seperti tercekat mendengar suara
lirih Jongwoon di dalam sana, yang sedang menemani tubuh lemah adiknya dengan
sabar, dengan harapan bahwa gadis itu akan membuka matanya kembali. Jungsoo
menatap tangannya yang sudah menyentuh gagang pintu dengan nafasnya yang
sedikit memburu. Entahlah, ia rasa ini adalah waktu-waktu mendebarkan di mana
ia akan menatap wajah adiknya yang tersiksa karena dirinya. Ya… Karena Jungsoo.
“Apa yang Anda tunggu, Tuan? Nona membutuhkanmu,”
ucap pria berbadan tegap yang merupakan tangan kanannya itu.
Jungsoo mengangkat wajahnya, menatap pria itu
dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Apa dia masih membutuhkanku di saat aku telah
menyakitinya, Hwang?” ucap Jungsoo membalik pertanyaan pria bernama Hwang itu.
Pria itu tampak menunduk, berpikir sebentar, lalu
mengangkat wajahnya kembali, menatap Jungsoo dengan senyum ramah di bibirnya.
“Ini masih belum terlambat untuk memperbaiki
semuanya, Tuan. Perbaiki semuanya dan kembalikan keluarga kecilmu,” ujar Hwang,
membuat Jungsoo perlahan kembali menatap gagang pintu itu dan menganggukkan
kepalanya pelan.
“Kau benar,” gumamnya pelan. “Ini saatnya aku
mengembalikan semuanya. Good, Hwang.”
Jungsoo memantapkan hatinya dan membuka pintu itu
secara perlahan. Kedatangannya langsung disambut dengan baik oleh Jongwoon yang
sedang menggenggam sebelah tangan adiknya yang masih tertidur. Senyuman hangat
itu menyambut wajah lelah khawatir di wajah Jungsoo, membuat perasaan Jungsoo
sedikit terenyuh mengingat Jongwoon yang masih mau menerimanya setelah semua kekacauan
ini.
“Hey, lihat? Jungsoo-hyung baru saja datang,” bisik Jongwoon pada Hyemi, sementara
Jungsoo berjalan mendekati tempat tidurnya.
“Bagaimana keadaannya?” tanya Jungsoo tanpa
mengalihkan perhatiannya dari wajah pucat Hyemi.
“Tidak memburuk dan belum juga membaik. Entahlah…
Dia belum mau membuka matanya, padahal dokter bilang masa kritisnya seharusnya
sudah lewat,” jawab Jongwoon lemah sambil terus menggenggam tangan Hyemi sambil
sesekali mencium punggung tangannya.
“Seburuk itukah?” gumam Jungsoo sembari mengusap
pipi pucat dan tirus itu dengan jemarinya. “Mianhae…”
bisiknya pelan seraya menundukkan wajahnya, mengecup pelan pipi Hyemi.
“Kami memaafkanmu, Hyung..” ucap Jongwoon sambil tersenyum tipis.
Sekali lagi kedua mata Jungsoo memanas. Ia tak
seharusnya mendapatkan kata maaf yang berharga itu. “Mian… Mianhae…” ucapnya lagi, berusaha menahan air mata yang sudah
mendesak untuk segera keluar dari pelupuk matanya.
“Semuanya akan baik-baik saja, Hyung,” ucap Jongwoon sambil menepuk
pundak Jungsoo, memberikan semangat yang ia punya pada Jungsoo.
Jungsoo mengangguk. “Ne… Gomawo, Jongwoon-ah..”
ucapnya pelan.
Jongwoon menggeleng. “Jangan berterima kasih
padaku. Semua kekacauan ini juga terjadi karenaku, kan? Kau melakukannya hanya
untuk melindungi adikmu,” ujar Jongwoon pelan tanpa mengalihkan tatapannya dari
wajah Hyemi.
“But I…”
Jungsoo menghembuskan nafasnya yang sejak tadi ia tahan. Perlahan kedua matanya
menjadi berair, menatap kedua orang yang saling mencintai di hadapannya. “I’m jerk. I’m not good for her…” ucapnya
sambil menatap Hyemi.
Jongwoon mengalihkan tatapannya pada Jungsoo, lalu
menggelengkan kepalanya, menyangkal ucapan Jungsoo.
“Itu tidak benar. Dia menyayangimu, Hyemi sangat
menyayangimu lebih dari apapun. Kau malaikat baginya, kau yang menemaninya
kapan pun di saat orang tua kalian tidak di sampingnya. Dia menyayangimu
seperti kau menyayanginya,” ucap Jongwoon yang membuat hati Jungsoo kembali
terenyuh.
Andaikan ada mesin yang bisa memutar waktu, ia
pasti akan segera merogoh kantungnya dalam-dalam untuk mendapatkan mesin itu
untuk kembali ke masa lalu dan memperbaiki kesalahannya. Kesalahan terbesarnya.
“Aku menyayangimu, Hyemi…” bisiknya lirih tepat di
samping telinga Hyemi.
Jungsoo memejamkan kedua matanya sambil
menyandarkan kepalanya pada pundak Hyemi, menikmati setiap detiknya kebersamaan
mereka yang sudah lama tidak ia rasakan. Kemudian pria itu membuka matanya
dengan terkejut, mendapati setetes air yang menetes ke wajahnya.
Ia menyentuh pipinya dan menatap air itu dengan
tatapan tak percaya. Ia menatap Jongwoon dengan kedua matanya yang membelalak,
lalu menatap Hyemi yang masih belum membuka matanya.
“Jongwoon-ah… Ini… Hyemi…” ucapnya tak beraturan,
terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.
Jongwoon mengangguk. “Ne, Hyung. Hyemi mendengarmu,” ucapnya sambil tersenyum tipis.
Jungsoo menggerakkan sebelah tangannya, menyentuh
pipi Hyemi yang sedikit basah karena jejak air mata yang tadi jatuh dari
pelupuk mata gadis itu. Hyemi menangis, ia mendengar ucapan Jungsoo. Ya, ia
melakukan hal yang sama seperti yang telah ia lakukan pada Jongwoon.
Menyadarkan kakaknya itu bahwa ia masih di sini, bersamanya.
“Kau mendengarku, Hyemi?” tanya Jungsoo pelan
sambil merasakan sesuatu yang hangat menuruni pipinya. “Kau bisa merasakan
kehadiranku?” ucapnya lagi sambil tersenyum. Senyuman bahagia menatap wajah
pucat adiknya itu.
“Aku di sini, Hyemi… Bersamamu…” ucap Jungsoo
lagi, membuat Jongwoon yang ada di dekatnya memalingkan wajahnya, menahan air
mata yang mungkin sebentar lagi akan menuruni pipinya.
Namun beberapa detik kemudian Jongwoon kembali
melirik Jungsoo yang kini tampak sedang menganggukkan kepalanya pelan, menatap
Hyemi dengan tatapan bahagianya yang bercampur air mata.
“Aku tidak akan pernah menyakitimu lagi. Aku
berjanji, Hyemi. Aku berjanji, karena itu bangunlah dan lihat ada kami di
sini…” ucap Jungsoo penuh harap seraya menggenggam tangan Hyemi erat,
menyalurkan kehangatan yang ia punya pada adiknya itu.
Terlihat air mata itu dengan derasnya kembali
menuruni pipi Hyemi, bahkan lebih deras dari yang tadi. Kini bahkan Jongwoon
dan Jungsoo saling bertatapan dengan kalutnya ketika bunyi datar itu berbunyi
dengan ritme yang semakin lambat.
Nit…
Nit…
Nit…
“Jongwoon-ah… Apa yang terjadi…?” tanya Jungsoo
takut-takut, takut akan kemungkinan yang bisa saja terjadi pada Hyemi.
Jongwoon menggeleng cepat. “Molla…” ucapnya pelan sambil mengalihkan tatapannya pada Hyemi yang
semakin deras mengeluarkan air mata.
Jungsoo kembali memalingkan tatapannya pada Hyemi
ketika didengarnya deru nafas adiknya itu yang semakin tidak beres. Ia melihat
Hyemi yang kini sedang kesusahan menghembuskan nafasnya. Ia kesulitan untuk
bernafas!
“Jongwoon, panggil dokter! Panggil dokter!!! Ppaliwa!!” teriak Jungsoo panik sembari
mengibaskan tangannya ke arah Jongwoon, menyuruh namja itu memanggil dokter yang bisa menolong adiknya.
Dan sontak Jongwoon berlari keluar dari ruangan
itu mencari siapa saja yang bisa mengembalikan Hyemi-nya menjadi seperti sedia
kala.
“Hyemi…” ucap Jungsoo memanggil nama gadis itu
sambil mengguncang pelan bahu sosok yang sedang berusaha untuk bernafas, untuk
tetap menghirup oksigen di bumi ini.
Nit…
Nit……
Nit…..
“HYEMIIII!!!!” teriak Jungsoo frustasi sembari air
matanya yang bertambah deras menuruni pipinya, menangisi kesalahannya, menangisi
takdir yang ia terima… Ia sedang menangisi semuanya.
Inilah saat di mana Hyemi menentukan pilihannya.
Pilihan untuk hidup atau…
Meninggalkan semuanya.
**
Your breath is my money, Girl.
**
(Park Hyemi
POV)
Entah sudah berapa lama aku tidak menggerakkan
seluruh tubuhku, karena kini tubuhku terasa begitu kaku dan berat walau hanya
untuk membuka mataku. Dan suara itu langsung menyambutku begitu kedua bola
mataku kembali menatap dunia.
“Welcome
back, Honey…”
Suaranya… Ah, aku merindukannya. Aku merindukan
setiap inci sosoknya dan sentuhannya. Tuhan, apakah ini hanya sebuah mimpi?
“Kami tahu, kau pasti akan kembali.”
Kini senyumanku mengembang saat senyuman manis itu
muncul di bibir namja yang berada di
sampingnya. Senyum hangat yang sudah lama tidak kulihat. Apa bisa kusimpulkan
bahwa setelah ini semuanya akan baik-baik saja?
“Miss you so
bad,” ucapku lemah yang langsung dibalas dengan pelukan erat oleh dua namja ini.
-To be
continued-
Strange? I think so .___.
But I want to see your comment on my comment box
^^
-Kamsahamnida~~
suara nit nit itu bikin deg degan kirain hyemi beneran meninggal
BalasHapus